Definisi korupsi
Menurut Poerwadarmina,
Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya yang dapat dikenakan
sanksi hukum atau pidana.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut
UU No. 31 Tahun 1999,
Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda
paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Masalah korupsi di Indonesia
Peringkat Korupsi Negara Anggota ASEAN
(makin kecil angkanya, makin kecil korupsinya)
Singapura - Peringkat 7 dari 175 Negara
Negeri singa laut ini sejak lama dikenal
minim korupsi. Dari tahun ke tahun Singapura nyaris tak pernah absen dari daftar
10 besar negara terbersih di dunia. Namun begitu beberapa sektor tetap dianggap
rawan korupsi, antara lain media, industri dan partai politik.
Malaysia - 50 dari 175
Praktik
korupsi di Malaysia didorong oleh sistem pemerintahan. Sumbangan buat partai
politik misalnya, baik dari perusahaan maupun individu, tidak dibatasi dan
partai tidak diwajibkan melaporkan neraca keuangannya secara terbuka. Kendati
bergitu sejak 2013 Malaysia naik tiga peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi
milik Transparency International.
Thailand - 85 dari 175
Pertalian erat antara politik dan bisnis
dinilai menjadi sumber ter-besar praktik korupsi di Thailand. Tidak jarang
posisi puncak di ke-mentrian diambilalih oleh pengusaha yang bergerak di bidang
yang sama. Thailand juga termasuk negara yang paling sedikit menjebloskan
koruptor ke penjara.
Filipina - 85 dari 175
Pemerintah negeri kepulauan di tepi laut
Cina Selatan ini telah berbuat banyak buat mencegah praktik korupsi. Hasilnya
posisi Filipina melejit dari peringkat 94 tahun 2013 lalu ke posisi 85 di tahun
2014. Pencapaian tersebut tergolong apik, mengingat tahun 2011 Filipina masih
bercokol di peringkat 129 dari 175 negara.
Indonesia - 107 dari 175
Indonesia
berada di peringkat 114 tahun 2013 silam. Dibandingkan negeri jiran yang lain
seperti Filipina, pemerintah di Jakarta masih ter-golong lambat memberantas
praktik korupsi di tingkat pejabat tinggi negara. Sejak awal berdirinya 2004
silam, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tercatat cuma mampu menangani sekitar
660 kasus dugaan korupsi, yang membuahkan 322 tuntutan di pengadilan.
Vietnam - 119 dari 175
Negara komunis Vietnam adalah satu dari
sedikit negara ASEAN yang tertinggal di bidang penanganan korupsi. Uniknya
sebagian besar kasus dugaan korupsi di Vietnam terjadi di sektor swasta.
Baru-baru ini empat pejabat perusahaan kereta api negara dipecat lantaran
terlibat dalam kasus suap senilai 758.000 US Dollar. Maraknya korupsi menjadi
alasan rendahnya keterlibatan investor asing di Vietnam.
Laos - 145 dari 175
Laos tidak cuma tertinggal, malah merosot
dari peringkat 140 di tahun 2013 ke posisi 145 tahun lalu. Pemerintah Laos
berupaya menghadang gelombang korupsi dengan mendirikan lembaga anti rasuah
2011 silam. Namun hingga kini belum tercatat adanya kasus korupsi besar yang
masuk ke pengadilan.
Kamboja - 156 dari 175
Sejak 2010
pemerintah Kamboja memiliki Undang-undang Anti Korupsi. Tapi perangkat hukum
tersebut dinilai tidak melindungi individu yang melaporkan kasus korupsi.
Pelapor bisa dihukum penjara jika tudingannya tidak terbukti. Selain itu
Kamboja juga mencatat jenis korupsi paling barbarik, yakni menyuap aparat
negara untuk melakukan penculikan dalam bisnis perdagangan manusia.
Myanmar - 156 dari 175
Negara yang dikenal dengan nama Burma ini
memperbaiki posisi satu peringkat dari 157 ke 156 dalam Indeks Persepsi Korupsi
2014. Berada di bawah kekuasaan militer yang korup selama berpuluh tahun,
Myanmar yang kini berada di bawah pemerintahan sipil masih kesulitan
menanggulangi maraknya korupsi. Sebanyak 60% perusahaan, baik lokal maupun
internasional, mengaku harus menyuap buat mendapatkan izin.
