WANITA YANG BEKERJA
Visi Ny. Ainun Habibie
dan Q.S. Al-Ahzab : 32-33
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
Pendahuluan
Pada zaman sekarang banyak wanita
yang bekerja di luar rumah
Mari kita renungkan pemikiran Ny. Ainun Habibi dan tafsir
Al-Qur-an yang berhubungan dengan masalah ini.
Pemikiran Ny.
Ainun Habibie
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional; jika akhirnya anak
saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri? Anak saya
akan tidak memiliki ibu. Seimbangkah anak kehi-langan ibu dan bapak,
seimbangkah orang tua kehilangan anak, de-ngan uang dan kepuasan pribadi
tambahan karena bekerja?
Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah
tahun kami bertiga hidup begitu (B.J. Habibie, Ny. Ainun
dan Ilham Habibie).
Jangan biarkan anak-anakmu hanya
bersama pengasuh mereka
Bagaimana bila dibantu
oleh kakek neneknya?
Sudah cukup rasanya membebani orang tua dengan mengurus kita sejak lahir
sampai berumah tangga. Kapan lagi kita mau memberikan kesempatan kepada orang
tua untuk bisa beribadah sepanjang waktu di hari tuanya.
Belajar dari kesuksesan orang-orang hebat (contohnya B.J. Habi-bie),
selalu ada pengorbanan dari orang-orang yang berada di bela-kangnya, yang
mungkin namanya tidak pernah tertulis dalam sejarah.
Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat dan
jawaban untuk ibu-ibu berijazah; yang rela berkorban demi keluarga dan
anak-anaknya. karena ingin Rumah Tangganya tetap terjaga dan anak-anak bisa tum-buh
dengan penuh perhatian, tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga untuk
mendidik agamanya, karena itulah sejatinya peran orangtua.
Berbanggalah engkau
sang Ibu Rumah Tangga, karena itulah peker-ja-an seorang wanita yang paling
mulia.
Al Qur-an Surat Al-Ahzab [33] : 32-33
Terjemahnya
32. Wahai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
33. Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu [1215] dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahili-yah yang dahulu [1216]
dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan RosulNya. Sesungguhnya
Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian hai ahlul bait [1217] dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Apakah perintah ini juga berlaku untuk
isteri-iteri selain isteri Nabi ?
1.
Tafsir Ibnu Katsir
Alloh Ta’ala berfirman: “ Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu.” Yaitu istiqomahlah (tetaplah) di rumah-rumah kalian
dan jangan keluar tanpa hajat. Di antara hajat-hajat syar’i adalah sholat di
masjid dengan sya-ratnya, seperti sabda Rosululloh Saw.:
Hadits 01 : “Janganlah kalian melarang wanita hamba-hamba Alloh
pergi ke masjid-masjid Alloh dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai
wangi-wangian
Hadits 02 : “Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
(Sunan Abi Dawud dan Musnad al-Imam Ahmad).
Hadits 03 : Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya yang lalu, serta Abu Dawud, bahwa
Nabi s.a.w. bersabda: “Sholat seorang wanita di kamarnya lebih baik daripada
sholatnya di rumahnya. Dan sholat di rumahnya lebih baik daripada sholatnya di
luar rumahnya.” (Isnad hadits ini jayyid).
Kesimpulan :
Menurut Ibnu
Katsir perintah ini berlaku juga untuk mukminat lainnya.
2. Tafsir Al Maroghi
Senantiasa kalian tinggal
dalam rumahmu.
Jadi janganlah kalian keluar rumah tanpa hajat. Firman ini merupakan
perintah kepada para isteri nabi, dan juga kepada wanita-wanita lainnya
Hadits 04: At-Tirmizi dan Al-Bazzar telah mengeluarkan sebuah
riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Saw. bersabda : “Sesungguhnya, wanita itu sendiri
adalah aurot. Maka apabila ia keluar dari rumahnya, ia di-intai oleh
setan. Dan wanita yang paling dekat kepada rohmat Tuhan-nya ialah ketika ia
berada dalam rumahnya.”
3. Tafsir Al-Misbah oleh M. Quroish
Shihab.
Alloh berfirman: Dan, di samping itu, tetaplah kamu tinggal di rumah kamu. Kecuali jika ada keperluan untuk
keluar yang dapat dibenarkan oleh agama dan berilah perhatian yang besar
terhadap rumah tangga kamu..
Perintah waqorna dan Waqirna fi
buyutikum (Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu) ditujukan kepada isteri-isteri Nabi
Muhammad Saw.. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah apakah wanita-wanita
muslimah selain isteri-isteri Nabi dicakup juga oleh pe-rintah tersebut ?
