Rabu, 31 Agustus 2011

Buku Penentuan Hari Raya 01




Penentuan Hari Raya

(dan Awal Puasa)


Menurut Dr. Thomas Djamaludin
dan
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy





Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi




I. Pendahuluan:


          Penentuan hari raya Idul Fitri di Indonesia tahun ini sangat berkesan bagi penulis. Karena di TV, koran dan di internet penuh dengan berita pendapat para ahli tentang perbedaan system yang dipakai yaitu Rukyat dan Hisab. Perbedaan system ini berakibat pada berbedanya hari raya tahun ini yaitu Muhammadiyah berhari raya pada tanggal 30 Agustus 2011 sedang Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 2011.
          Kemudian hari Minggu tanggal 29 Agustus 2011 di TV ditayangkan sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama yang mengundang seluruh organisasi Islam termasuk Muhammadiyah dan Badan yang terkait di antaranya adalah dari LAPAN (Lembaga Antarikasa dan Penerbangan Nasional) yang diketuai Dr. Thomas Djamaludin, untuk di mintai pendapatnya tentang penentuan awal bulan Syawal / hari raya tahun 1432 H.
          Yang menarik adalah pendapat dari Dr. Thomas Djamaluddin dan kawan-kawannya yang mengkritik pendirian Muhammadyah yang berpotensi menimbulkan perbedaan.
Untuk mengetahui bagaimana masalahnya penulis kutip pendapat beliau yang ditulis di internet.
          Berikutnya penulis kutip pendapat Tk. Hasbi Ash-Shiddieqy tentang penentuan awal Romadon dan Syawal dari bukunya: “Pedoman Puasa”. Pendapat beliau penulis kutip karena Tk. Hasbi adalah seorang ulama besar yang berfaham Muhammadiyah tetapi kritis terhadapnya.

II. Pendapat T. Djamaludin

A. Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal:
Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

Posted on 27 Agustus 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI


          Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakat untuk mengubah kriterianya.
          Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
          Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan.
          Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
          Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”.   Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya.   Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca makalah berikutnya). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
          Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
          Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid.    Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghurub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
          Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri.   Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
          Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!


B. Hisab dan Rukyat Setara:
Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Posted on 28 Juli 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI


          Diskusi soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seringkali terfokus pada pemaknaan rukyat dan pengambilan dalil dari banyak hadits. Minim sekali pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata caranya seperti dalam hadits. Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran. Tetapi, marilah kita gunakan alat bantu astronomi untuk memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Quran dan di alam. Kita akan mendapatkan isyarat yang jelas dan lengkap tata cara penentuan awal bulan itu di dalam Al-Quran. Memang bukan pada satu rangkaian ayat, tetapi dalam kaidah memahami Al-Quran, satu ayat Al-Quran bisa dijelaskan dengan ayat-ayat lainnya.
          Dengan pemahaman astronomi yang baik, kita bisa menemukan isyarat yang runtut dan jelas soal penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Berikut ini ayat-ayat pokok yang menuntun menemukan isyarat itu yang dipandu pemahaman ayat-ayat kauniyah dengan astronomi:
   
1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.
  
2:185
  
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185).

          Lalu bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.
  
2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.
  إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّہُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَہۡرً۬ا فِى ڪِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ 
          Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).
  
3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.
  
10:5
  
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).

4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.
  
36:39
  
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelepah yang tua. (QS 36:39).

5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahru? Manzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Dzulhijjah.
۞ يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِ‌ۖ قُلۡ هِىَ مَوَٲقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّ‌ۗ 
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS 2:189).

          Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Apakah ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat menjelaskan soal wujudul hilal tersebut. Ada yang berpendapat isyarat wujudul hilal itu ada di dalam QS 36:40.
  
36:40
  
Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:40).

          Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada.
          Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.
          Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.
          Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.


II. Pendapat T. Hashbi Ash-Shiddieqy

A. Sekilas Tentang Teungku Hasby


          TEUNGKU MUHAMMAD HASBY ASH-SHISSIEQY (Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis dan ilmu kalam.
          Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), kholifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari kholifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
          Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) ayahnya: Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhamad Su’ud. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjuingi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arobnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arob. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrosah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1974-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke Aceh beliau langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
          Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Mejelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoros causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 23 maret 1975 dan dari IAIN Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
          Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh 936 judul. Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid ilmu kalam, (5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.


B. Kutipan dari buku "pedoman Puasa"
Bab Pertama
Memulai dan Menyudahi Puasa



1. Cara mengetahui masuknya hilal Romadon

          Wajib berpuasa dengan masuknya bulan Romadon. Mengenai masuknya bulan Romadon itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang tersebut di bawah ini :

a. Melihat hilal Romadon.
          Hal ini berdasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh r.a. bahwasanya Rosululloh Saw. bersabda :
  
          Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (berhari raya) sesudah melihat bulan.” ( An Nail IV:264.)
  