BERIKUT INI ADALAH 13 KASUS KORUPSI TERBESAR DALAM SEJARAH
BANGSA INDONESIA.
1. KASUS EDY TANSIL kerugian Negara US$ 565 juta atau
sekitar 5,3 Trilyun Rupiah Kurs sekarang atau sama dengan 5.300 Milyar atau
sekitar 5.300.000 juta rupiah atau sebanyak 106 juta lembar uang pecahan 50
ribu
2. KASUS PAK HARTO Kerugian negara tidak dapat
ditaksir karena sedemikian besarnya.
3. KASUS HPH DAN DANA REBOISASI Total Kerugian Negara sekitar US$
1,5 Milyar atau sekitar 15 Trilyun.
4.
KORUPSI BBM BERSUBSIDI diperkirakan kerugian Negara 5 Milyar US$ atau sekitar 50 Trilyun atau
sekitar 1 milyar lembar uang 50 ribu
5. KASUS PLTU PAITON I Probolinggo kerugian negara US$ 800 juta atau
sekitar 7,6 Trilyun Rupiah.
6. KASUS BANK CENTURY kerugian negara US$ 670 Juta
7. Kasus Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006.
Kerugian ditaksir mencapai US$ 230 juta.
8. Korupsi Pengelolaan Dana PNBP pada kementrian Kominfo Kerugian Negara Ditaksir sekitar
US$ 240 Juta
9. Kasus Korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan Kerugian Negara ditaksir US$120 Juta
10. Kasus Nazarudin Kerugian Negara ditaksir US$ 600 juta
11. Kasus Pencurian Pulsa Oleh Operator (Kasus Black
Oktober) , Negara
dan Rakyat Indonesia dirugikan 100 Juta US$ atau 1 Trilyun Rupiah.
12. KASUS KORUPSI PERTAMINA diperkirakan kerugian negara
mencapai 400 Juta dollar
13. KASUS BLBI kerugian negara US$ 13,84 Milyar
12-12-2012 20:58
12 Pejabat Negara yang Divonis sebagai Koruptor
08 March 2016 |
Editor : Risnawati Avin
iyaa.com |
Jakarta: Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi membuat terobosan baru.
Dia meminta kepada sejumlah instansi dan lembaga negara untuk menon-aktifkan
atau memberhentikan sementara Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS yang terlibat
korupsi dan pelanggaran pidana lainnya.
Hal tersebut tentu menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Hal tersebut tentu menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Berikut ini iyaa.com
rangkum beberapa pejabat negara yang terlibat kasus korupsi dan telah divonis
pengadilan:
1. Jero Wacik, tersangkut kasus penyalahgunaan
dana operasional menteri (DOM) dan menerima gratifikasi. Bekas Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini divonis empat tahun penjara.
2. Luthfi Hassan
Ishaaq, tersangkut
kasus suap dalam impor daging pada Kementerian Pertanian. Anggota DPR dari
fraksi PKS periode 2009-2014 dan bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini
divonis 16 tahun penjara.
3. Rudi Rubiandini, tersangkut kasus suap dari Kernel
Oil senilai USD 400 ribu. Penangkapan Rudi dianggap sebagai sebuah pukulan,
meng-ingat mantan Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas ini dikenal sebagai
pribadi yang bersih dan jujur.
4. Ratu Atut Chosiyah, tersangkut kasus korupsi pengadaan
alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak,
Banten. Gubernur Banten non aktif ini divonis 4 tahun penjara.
5. Miranda S. Goeltom, tersangkut kasus suap cek pelawat
untuk ang-gota DPR. Uang tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Mantan Deputi Gubernur
Senior BI ini kemudian divonis 3 tahun penjara.
6. Burhanuddin
Abdullah,
tersangkut kasus penyalahgunaan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar. Bekas Gubernur Bank
Indonesia (BI) itu divonis 5 tahun penjara.
7. Aulia Pohan, tersangkut kasus yang sama dengan
Burhanuddin Abdullah. Besan bekas Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang juga
mantan deputi gubernur BI ini divonis penjara 4,5 tahun penjara.
8. Urip Tri Gunawan, tersangkut kasus suap telah
menerima uang USD 610.000 dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul
Nursalim. Urip saat itu sebagai jaksa untuk kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) divonis 20 tahun penjara.
