Rabu, 22 April 2009

Buku Diskusi Tentang Wanita dan Sorga 03

Komentar Terhadap 

Asal-usul Siti Hawa 

di dalam Tafsir Al-Manar



Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi

Bab I PENDAHULUAN

          Saya sangat bergembira dan berterima kasih kepada Ibu Dra. Hj. Hamdanah, M.Hum. yang telah bersedia menanggapi makalah saya berjudul "Teori Lama dan Teori Modern pada Tafsir (Ayat Bidadari) Surat Al-Waqi'ah dan Perubahan Kelamin di Telaga Kautsar" di dalam Halal bi Halal Muslimat NU tanggal 16-12-2003.
                   Di dalam makalahnya berjudul "Paradigma Baru Teologi Perempuan", beliau telah menunjukkan kelemahan-kelemahan teori saya sehingga saya bisa memperbaikinya.
          Sayang, beliau dalam penutup makalahnya menginginkan diskusi ini dihentikan karena tidak bermanfaat. Saya sangat mengharapkan beliau bersedia merubah pendiriannya dan ikut dalam diskusi lanjutan yang menurut Nyai Elok (Ketua Muslimat N.U. Cabang Jember) akan dilengkapi dengan para ahlinya serta melibatkan pembahas kalangan pria.


BAB II: PERMASALAHAN

1. Dua Macam Tafsir Asal-usul Siti Hawa.

Rasyid Ridho

          Dalam makalahnya Ibu Hamdanah mensitir pendapat ulama besar Rasyid Ridlo dalam Tafsir Al-Manar, bahwa pendapat Siti Hawa berasal dari tulang rusuk Nabi Adam a.s. bukanlah dari Islam, melainkan pengaruh Ahlul Kitab. Untuk selanjutnya, sumber pendapat dari Rasyid Ridha ini penulis kutip dari Tafsir HAMKA.1)
Syaikh Muhammad Abduh

          Beliau (HAMKA) mengatakan bahwa pendapat Rasyid Ridho ini berasal dari tafsiran gurunya yaitu Syaikh Muhammad Abduh. Menurut beliau pendapat ini timbul akibat adanya 2 pendapat dalam menanggapi asal-usul manusia yaitu:

Buya HAMKA

(i) Tafsir lama: Umat manusia itu berasal dari Nabi Adam As.
  
(ii) Tafsir baru: Manusia berasal dari hasil evolusi mahluk pra manusia. Imam (golongan Syiah) Muhamad Al-Baqir mengatakan bahwa sebelum Nabi Adam as., sudah ada beribu-ribu (berjuta-juta) Adam. Dan Ibnu Arobi mengatakan dalam Fatuhat bahwa 40.000 tahun sebelum Nabi Adam as., sudah ada Adam yang lain. Penafsiran ini untuk selanjutnya penulis sebut sebagai: tafsir baru.

an illustration of a Neanderthal family
Sekelompok Manusia Purba {Homo Neanderthalensis}

          Dari tafsir baru inilah timbulnya pendapat bahwa Siti Hawa (kalau memang ada) tidak berasal dari Nabi Adam as.

2. Tafsir "Nafsin-wahidah".

          Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya para penganut tafsir baru ini mempersoalkan tafsir kata-majemuk "Nafsin-wahidah" dalam surat An-Nisa 4:1 berikut:
  
4:1
  
          Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (nafsin-wahidah), dan dari padanya Alloh menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Alloh memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrohim. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu.

          Rasyid Ridho, salah seorang penganut tafsir baru, menafsirkan "nafsin-wahidah" sebagai "kesatuan-kemanusiaan".
          Karena masalah ini adalah masalah akidah, maka menurut HAMKA: Pokok akidah hendaklah yang yakin, yakni harus berdasarkan nash yang shohih, maka menurut beliau pendapat baru ini tidak boleh kita yakini karena tidak didukung oleh nash yang shohih.
          Meskipun demikian penulis tetap akan mengkajinya.

