Senin, 29 November 2010

Dapatkah doa merubah takdir ?


Bila Takdir Itu Bersifat Kekal
Dapatkah Doa Merubah Takdir ?



Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi


A. Latar Belakang Masalah
     
     Pendahuluan
Takdir atau percaya kepada takdir adalah termasuk salah satu dari rukun Iman yang enam. Tidak percaya kepada takdir menjadikan seseorang menjadi kafir (tidak beriman).  
Hadits 01. Dari sohabat Jabir bin ‘Abdulloh r.a ia mengatakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda : “Tidaklah beriman seseorang sehingga ia beriman kepada takdir baik dan buruk, dan meyakini bahwa yang telah ditakdirkan menimpanya dia tidak akan meleset darinya; dan yang ditakdirkan tidak menimpanya, tentu tidak akan menimpanya”. (Shohih Sunan at-Tirmidzi).
Hadits 02. Umar mengisahkan, suatu hari tatkala ia dan para sahabat duduk bersama Rosululloh saw. tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mengenakan pakaian sangat putih, rambutnya hitam legam dan tidak ada bekas melakukan perjalanan. Lalu lelaki itu duduk tepat di hadapan Nabi saw. Ia rapatkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau dan kedua tangannya bertumpu di atas lututnya.
“Ya Muhammad,” ucap lelaki itu. “Beritahukan kepadaku tentang agama Islam.” Muhammad Rosululloh saw. bersabda: “(A.) Islam itu adalah
(i.) kesaksiannya bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosul-Nya. Lalu
(ii.) engkau tegakkan sholat,
(iii.) engkau bayar zakat,
(iv.) engkau puasa pada bulan Romadhon, dan
(v.) engkau haji ke Baitulloh jika kamu mampu." "Benarkah engkau," komentar lelaki itu.
Para sahabat tampak heran, lelaki itu yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.
"Beritahukan kepadaku tentang Iman," pinta lelaki itu lagi. Muhammad Rosululloh saw. bersabda: "(B.) Iman itu adalah
(i.) engkau beriman kepada Alloh,
(ii.) para malaikat-Nya,
(iii.) kitab-kitab-Nya,
(iv.) para Rosul-Nya, dan
(v.) hari kiamat.
(vi.) Engkau juga beriman kepada qodar yang baik dan yang buruknya." "Benarlah engkau," komentar lelaki itu lagi.
"Beritahukan kepadaku tentang Ikhsan." Muhammad Rosululloh saw. bersabda: Engkau sembah Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya. Sebab sekalipun engkau tidak dapat melihat-Nya, Dia pasti melihatmu."
"Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat." "Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya," jawab Rosulullloh saw. "Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya." Muhammad Rosululloh saw. bersabda: "Tanda-tandanya hamba wanita melahirkan majikannya. Lalu orang-orang miskin dan pengembala kambing berlomba-lomba dalam pembangunan gedung."
Setelah lelaki itu pergi, Rosululloh saw. bertanya, "Hai Umar, tahukan engkau siapa lelaki yang bertanya tadi?" "Hanya Alloh dan Rosul-Nya yang paling mengetahui." Muhammad Rosululloh saw. bersabda: "Sesungguhnya dia itu Jibril. Dia hendak mengajarkan agama kalian." (H.R. Muslim).
Pada makalah penulis berjudul “Wanita di Sorga dan Neraka” penulis menguraikan takdir sebagai perencanaan (penulisan di Luh Mahfuzh) dan penciptaan Alam semesta, Surga dan Neraka oleh Alloh s.w.t. Tinta yang digunakan untuk menulis takdir di Luh Mahfuzh tadi sudah habis sehingga pena telah kering. Maka takdir tidak bisa dirubah lagi.
Hadits 03 : Rosululloh s.a.w. bersabda, “Pena telah kering dengan yang sudah tetap sampai Hari Kiamat”. (H.R. Thobroni dan Ahmad).
Ada pembaca yang menanyakan tentang bagaimana peranan do’a yang dikatakan bisa merubah takdir. Makalah ini adalah sebagai jawaban pertanyaan itu.

B. Permasalahan

Permasalahan tentang takdir yang ada di dalam pemikiran para sarjana Islam adalah sebagai berikut :
I. Apa definisi dan makna takdir itu.
II. Bagaimana pandangan golongan-golongan dalam Islam tentang takdir itu.
III. Bagaimana tahap-tahap dan mekanisme takdir itu.
IV. Bagaimana kepercayaan tentang takdir dalam agama selain Islam
V. Apakah do’a bisa merubah takdir

