Minggu, 24 Oktober 2010

Buku Wanita dan Poligami 03

Mengapa
Wanita Pada Umumnya
Anti Poligami ?


Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi



…….. lanjutan makalah bulan Nopember 2009
A. Latar Belakang Masalah

Pendahuluan
Makalah ini adalah lanjutan makalah tahun lalu berjudul “Mengapa Wanita Pada Umumnya Anti Poligami ?” seri ke 2.
Penyebab yang dikemukakan pada makalah tersebut adalah karena para wanita itu terpengaruh oleh Tafsir Kitab Putih tentang akhir ayat 3 Q.S. An-Nisa: “dzalika adna anlaa tauuluu” (yang demikian [dzalika] agar engkau tidak / jangan berbuat aniaya).
Pada Tafsir Kitab Putih yang dimaksud “dzalika” adalah kawin satu (monogami). Maka pada tafsir itu disebutkan bahwa monogami tidak menimbulkan aniaya (sebaliknya poligami akan menimbulkan aniaya /kekerasan pada wanita !).
Berbeda dengan Tafsir Kitab kuning, yang dimaksud “dzalika” adalah poligami dan monogami (dan mengawini hamba sahaya). Sehingga baik poligami dan monogami (dan mengawini hamba sahaya), semuanya tidak akan menimbulkan aniaya atau jangan berbuat aniaya. Jadi dalam tafsir Kitab Kuning baik monogami atau poligami keduanya hukumnya mubah (boleh).
Selain perbedaan tafsir ayat tadi, pada tafsir Kitab Putih systematika hukumnya lemah yaitu hanya mengemukakan dalil Al-Qur’an saja (yang ditafsirkan sesuai rasio penafsir), tanpa mengutip hadits Nabi dan pendapat para sohabat.
Sebaliknya pada tafsir Kitab Kuning jauh lebih systematis, sehingga dalil-dalilnya lebih kuat.


B. Permasalahan

Selanjutnya pada Majalah “Sabili” 28 Desember 2006, ada beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh para penentang syariat poligami, di antaranya sebagai berikut :
I. Pada prinsipnya Islam menganjurkan monogami. Secara bertahap poligami akan dilarang.
II. Rosululloh s.a.w. melarang putrinya dipoligami oleh suaminya Ali bin Abi Tholib r.a.
III. Seorang laki-laki tidak mungkin bisa berbuat adil sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 129, maka sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa’ 3, bila tidak bisa adil maka kawinillah satu saja.
IV. Poligami mengundang penyakit, dari satu istri ditularkan ke istri-istri yang lain.
V. Orang hanya bisa sukses berpoligami dengan cara bohong.
VI. Keharusan adanya izin dari istri pertama yang tidak mungkin diberikan kecuali pada situasi-situasi tertentu.
VII. Poligami mengganggu perasaan isteri.
VIII. Poligami bertentangan dengan Q.S. An-Nisa 19 : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
IX. Poligami termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
X. Poligami bertentangan dengan kesetaraan antara pria dan wanita.


C. Pemecahan Masalah

I. Pada prinsipnya Islam menganjurkan monogami. Secara bertahap poligami akan dilarang.
Sebagaimana telah penulis sebut pada Pendahuluan, pendapat bahwa “Pada prinsipnya Islam menganjurkan monogami” ini akibat terpengaruh oleh Tafsir Kitab Putih tentang akhir ayat 3 Q.S. An-Nisa: “dzalika adna anlaa tauuluu” (yang demikian [dzalika] agar engkau tidak / jangan berbuat aniaya). Pada tafsir kitab putih disebutkan bahwa Monogami lebih tidak menimbulkan aniaya daripada Poligami. Uraian yang lebih luas tentang hal ini dapat dilihat pada makalah “Mengapa Wanita Umumnya Anti Poligami seri 02”.
Prof. Dr. Musdah Mulia, MA dalam bukunya “Islam Menggugat Poligami” menganalogikan poligami dengan larangan khomar yang dilarang secara bertahap. Ujungnya adalah pelarangan poligami secara total.
Terlihat seperti benar. Tapi, ada yang terlewat. Kaidah Ushul Fiqh menyebutkan, analogi yang disertai perbedaan tidak dibolehkan” (al-qiyas ma’a al-fariq laa yajuz). Khomar jelas diharomkan sebelum Rosul s.a.w. wafat. Sementara poligami, sesudah Rosululloh s.a.w. wafat, para sohabat tetap berpoligami (halal). Ini bukti bahwa analogi itu keliru.

Lebih lanjut tentang Musdah Mulia
Musdah adalah seorang aktivis liberal, pejuang gender, dia terkenal di kalangan aktivis perempuan dan memperjuangan kesetaraan dan kesamaan gender (KKG). Dia juga dianggap sebagai peneliti, konselor, dan penulis di bidang keagamaan (Islam) di Indonesia. Lahir pada 3 Maret 1958. Menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makasar ketika menempuh jenjang pendidikan S-1, hingga IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah guna menempuh jenjang pendidikan S-2 dan S-3.
Tahun 2007, Musdah menerima penghargaan Award for International Women of Sourage dari Menteri Luar Negeri AS Condoleeze Rice. Bersama dengan sembilan perempuan lainnya, Musdah menerima penghargaan ini karena dianggap sebagai perempuan yang teguh memperjuangkan hak-hak perempuan.
Pada bulan Maret 2008 lalu Musdah memproklamirkan diri sebagai muslimah lesbianisme dengan mengatakan, “Homosek dan homoseksualitas adalah kelaziman dan dibuat oleh Tuhan, dengan begitu diizinkan juga dalam agama Islam“? Itu diucapkan pada saat diskusi di Jakarta, dimana dia menyalahkan para ulama dan mengatakan bahwa ulama harus terus melakukan ijtihad dan tidak terkungkung dalam pemikiran-pemikiran kuno. Diapun mengakomodasikan kedatangan dan mempromosikan Irsyad Manji sang muslimah lesbian untuk datang ke Indonesia dan menyebutnya “lesbian mujtahidah”. Tak sedikit mahasiswa UIN Jakarta yang kagum.
Pada akhir 2004 Musdah juga, terlibat dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD) untuk menandingi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang konon hendak diusahakan supaya segera menjadi undang-undang. KHI telah disahkan melalui Inpres tahun 1991 secara resmi menjadi referensi para hakim agama di Peradilan Agama, terutama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan perkawinan. Konon, berdasarkan informasi inilah sebuah tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI membuat rumusan tandingan (counter) bagi KHI.

Komentar penulis tentang Lesbianisme
Lesbianisme di kalangan feminis marak di Barat karena:
(i.) di negara-negara Barat perkawinan poligami dilarang,
(ii.) sedangkan populasi wanita di dunia cenderung lebih banyak daripada pria, sehingga banyak wanita yang tidak kebagian suami.
(iii.) Kemudian para wanita asyik menekuni pekerjaan profesional mereka.
(iv.) Juga adanya anggapan bahwa pekerjaan kewanitaan yaitu mengandung, melahirkan dan merawat anak lebih rendah derajatnya daripada pekerjaan profesional karena tidak menghasilkan uang.
Maka para kaum feminis di Barat
(i.) cenderung untuk tidak kawin,
(ii.) dorongan sex mereka disalurkan melalui perbuatan lesbianisme di antara para profesional wanita, dan
(iii.) bila menginginkan anak mereka mengasuhnya sebagai orang tua tunggal.
Dengan masuknya faham feminisme ke Indonesia maka fenomena di atas bisa menular ke Indonesia.
Sedangkan perbuatan lesbianisme termasuk dalam homosex wanita yang setaraf dosanya dengan sodomi yaitu homosex laki-laki. Dosa sodomi lebih besar daripada berzina terbukti dengan hukuman Alloh s.w.t. terhadap umat Nabi Luth a.s. pada peristiwa hancurnya Sodom dan Gomora
Hadits riwayat Ibn Abbas : “Siapa saja yang engkau dapatkan mengerjakan perbuatan homoseksual (sodomi dan lesbian, pen.) maka bunuhlah kedua pelakunya”. (ditakhrij oleh Abu Dawud 4/158 , Ibn Majah 2/856 , At Turmuzi 4/57 dan Darru Quthni 3/124).
Perbuatan homoseks & lesbian sangat melawan logika, karena jika seluruh laki-laki melakukan sodomi, dan sebaliknya perempuan melakukan lesbianisme, maka bangsa manusia akan punah.

II. Rosululloh s.a.w. melarang putrinya dipoligami oleh suaminya Ali bin Abi Tholib r.a.
Hadits yang dikutip oleh para anti poligami adalah : “Dengarlah, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku ... Ketahuilah, Fathimah adalah belahan jiwaku. Barangsiapa yang membahagiakan Fathimah, berarti membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya, berarti ia menyakitiku.(H.R. Bukhori, Muslim dan lainnya).
Tak ada yang keliru dengan kutipan sabda Rosul s.a.w. itu. Sayangnya, kutipan itu belum lengkap. Seandainya poligami memang dilarang, larangan itu bukan hanya ditujukan kepada Ali bin Abi Tholib, sementara shohabat-shohabat lainnya dibolehkan berpoligami sebagaimana dalam banyak riwayat, bahkan termasuk beliau sendiri berpoligami.
Alasan lain, larangan itu disebabkan yang mau dinikahi Ali adalah putri Abu Lahab. Beliau menyebutkan, tidak akan berkumpul putri Rosululloh bersama putri musuh Alloh. Ibnul Munayyir al-Iskandari menyebutkan, “Ini termasuk dalam wanita-wanita yang diharomkan. Karena Nabi s.a.w. berkata, ‘Sesungguhnya aku khawatir mereka akan memfitnah putriku.’

Adapun lengkapnya hadits di atas adalah sebagai berikut:
Al-Miswar bin Makhzamah berkata, “Sesungguhnya Ali bin Abi Tholib telah meminang puteri Abu Jahal setelah menikahi Fathimah. Lalu saya mendengar Rosululloh berpidato di depan manusia di atas mimbar untuk menanggapinya, dan waktu itu aku adalah remaja yang telah akil baligh. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku, dan aku khawatir kalau ia tertimpa fitnah pada agamanya. Lalu Rosululloh menceritakan kerabatnya dari Bani Abdi Syams, dan beliau memuji kebaikannya sebagai kerabat. Beliau berkata, ‘Dia berbicara kepadaku dan jujur dalam pembicaraannya, dia berjanji kepadaku dan menepatinya. Sesungguhnya aku tidak akan mengharomkan suatu yang halal, dan juga tidak menghalalkan suatu yang harom. Akan tetapi masalah sebenarnya adalah, demi Alloh, tidak akan berkumpul selamanya antara puteri Rosululloh dengan puteri musuh Alloh’,” (H.R. Bukhori, no. 2879 dan Muslim, no. 4484).
Ada riwayat yang menjelaskan bahwa sepeninggal Nabi, Ali akan berpoligami, “Sewaktu Rosululloh dan Fathimah masih hidup, beliau melihat wanita yang bernama Khaulah binti Ilyas dan beliau tertawa, lalu berkata kepada Ali, “Sesudahku nanti, kamu akan menikahinya. Kamu akan punya anak laki-laki darinya, namakanlah dengan Muhammad.” Akhirnya yang dikatakan Rosululloh benar terjadi, Ali memberi nama anaknya Muhammad.” (Kitab al-Ishobah: 3/477). Istri Ali yang lain selain Fathimah; Ummul Banin bin Harom, Umamah binti Zainab. (al-Ishobah: 1/257 dan 3/440).
Kalau Rosululloh s.a.w. melarang Ali bin Abi Tholib berpoligami, tentu ia tidak akan berpoligami selamanya. Meskipun Rosululloh s.a.w. dan Fathimah telah meninggal dunia. Ali tidak mungkin menghianati mertua dan isterinya.

III. Seorang laki-laki tidak mungkin bisa berbuat adil sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 129, maka sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa’ 3, bila tidak bisa adil maka kawinillah satu saja.
Salah faham tentang makna adil. Para penentang poligami berdalil dengan firman Alloh.
  
4:3
  
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. An-Nisaa: 3).
Ayat ini, lantas “dibenturkan” dengan dengan firman Alloh,
   
4:129
  
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian....,” (Q.S. An-Nisaa: 129).
Dengan ayat ini, penentang poligami berpendapat, manusia takkan bisa berlaku adil. Karenanya poligami tidak boleh dilakukan.
Membenturkan kedua ayat ini sama saja menuduh ada firman Alloh yang kontradiktif. Bagaimana mungkin, Alloh dalam satu ayat membolehkan poligami, lalu di lain ayat melarangnya ? Tambahan lagi, ayat pertama bahkan memulai pernikahan dari “dua, tiga atau empat”. Barulah jika yakin diri tak mampu merasa adil, seseorang menikahi satu perempuan saja.
Para ulama menjelaskan dalam berbagai kitab fiqh dan tafsir, makna “adil” dalam ayat yang pertama berkaitan dengan “keadilan dalam pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban yang bersifat zohir’. Misalkan nafkah zohir dan batin, termasuk hak bermalam. “Keadilan yang dituntut itu keadilan yang zohir”, kata Ketua Pusat Konsultasi Syari’ah Dr. Surahman Hidayat, MA.
Adapun ayat kedua, berbicara soal kecenderungan hati, dimana Alloh Yang Maha Memiliki hati manusia. Karena itu Rosul s.a.w. pernah berdoa, “Ya Alloh, inilah pembagianku terhadap yang aku miliki. Maka janganlah Engkau hukum aku pada apa yang Engkau miliki, dan aku tidak miliki.” (H.R. Abu Daud).
Di sisi lain, peringatan bagi suami yang tidak berlaku adil pada istri-istrinya tidak enteng. Disebutkan dalam sebuah hadits shohih, ia akan datang dengan berjalan dengan pundak miring di akhirot kelak (H.R. Abu Dawud).
Selain itu, keadilan adalah salah satu prinsip utama Islam. Firman Alloh:
   
5:8
  
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Q.S. Al-Maidah [5]:8).
Menikah atau belum menikah , monogami atau poligami, seorang Muslim harus bersikap adil dalam kehidupannya.
Seorang muslimah dari Kuwait bernama Ary Abdurrohman As-Sanan, telah mengarang sebuah buku setebal 255 halaman berjudul “Memahami Keadilan dalam Poligami”. Di dalam buku itu diuraikan dengan sangat rinci yang dimaksudkan dengan keadilan dalam poligami.

IV. Poligami mengundang penyakit (dari satu istri ditularkan ke istri-istri yang lain).
Tuduhan ini samasekali tidak berdasar. Tak ada bukti, fakta maupun survei yang bisa dipertanggung jawabkan. Fitnah ini datang dari penentangan membabi buta terhadap syariat poligami. Nurani sebagai Muslim, tak mungkin menerima bahwa Alloh menitahkan syariat—termasuk di dalamnya poligami—yang mengandung mudhorot dan penyakit.
Yang dimaksudkan di sini tentunya adalah penyakit yang penularannya melalui hubungan sex yaitu penyakit kelamin: gonorrhoe / kencing nanah, urethritis non gonorhoe, syfilis, herpes genital dan HIV-AIDS. Penyakit-penyakit ini bisa ditularkan pada orang yang suka berganti-ganti pasangan sex (yang tidak sah).
Bila suami atau istri hanya melakukan hubungan dengan pasangan yang sahnya saja dan sebelumnya tidak menderita penyakit kelamin, tentu tidak akan terjadi penularan penyakit kelamin di antara mereka.
Lain halnya dengan perilaku sex bebas, dimana seorang pria atau wanita yang monogami, tetapi di luar rumah tangganya berhubungan sex dengan orang lain (pasangan yang tidak sah) yang menderita penyakit kelamin, maka mereka dapat tertular yang selanjutnya ditularkan kepada pasangannya yang sah di rumah.

V. Orang hanya bisa sukses berpoligami dengan cara bohong
Tuduhan ini sama dengan menyebut, Rosululloh s.a.w. para sohabat dan ulama sesudahnya—sebagai contoh sukses dalam poligami—sebagai para pembohong yang sukses.

VI. Keharusan adanya izin dari istri pertama yang tidak mungkin diberikan kecuali pada situasi-situasi tertentu.
Situasi itu adalah (i.) istri berhalangan melakukan kewajibannya, (ii.) mandul atau (iii.) sakit berkepanjangan seperti disebut dalam Undang Undang Pokok Perkawinan Republik Indonesia (UU No. 1/1974).
Syarat ini batil karena tidak ada contoh dalam syari’at. Aturan yang ditetapkan tanpa dalil sama dengan bid’ah, yaitu menambah-nambahi ajaran Alloh. Dapatkah dibayangkan, seandainya Islam menetapkan bolehnya poligami harus didasarkan pada izin isteri, adakah isteri yang mengizinkan suaminya berpoligami ? Selama ia mencintai suaminya, tentu ia tak akan rela. Nyatanya, bukan itu yang dijadikan patokan syariat.


VII. Poligami mengganggu perasaan isteri.
     Poligami harus dipandang sebagai solusi. Yang mampu dan adil, dipersilakan. Yang tak mampu dan tak sanggup berbuat adil, tidak disarankan. Karenanya, cara yang dipilih pun harus arif. Meski izin istri tidak disarankan, tapi bermusyawarah dengan isteri, tentu lebih baik dan mendatangkan maslahat. Dengan demikian kesalahfahaman dapat dihindari. Kecemburuan —yang tak pernah lepas dari kehidupan berkeluarga— pun bisa dikelola dengan bijak.

VIII. Poligami bertentangan dengan Q.S. An-Nisa [4]  :9

4:9
  
           “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
          Tak ada satu pun ulama yang menafsirkan poligami sebagai bentuk pergaulan yang tidak tepat. Karena jika benar demikian, Alloh tidak akan membiarkan Rosul s.a.w. dan para sohabatnya berpoligami. Justru para ulama menempatkan bab khusus bertajuk Bab al-Qismah (Bab Pembagian), dalam kitab fiqh dan hadits yang menerangkan panduan bagi suami dalam mengatur istrinya.

IX. Poligami termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Menurut kalangan penentang poligami, kegelisahan psikis akibat dimadu dapat dikategorikan sebagai KDRT. “Saya melihat poligami adalah diskriminasi dan kekerasan,” kata R Husna Mulya dari Komnas Perempuan. Baginya, perempuan-perempuan dalam Islam telah dibodohi oleh penafsiran-penafsiran yang yang berpusat pada kepentingan laki-laki.
Pernikahan bukan kehidupan tanpa masalah. Kegelisahan adalah bagian dari cobaan hidup. Adakah keluarga yang tak punya masalah ? Jika seorang isteri hidup melarat karena suaminya miskin, ia bisa merasa gelisah dan tidak nyaman. Dengan kategori ini (kegelisahan psikis) ia termasuk korban KDRT. Jika begitu ada berapa ratus juta masyarakat dunia yang menghadapi persoalan KDRT seperti ini.
Tak ada istri Nabi atau istri shohabat yang diriwayatkan melaporkan kasus poligami sebagai sebagai bagian dari pengaduan hukum. Yang ada adalah gugatan terhadap hak yang belum terpenuhi. Di saat yang sama mereka pun digambarkan cemburu. Bahkan, Ummul Mukminin Aisyah digambarkan cemburu kepada Ummul Mukminin Khodijah yang sudah wafat. Jika demikian, itu sama saja menuduh Rosul melakukan KDRT ? Naudzubillah.
Komentar menarik penulis kutip dari sebuah suara pembaca di Majalah “Sabili” 28-12-2006 sbb.:

KDRT bukan masalah Gender.
KITA tak asing lagi mendengar kata kekerasan. Kata ini bahkan telah memasuki wilayah paling kecil dan eksklusif yaitu keluarga. Sangat ironis di tengah masyarakat "modern" yang secara teori seharusnya mampu menekan tindakan kekerasan, justru budaya kekerasan makin menjadi.
Setiap tahun, sejak 1981, pada 25 November masyarakat dunia memperingati hari internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Di lndonesia, sejumlah organisasi perempuan melakukan kampanye, salah satu agendanya adalah membangun kesadaran penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun, khususnya kasus KDRT. Umumnya pelaku adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek dan paman.
Dari fakta yang kita saksikan dapat disimpulkan bahwa ideologi atau pandangan hidup yang dianut dan dikembangkan oleh negeri-negeri di dunia ini, telah gagal memberikan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera. Itu terjadi karena mereka telah memisahkan kehidupan dari agama yang dianutnya atau lazim disebut sekularisasi. Menjadikan agama hanya untuk ritual semata, sedangkan pengaturan urusan duniawi diserahkan kepada mereka masing-masing. Jadi wajar tindakan kekerasan semakin merajalela.
Kaum feminis berpendapat, ada tiga karakteristik kekerasan berbasis gender di lndonesia. Pertama, mempunyai fungsi melembagakan norma kepatuhan terhadap kekuatan atau superior. Kedua, bentuk kekerasan sosial merupakan bagian dari taktik yang dipergunakan demi penghancuran dan penaklukan musuh atau lawan politik. Ketiga, perkosaan dan pelecehan sosial merupakan senjata untuk menaklukkan perempuan. Keadaan itulah yang mereka anggap makin mempertokoh ketidakadilan sistematis terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan selama ini lebih memihak kepada laki-laki. Kondisi ini sering berujung pada penuduhan terhadap apa yang dianggap lebih laki-laki dan bersifat misoginis (membenci Perempuan).
Dalam pandangan lslam, kekerasan adalah tindakan kriminal/kejahatan (jarimah) yang terjadi pada seseorang. Kejahatan adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Robbnya, dengan dirinya sendiri dan sesamanya. Sementara kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga, merupakan bentuk kejahatan.
Sedang bagi kaum Muslimin, suatu perbuatan tidak dianggap sebagai kejahatan kecuali jika ditetapkan oleh syariah sebagai perbuatan tercela. Inilah tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu perbuatan termasuk kejahatan atau tidak. Tolok ukur ini tidak ada hubungannya dengan apakah suatu kejahatan dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Tidak pula berhubungan dengan masalah gender. Salah satu contoh, ketika seorang istri melayani suaminya yang memintanya, juga bukan merupakan tindakan kekerasan KDRT, sebagaimana dituduhkan para feminis. Sebab Allah memang memerintahkan hal demikian.
Sebagaimana sabda Rosulullah saw, "Jika seorang laki-laki memanggil istrinya agar memenuhi hajatnya maka hendaklah istrinya itu mendatangi suaminya meskipun ia sedang berada di atas punggung unta.” (H.R. Tirmidzi).
Sebaliknya, ketika suami menyakiti istri dengan memukulnya hingga terluka, hal ini dikategorikan ke dalam tindakan kekerasan terhadap istri. Hal yang sama berlaku ketika seorang istri menyakiti suami dengan memukulnya hingga terluka. Begitu pula, tindakan menyakiti fisik anak ataupun anak menyakiti fisik orangtuanya. Tindakan itu termasuk kejahatan. Karena itu, Islam akan memberikan sanksi kepada pelakunya.
Walhasil, dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan atau KDRT merupakan cerminan gagalnya bangunan sosial-politik yang didasarkan pada ideologi Sekularis-Kapitalis. Juga karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat ataupun keluarga.
Karena itu, jalan satu-satunya untuk mengentaskan masalah kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT adalah kembali kepada lslam secara kaffah. Wallahu a'lam.

Rina Mariana

Cincin Katapang, Bandung


X. Poligami bertentangan dengan kesetaraan antara pria dan wanita.
Argumen yang sering dipakai untuk mendorong isu-isu kesetaraan antara kaum pria dan wanita ini sesungguhnya sudah basi dan tak lagi layak jual. Bagaimana mungkin menyamakan dua hal yang berbeda ? Ada begitu banyak aturan Islam yang membedakan antara pria dan wanita. Dalam warisan, pria memperoleh dua berbanding satu. Istri melahirkan, suami mencari nafkah. Suami berjihad, istri mendidik anak. Kalau mau disetarakan kenapa tidak semuanya ?
Masalah kesetaraan antara pria dan wanita telah penulis bahas berdasarkan ilmu pengetahuan modern di bidang anthropologi dan kedokteran. Mohon dilihat pada makalah “Samakah Laki-laki dan Wanita Itu ?” di nasimfauzi.Blogspot.Com

C. Penutup.

Penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka bilamana pembaca menemukan kejanggalan dan kekeliruan di dalamnya, penulis mengharap masukannya untuk dapatnya dilakukan koreksi. Untuk itu penulis mengucap banyak terima kasih.

Wallohu muwaffiq ila aqwamith-thoriq

Wassalam


Jember, 23 Oktober 2010.


Dr. H.M. Nasim Fauzi.
Jl. Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember



Kepustakaan :
01. Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Penerjemah Bahrun Abubakar, Lc, PT Karya Toha Putra, Semarang, 1993.
02. Ary Abdurrohman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, PT Globalmedia Cipta Publishing, Jakarta, 2003.
03. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, CV Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000.
04. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor, 2008.1. Majalah “Ghoib”, Edisi 75 Th. 4, 12 Januari 2007.
05. Majalah Islam "Ghoib" Edisi 75 Th. 4 12 Januari 2007.
06. Majalah Islam “Sabili” No. 12 Th. XIV 28 Desember 2006.
07. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 2, Lentera Hati, Jakarta, 2002.
08. Prof. Dr. H. A. Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Juzu’ IV, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981.
10. http://www.infosihat.gov.my/penyakit/Dewasa/ PenyakitKelamin.pdf