          Makna “berpuasalah kamu setelah melihat bulan”, ialah sesudah sebagian orang melihat bulan bukan diharuskan semua orang melihat bulan.
          Hal yang harus diperhatikan, ialah : bahwa puasa itu bukanlah terus dimulai setelah melihat bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu pada malam kita melihat bulan, dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari akhir pada bulan Romadon, baik kita lihat bulan sebelum matahari terbenam (?, pen.), ataupun sesudahnya. (Al-Fathur Robbani IX:247).
          Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ke-30 bulan Sya’ban, dan pada malam 39 Rojab untuk mengetahui Sya’ban.
          Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :

“Hitunglah hilal Sya’ban untuk Romadon.”
          Maka kita dapat melihat bulan, wajiblah kita berpuasa esoknya. Jika bulan tidak terlihat sedang udaranya terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, maka menurut mazhhab Ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan Hadits Al Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar. Rosululloh bersabda :
          “Sesungguhnya bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah olehmu untuknya. (An Nail IV:262).
          Pendapat-pendapat para Fuqoha bila tidak terlihat bulan pada malam tiga puluh karena mendung.
          Berkata Nafi’ : “Abdulloh Ibn Umar apabila telah berlaku Sya’ban 29 hari, menyuruh orang melihat bulan. Jika terlihat, beliaupun berpuasa, dan jika tidak terlihat sedang udara terang dan bersih, beliau tidak berpuasa; tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, beliau berpuasa esoknya.”
          Arti dari kadarkanlah olehmu untuknya ialah jadikanlah 29 hari atau pandanglah bahwa sudah ada di bawah awan.
          Madzhab ini, adalah madzhab Umar, Ibn Umar, Amr Ibn ‘Ash, Abi Huroiroh, Anas, Mu’awiyah dan ‘Aisyah. Dari Tabi’in yang mengikuti madzhab ini ialah : Mujahid, Thaus, Salim Ibn Abdillah, Maimun Ibn Mihron, Bakir Ibn Abdulloh, Dan dari Mujtahid : Al Muzani dan Usman An Nahdi.
          Berkata Abdir Rohman As Sa’ati : “Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pendapat : maka kadarkanlah untuknya. Menurut pendapat ahli bahasa, maknanya maka takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat ialah : sempurnakanlah 30 hari.  Segolongan ulama berpendapat maknanya : Pandanglah dia, sudah ada di bawah awan. Segolongan yang lain berpendapat pergunakanlah hisab. Jumhur ulama memaknakan maka kadarkanlah untuknya dengan sempurnakanlah ; mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” ditafsirkan oleh perkataan : “maka sempurnakanlah 30 hari”. Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang berbunyi : Taqduru lahu tsalatsina = maka kadarkanlah untuknya 30 hari.
          Oleh karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam berpuasa dengan hisab.
          Berkata Abu Huroiroh, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad pada suatu riwayat : “Tidak wajib kita memulai puasa dan tiada sah dengan dasar demikian. Kita wajib cukupkan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits yang diriwayatkan Al Bukhori dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Saw. bersabda : “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan. Jika mendung tak dapat melihatnya, sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.” (An Nail IV:264).
          Golongan ini mengartikan ungkapan “kadarkanlah olehmu untuknya”, dengan hitunglah awal Sya’ban dan cukupkanlah 30 hari.
          Berkata Al Hasan, Ibn Sirin dan Ahmad dalam suatu riwayatnya “Hendaklah kita mengikuti penguasa.   Jika penguasa menetapkan puasa, kita pun berpuasa. Jika dia tidak kitapun tidak berpuasa.” Mengingat hadits yang diriwayatkan At Turmudzi dari Aisyah bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
          “Puasa di hari kamu berpuasa, hari raya Fithri di hari kamu berhari Fithri dan penyembelihan qurban di hari kamu menyembelihnya.”

Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dengan arti :
“Hari berbuka dan berpuasa mengikuti umum, atau orang ramai.”

Melihat bulan di siang hari.

Dst. ….

b. Mendapat kabar dari orang adil.

Orang yang sendirian saja melihat bulan
Dst……

c. Dengan cukup bulan Sya'ban 30 hari.
          Apabila kita tidak melihat hilal Romadon pada malam ke-30 Sya’ban dan tidak ada yang menyaksikan hilal, wajiblah jika mendasarkan puasa pada saat melihat bulan, menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Tidak ada khilaf tentang wajib mulai puasa, setelah jelas, bahwa bulan Sya’ban telah cukup 30 hari.
          Untuk mengetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan perantaraan rukyah.

d. Dengan hisab para ahli

          Sebagian ahli ilmu Mutakhirin (modern, pen.) berkata : “Boleh juga kita mulai puasa dengan hisab para ahli ilmu hisab.”
          Berkata sebagian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya.”
Mereka berdalil dengan firman Alloh :
  
10:5
  
“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan memanjangkan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari.” (Q.S. Yunus [10]:5).
   