3. Dasar-dasar ljtihad Tafsir, Pendapat "Ahludz Dzikri".

Dasar-dasar ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur'an adalah:

(1) Memakai Kaidah Bahasa Al-Qur'an/bahasa Arob Klasik,
(2) Dengan Al-Qur'an sendiri (tafsir ayat dengan ayat),
(3) Sunnah Nabi, utamanya hadis sohih,
(4) Ijma' atau konsensus,
(5) Pendapat Sohabat atau Ahli tafsir
(6) Qias atau analogi, dan
(7) Akal/ilmu pengetahuan modern.
  
Penulis tambahkan
(8) Pendapat "ahludz dzikri" yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis Shohih.
Yang penulis maksud adalah "ahludz dzikri" di dalam An-Nahl 16:43.
  
16:43
  
          Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau, melainkan orang-orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada ahludz dzikri, jika kamu belum mengetahui.

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud "ahludz dzikri" disini adalah "Ahlul Kitab". (Tentang sohabat Ibnu Abbas ini akan kita bahas tersendiri dalam paragraf lain).

          Sebagai contoh tentang bertanya kepada "ahludz dzikri" adalah: Seusai menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad Saw. oleh Siti Khodijah (istri beliau) dibawa ke anak pamannya Waroqoh bin Naufal -seorang pendeta Nashroni- untuk menanyakan tentang mahluk yang datang kepada Nabi di gua Hiro'. Oleh Waroqoh dijawab bahwa yang datang adalah malaikat Namuz yang telah datang kepada Nabi-nabi sebelumnya untuk menyampaikan wahyu (malaikat Jibril).

          Tentunya jawaban pendeta Ahlul Kitab ini diambil dari Kitab Tawrot, Zabur (Mazmur) dan Injil yang berbahasa Arob kuno.
          Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru yang beredar di Indonesia sekarang isinya sama dengan Kitab-kitab berbahasa Arob kuno yang dibaca oleh Pendeta Nashroni Waroqoh tadi, karena kedua-duanya adalah hasil terjemahan dari Kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani. Sedang Kitab-kitab yang berbahasa Ibroni /Yahudi sampai sekarang belum ditemukan.
          Ini berarti mengambil data/ilmu dari Kitab-kitab tadi yang dilakukan oleh Pendeta Waroqoh diperbolehkan oleh Al-Qur'an.

Bila cara ini legal tentunya kita juga boleh mengambil data dari Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru yang beredar di Indonesia.


Bab III PEMECAHAN MASALAH

1. Penciptaan manusia di dalam Perjanjian Lama

          Di dalam Perjanjian Lama, Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari (bandingkan dengan Al-Quran 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38 dan 57:4).

          Pada hari ke-6 diciptakan-Nya binatang darat (Kitab Kejadian 1:25) dan manusia laki-laki dan perempuan (Kitab Kejadian 1:27). Para ahli Nashroni 5) menafsirkan mereka adalah manusia purba yang diciptakan sebelum Nabi Adam. Merekalah yang dimaksud sebagai Adam-Adam yang lain menurut Al-Baqir dan Ibnu Arobi di atas.

          Usai menciptakan langit dan bumi tadi (setelah hari ke-7) barulah Alloh menciptakan Adam (bandingkan dengan Al-Qur'an 2:30 dan 7:11).

          Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Kitab Kejadian Pasal 2:7 tertulis:
Maka dirupakan Tuhan Allah akan manusia itu daripada lebu tanah dan dihembuskannya nafas hidup ke lubang hidungnya; demikian manusia itu menjadi suatu nyawa yang hidup adanya.

          Kata nyawa pada Kitab Kejadian pasal 2:7 di atas, dalam bahasa Iberoni (bahasa Yahudi) adalah "nafesy", sangat mirip dengan bahasa Arab "nafs" dalam An-Nisa 4:1 di atas. Memang bangsa Yahudi masih satu nenek moyang dengan bangsa Arob, yakni Nabi Ibrohim a.s.

          Sama halnya di dalam Al-Quran, di dalam Perjanjian Lama terbaca bahwa manusia pra Adam dibuat dengan kalimat-Nya bersama mahluk-mahluk yang lain (setara dengan "kun fayakun"), sedang tubuh Nabi Adam dibuat dengan Tangan-Nya kemudian ditiupkan-Nya ruh.