C. Pemecahan Masalah

I     I. Definisi Takdir
Pada hadits 01 dan 02 di atas yang dimaksud beriman kepada takdir adalah beriman kepada qodar yang baik dan buruknya.
Definisi qodar.
Menurut Umar Hasyim dalam bukunya “Memahami Seluk beluk Takdir”, qodar adalah pembatasan Alloh pada sesuatu perkara pada zaman ‘azali (sebelum terjadi sesuatu) menurut pengetahuan dan kehendak-Nya.
Atau dengan arti lain: Suatu rencana yang telah ditentukan oleh Alloh pada zaman’azali dan segala sesuatu akan terjadi menurut ukuran dan kehendak-Nya.
Imam Nawawi rohimahulloh mendefinisikan takdir sebagai berikut: “Sesungguhnya segala sesuatu yang maujud ini oleh Alloh Ta’ala sudah digariskan sejak zaman kidam dahulu. Dia s.w.t. Maha Mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut sifat-sifat dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh Alloh s.w.t.
“Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari dalam buku “Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” menyebutkan tentang takdir sebagai : Segala sesuatu yang baik ataupun buruk, terjadi dengan takdir dan ketentuan Alloh. Alloh Mahaberbuat yang Dia kehendaki. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya dan tidak akan keluar dari kehendak dan kekuasaan-Nya. Dia mengetahui segala suatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi sebelum hal tersebut terjadi dalam (ilmu-Nya) yang azali. Dia mentakdirkan segala ketentuan untuk alam semesta ini sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya. Alloh mengetahui keadaan manusia, rizki, ajal, amal perbuatan dan segala perkara mereka. Maka segala yang terjadi adalah di bawah pengetahuan, kekuasaan dan kehendak Alloh.
Penulis setuju dengan definisi-definisi takdir yang diutarakan oleh Umar Hasyim, Imam Nawawi dan “Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari di atas.
Sedang definisi-definisi takdir menurut Drs. K.H. Nasrudin Razak dan Sayid Sabiq di bawah lebih cocok dikenakan bagi definisi qodho.
Menurut Drs. K.H. Nasrudin Razak dalam buku “Dienul Islam”, qodar adalah suatu peraturan umum yang telah diciptakan Alloh untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat hubungan sebab akibat. Telah menjadi undang-undang alam (sunnatulloh) yang abadi dimana manusia juga terikat pada sunnatulloh itu.
Menurut Sayid Sabiq dalam bukunya “Aqidah Islam”, kodar atau takdir ialah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Alloh s.w.t. untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan di dalamnya antara sebab dengan musababnya, juga antara sebab dan akibatnya.

II. Beberapa pandangan dalam Islam tentang takdir
  
Uraian Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya “Sistematika Filsafat” adalah sebagai berikut:
Determinisma teologi (I.) beranggapan Tuhanlah yang menciptakan segala-galanya, tiap gerak dan kejadian, tiap laku perbuatan manusia, yang baik dan buruknya.
Indeterminisme teologik (II.) mengingkari bahwa manusia didiktekan Tuhan dalam laku perbuatan. Manusia memiliki kemauan bebas . Ia pencipta laku perbuatannya. Karena itu ia sendirilah yang menentukan tindakannya, yang baik dan buruknya.
Yang pertama (I.) mempercayai kodrat dan kodar mutlak Tuhan.
Yang kedua (II.) : kodrat atau kodar mutlak manusia.
Yang pertama (I.) dianut oleh paham Jabariah, yang kedua (II.) oleh paham Qodariyah yang didirikan oleh Al-Juhaeny Al-Bishry (wafat 699 M.). Yang terakhir (II.) merupakan bagian filsafat dari kaum Mu’tazilah yang dibangunkan oleh Washil ibn ‘Athon.
Masing-masing paham itu adalah ekstrim. Paham ketiga, penengah antara kedua paham yang bertentangan, dianut oleh mayoritas pemikir Islam, yang disebut ahlussunnah wal jama’ah. Kebenaran, kata paham ketiga, terletak antara kedua paham yang ekstrim itu. Manusia bukan mahluk yang mutlak ditentukan, juga bukan yang mutlak bebas dalam laku perbuatannya. Tetapi dari pemikir-pemikir itu banyak yang selanjutnya mengarah kepada determinisma (I.) dengan dalilnya : manusia itu hanya lahiriyah saja yang bebas, tetapi batiniyah ia ditentukan.
Seorang ulama Sy’ah bernama Syaikh Ja’far Subhani dalam bukunya “Menyiasati Takdir” menyatakan bahwa bila Allah telah membuat Lauh Mahfudz (yang merupakan makhluknya), kemudian mendasarkan semua pekerjaan-Nya sesuai dengan yang tertulis didalamnya, maka kekuasaan Alloh s.w.t berada dibawah kekuasaan Lauh Mahfudz. Hal itu tidak mungkin terjadi.

III. Tahap-tahap dan Mekanisme Takdir
  
“Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari mengatakan bahwa beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat hal, yang dinamakan “Marotibul Qodar” (tingkatan takdir) atau disebut juga rukun takdir.
  
Tingkatan Pertama : Al-Ilmu
Yaitu beriman bahwa Allah Ta’ala Mahamengetahui segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan belum terjadi, serta seandainya terjadi Dia Mahamengetahui bagaimana akan terjadi , secara global dan rinci. Dia mengetahui yang dilakukan makhluknya sebelum diciptakan; Dia mengetahui rizki, ajal, amal perbuatan, gerak gerik mereka dan mengetahui siapa saja yang bahagia dan sengsara. Hal tersenut berdasarkan ilmu-Nya yang qodim (dahulu), yang menjadi sifat-Nya sejak zaman azali. Alloh Ta’ala berfirman:
  
 إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ
“... Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah:115).
  