          Dan mereka berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim, Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh Saw.bersabda :
  
“kami ummat yang ummi, tidak menulis dan menghisab.”
          Dan mereka berpegang pula kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
         “Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu malihatnya, jika mendung, “kadarkanlah” olehmu untuknya.”
          Mereka mengartikan : “faqduru lahu” dengan menggunakan hisab awal bulan.
          Sebenarnya lafad-lafad hadits ini tidak membenarkan kita memaknakan “faqduru lahu” sebagai yang dikehendaki oleh ahli hisab yang mempergunakan hadits ini untuk dasar berpuasa dengan hisab dan untuk dasar memilih hisab, buat menetapkan, telah masuk hilal Romadon tanpa menghiraukan rukyah, karena memaknakan “faqduru lahu” dalam arti demikian, menjadikan lafad tersebut bertentangan dengan hadits-hadits lain yang membawa lafad “faatimmu” dan “faakmilu,” sedangkan lafad faatimmu dan faakmilu lebih banyak datangnya dari lafad faqduru lahu, kecuali kita mengatakan, bahwa hadits-hadits yang mengharuskan rukyah atau menyempurnakan Sya’ban 30 hari, hanya berlaku di permulaan Islam. Sekarang berlaku hadits “faqduru lahu” yang diartikan dengan keharusan hisab atau dengan menetapkan bahwa hadits rukyah bil fi’li dan menyempurnakan 30 hari dihadapkan kepada orang awam, sedangkan hadits “faqduru lahu” dihadapkan kepada ummat sekarang ini yang memiliki ahli hisab.
          Maka untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan lafaz kita harus menafsirkan faqduru lahu dengan faatimmu atau faakmilu.”
          Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan Romadon hanyalah 3 saja, atau hanya 1 saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhobarkan orang yang adil, atau Sya’ban cukup 30 hari.
          Menentukan awal Romadon dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyataan rukyah, terang berlawanan dengan lafal-lafal hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.
          Ringkasnya para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal Romadhon pada malam 30 Sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi rukyah.
          Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian Pemerintah mengumumkan hasil rukyah ke seluruh negeri.
          Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yanbg tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang saling terkait.
          Bila tidak berujud rukyah pada malam 30 Sya’ban baik dengan penglihatan mata, atau dengan teropong bintang, maka wajiblah kita menyempurnakan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits :
  
          “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihat bulan. Jika hari tertutup kabut maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.”
          Dimaksudkan “ghumma”, sukar dilihat karena mendung atau awan, atau kabut.



III. Merekam Rukyatul Hilal dengan Teropong dan Webcam

Observatorium Bosscha
Lihat "Live Streaming" Hilal Awal Ramadhan
Yunanto Wiji Utomo | Nasru Alam Aziz | Sabtu, 30 Juli 2011 | 18:51 WI
B


KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Aktivitas astronom di Observatorium Bosscha.


KOMPAS.com — Di sela-sela kegiatan beribadah, bermaaf-maafan atau menyucikan diri, ada cara lain untuk menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini. Masyarakat bisa melihat live streaming hilal yang menandai awal bulan suci Ramadhan di situs http://bosscha.itb.ac.id/hilal atau http://hilal/kominfo.go.id.
          "Mulai pukul 16.00 (Minggu, 31 Juli) waktu masing-masing, baik WIT, Wita dan WIB, masyarakat insya Allah sudah bisa menyaksikan hilal. Untuk menyediakan ini, Bosscha bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata Kepala Observatorium Bosscha, Hakim Malasan.
Hakim menjelaskan, hilal dalam astronomi dikenal sebagai bulan baru (new moon). "Hilal pad awal bulan Ramadhan tahun ini kenampakannya sangat rendah, diperkirakan hanya 4 derajat di atas ufuk," kata Hakim, Sabtu (30/7/2011).
          Hilal akan tampak sebagai bulan sabit yang sangat tipis. Hanya 1 persen hingga 2 persen dari piringan bulan. "Ini karena bulan masih muda sekali. Karena itu juga pengamatannya harus dilakukan dengan teleskop," ujar Hakim.
          Di situs Bosscha, ada 15 live streaming yang bisa dipilih dan dilihat. Live streaming itu berasal dari 15 lokasi pengamatan, di antaranya Loknga (Aceh), Yogyakarta, Pontianak, Pantai Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Stasiun Pengamatan Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di Biak (Papua).
Hakim mengatakan, pengamatan memang tidak dipusatkan di satu lokasi, tetapi disebar. Tujuannya adalah melengkapi hasil pengamatan di satu lokasi dan yang lain sebab pengamatan hilal sulit dan sangat bergantung pada cuaca.
          Observatorium Bosscha tidak akan menjadi lokasi pengamatan hilal. "Tetapi masyarakat bisa datang ke Bosscha untuk melihat live streaming hilal bersama-sama. Ada petugas yang bisa memberi penjelasan pada masyarakat," tutur Hakim.
          Hakim mengungkapkan, lewat live streaming, masyarakat mendapatkan cara murah untuk belajar tentang hilal. Masyarakat bisa mengetahui bahwa hilal tak cuma soal awal puasa dan Lebaran, walaupun memang paling berkaitan dengan ibadah puasa, haji, dan Lebaran.