Kemudian:

Pasal 21: Maka didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah sebilah tulang rusuknya lalu ditutupkan-Nya pula tempat itu dengan daging.

Pasal 22: Maka daripada tulang yang telah dikeluarkan dari dalam Adam itu, diperbuat Tuhan seorang perempuan, lalu dibawa-Nya akan dia kepada Adam.

          Kalau pendapat lbnu Abbas tentang "ahludz dzikri" ini diakui, pertanyaan tentang asal usul Siti Hawa telah terjawab, yaitu dari tulang rusuk Nabi Adam as.

2. Pendapat Sohabat, Ketokohan Abdulloh bin Abbas dan Tafsir Bil Ma'tsur.

          Dalam pembahasan Tafsir Al-Qur'an kita selalu bertemu dengan pendapat sohabat Ibnu Abbas, nama lengkapnya adalah Abdulloh ibnu Abbas.
          Abdulloh Ibnu Abbas adalah putra Abbas ibnu Abdul-Mutollib, sepupu Rosulullah saw. Seorang ahli tafsir dan ahli hukum Islam, dijuluki Turjuman al-Qur'an (juru bahasa al-Quran) dan Hobar (kiyahi ummat). Rosulullah s.a.w. pernah 2 x mendoakan di waktu kecilnya, agar ia dianugerahi Alloh swt. pemahaman yang dalam di bidang agama dan keahlian dalam menafsirkan al-Quran.
          Beliau menjadi mustasyar (konsultan) dari kholifah kedua Umar ibn al-Khottob pada usianya yang masih muda. Pernah menjadi Gubernur Basroh pada pemerintahan Ali ibnu Abi Tholib. Para Kholifah Daulah Abbasiah (749-1258) di Baghdad adalah keturunan beliau.

          Berita Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as. berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan beberapa orang sohabat Rasululloh saw. Mereka berkata:

          "Tatkala Adam berdiam di dalam syurga itu, dia berjalan kesepian seorang diri, tidak ada isteri untuk menenteramkan hati. Maka dia pun tidurlah. Setelah beberapa lama tertidur, diapun terbangun. Tiba-tiba di sisi kepalanya seorang perempuan telah duduk, yang telah dijadikan Alloh dari tulang rusuknya."

          Meskipun berita ini tidak langsung dari sabda Nabi saw., namun mengingat Ibnu Abbas sebagai sepupu Nabi bebas keluar masuk rumah beliau; sejak kecilnya selalu menghadiri majlis Rosulullah bersama para sohabat dan menghafalkan semua ucapan beliau; seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu agama Islam; semua ini meyakinkan kita bahwa berita ini berasal dari Nabi saw.

          Sebagian penafsir mengira berita ini berasal dari "ahludz dzikri" mengingat bahwa di Madinah banyak terdapat orang Yahudi, meskipun belum terbukti kedekatan Ibnu Abbas dengan mereka.

          Quraish Shihab berpendapat bahwa penafsiran sohabat adalah ideal, disebut Tafsir bi al-Ma'tsur, berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat para sohabat dalam menafsirkan Al-Quran.

3. Tafsir Ayat dengan Ayat atas "Nafsin-Wahidah" (metode Prof. Toshihiku Izutsu)

          Bila pendapat "ahludz dzikri" dan pendapat Ibnu Abbas di atas belum cukup meyakinkan, langkah kita selanjutnya ialah menggunakan metode "tafsir ayat dengan ayat" atas kata majemuk "nafsin-wahidah" pada Surat An-Nisa 4:1 tadi.
          Metode ini diperkenalkan oleh Toshihiko Izutsu"10) (Profesor, ahli bahasa Arob kuno di Universitas Keio, Tokyo dan Mc Gill University, Canada), dimana suatu kata yang tidak jelas artinya di satu ayat akan diterangkan/ didefinisikan pada ayat-ayat lain yang mengandung kata tersebut. Beliau yakin bahwa: Di dalam Al-Qur'an semua kata yang mempunyai akar kata yang sama mempunyai arti yang sama pula. Maka semua kata majemuk "nafsun-wahidah" di dalam Al-Qur'an tadi hanya mempunyai satu arti.