Al-Qurthubi (w 671 H), seorang pakar tafsir hukum, menulis :
“Makna ayat di atas adalah perintah untuk tinggal di rumah. Walaupun redaksi
ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad Saw., se-lain dari mereka
juga tercakup dalam perintah tersebut.” Agama me-nuntut agar wanita-wanita
tinggal di rumah dan tidak keluar rumah ke-cuali karena keadaan darurat.
Al-Maududi, pemikir
Pakistan, dalam bukunya, Al-Hijab, menulis
“Tempat wanita adalah di rumah, mereka
dibebaskan dari pekerjaan di luar rumah agar mereka selalu berada di
rumah dengan tenang dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban
rumah tang-ga. Boleh saja keluar rumah,
dengan syarat memerhatikan segi ke-sucian diri dan memelihara rasa malu.
Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diter-bitkan oleh Departemen
Agama R.I.
Menurut Thohir Ibn ‘Asyur
perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang
bagi wanita muslimah selain mere-ka sebagai kesempurnaan.
Kesimpulan
: Menurut Prof. M. Quroish Shihab perintah ini berlaku juga bagi
wanita-wanita muslimah lainnya
Persoalannya
adalah dalam batas apa saja izin tersebut ? Misalnya “Bolehkah mereka bekerja ?”
M. Quthub, dalam
bukunya Ma’rokah at-Taqolid, menuls: “Ayat ini bukan berarti wanita
tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja,
Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja
dalam keadaan da-rurat dan tidak menjadikannya sebagai pekerjaan pokok. Rumah
tangga adalah tugas pokoknya,
Dalam bukunya, Syubuhat Haula al-Islam, dijelaskan bahwa perem-puan
pada awal Islam pun bekerja ketika kondisi menuntutnya. Hanya saja, Islam tidak
senang wanita keluar rumah kecuali untuk hal-hal yang sangat dibutuhkan
masyarakat, atau karena tidak ada yang membiayai hidupnya atau tak mencukupi
kebutuhannya.
Komentar
penulis
Pada semua
tafsir di atas, perintah untuk tetap tinggal di rumah yang ditujukan untuk para
istri Nabi, juga berlaku bagi semua mukminat yang menjadi isteri. Bagi Mukminat
yang bersuami ada laki-laki yang me-nanggung nafkahnya. Mereka
bertanggung jawab mengatur rumah tang-ganya. Bila mempunyai anak mereka
bertanggung jawab mengasuh dan mendidik anaknya.
Agar rumah tangganya baik, mukminat tersebut
harus selalu berada di dalam rumahnya.
Mukminat yang sendirian bisa gadis atau janda.
Bagi para gadis..Kehidupan mereka berada dalam tanggungan ayahnya. Di rumah
masih ada ibunya yang bertanggung jawab atas rumah tangganya. Tidak punya
tanggungan anak. Biasanya masih bersekolah.
Maka, masih ada fungsi yang biasanya
dilakukan di luar rumah yaitu bersekolah.
Bila orang tua gadis itu tidak mampu maka mereka boleh
bekerja secara darurat, seperti kasus puteri-puteri Nabi Syuaib As. di Madyan.
Nabi Musa As. yang melarikan diri dari Mesir ke Madyan berjumpa de-ngan mereka
di sebuah sumur. Maka dibantunya kedua puteri Nabi Syuaib itu mengambil air
sumur.
Bagi jpara
janda, bila masih mempunyai ayah, sesuai dengan prin-sip “ar-rijalu
qowwamuna ‘alan nisa’ (laki-laki
adalah pemimpin wanita), dia akan kembali ke rumah ayahnya /
ditanggung ayahnya. Bila ayah-nya sudah wafat, maka hidupnya ditanggung oleh
saudara laki-lakinya. Bila kedua-duanya tidak ada maka dia terpaksa harus
bekerja yang se-ring kali dilakukan di luar rumah sesuai dengan hadits berikut:
Jabir bin
Abdulloh Ra. berkata: Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia bekerja sebagai
pemotong kurma di ladangnya, kemudian seorang lela-ki melarangnya bekerja di
luar rumah. Maka dia mendatangi Rosululloh Saw. seraya mengadukan persoalannya.
Lalu beliau bersabda: “Tentu saja kamu boleh bekerja. Boleh jadi kamu dapat
menyedekahkan usahamu atau dapat melakukan hal-hal yang ma’ruf.” (H.R.
Muslim).
Apa konsekwensi dari perintah ini ?
Perintah
untuk diam di rumah ditujukan hanya untuk para isteri, tidak untuk gadis dan
janda, maka pekerjaan yang bisa dilakukan oleh para isteri, selain mengatur
rumah tangganya adalah hamil dan me-lahirkan anak, memelihara serta mendidik
anaknya.