35 Orang Diterjunkan Untuk Menentukan 1 Syawal

Benny N Joewono | Minggu, 28 Agustus 2011 | 20:47 WIB

NGAMPRAH, KOMPAS.com - Sebanyak 35 orang akan diterjunkan dalam penentuan hari lebaran 2011 atau 1 syawal 1432 Hijirah dengan mengamati hilal pada 16 titik yang telah ditentukan.
Jumlah sebanyak itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),   Observatorium Bosscha, Rukyatul Hilal Indonesia, Lapan, serta sejumlah Perguruan Tinggi.
          "Sedangkan untuk pengamatan hilal akan dilakukan pada 29 dan 30 Agustus 2011 mulai pukul 16.00 WIB," kata peneliti observatorium Bosscha Bandung, Deva Octavian saat dihubungi wartawan, Minggu (28/8/2011).
          "Secara prinsip kerja dalam penentuan hari awal puasa dengan Lebaran atau 1 syawal tidak ada bedanya karena sama-sama mengamati hilal," ujarnya.
Jumlah personel di titik pengamatan hilal untuk penentuan 1 syawal 1432 Hijriah lebih banyak dari pada pengamatan hilal untuk menentukan awal Ramadhan yang hanya melibatkan 30 orang untuk 14 titik saja.
          Disampaikannya, Kemenkominfo memang sengaja memperbanyak jumlah titik pengamatan hilal, hal itu karena lebih mempermudah pengamatan dan menjamin ketepatannya. Karena bisa jadi, pengamatan yang dilakukan di suatu daerah terhalang, tapi di daerah lainnya bisa dilakukan.
          Hanya saja pada tahun ini, instrumen alat yang digunakannya lebih sederhana yakni menggunakan teleskop yang terintegrasi dengan webcam.
          Meski sederhana, akan tetapi kualitas yang didapatkannya tidak menurun sama sekali. Dengan begitu, masyarakat bisa merelay video streaming hilal Ramadhan dan Syawal dari website Kemenkominfo yang diterima dari beberapa titik lokasi pengamatan yang telah ditentukan.
          "Adapun titik titik pengamatan tersebut mulai dari kawasan Biak Papua, Kupang, Makasar, Mataram NTB, Bangkalan, Potianak, Yogyakarta, Lampung, UPI Bandung, Pameunpeuk Sumedang, Pekanbaru Riau, Lhokngah Aceh, Denpasar, Medan, dan Pelabuhaan Ratu Sukabumi," ujarnya.
          Dijelaskannya, hilal merupakan penampakan bulan sabit muda yang terlihat dari permukaan Bumi setelah konjungsi atau ijtimak. Banyak kegiatan penting keislaman mengambil dasar posisi Bulan di langit, seperti tahun baru Hijriah, awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
          "Dengan demikian dipandang penting untuk menyebarluaskan informasi awal bulan baru yang ditandai oleh tampakan hilal," kata Deva.
Sumber : ANT

IV. Kesimpulan / Penutup


1. Menurut Dr. Thomas Djamaluddin : Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.

          Dalam bahasa populernya: Muhammadiyah menganut taqlid buta dan fanatik terhadap hisab wujudul hilal yang termasuk kriteria astronomi / ilmu falak yang sudah usang.


2. Menurut Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy
: Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yang tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang saling terkait.

          Dalam bahasa populernya Muhammadiyah melakukan perbuatan bid'ah dengan memakai metode hisab dalam menentukan awal Romadhon dan Syawal, sedangkan Nabi Muhammad Saw. melakukannya dengan rukyatul hilal.

          Untuk menguatkan kesahihan penyaksian rukyatul hilal, pengamat hilal sebaiknya didampingi oleh tenaga ahli yang menggunakan teropong yang direkam dengan webcam komputer, sehingga hasil rekaman rukyatul hilal itu dapat diuji kebenarannya oleh orang lain.

          Dengan ketiga hal tersebut insya' Alloh tidak akan terjadi lagi perbedaan waktu hari raya dan awal Romadhon.


Jember, 31 Agustus 2011

Kepustakaan.

01. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Pedoman Puasa”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
03. http://answering.wordpress.com/2011/08/23/keputusan-ormas-islam-dan-pemerintah-tentang-hari-raya-idul-fitri-2011-1syawal-1432/

04. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/28/20472635/35.Orang.Diterjunkan.untuk.Menentukan.1.Syawal
05. http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/