Prosedur tafsir ayat dengan ayat tadi adalah:
          Mula-mula kita kumpulkan semua ayat yang mengandung akar kata yang sama kemudian dianalisa: apa yang dimaksud Sang Pencipta Kitab ini (Alloh swt.) terhadap akar kata itu.
Untuk mencari ayat-ayat tersebut kita bisa menggunakan Kamus Al-Qur'an. Di pasar sudah ada kamus-kamus ini yang berbahasa Indonesia, di antaranya adalah Qomus Al-Quran karangan Abdulqodir Hasan dan Konkordansi Qur'an karangan Ali Audah.
Dengan cara ini ditemukan 5 ayat yang mengandung kata majemuk "nafsin-wahidah" sebagai berikut:
  
31:28
  
(i). Luqman 31:28 : Tidaklah Alloh menciptakan (manusia pertama yaitu Adam As, pen.) dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) manusia yang satu (nafsin-wahidah) saja. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.
  
4:1
  
(ii). An Nisa 4.1 : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari manusia yang satu (nafsin-wahidah), dan dari padanya Alloh menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Alloh memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrohim. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kalian.
  
7:189
  
(iii). Al-A'roof 7:189 : Dialah Yang menciptakan kalian dari manusia yang satu (nafsin-wahidah) dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami/ isteri) bermohon kepada Alloh, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang soleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".
  
39:6
  
(iv). Az-Zumar 39:6 : Ia menciptakan kalian dari manusia yang satu (nafsin-wahidah), kemudian Dia jadikan dari padanya isterinya; dan Ia mengadakan untuk kamu binatang-binatang ternak dengan delapan ekor: (empat) pasangan (jantan dan betina). Ia menjadikan kalian dalam kandungan ibu kalian kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang demikian (kekuasaan-Nya) ialah Alloh Tuhan kalian; Tuhan yang mempunyai kerajaan; tiada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kalian dapat dipalingkan (dari mematuhi perintah-Nya)?
  
6:98
  
(v). Al-An'aam 6:98 : Dan Dialah yang menciptakan kalian dari manusia yang satu (nafsin-wahidah), maka (bagi kalian) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.

          Pada ayat (i) Luqman 31:28, Alloh swt. membangkitkan kita dari kubur dengan proses yang sama dengan penciptaan "nafsin-wahidah" (manusia yang satu) yaitu Nabi Adam as. Seorang manusia (nafs / tunggal), bukan manusia-manusia pra Adam yang berjumlah banyak (anfus/nufus).
          Maka pada ke-4 ayat lainnya terjemahan "nafsin-wahidah" adalah sama, yakni manusia tunggal yaitu Nabi Adam as. Kemudian pada ke-3 ayat yang lain yaitu An-Nisa 4:1, Al-A'rof 7:189 dan Az-Zumar 39:6 disebutkan bahwa dari manusia pertama itu diciptakan-Nya isterinya yaitu Siti Hawa.

Dari tafsir ayat dengan ayat ini pula kita ketahui fungsi pasangan manusia adalah:

a. Berkembang biak (4:1, 7:189, 39:6).
b. Bersenang-senang (7:189).

4. Mungkinkah Nabi Adam as. dan Siti Hawa diciptakan sendiri-sendiri?


          Beberapa penafsir modern tidak percaya pada diciptakannya Siti Hawa dari Nabi Adam as. Dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari "bahan baku yang sama".

Secara matematis, dari penciptaan 2 mahluk (laki-laki dan perempuan) ada 3 kemungkinan:

(i) Seorang laki-laki diciptakan dulu, lalu dari padanya diciptakan seorang perempuan.
(ii) Seorang perempuan diciptakan dulu lalu dari padanya diciptakan seorang laki-laki.
(iii) Seorang laki-laki dan seorang perempuan diciptakan sendiri-sendiri.

          Untuk mencari mana yang mungkin dari ketiganya kita harus menggunakan Biologi, khususnya Ilmu Genetika.
Gambar 24 Kromosom Manusia

          Gen manusia (juga hewan-hewan yang mirip manusia) terdiri atas Gen Tubuh (disingkat GT) dan Gen Sex (ada 2 yaitu X dan Y).
Gambar Kromosom Sex XY

          Gen laki-laki adalah (GT + X+Y), sedang gen perempuan adalah (GT + X+X).
Kemungkinan (i) dapat terjadi, yaitu dari gen laki-laki (GT + X+Y), dibuang Y-nya tinggal (GT + X), kemudian X-nya digandakan, terjadilah (GT +X+X) = perempuan. Keduanya adalah satu species, maka perkawinan kedua manusia berbeda jenis kelamin itu akan menghasilkan keturunan.

          Kemungkinan (ii), dari gen perempuan (GT + X+X), dibuang satu X-nya, menjadi (GT + X) seorang laki-laki yang mandul. Contoh dari Ibunda Siti Maryam diciptakan Nabi Isa as. yang tidak pernah kawin (karena mandul).

          Kemungkinan (iii), laki-laki (GT + X+Y) diciptakan sendiri menjadi (GT + X+Y) spesies a. Juga perempuan diciptakan sendiri menjadi (GT + X+X) species b. Karena berbeda spesies (species a dan b), maka perkawinan keduanya tidak bisa menghasilkan keturunan. Hal seperti ini terjadi di Surga dimana perkawinan laki-laki dan bidadari yang berbeda spesies (karena diciptakan sendiri-sendiri) tidak bisa menghasilkan keturunan.

          Maka hanya kemungkinan (i) yang bisa terjadi yaitu seorang laki-laki diciptakan dulu, kemudian dari seorang laki-laki ini diciptakan seorang perempuan.

5. Pemakaian Ta'wil dalam Tafsir.

Yang dimaksud dengan ta'wil adalah:

(i) meninggalkan makna zohir (artinya yang langsung segera dapat ditangkap) dari suatu lafal, dan mengambil maknanya yang lain yang tidak zohir, karena ada suatu dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa arti yang kedua (yang tidak zohir) itulah yang sebenarnya dimaksud.

(ii) menginterpretasikan Al-Qur'an secara allegoris (cerita yang bertujuan
mendidik, bukan yang sebenarnya), simbolis/ lambang (misalkan: putih berarti suci) dan metaforis (misalkan: wanita adalah tiang negara), khususnya pengertian al-Qur'an yang bercorak batiniah.

          Pada masa al-salaf al-awwal, Al-Qur'an ditafsirkan sesuai arti kata aslinya (literal). Pada tafsir yang kemudian, oleh kalangan teolog, filosof dan ahli mistik baru dikembangkan ta'wil simbolis, dengan motivasi dan kepentingan ajaran mereka sendiri. Hal ini melanggar pakem. Al-Hujwiri mengatakan bahwa sebuah interpretasi allegoris tidak boleh bertentangan dengan pengertian lahiriah apalagi menggantikannya, sebab hal ini jelas-jelas merupakan hak (mutlak) Allah dan wahyu-Nya.

Menurut M. Quraisy Shihab:
Prof. Dr. M. Quraisy Shihab, MA

(i). Apabila suatu redaksi sudah cukup jelas, serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka tidak perlu ta'wil dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.

(ii). Akibat dari perkembangan masyarakat, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam menafsirkan Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan ilmiah, maka dapat dilakukan ta'wil.
Tanpa pembatasan, akan terjadi anarki dan dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana pemikiran sementara pembaru, mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wilkan menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, bidadari di-ta'wil-kan sebagai rasa kepuasan seksual saja (tambahan penulis).

6. Bolehkah Kita Menafsirkan Masalah Ghoib?

          Pendapat sebagian mufassirin bahwa kita tidak boleh menafsirkan masalah ghoib berasal dari perbedaan penafsiran kata mutasyabih pada Ali Imron 3:7 berikut:
  

3:7
  
          Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebagian daripadanya ada ayat-ayat yang muhkam, yaitulah ibu dari kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan, maka mereka cari-carilah yang mutasyabih dari padanya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak menta'wil. Pada hal tidaklah mengetahui akan ta'wilnya itu, melainkan Allah. Dan orang-orang yang telah mendalam pada ilmu, berkata mereka, "Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan mengerti, kecuali orang-orang yang mempunyai isi fikiran jua.

          Di dalam "Al-Quran dan Terjemahnya" karangan Departemen Agama (disingkat Depag) ayat-ayat mutasabihat didefinisikan sebagai:
  
(i) ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam;
  
(ii) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghoib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

          Pada angka (ii) sepertinya ada pembatasan bagi kita untuk menafsirkan masalah ghoib (termasuk masalah surga), yang oleh para pembaharu dikatakan bersifat simbolis, allegoris (dan metaforis). Masalah ini telah kita bicarakan di atas.

Pandangan HAMKA berbeda dengan Depag sebagai berikut:

          Terdapatnya ayat-ayat yang mutasyabih dalam Al Qur'an banyak pula faedahnya. Di antaranya ialah bahwa untuk mencapai arti dan maksudnya dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, lebih sukar dari pada ayat yang muhkam. Dengan sebab yang demikian, niscaya lebih besarlah pahala bagi orang-orang yang mujtahid, yang bersungguh-sungguh mengajinya. Penafsir Az-Zamakhsyari dan Ar-Rozi (setelah menguraikan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih ini) akhirnya sampai kepada kesimpulan, yang maksudnya, adanya ayat yang mutasyabih bukanlah menutup pintu buat berfikir, tetapi menambah pahala bagi kesungguhan.

          Hadis tentang gambaran sorga yang dikutip oleh pembahas di dalam akhir makalahnya ("ma la ainun roat "/yang tidak pernah dilihat oleh mata manusia, "wala udzunun sami'at" /yang tidak pernah didengar telinga manusia, "wala khathoro bibali ahadikum" /tidak pernah terlintas dalam hati kalian, sebenarnya adalah gambaran tentang pasar sorga, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik tentang majlis pertemuan mingguan para ahli surga untuk menyaksikan wajah Allah swt. Sepulangnya dari pertemuan itu mereka mampir ke pasar surga yang juga merupakan majlis pertemuan mereka. Kami kutip potongan terjemahannya tentang pasar surga sebagai berikut:

          Dikatakan bahwa mereka pergilah ke satu pasar yang dikelilingi oleh para malaikat. Di dalam pasar itu terdapat benda-benda yang belum pernah dilihat mata (mala ainun roat) , dan belum pernah didengar oleh telinga sebelumnya (wala udzunun sami'at) dan tidak pernah terlintas dalam hati (wala khathoro bibali). Dikatakan, apa saja yang diingini oleh orang itu dibawakan kepadanya, tidak dijual dan tidak dibeli (gratis semuanya).

          Sama halnya kalau kita pergi ke pasar yang berjualan produk elektronik dan teknologi canggih di dunia, kita yang merupakan orang-orang modern dibuat terkagum-kagum menyaksikannya, tidak pernah membayangkan sebelumnya ada barang seperti itu, apalagi orang-orang Arab zaman lampau.

          Jadi hadis ini bukanlah menunjukkan larangan bagi kita (yang merupakan manusia dunia) untuk menggambarkan surga seperti gambaran dunia, karena Nabi saw. sendiri (seorang manusia dunia) menggambarkan surga dengan gambaran dunia kepada para sahabat (yang juga termasuk manusia-manusia dunia). Kita simak hadis tentang (sebagian) keadaan surga sebagai berikut:

          Diriwayatkan oleh Turmizi dan Thobrony dari Luqiad bin Amir: "Ia bertanya kepada Rosululloh saw. Rosululloh, apa-apakah yang ada di dalam surga? Berkata rosululloh: Sungai-sungai dari madu yang tersaring, sungai-sungai dari arak yang tak mengakibatkan mabuk atau sakit kepala, sungai-sungai dari susu yang tak berobah rasanya dan air tawar yang tak pernah berobah rasa, buah-buahan yang lebih baik dari buah terbaik yang pernah engkau jumpai dan isteri-isteri yang suci." Setelah mendengar jawaban Rosululloh itu aku bertanya lagi: "Ya Rosululloh apakah kita mendapatkan isteri-isteri yang baik? Menjawab Rosululloh: "Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan kamu akan merasakan nikmat dengan mereka seperti kamu merasakan nikmat dengan isteri-isterimu di dunia ini.
          
          Kedua hadis di atas penulis kutip dari buku karangan Bey Arifin berjudul "Hidup Sesudah Mati" 20). Menurut beliau membicarakan masalah akhirot (meskipun tidak bisa dibuktikan secara empiris, pen.) sangat penting dan berguna untuk meningkatkan iman terhadap akhirot. Karena pentingnya, Alloh swt. menyebutnya berulang-ulang di dalam Al Qur'an dan membandingkan keadaan di akhirot ini dengan keadaan di dunia, agar kita manusia dunia ini mengerti.

          Adapun maksud dari Ali Imron 3:7 yang telah kami kutip di atas: (Pada hal tidaklah mengetahui akan ta'wilnya itu, melainkan Alloh), adalah kita tidak boleh menta'wilkan sendiri (ayat-ayat mutasyabih itu), tetapi hendaklah menanyakan ta'wilnya kepada Alloh swt. sendiri dengan jalan membacanya di dalam Al Qur'an pada ayat-ayat yang lain, yaitu dengan cara "menafsirkan ayat dengan ayat" seperti telah kita bahas di atas (Bab III ayat 3 dan 4).

          Ta'wil tentu ada batasnya, HAMKA berpendapat untuk tidak membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan, seumpama ayat yang menerangkan bahwa Tuhan mempunyai tangan dan sebagainya.


BAB IV PENUTUP

        
          Demikian jawaban penulis terhadap makalah tanggapan Ibu Dra. Hj. Hamdanah, Mhum berjudul "Paradigma Baru Teologi Perempuan" terhadap makalah saya berjudul "Teori Lama dan Teori Modern pada Tafsir (Ayat Bidadari) Surat Al-Waqi'ah dan Perubahan Kelamin di Telaga Kautsar" di dalam Halal bi Halal Muslimat NU tanggal 16-12-2003. Untuk itu kepada Ibu Hamdanah sekali lagi penulis mengucapkan banyak terima kasih.
          Dalam makalah ini kami hanya membahasnya secara deduktif (berdasar wahyu). Penulis sengaja tidak membahasnya secara induktif (berdasarkan data empiris, penemuan fosil manusia purba) karena terlalu luas sehingga tidak mungkin tertampung dalam makalah yang terbatas ini.
          Juga penulis tidak membahas masalah Theologi Perempuan/ Kesetaraan Gender yang tentunya memerlukan makalah tersendiri.

Wallohu a'lam bissawab.

Jember, 2 Januari 2004

Dr. H.M. Nasim Fauzi
JI. Gajah Mada 118,
Tlp. 481127 Jember

Kepustakaan

1). Prof. Dr. HAMKA, Tafsir A1-Azhar, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981, Juzu' IV hal. 243-248.
2). Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1960
3). Ir. Agus Miradi, Siapakah Manusia Pertama itu ?, Yayasan Tunas Daud, Jakarta, 2001
4). Menurut Dr. C.A. van Peursen dalam Tubuh, Jiwa, Roh (1981), dalam. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur'an, Jakarta, 1996, h. 255.
5). Prof. Dr. H. Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1992.
6). Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, CV Diponegoro, Bandung, 1982.
7). Dr. M. Quraisy Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, h 94.
8). Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran, PT Tiara Wacana, Yogjakarta, 1993.
9). Abdulqadir Hassan, Qamus Al-Quran Yayasan Al-Muslimun, Bangil, 1991.
10). Ali Audah, Konkordansi Quran, Litera AntarNusa dan Mizan, Bogor, 1997.
11) Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, PT RajaOrafindo Persada, Jakarta, 2002.
12). Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, CV Asy-Syifa, Semarang, 1999.
13). Bey Arifin, Hidup Sesudah Mati, Kinanda, Jakarta, 1998.