Tingkatan Kedua : Al-Kitabah (Pencatatan).
Yaitu mengimani bahwa Alloh telah mencatat segala apa yang telah diketahui sebelumnya dari semua takdir makhluk-Nya dalam Lauhul Makhfuzh, yaitu kitab yang tidak ada suatu apapun luput darinya. Maka segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. Dan sampai hari Kiamat telah tertulis di sisi Alloh Ta’ala dalam Ummul Kitab (kitab induk yang dinamakan adz-Dzikr, al-Imaam dan al-Kitaabul Mubiin. Alloh Ta’ala berfirman:
   
 وَكُلَّ شَىۡءٍ أَحۡصَيۡنَـٰهُ فِىٓ إِمَامٍ۬ مُّبِينٍ۬
“... Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhul Mahfudz).” (Q.S. Yaasin [36]:12).
  
Hadits 04: Dari sohabat ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi s.a.w.bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Alloh adalah al-Qolam (pena). Lalu Alloh berfirman: ‘Tulislah!’ Pena tersebut bertanya, ‘Apa yang harus saya tulis’. Alloh menjawab: “Tulislah takdir (semua makhluk) apa yang telah terjadi dan akan terjadi sampai akhir zaman!”. (Shohih Sunan at-Tirmidzi).
  
Tingkatan Ketiga : Al-Irodah wal Masyi’ah (Keinginan dan Kehendak).
Yaitu segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan keinginan dan kehendak Alloh, dan berporos pada rohmat dan hikmah-Nya. Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki karena rohmat-Nya dan menyesatkan orang yang dikehendaki karena hikmah-Nya. Dia tidak ditanya tentang yang dilakukan-Nya, karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, akan tetapi para hamba-Nya akan diminta pertanggung-jawaban. Apa yang telah terjadi dari hal tersebut , maka sesungguhnya semua itu sesuai dengan ilmu-Nya yang azali (dahulu), yang telah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Dengan demikian, kehendak Alloh itu pasti terjadi, kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedang yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, maka tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya. Alloh Ta’ala berfirman :
  وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Robb semesta alam.” (Q.S. At-Takwir [81] : 29).
  
Hadits 05. Dari sohabat ‘Abdulloh bin Amr bin al-‘Ash bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya semua hati anak keturunan Adam pada dua jari di antara jari-jemari Ar-Rohman, bagaikan satu hati. Dia merubahnya (membolak-balikkan ke mana saja) menurut kehendak-Nya.” (H.R. Muslim).
  
Tingkatan Keempat : Al-Kholq (Penciptaan).
Maksudnya beriman bahwa sesungguhnya Alloh Pencipta segala sesuatu. Tiada Pencipta dan tiada Robb selain Dia. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dia-lah yang menciptakan makhluk yang berbuat sekaligus perbuatannya, serta semua yang bergerak sekaligus gerakannya. Alloh Ta’ala berfirman:
  
 وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا
“ ... Dan Dia telah Menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran(qodar)nya dengan serapi-rapinya.” (Q.S. Al-Furqon [25]:2).
Segala yang terjadi, berupa perbuatan baik atau jelek, iman atau kufur dan ta’at atau maksiat telah dikehendaki , ditentukan dan diciptakan oleh Alloh. Alloh Ta’ala berfirman:
  
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ‌ۚ 
Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Alloh ... (Q.S. Yunus [10] :100).
Sesungguhnya Alloh menyukai ketaatan dan membenci kemaksiatan; memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki dengan karunia-Nya dan menyesatkan orang-orang yang dikehendaki karena keadilan-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:
  
 39:7 
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Alloh tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridoi kekafiran bagi hamba-Nya. Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhoi bagimu kesyukuranmu itu. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” (Q.S. Az-Zumar [39] : 7).
Tidak ada hujjah dan alasan bagi yang telah disesatkan Alloh, karena Alloh telah mengutus para Rosul-Nya untuk mematahkan alasan (agar manusia tidak tidak dapat membantah Alloh). Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Alloh Ta’ala berfirman:
  
 40:17 
  
Pada hari ini tiap orang diberi balasan sesuai dengan yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini . Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.(Q.S. Al-Mu’min [40] : 17).
  
76:3 
   
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Q.S. Al-Insan [76] : 3).
  
  4:165
  
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’ [4] : 165).
  
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ
“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...” (Q.S. Al-Baqoroh [2]:286).
Namun, keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada Alloh karena kesempurnaan rohmat-Nya. Karena Dia telah memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan. Tetapi keburukan itu terjadi dalam hal-hal yang telah menjadi ketentuan-Nya dan sesuai dengan kebijaksanaan-Nya.
 4:79
   
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Alloh, apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri .Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.(Q.S. An-Nisa’ [4] : 79).
Alloh Ta’ala Mahasuci dari kezholiman dan bersifat Mahaadil, maka Alloh tidak akan pernah sekali-kali menzholimi seseorangpun dari hamba-Nya walau hanya sebesar biji sawi. Semua perbuatan-Nya adalah keadilan dan rohmat. Alloh Ta’ala berfirman:
  
  50:29
  
“.Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (Q.S. Qoof [50] : 29)
  
وَلَا يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدً۬ا
“... Dan Robbmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Q.S. Al-Kahfi [18] : 49)
  .
 وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلاً 
Sesungguhnya Alloh tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarroh ...”. (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 49).
Alloh Ta’ala tidak ditanya tentang apa yang diperbuat dan dikehendaki-Nya, berdasarkan firman-Nya:
21:23
  