Dr. H.M. Nasim Fauzi

Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127



Mengalah Demi Ummat

Sunday, 4 September 2011 

Kritik saya terhadap hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan astronomis) yang dilakukan oleh dua ormas besar Muhammadiyah dan NU sudah lama saya lakukan, sejak tahun 1990-an. Kritik tersebut untuk mendorong penyempurnaan metode dan kriterianya. Kritik saya sampaikan dalam forum seminar, pelatihan, diskusi internal ormas, maupun melalui tulisan di media massa. Alhamdulillah, hal itu bisa saya lakukan karena saya sering diundang sebagai nara oleh NU, Muhammadiyah, dan Persis, tiga ormas Islam yang aktif melakukan hisab rukyat.
Mengapa saya fokuskan perhatian pada dua ormas besar tersebut? Berbeda dengan kelompok-kelompok kecil yang anggotanya hanya puluhan orang, dua ormas besar itu punya anggota dan simpatisan yang sangat banyak (mungkin jutaan orang) yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perbedaan penentuan hari raya oleh dua ormas tersebut berdampak secara nasional. Diakui atau tidak, banyak masyarakat yang tidak nyaman dengan terjadinya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Ibadah yang terkait dengan hari raya bukan lagi ibadah privat, tetapi telah menjadi ibadah publik yang menuntut adanya keseragaman waktu. Pemerintah tidak bisa berlepas tangan terkait dengan penentuan waktu ibadah yang bersifat publik tersebut.
Atas kritik saya dan teman-teman pelaksana kajian astronomi di berbagai kelompok masyarakat, NU dan Persis sudah menunjukkan banyak perubahan, sehingga banyak kritik saya tahun 1990-an dan awal 2000-an kini tak relevan lagi. Tetapi Muhammadiyah sangat rigid, kaku, dan sulit berubah. Muhammadiyah merasa cukup puas dengan metode hisab wujudul hilalnya, tanpa menyadari bahwa wujudul hilal bukan satu-satunya kriteria hisab. Justru wujudul hilal merupakan kriteria usang yang sudah ditinggalkan komunitas astronomi, beralih ke kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal, kemungkinan terlihatnya hilal). Sayangnya, tanpa pemahaman yang benar, banyak warga Muhammadiyah yang menolak imkan rukyat hanya karena anggapan keliru seolah imkan rukyat adalah metode rukyat yang mereka hindari. Imkan rukyat adalah kriteria hisab yang bisa digunakan oleh hisab dan rukyat, karenanya banyak digunakan oleh komunitas astronomi yang menganggap hisab dan rukyat setara.
Berikut ini tulisan saya di media massa yang merupakan kritik pelaksanaan hisab rukyat di NU dan Muhammadiyah serta untuk pencerdasan masyarakat demi penyatuan kalender hijriyyah:
·                     ”Aspek Astronomis dalam Kesatuan Ummat”, Republika 10/12/99
·                     ”MEMAHAMI KETIDAKPASTIAN KALENDER”, PR, 21/2/02
·                     Menyatukan ‘Dua’ Idul Fitri, Republika 4/12/02
·                     Solusi Penyatuan Hari Raya, Republika 20/1/05
·                     Menuju Penyatuan kalender Islam, Republika 14/9/06
·                     Penyatuan Idul Fitri, PR, 21/10/06
·                     Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal, Media Indonesia 10/10/07
·                     Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat

Mengalah Demi Ummat
Dalam beberapa kesempatan Kementerian Agama dan ormas-ormas Islam selalu menyuarakan upaya persatuan ummat. Kalau pun ada perbedaan, upayakan perbedaan itu tidak ditampakkan ke publik jauh-jauh hari agar tidak menimbulkan kebimbangan yang panjang. Terkait dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, di Indonesia ada dua metode utama: rukyat (pengamatan astronomis) dan hisab (perhitungan astronomis). Komunitas astronomi selalu berupaya memberikan kesadaran bersama bahwa hisab dan rukyat bukan dua hal yang berbeda yang harus dipertentangkan.
Kelompok pengamal rukyat (diwakili NU) kadang mengagungkan dalilnya, tetapi kurang mempublikasi hasil awalnya karena selalu menghindar dengan ungkapan, ”kita tunggu saja hasil rukyat”. Mereka sebenarnya sudah punya hasil hisab seperti yang dimiliki kelompok pengamal hisab, tetapi hasil hisabnya digunakan sekadar untuk pemandu rukyat, bukan sepenuhnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Selain untuk pemandu rukyat, hasil hisab mereka gunakan untuk membuat kalender. Kriteria hisabnya dikaitkan dengan kemungkinan rukyat (imkan rukyat).
Kelompok pengamal hisab (diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis – Persatuan Islam – ) kadang mengagungkan dalil dan hasil hisabnya. Mereka bisa mempublikasikan hasil hisab mereka lebih awal sehingga terkesan ”hebat” karena bisa menentukan sebelum rukyat. Persis sebagai ormas kecil tidak terlalu tampak sehingga luput dari perhatian media massa. Sebaiknya, Muhammadiyah sebagai ormas besar selalu menjadi sorotan publik atau sengaja mempublikasikan hasil hisabnya dalam suatu jumpa pers, walau Kementerian Agama selalu mengimbau untuk tidak mengumumkannya.
Walau Muhammadiyah dan Persis sama-sama pengamal hisab, namun ada perbedaan kriteria yang digunakan. Persis menggunakan kriteria imkan rukyat, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Jadilah ormas Islam pelaksana hisab rukyat terpecah menjadi dua: sebagian besar menggunakan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) dan hanya Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal.
Upaya untuk menyatukan sudah sering dilakukan, tetapi Muhammadiyah tetap bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya. Manakah yang lebih baik antara wujudul hilal dan imkan rukyat? Untuk memutuskannya bukan dalil fiqih atau syariah yang dijadikan dasar, karena itu sudah soal pilihan teknis astronomis. Pada kriteria itu sama sekali tidak ada terminologi fiqih, yang ada adalah terminologi astronomi. Jadi, itu domainnya astronom, bukan domainnya fuqaha.
Secara astronomi, wujudul hilal adalah kriteria usang, ketika ahli hisab tidak mampu memformulasikan atau tidak mau direpotkan dengan kriteria rukyat. Sekarang banyak makalah astronomi yang mengkaji visibilitas hilal atau kemungkinan terlihatnya hilal yang dapat dijadikan rujukan. Hasil kajian tersebut kini banyak diformulasikan menjadi kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Tentu saja banyak kriteria imkan rukyat yang ditawarkan. Di internet kita bisa mencari ada beberapa kriteria: kriteria Ilyas, Yallop, Odeh, SAAO, dan lainnya. Di Indonesia ada kriteria MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), LAPAN (versi lama, tahun 2000), RHI, dan usulan baru dari LAPAN berupa Kriteria Hisab Rukyat Indonesia. Saat ini sebagian besar ormas Islam di Indonesia menggunakan kriteria MABIMS yang disepakati pada tahun 1990-an, walau saat ini perlu direvisi.
Demikian mudahkah mengubah kriteria? Ya, sangat mudah. Persis sudah beberapa kali mengubah kriterianya mengikuti perkembangan pemikiran astronomis. Logika sederhananya, karena masalah kriteria hanyalah masalah teknis astronomis, bukan masalah dalil fiqih, semestinya bisa lebih sederhana. Sama halnya dengan pilihan kriteria waktu shalat. Dari sekian banyak pilihan kriteria astronomi waktu shalat, kita sudah bersepakat dengan kriteria yang saat ini digunakan oleh Kementerian Agama, sehingga apa pun ormasnya kini bisa membuat jadwal shalat yang relatif sama. Adzan di masjid sama dengan adzan di TV, radio, atau jadwal shalat terprogram di berbagai perangkat lainnya.
Bisakah kita mempersatukan kriteria awal bulan, sama dengan kriteria jadwal shalat? Semestinya bisa. Dari dua pilihan, kita gunakan saya kriteria imkan rukyat, karena kriteria itu mempersatukan metode hisab dan rukyat yang diamalkan di masyarakat Muslim di Indonesia dan internasional. Kriteria wujudul hilal yang sudah usang kita tinggalkan. Mari kita pilih kriteria imkan rukyat yang baru yang bisa menggantikan kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh banyak ormas Islam, namun ditolak Muhammadiyah.
Kalau Muhammadiyah masih bersikukuh menggunakan kriteria wujudul hilal yang usang tersebut, sudah pasti perbedaan hari raya dan awal Ramadhan di Indonesia masih akan terus terjadi, karena hisab wujudul hilal jelas-jelas menjauhkan diri dari rukyat. Dari segi hisabnya, sudah pasti itu menyimpang dari kriteria yang banyak digunakan oleh ormas-ormas Islam lainnya. Dari segi potensi perbedaan, sangat jelas pasti akan selalu terjadi perbedaan dengan hasil rukyat ketika tinggi bulan sudah positif, tetapi kurang dari kriteria imkan rukyat.
Sebagai organisasi mujadid (pembaharu), sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu asing dengan perubahan. Semoga jiwa besar Muhammadiyah bisa membawa perubahan besar di ummat ini dan mendorong terwujudnya Kalender Hijriyyah tunggal yang mapan dan mempersatukan ummat. Tanpa kita memulainya sekarang, penyatuan kalender hijriyah hanya menjadi wacana teoritik yang belum tentu aplikatif. Saya menghargai kata akhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar pada dialog kedua tim teknis NU-Muhammadiyah 6 Desember 2007 lalu yang mengajak NU-Muhammadiyah ”mengalah demi ummat”. Semoga penyatuan kalender hijriyah dapat segera terwujud, karena itu keinginan ummat. Saya sekadar menyuarakannya dan memformulasikannya.




Wujudul Hilal (WH) yang dikenal sebagai metoda "milik" Muhammadiyah, belakangan ini menjadi sorotan, ketika dengan "berani" menyatakan bahwa 9 Juli 2013 kemarin = 1 Ramadhan untuk wilayah Indonesia, sementara sebagian besar kaum muslimin lainnya yang berada pada wilayah bujur yang sama, bahkan juga kaum muslimin yang berada di wilayah yang lebih barat dari itu,  semuanya menetapkan 1 Ramadhan = 10 Juli, bukan 9 Juli. WH merupakan sebuah metoda bukan ideologi bukan juga agama, sehingga pembahasan WH hendaknya tidak dikaitkan dengan keyakinan kelompok dalam hal ini Muhammadiyah. WH boleh dirombak, disempurnakan, atau diganti tanpa harus mempengaruhi "iman" Muhammadiyah. Berikut ini penjelasan mengenai WH melalui pendekatan yang lebih simpel untuk segera mengetahui titik masalahnya.