Mereka masih
bisa melakukan bisnis yang dilakukan di dalam rumahnya. Contoh :
1. Bisnis toko eceran dan grosir di rumah tokonya.
2. Memproduksi barang di dalam rumahnya (home
industry).
3. Membuat perusahaan yang dikendalikan dari rumahnya.
4. Praktek dokter, perawat, bidan atau pengacara di
rumahnya.
5. Menjadi pegawai kantor dari jarak jauh yaitu
pekerjaan kantor dilakukan di rumahnya.
Sehingga
tetap produktif, tetapi terhindar dari berbaurnya laki-laki dan perempuan non
muhrim di luar rumah tanpa pengawasan suami.
Maka para gadis yang kelak akan menjadi seorang isteri
yang ting-gal di rumah, dalam bersekolah tidak perlu memasuki pendidikan untuk
menjadi pekerja di luar rumah, melainkan bersekolah untuk menjadi se-orang
isteri dan ibu bagi anak-anaknya yang sempurna, serta berseko-lah untuk menjadi
pekerja yang dapat dilakukan di dalam rumah.
Contoh
di Zaman Nabi Saw.
Siti
Khodijah binti Khuwailid isteri Nabi yang pertama adalah pengu-saha ekspedidi
perdagangan dari Mekah ke Syam / Siria) yang selalu tinggal di rumah. Beliau
mengendalikan usahanya itu dari rumahnya di Mekah, tidak pernah ikut bepergian
ke Syam.
Zainab binti Jahs istri Nabi pandai
menggunakan keahlian tangan. Di rumahnya beliau menyamak kulit dan menjual barang
yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir miskin.
Siti Aisyah
binti Abu Bakar isteri Nabi adalah seorang ahli agama yang menjadi guru para
sahabat di rumahnya. Beliau meriwayatkan 3.145 hadis, terbanyak kedua setelah
Abu Huroiruh. Terutama hadis tentang kehidupan Rosululloh Saw. di dalam rumah.
Jember, 20 Maret 2017
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
BUKAN HANYA KAUM WANITA ISLAM YANG MEMAKAI JILBAB
Oleh : Dr. H. M. Nasim Fauzi
Pendahuluan.
Di Indonesia hanya kaum muslimah yang mengenakan jilbab.
Namun sebenarnya, jilbab juga
dikenakan oleh para biarawati Kristen. Gambar dan patung Bunda Maria juga
terlihat berjilbab. Terkadang Dewi Kwan Im digambarkan memakai jilbab yang
longgar.
SYARAT-SYARAT JILBAB DALAM AGAMA ISLAM
Syarat
pertama: pakaian
wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan.
Syarat
kedua: bukan pakaian
untuk berhias, seperti banyak di-hiasi gambar bunga apalagi yang
warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa
Syarat
ketiga: tidak tipis dan
tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian
muslimah juga harus longgar / tidak ketat.
Syarat
keempat: tidak memakai
wewangian.
Syarat kelima: tidak menyerupai pakaian pria atau pakaian
non muslim.
Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran (baca: pakaian syuhroh). Pakaian syuhroh di sini bisa berupa pakaian yang mewah atau paling kere sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri itu dan tidak dipakai di zaman itu. Semua pakaian seperti ini terlarang.
Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran (baca: pakaian syuhroh). Pakaian syuhroh di sini bisa berupa pakaian yang mewah atau paling kere sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri itu dan tidak dipakai di zaman itu. Semua pakaian seperti ini terlarang.
Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.
Syarat kedelapan: tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manu-sia dan
hewan). Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk
dalam larangan bertabaruj pada syarat kedua di atas.
Syarat
kesembilan: pakaian
tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.
Syarat
kesepuluh: bukan
pakaian kesombongan.
Syarat
kesebelas: bukan
pakaian pemborosan .
Syarat keduabelas: bukan pakaian ahlu bid’ah. Seperti memakai
pakaian hitam ketika mendapat musibah seperti wanita Syi’ah Rofidhoh pada bulan
Muharram.
Berikut ini kutipan dari artkel Abu Fahd Negara Tauhid.
JILBAB MENURUT AJARAN YAHUDI
Kitab Talmud Yahudi menyatakan:
“Apabila seorang wanita melanggar syariat
Talmud, seperti keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung
atau ber-celoteh di jalan umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari
kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh te-tangga-tetangganya,
maka dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa
membayar mahar padanya.” [“Al
Hijab”, Abul A’la Maududi, halaman 6].
Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr.
Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Univer-sitas Yeshiva dalam
bukunya, The Jewish woman in Rabbinic
Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Ya-hudi saat bepergian ke luar
rumah yaitu mengenakan penutup kepala
yang terkadang bahkan harus menu-tup hampir seluruh muka dan hanya
meninggalkan
sebelah mata saja.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan
Kristen, Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), cet. Ke-2, halaman 74].
Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19
hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini wanita-wanita
Yahudi yang shalih tidak pernah memakai penutup ke-pala kecuali bila mereka
mengunjungi sinagog (gereja Yahudi). [S.W.
Schneider, 1984, hal. 238-239].
JILBAB
MENURUT AJARAN NASRANI
Anjuran memakai jilbab / cadar bagi kaum
Nasrani:
…Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk
berjalan-jalan di padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada
unta-unta datang. Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya
Ishak, turun-lah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: “Siapakah laki-laki
itu yang berjalan di padang ke arah kita?” Jawab hamba itu: “Dialah tuanku itu
(Ishak).” Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia.” (Genesis / Kejadian 24: 63-65)
Tetapi
tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak
bertudung, menghinanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur
rambutnya.
|
|
Sebab
jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga
menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa
rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
|
|
Pertimbangkanlah sendiri:
Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?
|
Dalam kaitan ini, Abu
Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa
dalam kanon Gereja Katolik terdapat artikel hukum yang mewajibkan
wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di Gereja. Bahkan sekte-sekte
Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara
kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini. [“Agama Yesus Yang Sebenarnya”,
Abu Ameenah Bilal Philips, (Jakarta
: Pustaka Dai, 2004), h. 179].
Namun wanita kristen yang berada di Barat atau di Eropa, atau juga di
Indonesia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan saat datang ke Gereja pada
setiap hari minggu tidak terlihat jemaat wanitanya mema-kai jilbab atau
kerudung. Berjilbab dalam Kristen ternyata sudah diprak-tekkan oleh Ibu
Yesus kristus atau Bunda Maria, seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda
Maria yang memakai jilbab.
JILBAB MENURUT AJARAN HINDU
Anjuran memakai jilbab / cadar bagi kaum Hindu:
“Rama berkata kepada Shinta, dia
memerintahkan agar menunduk-kan pandangan dan mengenakan kerudung.” [Mahavir Charitra Act 2 Page 71].
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang
sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh
mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakai-an khas yang dipakai
sehari-hari. [http://cdnu.kaskus.us/34/pemwid9a.jpg].
JILBAB / CADAR MENURUT AJARAN BUDDHA
Anjuran
memakai jilbab / cadar bagi kaum Buddha:
Pada masa Sang Buddha beberapa wanita memakai cadar
walaupun lebih sebagai [pelindung] yang sama dengan topi daripada untuk
menutupi wajah. Namun sekitar awal milenium pertama, cadar mulai di- anggap
sebagai hal yang sepantasnya bagi wanita kelas atas dan mereka yang berada dalam
rumah tangga kerajaan untuk menutupi diri
mereka dengan cadar. Ini merupakan awal dari apa yang disebut purdah, pengasingan
para wanita dari khalayak ramai.
Sebuah trend yang menjadi lebih tersebar
luas di India dengan di-perkenalkannya agama Islam pada abad ke-13. Para wanita
desa di India masih menarik kain sari
menutupi wajah mereka di hadapan pria yang tidak ada hubungan dengan
mereka.
Kesimpulan
Kewajiban memakai jilbab bagi kaum wanita
bukan monopoli tradisi Islam. Memakai jilbab juga bagian dari tradisi
keagamaan Yahudi, Nasrani, Hindu dan Buddha.
Dalam tradisi Yahudi, jilbab merupakan simbol ketaatan dan kehor-matan
wanita terhadap suaminya, bentuk ibadah kepada Tuhan, lam-bang kemewahan,
kewibawaan, kebangsawanan, dan kesucian wanita.
Meskipun prakteknya tidak
ideal, kewajiban memakai jilbab dalam tradisi kristen tercermin dalam
ungkapan Santo Paulus yang menyata-kan bahwa wanita yang tidak berjilbab harus
dicukur rambutnya sampai gundul karena dianggap telah menghina suaminya.
Islam menegaskan bahwa kaum wanita diwajibkan untuk
berjilbab dan berpakaian yang sopan dan terhormat, tidak tipis dan ketat yang
bisa menimbulkan rangsangan birahi dan fitnah. Jilbab dalam Islam tidak
mengekang dan membuat wanita menjadi terbelakang, melainkan wanita menjadi
terjaga kesucian dan kehormatannya, terjaga keamanan dan kemuliaannya. Jadi,
wanita muslimah yang berjilbab berarti mem-bumikan syariat Ilahi dalam
kehidupannya sehingga menimbulkan ke-pribadian yang tangguh dan jati diri
wanita yang shalihah.
Jember 2 April 2017
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar