Senin, 22 Desember 2014

Tafsir Taqwa dan Takut Kepada Alloh Seri 01


Taqwa dan Takut Kepada Alloh
Seri ke 1
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi


Pendahuluan

Telah dibahas dalam makalah-makalah sebelumnya bahwa taqwa berarti takut kepada Alloh.
Menurut Quraisy Shihab di dalam Ensiklopedia Alquran, kata taqwa juga sinonim dengan kata khouf dan khosyyah yang berarti ‘takut’.
Perbedaan Taqwa, Khouf dan Khosyah
Dalam QS. 24 (An-Nuur):52, Taqwa dan Khosyah disebut bersama-sama sebagai berikut 
:
24:52

52.  Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046]. (QS. 24 [An-Nuur]:52).
·øƒs Yakhsya takut terhadap barang yang kelihatan yaitu ciptaan-ciptaan Alloh yang besar. Karena Alloh Swt. mampu menciptakan alam semesta yang sangat besar tentu Alloh Swt. mampu juga menciptakan neraka yang jauh lebih kecil daripadanya. Tentunya kita takut (·øƒs ) terhadap (siksa) neraka.
(#qà)¨? Taqwa takut terhadap saat menghadap Tuhannya (barang yang ghoib) karena dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Yaitu takut (#qà)¨?) akan murka Alloh Swt.
Sedangkan Khouf (خَافَ) memang merupakan sinonim dari taqwa (#qà)¨?) yaitu dengan membandingkan (QS. Ar-Rohman [55]: 46-76) dan (QS. Ad-Dukhon [44]: 51-56).
Secara logika, bila:
[Orang yang bertaqwa (uqø)s? )] (QS. Ad-Dukhon [44]: 51-56)    =>   akan mendapat surga
[Orang yang takut (خَافَ) terhadap saat menghadap Tuhannya] (QS. Ar-Rohman [55]: 46-76)  =>  akan mendapat surga
Maka : [Orang yang bertaqwa (uqø)s? )]  =  [Orang yang takut (خَافَ) terhadap saat menghadap Tuhannya]
Makalah-makalah tentang takut (·øƒs ) kepada Alloh
Dari internet penulis menemukan beberapa makalah yang membahas tentang takut kepada Alloh. Di antaranya adalah:
A. Takut kepada Alloh (1)
B. Takut kepada Alloh (2)
C. Ilmu adalah takut kepada Alloh.
D. Ciri-ciri orang yamg takut kepada Alloh.
E. Memupuk rasa takut kepada Alloh.


A. TAKUT KEPADA ALLAH (1)
Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah Swt. Takut kepada Allah adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya. Ada banyak ayat yang membicarakan tentang takut kepada Allah dan perintah Allah kepada kita untuk memilih sifat tersebut, satu di antaranya ayat itu adalah firman Allah:š33:39

Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan (QS. 33 [Al-Ahzab]:39).
Ini berarti takut kepada selain Allah tidaklah bisa dibenarkan. Dengan memiliki rasa takut kepada Allah, kita akan memperoleh keberuntungan yang besar, di antara dalilnya adalah firman Allah:
24:52

52.  Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046]. (QS. 24 [An-Nuur]:52).

 Adanya rasa takut kepada Allah Swt, membuat kita tidak berani melanggar segala ketentuan-Nya. Yang diperintah kita kerjakan dan yang dilarang kita tinggalkan. Sementara kalau seseorang telah melakukan kesalahan dan ada jenis hukuman dalam kesalahan itu, maka orang yang takut kepada Allah tidak perlu ditangkap dan diperiksa, tapi dia akan membeberkan sendiri kesalahannya itu lalu minta dihukum di dunia ini sebab dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada di akhirat nanti yang lebih dahsyat. Takut kepada Allah memang membuat seseorang akan memperbanyak amal sholehnya dalam hidup di dunia ini, Allah berfirman:
76:8
76:9
76:10
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
 yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan (QS. 76 [Al-Insaan]:8-10).
1. Kiat Menumbuhkan Rasa Takut
Karena rasa takut kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia ini, maka setiap kita harus menumbuhkannya ke dalam diri kita masing-masing. Untuk itu di dalam Islam, ada petunjuk atau kiat yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkannya.
2. Mengkaji Ayat dan Hadits Tentang Murka Allah.
Ada banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang murka Allah Swt, baik yang ditimpahkan-Nya di dunia maupun di akhirat kelak kepada siapa saja yang tidak taat kepada-Nya. Allah berfirman tentang kemurkaan-Nya di dunia:
43:54
43:55
Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh
 kepadanya. Karena mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). (QS. 43 [Az-Zukhruf] :54-55).ü
Adapun murka Allah dalam kehidupan akhirat difirmankan:
42:16
Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (QS. 42 [Asy-Syu’aro]:16).
Di samping Al-Qur'an, hadits-hadits juga menerangkan adanya azab, murka atau siksa Allah kepada orang-orang yang tidak takut kepada-Nya, misalnya hadits nabi yang berbunyi:
Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka mereka sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah (HR. Thabrani dan Hakim).

3. Mengetahui akibat orang yang tidak takut kepada Allah.
Untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah Swt, kita juga perlu melakukannya dengan cara mempelajari kehidupan orang-orang yang mengalami akibat dari tidak ada rasa takutnya kepada Allah Swt dalam kehidupan ini sehingga mereka melanggar ketentuan-ketentuan-Nya. Di antara contoh yang bisa kita sebutkan adalah umat Nabi Nuh yang karena mereka tidak aat, akibatnya mereka dibinasakan dengan banjir yang besar, Allah berfirman:
71:25
Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah (QS. 71 [Nuh]:25).
Begitu juga dengan Qorun yang ditenggelamkan ke dalam bumi berikut harta yang dimilikinya yang menyebabkan manusia, Allah berfirman:

28:81
Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela dirinya (QS. 28 [Al-Qoshosh] :81).
Lebih tegas dapat kita simpulkan bahwa siapapun yang tidak takut kepada Allah sehingga dengan berani melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, cepat atau lambat akan mengalami akibat sebagaimana terlah terjadi pada generasi terdahulu seperti yang diceritakan oleh Al-Qur'an, ayat yang menegaskan soal ini difirmankan Allah:
29:40
Maka masing-masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. 29 [Al-Ankabut] :40).

4. Memahami siksa Akhirat yang tak terbayangkan
Rasa takut juga bisa tumbuh dalam jiwa manakala kita menyadari betapa siksa dan azab Allah di akhirat tidak dapat kita bayangkan dahsyatnya sebagaimana kita juga tidak bisa membayangkan nikmatnya Syurga, dalam salah satu hadits Qudsi Allah berfirman yang disabdakan oleh Rasulullah Saw yang artinya:
Aku menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang sholeh apa-apa yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia (HR. Bukhari Muslim).
Ini berarti, azab dan siksa Allah dalam kehidupan akhirat merupakan sesuatu yang sangat dahsyat dan tidak bisa dibayangkan sedikitpun, begitu juga sebenarnya kenikmatan yang diberikan Allah kepada penghuni Syurga.
Salah satu gambaran yang dikemukan Rasullah SAW dalam hadits tentang betapa dasyatnya siksa neraka adalah perbandingan panasnya api dunia dengan api di akhirat, beliau bersabda:
Apimu yang kamu semua menyalakannya di dunia ini adalah satu baguan dari tujuh puluh bagian dari panasnya neraka jahannam. Para sahabat berkata: “demi Allah, api dunia ini saja sudah amat panas ya Rasulullah”. Beliau lalu bersabda: “Memang, api neraka itu masih lebih panas lagi dengan enam puluh sembilan kali bagian panasnya, setiap bagian sama suhu panasnya dengan api di dunia ini (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
Di sisi lain, masalah siksa neraka yang tak terbayangkan dahsyatnya adalah dari segi waktu yang berabad-abad lamanya, bahkan kekal mereka di dalamnya, Allah berfiman:
Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan dan (tidak pula) mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal.
78:21
78:22
78:23
78:24
78:25
78:26
78:27
78:28
78:29
78:30
21.  Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai[1547],
22.  Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas,
23.  Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya,
24.  Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman,
25.  Selain air yang mendidih dan nanah,
26.  Sebagai pambalasan yang setimpal.
27.  Sesungguhnya mereka tidak berharap (takut) kepada hisab,
28.  Dan mereka mendustakan ayat-ayat kami dengan sesungguh- sungguhnya.
29.  Dan segala sesuatu Telah kami catat dalam suatu kitab[1548].
30.  Karena itu rasakanlah. dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab. (QS. 78 [An-Naba] 21-30)
[1547]  Maksudnya: di neraka Jahannam ada suatu tempat yang dari tempat itu para Penjaga neraka mengintai dan Mengawasi isi neraka.
[1548]  yang dimaksud dengan kitab di sini adalah buku catatan amalan manusia.
Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain azab. (QS. 78 [An-Naba]:21-30).
Dengan demikian, takut kepada Allah Swt memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia ini, karena itu setiap kita harus menanamkannya ke dalam jiwa yang harus teraplikasi dalam kedisiplinan hidup yang Islami agar akibat buruknya tidak terjadi pada diri kita masing-masing sebagaimana yang sudah terjadi pada generasi terdahulu seperti yang dikisahkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an.
Oleh :
Drs. H. Ahmad Yani

B. TAKUT KEPADA ALLAH (2)

Tuesday, 29 October 2013, 20:12 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab

Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.
Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.
Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.
Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya  itu jika terjadi pada dirinya. Takut  bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai secara positif, demikian pula sebaliknya.
Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).
Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya:š
35:28
28.  Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. 35 [Fathir] : 28)
[1258]  yang dimaksud dengan ulama dalam ayat Ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian”.
Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah  merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).
Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu,
pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama.
Ketiga,  takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.
Keempat,  takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia.
Kelima,  takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk).
Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat.
Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.
3:175
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.
Allah SWT berfirman: 
4:9
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.
98:8
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan,  takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.

TAGS #hikmah #takut

Redaktur : Damanhuri Zuhri


C. ILMU ADALAH TAKUT KEPADA ALLAH
Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari
š
35:28
 “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)

I. Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna penetapan (itsbat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhaanahu wata’aala,  serta mengerti tentang hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ini pula ilmu yang jika kita mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara seorang mukmin dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulloh menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah subhaanahu wata’aala),  Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t, hlm. 73)
Syaikhul Islam berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul. Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)

II. Tafsir Ayat
Ayat Allah subhaanahu wata’aala,   yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah subhaanahu wata’aala,  bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah subhaanahu wata'aala.”
Beliau rahimahulloh juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu,  bahwa beliau berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah subhaanahu wata’aala,  tidak memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  kecuali dia seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, maka dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  sebagaimana ayat yang lain juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah rahimahulloh, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad shallallohu 'alaihi wasallam tentang firman Allah subhaanahu wata’aala,
4:17
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (QS. An-Nisa [4]: 17)
 Mereka (para sahabat Nabi ) berkata kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala,  maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di rahimahulloh berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  semakin besar pula rasa takut kepada-Nya. Rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
98:898:8
Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya
 sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. 98 [Al-Bayyinah] : 8)
  (Tafsir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, dengan sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan) tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang Maha Agung, Maha Kuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata menjelaskan ayat ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim. Sungguh, Allah Swt. telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,  berarti dia adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
39:9
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S 39 [Az-Zumar]: 9)

Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut dan berharap kepada Allah l adalah para ulama yang dipuji oleh Allah rahimahulloh.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 7/21)

III. Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang hamba kepada Allah subhaanahu wata’aala. Semakin bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala.  Oleh karena itu, para nabi, orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, yang lebih daripada selain mereka yang tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah radiallohu anha yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah subhaanahu wata’aala,  telah mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” Rasulullah shallallohu alaihi wasallam marah mendengar hal itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah beliau shallallohu alaihi wasallam, lalu bersabda:
إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللهِ أَنَا
Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, adalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dengan lafadz,
وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,   dan yang paling berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dari hadits Ummu Salamah radiallohu anha,
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, menggandengkan rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata'aala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahulloh berkata, “Telah dimaklumi bahwa para nabi shallallohu alaihi wasallam, dan para sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, dan paling mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang menjadi hak Allah subhaanahu wata’aala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah subhaanahu wata’aala,  dan yang paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)
IV. Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah subhaanahu wata’aala, dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wata’aala.
5. Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.

V. Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah subhaanahu wata'aala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik dalam kehidupannya-dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik Ra. berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu wata’aala,  pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga:
(1) seorang yang berilmu tentang Allah Swt. dan tentang perintah Allah Swt.,
(2) seorang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah Swt., dan
(3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala.
Yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata'aala, dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala, dia adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah subhaanahu wata’aala,   namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala,  adalah orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.




Bersambung ke Taqwa dan Takut Kepada Alloh Seri 02. ........




Jember, 22  Desember 2014


Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127

Jember