Dia tidak ditanya tentang yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (Q.S. Al-Anbiya’ [21] : 23).
Maka Allah Ta’ala-lah yang menciptakan manusia dan perbuatannya. Dia memberikan kepadanya kemauan, kemampuan, ikhtiar dan kehendak yang telah Alloh berikan kepadanya agar segala perbuatannya itu benar-benar berasal darinya. Kemudian Alloh menjadikan bagi manusia akal untuk membedakan antara baik dan buruk. Alloh tidak menhisabnya melainkan atas amal yang ia perbuat dengan kehendak dan ikhtiarnya sendiri. Maka manusia tidak dipaksa, tetapi dia mempunyai ikhtiar dan kehendak, maka dia bebas memilih dalam segala perbuatan dan keyakinannya. Hanya saja kehendak manusia itu mengikuti kehendak Alloh. Dan segala yang Alloh kehendaki-Nya pasti akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi. Jadi Alloh sebagai Pencipta segala perbuatan hamba-Nya, dan mereka yang melakukan perbuatan itu. Intinya perbuatan itu diciptakan, diadakan dan ditakdirkan oleh Alloh, namun diperbuat dan dilakukan oleh manusia. Alloh Ta’ala berfirman:
  
81:28
81:29

(Al-Qur-an sebagai peringatan) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Robb semesta alam.” (Q.S. At-Takwir [81] : 28-29).

Alloh telah membantah orang-orang musyrikin ketika mereka berhujjah dengan takdir. Mereka berkata:
6:148
  
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun". Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. ”.
Maka Alloh membantah kebohongan mereka dalam firman-Nya:
  
Katakanlah (hai Muhammad): ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakan kepada kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Q.S. Al-An’am [6] : 148).
  
Tahap-tahap takdir menurut Al-Hakami
Menurut Syekh al-Hakami dalam buku “Benarkah Aqidah Ahlussunnah Wal jama’ah” taqdir manusia ada lima, dimana menurut Ibnul Qoyyim kelima macam taqdir ini isinya persis sama (seperti kita mengkopi data komputer secara digital), yaitu :
a. Taqdir azali yang ditulis dengan al-qolam,
b. Taqdir umuri (seumur hidup), yaitu tatkala makhluk yang keluar dari sulbi Adam diambil sumpahnya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”,
c. Taqdir umuri sewaktu Alloh menciptakan nuthfah di dalam rohim ibunya dan
d. Taqdir houli sewaktu malam Qodar, dan terakhir
e. Taqdir harian : “Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, demikian juga catatan Malaikat Rokib dan Atid perihal amal baik dan buruk manusia.

a. Taqdir azali yang ditulis dengan al-qolam
  
18:109
  
Katakanlah : “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dtulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Q.S. Al-Kahfi / 18:109).
  
  57:22
  
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya ...” (Al-Hadid / 57: 22).
Hadis 06 : Sesungguhnya yang pertama Alloh ciptakan adalah al qolam (pena), lalu Dia berkata kepadanya, “Tulislah!’ “Ya Robb, apa yang harus aku tulis? Alloh menjawab, ‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu hingga hari kiamat.” “Hai Abu Huroiroh, qolam telah kering ....” (HR. Bukhori).
Hadis 07 : Rosululloh s.a.w. bersabda : Alloh Ta’ala telah menetapkan segala ketetapan (takdir) bagi seluruh mahluk, lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi; dan (ketika itu) ‘Arasy Alloh Ta’ala berada di atas air.” (HR. Muslim).
Hadis 08 : Dari Ibnu Umar r.a. dikatakan : “Rosululloh s.a.w. keluar menemui kami sedang di kedua tangannya ada dua kitab. Lalu beliau bertanya, ‘Tahukah kalian tentang dua kitab ini? Kami serempak menjawab, ‘Tidak wahai Rosululloh, kecuali jika Tuan memberitahukannya kepada kami.’ Lalu beliau berkata, ‘Kitab yang ada di tangan kananku ini adalah kitab dari Robb semesta alam yang di dalamnya terdapat nama ahli surga, nama-nama bapak mereka, dan suku-suku mereka, kemudian dihimpunlah satu sama lainnya dan tidak ditambah atau dikurangi selama-lamanya.” Lalu beliau bersabda, ‘Kitab yang ada di tangan kiriku ini adalah kitab catatan Robb semesta alam yang di dalamnya terdapat nama-nama ahli neraka, nama bapak mereka, dan nama-nama suku mereka, kemudian satu sama lain disatukan (di dalam kitab ini) dengan tidak bertambah atau pun berkurang jumlahnya selama-lamanya.’ Lalu para sohabat berkata, ‘Jika semuanya telah beres (ditetapkan keputusannya) untuk apa kita beramal (di dunia ini)?’ Nabi s.a.w. bersabda, “Tingkatkan amalmu dengan baik dan lebih dekatlah dengan kebaikan sebab penghuni surga itu mengakhiri hidupnya dengan amal ahli surga sekalipun beramal apapun. Dan ahli neraka mengakhiri hidupnya dengan amal ahli neraka sekalipun beramal apapun.’ Kemudian, beliau mencampakkan kedua kitab tadi dan bersabda, ‘Robb kamu telah menyudahi dari hamba-hamba ini, sebagian ada di surga dan sebagian ada di neraka.” (Menurut Turmudzi, Hadits ini hasan, shohih, dan ghorib).

b. Taqdir umuri (seumur hidup), yaitu tatkala makhluq yang keluar dari sulbi Adam diambil sumpahnya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”,
  
7:172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?". Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A'raf / 7:172).
Hadis 09 : Umar bin Khottob ditanya seseorang tentang surat Al A’rof ayat 172 (di atas). Dia menjawab : “Saya telah mendengar Rosululloh s.a.w. bersabda: ‘Sesungguhnya Alloh menjadikan Adam a.s. kemudian mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya dan mengeluarkan daripadanya keturunan. Lalu Alloh berfirman ; ‘Ini untuk surga dan akan mengamalkan amal ahli surga.’ Kemudian mengusap kembali punggung Adam dan mengeluarkan keturunan lalu dikatakan ini bagian neraka dan dengan amal neraka mereka beramal.’ Lalu ada orang bertanya, ‘Ya Rosululloh, jika demikian adanya, untuk apakah amalan itu? Jawab beliau, ‘Jika Alloh menjadikan seorang hamba untuk (masuk) surga, maka digunakan untuk mengerjakan amal ahli surga sehingga mati mengerjakan amal ahli surga dan masuk surga. Dan jika menjadikan seorang hamba untuk (masuk) neraka digunakan untuk mengerjakan amal ahli neraka sehingga mati mengerjakan amal ahli neraka, maka masuklah ia ke dalam neraka.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Turmudzi).

c. Taqdir umuri sewaktu Alloh menciptakan nuthfah di dalam rohim ibunya.
Hadits 10 : Umar bin Zubair memberitahukan hadits dari Aisyah r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda : “Sesungguhnya ketika Alloh hendak menciptakan seorang makhluk, Dia mengutus satu malaikat, lalu ia memasuki rohim seraya berkata
(i.): ‘Ya Tuhanku untuk apa?’ Maka Alloh bertutur, ‘Laki-laki atau perempuan atau terserah Aku menciptakan di dalam rohim tersebut.’
(ii.) Lalu berkata, ‘Ya Tuhanku apakah akan sengsara atau bahagia?’ Alloh berkata, ‘Sengsara atau bahagia.’
(iii.) Malaikat bertanya lagi, ‘Bagaimana ajalnya?’ Dia menjawab, “Begini dan begitu.’
(iv.) Malaikat bertanya lagi, ‘Bagaimana bentuk dan akhlaknya?’ Dia menjawab, ‘Begini dan begitu, ‘Tidak ada sesuatu pun melainkan Dia menciptakannya di dalam rohim.” (HR. Al-Bazzar dengan tingkat dapat dipercaya).

d. Taqdir houli sewaktu malam Qodar
  















حمٓ (١) وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلۡمُبِينِ (٢) إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ (٣) فِيہَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ (٤) أَمۡرً۬ا مِّنۡ عِندِنَآ‌ۚ إِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ (٥)
Haa miim
Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan,
sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah [1370], (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, (QS. Ad-Dukhon /44: 1-5).
[1370] yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya.

e. Taqdir harian Setiap waktu Dia dalam kesibukan” dan hasil perbuatan manusia yang dicatat / ditulis oleh Rokib dan Atid.
  
55:29
  
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. setiap waktu Dia dalam kesibukan [1445]. (QS. Ar-Rohman /55:29)
[1445] Maksudnya: Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezki dan lain lain.
Alloh menciptakan Malaikat Pencatat Yang Mulia (Kirooman Kaaatibiin) dan menugaskan mereka menjaga dan mencatat perbuatan, ucapan dan niat kita. Setiap orang diikuti oleh dua malaikat : sisi kanan mencatat kebaikan sedangkan sisi kiri mencatat kejelekan. Dan dua malaikat yang lain menjaga dan membentengi kita, yang satu berada di belakang dan yang lain berada di depan.
Menurut Ibnul Qoyyim amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba Alloh kemudian ditulis oleh kedua malaikat tadi isinya persis sama dengan taqdir yang telah direncanakan Alloh s.w.t. sebelumnya.
وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَـٰفِظِينَ كِرَامً۬ا كَـٰتِبِينَيَعۡلَمُونَ مَا تَفۡعَلُونَ 
Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (Malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Infithor /82:10-12).
  
13:11
  
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [768] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. Ar-Ra’d /13:11)
[767] bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

IV. Kepercayaan tentang takdir dalam agama selain Islam
Di dalam Ensiklopedia Indonesia tertulis sebagai berikut:
Gereja Katolik Roma: Predestination (Ing. Takdir; ditentukan sebelumnya). Dalam teologi Kristen: Doktrin yang menyatakan kepercayaan bahwa takdir abadi umat manusia ditentukan Tuhan. Kepercayaan terhadap takdir ini didasarkan pada kata-kata Paulus (Rom. 8:28-30), Santo Agustinus (354-430) dan Santo Thomas Aquinas (354-430), dan Santo Thomas Aquinas telah mengembangkan doktrin ini. John Calvin kemudian menegaskannya. Kepercayaan terhadap bentuk takdir tertentu juga dikenal dalam agama-agama kuno di Yunani, Cina, India dan Mesir.

VI. Apakah do’a bisa merubah takdir?
Menurut Abu Ezza dalam bukunya “Sudah Benarkah Doa Anda?”
a. Makna doa:
Doa menurut bahasa artinya menyeru dan meminta sesuatu. Seorang hamba yang berdoa kepada Tuhan artinya ia sedang menyeru-Nya dengan beribadah dan meminta serta berharap sesuatu dari-Nya.
Menurut Al-Qur-an, doa mengandung dua makna.
Pertama, bermakna ibadah. Berdoa artinya beribadah kepada Alloh. Hal tersebut sesuai dengan firman Alloh s.w.t.:
  
40:14
  
“Maka sembahlah (fad’uu) Alloh dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (Q.S. Ghofir [40] :14).
  
40:60
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan yang hina.” (Q.S. Ghofir [40]:60).
Hadits 11 : Sabda Rosululloh s.a.w.: “Doa adalah ibadah.” (H.R. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Bukhori, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Baihaqi).
Kedua, bermakna memohon dan meminta hajat kepada Alloh. Orang yang meminta adalah orang yang menginginkan tercapainya manfaat atau menolak bahaya dengan cara atau ungkapan seorang yang meminta dan mencari. Misalnya, doa Nabi Zakariya a.s.:
  
3:38
  
“Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya, seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”’ (Q.S. Ali ‘Imron [3]:38).
Alloh telah menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dan tidak selain-Nya. Firman-Nya:
  
1:5
“Hanya kepada  kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah [1]:5).
Alloh akan murka jika manusia tidak mau berdoa dan berpaling dari-Nya. Sabda Nabi s.a.w. menjelaskan:
Hadits 12 : “Barangsiapa tidak mau berdoa kepada Alloh, maka Alloh akan murka kepadanya.´ (H.R. Tirmidzi).

b. Do’a Bisa Merubah Qodho
Bahwa doa bisa merubah qodho terdapat pada hadits-hadits Nabi Muhammad s.a.w. sebagai berikut:
Hadits 13 : Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah menolak qodho kecuali doa, dan tidaklah menambah umur kecuali kebaikan.” (H.R. Tirmidzi, Rauyani, dan Thobroni).
Hadits 14 : Nabi s.a.w. bersabda: “Doa itu mampu menolak qodho.” (H.R. Al-Hakim).
Hadits 15 : Nabi s.a.w. bersabda: “Berbuat baik kepada kedua orang tua itu menambah umur. Kebohongan itu mengurangi umur, sedangkan doa itu mampu menolak qodho. Dan Alloh punya dua qodho untuk makhluknya, yakni qodho yang baru (telah diubah, pen.) dan qodho yang berlaku (tidak berubah, pen.).” (H.R. Ibnu ‘Ady, Ibnu Shorsory dalam Kitab Amalinya, Ibnu Najjar dan Daelami).
Sedangkan ayat Al-Qur-an yang sebagian ulama menafsirkan sebagai perubahan qodho adalah pada ayat berikut :
  
لِكُلِّ أَجَلٍ۬ ڪِتَابٌ۬يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُ‌ۖ وَعِندَهُ ۥۤ أُمُّ ٱلۡڪِتَـٰبِ 
Alloh s.w.t. berfirman: “Bagi tiap-tiap masa ada kitab. Alloh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Ar-Ra’d [13] 38-39).
Dengan disebutkan-Nya di dalam ayat itu Lauh Mahfudz yang tidak dapat diubah, tentunya yang diubah bukanlah Lauh Mahfudz (qodar) tetapi qodho.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dalam bukunya “Qadha dan Qadar, Ulasan Tuntas Masalah Takdir” menyebutkan bahwa percaya kepada takdir berarti percaya kepada qodho dan qodar.

c. Perbedaan qodho dengan qodar
Menurut Drs. K.H. Nasrudin Razak dalam bukunya “Dienul Islam”, di dalam Al-Qur-an qodho mempunyai beberapa arti yaitu:
11. Hukum.
Sebab itu hakim dalam Islam bernama qodhi. Artinya dipakai dalam Q.S An-Nisa’ [4] :65.
   
4:65
  
Demi Tuhanmu (Muhammad) bahwa mereka tidak dianggap beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam dirinya sesuatu keberatan terhadap sesuatu hukum (qodho yaitu keputusan atau ketentuan Alloh, pen.) yang engkau berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
2 2. Perintah.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Al-Isro [17] :23.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Tuhanmu memerintahkan (memutuskan atau menentukan, pen.), janganlah kamu menyembah kecuali kepada-Nya saja.dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
3 3. Memberitakan.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Al-Isro [17] :4.
   
17:4
  
Dan Kami telah memberitakan (memutuskan atau menentukan, pen.) kepada Bani Isroil dalam Al-Kitab: ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali’”.
4 4. Menghendaki.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Ali Imron [3] :47.
 إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
 “Apabila Alloh menghendaki (memutuskan atau menentukan, pen.) sesuatu urusan, maka Dia cukup mengatakan: ‘Jadilah!’ lalu jadilah dia.
5 5. Menjadikan.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Fushshilat [41] :12.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ
 “Dan Alloh menjadikan (memutuskan atau menentukan, pen.) tujuh petala langit dalam dua periode.”
Menurut Umar Hasyim dalam bukunya “Memahami Seluk Beluk Takdir”, qodho berarti keputusan atau ketentuan.
Maka pada pendapat penulis qodlo pada semua ayat di atas hanya mempunyai satu arti yaitu keputusan (execution) atau ketentuan Alloh. Pada ayat-ayat Al-Qur-am di atas, arti qodho ini (yaitu keputusan atau ketentuan Alloh) penulis tempatkan dalam kurung di belakang arti lain dari qodho.
H. Imam Sucahyo dalam bukunya “Menyingkap Takdir” membagi qodho atau keputusan/ketentuan Alloh ini menjadi 2 yaitu :
Pertama, qodho kauni atau keputusan/ketentuan Alloh dalam bentuk penciptaan alam dan manusia.
Kedua, qodho syar’i diniy adalah keputusan atau ketentuan Alloh berkenaan dengan aturan dan syariat (hukum agama).
Maka pada pendapat penulis, qodho kauni yaitu keputusan atau ketentuan Alloh s.w.t. dalam bentuk penciptaan alam dan manusia itu dapat diartikan sebagai sunnatulloh atau hukum alam.
Ini sesuai dengan definisi Drs. K.H. Nasrudin Razak dan Sayid Sabiq di atas, dimana kata qodar telah penulis ganti dengan kata qodho yaitu:
Menurut Drs. K.H. Nasrudin Razak dalam buku “Dienul Islam”, qodho (diubah penulis, pen.) adalah suatu peraturan umum yang telah diciptakan Alloh untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat hubungan sebab akibat. Telah menjadi undang-undang alam (sunnatulloh) yang abadi dimana manusia juga terikat pada sunnatulloh itu
Menurut Sayid Sabiq dalam bukunya “Aqidah Islam”, qodho (diubah penulis, pen.) ialah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Alloh s.w.t. untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan di dalamnya antara sebab dengan musababnya, juga antara sebab dan akibatnya.
Pada zaman modern ini hukum alam telah dipelajari dengan intensif dan ekstensif melalui pengamatan dan percobaan (experiment). Hukum-hukum alam ini secara systematis terbagi atas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

d. Mekanisme perubahan qodho dengan doa.
Menurut qodho Alloh s.w.t. api bersifat panas dan dapat membakar tubuh manusia yang berada di dalam kobaran api.
Sebagai hukuman atas Nabi Ibrohim karena merusak berhala-berhala sembahan kaumnya, Raja Namrud memutuskan Nabi Ibrohim dihukum bakar.
Sewaktu berada di dalam tumpukan kayu yang akan dibakar Nabi Ibrohim berdoa agar beliau diselamatkan dari panasnya api. Dan doa ini dikabulkan Alloh sehingga qodho api yang panas itu berubah menjadi dingin. Sabda Alloh s.w.t.:
  
  21:69
“Kami berfirman, “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ibrohim.” (Q.S. Al-Anbiya [21] :69).
Peristiwa tidak mempannya Nabi Ibrohim dibakar api adalah merupakan mukjizat yang diberikan Alloh s.w.t kepadanya.
Air menurut ilmu ilmu fisika yang merupakan qodho Alloh, bersifat permukaannya rata. Nabi Musa a.s. beserta Bani Isroil, sewaktu keluar (exodus) dari tanah Mesir dan dikejar oleh Fir’aun beserta bala-tentaranya, sampailah ke tepi Laut Merah sehingga terancam oleh bala tentara Fir’aun. Nabi Musa kemudian berdoa kepada Alloh s.w.t. agar diselamatkan dari kejaran Fir’aun itu. Alloh s.w.t. memerintahkan kepada Nabi Musa agar menyentuhksn tongkatnya ke laut, maka membelahlah laut itu, berlawanan dengan qodhonya yang seharusnya permukaannya rata. Kemudian Bani Isro’il melewati belahan itu selamat sampai ke seberang. Sedang Fir’aun dan pengikutnya yang ikut di belakangnya tenggelam karena air laut itu menutup kembali, sesuai dengan qodhonya yaitu berpermukaan rata. Peristiwa membelahnya laut itu termasuk mukjizat yang diberikan Alloh kepada Nabi Musa.
Mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rosul, kecuali mukjizat Al-Qur’an kepada Nabi Muhamad, dipahami oleh kebanyakan ulama sebagai peristiwa luar biasa atau keajaiban yang melanggar sunnatulloh (qodho) yang berlaku bagi peristiwa-peristiwa yang diciptakan Tuhan.
==========================================================
Mukjizat adalah contoh-contoh dari doa yang bisa merubah qodho
===========================================================
Imam Al-Ghozali dalam “Ihya ‘Ulumiddin” menjelaskan “Jika qodho (qodar atau takdir, pen.) itu tidak ada yang bisa menolaknya, lalu apa manfaat dari doa? Ketahuilah! Merupakan bagian dari qodho (seharusnya termasuk qodar atau takdir, pen.) adalah menolak bala (termasuk sunnatulloh atau qodho akibat dosa manusia, pen.) dengan do’a. Dengan itu, doa adalah sebab yang bisa menolak bala (qodho, pen.) dan mendatangkan rohmat, sebagaimana tameng yang bisa digunakan untuk menolak anak panah hingga keduanya saling mendorong. Maka demikian pula doa dan bala saling berkelahi.
=============================================================
Maka doa bisa menolak/ merubah qodlo dan do’a termasuk bagian dari takdir /qodar.
=============================================================
Ada seseorang yang pergi ke luar kota. Di perjalanan terdapat pohon yang miring ke jalan. Sewaktu ada angin kencang secara hukum alam (qodho) tentunya pohon itu roboh ke jalan dan menimpa mobil itu (bala’). Karena sebelum berangkat orang itu berdo’a kepada Alloh s.w.t. maka Alloh merubah arah angin ke arah luar jalan sehingga pohon itu itu roboh tetapi tidak menimpa mobil itu.
Telah disebut di atas bahwa do’a bisa merubah qodho dan doa termasuk bagian dari takdir atau qodar.
Maka ditulislah di dalam Lauh Mahfud bahwa orang itu ditakdirkan berdoa sebelum berangkat sehingga qodho pohon itu yang seharusnya rohoh ke jalan menimpa mobil, dirubah menjadi roboh keluar jalan sehingga orang itu selamat.
Peran doa yang bisa merubah qodho dalam cerita ajaib berikut ini dapat diterangkan dengan cara yang sama.
Sayyid Imani, menuturkan kebersamaannya dengan Ghulam Husayn Malik, salah seorang pedagang Busyahr, bahwasanya dia berkata: "Aku bepergian untuk menunaikan ibadah haji. Kami bersama-sama Syaikh Muhammad Jawad al-Bayadabadiy. Di tengah perjalanan itu, banyak pencoleng yang menjarah barang-barang bawaan sebagian jamaah haji. Di samping itu, penyakit pes juga menyerang sebagian jamaah hingga menimbulkan kematian sebagian di antara mereka. Semua orang merasa ketakutan."
"Al-Bayadabadiy mengatakan: 'Barangsiapa yang ingin selamat dari bahaya penyakit pes, maka hendaklah dia bersedekah sebesar seratus empat puluh tuman, atau seribu empat ratus tuman. Barang siapa yang tidak mampu untuk membayar uang sejumlah itu, maka hendaklah dia bersedekah sesuai dengan kemampuannya. Aku akan bermohon kepada Allah bagi kalian.
"Malik mengatakan: 'Aku akan membayar seratus empat puluh tuman', begitu pula para jamaah haji yang lain. Karena uang sejumlah itu pada saat itu cukup besar, maka banyak orang yang tidak bisa membayarnya. Kemudian Malik membagikan hartanya kepada para jamaah haji yang telah dirampas hartanya oleh para perampok di tengah jalan. Mereka masih bersedih dan ketakutan".
"Dalam perjalanan itu semua orang yang membayar uang sejumlah itu selamat, dan kembali ke negerinya dalam keadaan selamat pula. Adapun orang-orang yang tidak mau membayar sedekah, semuanya terserang penyakit pes dan meninggal dunia, termasuk keponakan dan juru tulis saya yang enggan membayar sedekah."

D. Kesimpulan / Penutup

Demikianlah telah diuraikan masalah-masalah tentang:
I. Apa definisi dan makna takdir itu.
II. Bagaimana pandangan golongan-golongan dalam Islam tentang takdir itu.
III. Bagaimana tahap-tahap dan mekanisme takdir itu.
IV. Bagaimana kepercayaan tentang takdir dalam agama selain Islam
V. Apakah do’a bisa merubah takdir.
Dalam pembahasan di atas disimpulkan bahwa do'a bisa merubah sunnatulloh atau hukum alam yaitu qodho. Namun doa termasuk bagian dari takdir atau qodar maka doa tidak bisa merubah takdir.
Hadits 03 : Rosululloh s.a.w. bersabda, “Pena (penulis takdir di Lauh Mahfudz, pen.) telah kering dengan yang sudah tetap sampai Hari Kiamat”. (H.R. Thobroni dan Ahmad).
Kami yakin tulisan ini tidak sempurna, bagi pembaca yang menemukan kekurangannya dan kesalahannya sudilah memberitahukan kepada kami untuk diadakan perbaikan seperlunya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Wal ‘lloohu ‘lmuwaffiq ilaa aqwamith thorieq.

Jember, 29 Nopember 2010


Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember, Jawa Timur.


Kepustakaan
01. Departemen Agama RI, Al Qur-an dan Terjemahnya, CV Diponegoro, Bandung, 2000.
02. Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, “Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2006.
03. Abu Ezza, “Sudah benarkah Doa Anda?”, QultumMedia, Jakarta, 2010.
04. Bey Arifin, “Rangkaian Cerita dalam Al-Qur-an”, Alma’arif, Bandung, 1997.
05. Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan, “Jawaban Tuntas Masalah Takdir”, Al Islahy Press, Jakarta, 1986.
06. Drs. Sidi Gazalba, “Sistematika Filsafat, Buku III”, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
07. Hasan Shadily, “Ensiklopedia Indonesia”, P.T Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta.
08. H. Imam Sucahyo, “Menyingkap Takdir”, Samudra Ilmu, Jakarta, 2001.
09. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Kun Faya Kun”, Mitrapress, Jakarta, 2008.
10. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Qadha dan Qadar”, Pustaka Azzam, Jakarta, 2003.
11. Prof. Dr. H. Harun Nasution dkk. “Ensiklopedia Islam Indonesia”, Djambatan Jakarta, 1992.
12. Sayyid Abdul Husein Dastghib, “Catatan Dari Alam Gaib”,Pustaka Hidayah, Bandung, 1990.
13. Sayid Sabiq, “Aqidah Islam”, CV. Diponegoro, Bandung, 1997.
14. Syaikh Ja’far Subhani, “Menyiasati Takdir”, Pustaka Hidayah, Bandung, 2006.
15. Syekh Hafidz Ahmad Al Hakami, “Benarkah Aqidah Ahlussunnah Wal jama’ah”, Gema Insani Press, Jakarta, 1994.
16. Umar Hasyim, “Memahami Seluk-Beluk Takdir”, CV. Ramadhani, Solo, 1992.