WH vs RH  (Wujudul Hilal vs Ru'yatul Hilal)
Salah satu cara sederhana memahami WH adalah dengan menyandingkannya dengan RH. WH yang diyakini sebagai sebuah metoda "baru" yang "pasti",  muncul sebagai "lawan" yang memiliki semangat menggantikan RH yang dianggap sebagai metoda lama yang mengandung ketidakpastian. Kritik WH atas RH disandarkan pada dua paradigma berikut:
1. Peredaran Bumi Matahari dan Bulan merupakan sebuah pola pergerakan yang bisa ditentukan posisinya pada saat tertentu dengan perhitungan. Hilal terbentuk menurut posisi bulan-matahari terhadap pengamat di bumi. Karena posisi bulan-matahari-bumi dapat dihitung dengan pasti maka kita bisa menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal hanya dengan melakukan perhitungan tanpa harus observasi / ru'yat.
2. Pengamatan / ru'yat mengandung ketidakpastian karena dipengaruhi beberapa faktor teknis di lapangan. Sementara perhitungan dapat menentukan secara pasti posisi bulan-matahari-bumi. Hal ini membawa implikasi bahwa sangat mungkin Hilal tidak bisa terlihat ketika ru'yat dilakukan, padahal sebenarnya Hilal sudah Wujud.
WH menyandarkan hujjahnya pada  paradigma di atas, sehingga samasekali tidak diperlukan observasi maupun bukti empiris “terdeteksinya” hilal. Yang diperlukan WH adalah definisi “wujud” nya hilal. Kapan atau kondisi seperti apa yang disebut Hilal sudah Wujud itu? 

Kapan Hilal disebut sudah Wujud?
Minimal ada tiga kondisi yang dipahami sebagai saat Hilal sudah Wujud. Beberapa pengusung WH nampaknya tidak cukup menaruh perhatian untuk menyepakati tiga kondisi yang saling berlainan ini. Kita bisa simak gambar berikut: 
Tiga kondisi di atas harus disepakati salah satunya. Kriteria "moonset after sunset" bukanlah satu kriteria spesifik karena ketiga kondisi dalam gambar di atas semuanya bisa masuk dalam kriteria tersebut. Beberapa orang memilih aman dengan merapatkan opini menuju paradigma Hisab yang tidak memerlukan "terinderanya" hilal. Mereka memilih kondisi ketiga sebagai kriteria Wujud nya Hilal. Mereka mengatakan bahwa yang terpenting adalah Konjungsi sudah terjadi, dan sebarang waktu setelah konjungsi adalah waktu yang menandakan bahwa Hilal sudah Wujud (delta T lebih besar atau = nol). Statement ini sejalan dengan paradigma Ijtimak Qoblal Ghurub (IQG). Akan tetapi benarkah IQG tidak bertentangan dengan WH? Beberapa fakta justru menunjukkan hal sebaliknya.

WH vs IQG (Wujudul Hilal vs Ijtimak Qoblal Ghurub)

Kriteria IQG merupakah patokan paling mudah difahami. Ada beberapa usaha mengakomodir IQG ke dalam paradigma WH, dengan statement, "Jika  Ijtimak (konjungsi bulan-matahari) sudah terjadi maka saat maghribnya sudah pasti Hilal Wujud." Akan tetapi fakta astronomis berbicara lain. IQG tidak selalu berkorelasi dengan Wujud atau tidaknya Hilal.
Secara teori hilal terbentuk jika posisi matahari-bulan dan pengamat tidak lagi berada dalam satu garis lurus sehingga ada bagian bulan yang tersinari matahari, yang sebagian pantulan sinarnya mengarah ke pengamat di bumi. 
Berdasarkan teori ini tidak salah apabila WH menyimpulkan bahwa sesaat setelah konjungsi matahari-bulan-pengamat tidak lagi segaris, oleh karenanya Hilal pasti sudah Wujud. Akan tetapi IQG bukan menyempurnakan WH melainkan justru akan menggantikan WH berdasarkan fenomena berikut:

1. Perbedaan "Posisi Lintang" Matahari dan Bulan
Menurut pengamat di bumi, bulan bisa terlihat lebih utara dari matahari atau sebaliknya, bulan lebih selatan dari matahari. Artinya matahari-bulan-bumi hampir selalu tidak pernah segaris termasuk ketika ijtimak atau konjungsi terjadi. Kondisi benar benar segaris hanya terjadi saat terjadi gerhana matahari total atau cincin. Oleh karenanya secara teori sebenarnya Hilal hampir selalu Wujud baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. Kita bisa lihat ilustrasi berikut:

Ada delapan posisi yang kesemuanya menunjukkan Wujud nya Hilal.  Artinya ketika letak bulan lebih utara atau lebih selatan dari matahari, teropong canggih ala T. Legault -jika berita itu benar- akan selalu bisa menjepret hilal, baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. (ctt: hasil jepretan T. Legault mirip gambar hilal pra konjungsi bagian utara / kanan bawah).
Sementara IQG mengabaikan semuanya itu. Menurut IQG satu satunya batas hanyalah saat konjungsi, tanpa menyertakan batasan wujud atau tidaknya hilal. Artinya tidak mungkin mengakomodir IQG untuk menyempurnakan akurasi WH karena sejatinya IQG terhadap WH tidak bersifat komplementer melainkan saling menggantikan. Ketika IQG digunakan maka WH menjadi tidak relevan.

2. Orbit Elips Bulan Mengelilingi Bumi dan Orbit Elips Bumi Mengelilingi Matahari
Orbit bulan mengelilingi bumi berbentuk elips, artinya adakalanya bulan berada pada jarak terdekat dari bumi, pada saat lain berada pada jarak terjauh. Implikasinya menurut pengamat di bumi piringan bulan terlihat paling besar ketika jaraknya terdekat, dan terlihat paling kecil ketika jaraknya terjauh.
Hal serupa juga terjadi pada matahari karena orbit bumi mengelilingi matahari juga berbentuk elips. Fenomena ini menyebabkan perbandingan besarnya lingkaran bulan dan matahari menurut pengamat di bumi tidak selalu sama. Pada satu saat lingkaran matahari lebih besar pada saat yang lain lebih kecil dibanding lingkaran bulan. Coba perhatikan ilustrasi berikut:

1. Piringan Matahari < Piringan Bulan : Sinar matahari sepenuhnya terhalang sehingga pengamat melihat matahari tertutup bulan (Gerhana Matahari Total)
2. Piringan Matahari = Piringan Bulan : Sama dengan kondisi 1, pengamat tidak melihat piringan matahari (Gerhana Matahari Total)
3. Piringan Matahari > Piringan Bulan : Bagian pinggir piringan matahari terlihat oleh pengamat di bumi (Gerhana Matahari Cincin). Pada kondisi ini sebenarnya ada bagian bulan yang memantulkan sinar matahari ke arah bumi (lihat panah kuning)
Pada kasus ketiga (Gerhana Matahari Cincin) sebenarnya yang sampai pada pengamat di bumi ada 2 sinar yaitu sinar dari piringan luar matahari dan pantulan dari piringan luar bulan. Pantulan dari piringan luar bulan ini sama hakikatnya dengan hilal tetapi berbentuk garis satu lingkaran penuh. Dengan memanipulasi tingkat kecerahan objek, kita bisa menangkap citra hilal baik sebelum konjungsi, saat konjungsi, maupun sesudahnya. Dengan kata lain hilal selalu wujud pada sebarang waktu sebelum konjungsi-saat konjungsi dan setelahnya.
Satu satunya posisi bulan-matahari yang ideal untuk menjelaskan bahwa Hilal bisa Wujud sesaat setelah konjungsi adalah ketika terjadi gerhana matahari total. Itupun kalau lingkaran bulan tepat sama besar dengan piringan matahari. (Lihat gambar atas bagian tengah)

    Jika piringan bulan dan matahari tidak sama besar maka hanya ada dua kemungkinan berikut:

1. Foto kiri (Gerhana Matahari Total): Pada kasus "piringan matahari = piringan bulan", garis luar matahari dan bulan berimpit saat konjungsi, sehingga sebarang waktu setelah konjungsi pasti hilal sudah wujud. Tetapi untuk kasus "piringan matahari piringan bawah bulan lebih rendah dari piringan bawah matahari sehingga hilal tidak serta merta wujud meskipun saat konjungsi telah lewat.
2. Foto kanan (Gerhana Matahari Cincin) : Karena "piringan matahari > piringan bulan" maka akan selalu ada bagian bulan yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Hilal terbentuk sebagai garis tipis terang di sepanjang pinggir lingkaran bulan. Pada foto kanan, letaknya ada di pinggiran lingkaran hitam bulan. Dalam foto tidak nampak karena sinar matahari (orange) jauh lebih terang.
Beberapa fenomena ini memberikan dua pilihan sulit bagi penganut WH, mengambil IQG sebagai acuan atau mengembalikan pengertian "wujud" mendekati pengertian "ru'yat". Artinya yang dimaksud hilal sudah wujud adalah telah wujud dalam receptor pengamat.
Para pengusung WH tampaknya lebih nyaman memilih langkah pertama yaitu mengakomodir IQG meskipun konsekuensinya konsep WH menjadi tidak bermakna. Apakah selesai sampai di sini? Ternyata tidak, karena IQG tidak kontekstual terhadap bahasan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. IQG mengabaikan "hilal", sementara dalam masalah 1 Ramadhan dan 1 Syawal justru "hilal" inilah yang menjadi subyek bahasan utama.
Pembahasan IQG versus Ru'yatul Hilal disajikan dalam artikel tersendiri, insyaallah. Jika ada yang salah tentu disebabkan kebodohan saya, dan tentu saja jangan diikuti. Sekiranya ada yang benar sesungguhnya kebenaran datang hanya dari sisi Allah. Dan sebaik baik orang adalah yang bersegera menanggalkan yang salah dan menggantikannya dengan kebenaran.

(by Adil Muhammadisa)