9. Andi Malarangeng, tersangkut kasus korupsi pembangunan
Wisma Atlet di Hambalang. Ia sempat mengundurkan diri dari jabatannya seba-gai
Menteri Pemuda dan Olahraga, sebelum kemudian divonis 4 tahun penjara.
10. Akil Mochtar, tersangkut kasus suap menerima Rp 3
miliar dari bupati Gunung Mas dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus
sengketa Pilkada. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini merupakan satu-satunya
terpidana korupsi yang mendapat vonis seumur hidup dari Pengadilan Tipikor.
11. Suryadharma Ali, tersangkut kasus dugaan korupsi
dana penye-lenggaraan ibadah haji. Bekas menteri agama yang juga bekas Ketua
Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) divonis 6 tahun penjara. Hakim pada
sidang putusan 11 Januari 2016 mengungkapkan total ke-rugian negara dari kasus
ini mencapai Rp 27 miliar ditambah 17,96 juta riyal.
12. Irjen Djoko Susilo, tersangkut kasus korupsi dalam
proyek simu-lator ujian surat izin mengemudi (SIM). Bekas kepala
korps lalu lintas Polri ini divonis 18 tahun oleh Pengadilan Tipikor.
12-12-2012 20:55
13
KASUS KORUPSI POPULER
Tidak Masuk List
Karena Jumlah Korupsi / kerugian Belum masuk kategori MegaSuper..
Quote:
Tidak Masuk List
Karena Jumlah Korupsi / kerugian Belum masuk kategori MegaSuper..
Quote:
1. Kasus
suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT)
di Kemenakertrans
Sumber suaramerdeka,kpk.go.id
2. Kasus Suap Kabupaten Buol
Sumber :tempo
3. Kasus Korupsi Mantan Bareskrim Susno Duaji
Sumber : Kompas
4. Kasus Cek Pelawat Deputi Gubernur Bank Indonesia
Sumber :BBC
kompasiana
5. Kasus Korupsi Markus Gayus Tambunan
Sumber :wikipedia
viva news
6. Kasus Korupsi pengadaan Al Quran pada kementrian agama
Sumber :republika
tempo
Sumber suaramerdeka,kpk.go.id
2. Kasus Suap Kabupaten Buol
Sumber :tempo
3. Kasus Korupsi Mantan Bareskrim Susno Duaji
Sumber : Kompas
4. Kasus Cek Pelawat Deputi Gubernur Bank Indonesia
Sumber :BBC
kompasiana
5. Kasus Korupsi Markus Gayus Tambunan
Sumber :wikipedia
viva news
6. Kasus Korupsi pengadaan Al Quran pada kementrian agama
Sumber :republika
tempo
7. Kasus korupsi wisma
atlet Sea games dan Hambalang pada Kementrian Pemuda dan Olahraga
melibatkan sejumlah nama elit politik
Angelina sondakh
Andi Malarangeng
melibatkan sejumlah nama elit politik
Angelina sondakh
Andi Malarangeng
8. korupsi Proyek
pengadaan Alat belajar mengajar di kemendiknas
Sumber :lkpp
9. Korupsi pengadaan alat kesehatan di Kemenkes.
Sumber :suara Merdeka
kompasiana
Sumber :lkpp
9. Korupsi pengadaan alat kesehatan di Kemenkes.
Sumber :suara Merdeka
kompasiana
10. Korupsi pengadaan alat
bantu SIM pada Kepolisian
Sumber :suarakarya
Sumber :suarakarya
11. Korupsi Pengadaaan Helikopter mantan Gubernur Aceh A
Puteh
[URL="http://news.detik..com/read/2012/05/04/185557/1909682/10/6-dari-11-gubernur-di-sumatera-pernah-dipenjara-karena-korupsi"]detiknews[/URL]
[URL="http://news.detik..com/read/2012/05/04/185557/1909682/10/6-dari-11-gubernur-di-sumatera-pernah-dipenjara-karena-korupsi"]detiknews[/URL]
12. Korupsi Dana APBD Kabupaten Langkat Sumut
Kerugian Negara sekitar 10 Juta US$
Sumber : posmetro Medan
Kerugian Negara sekitar 10 Juta US$
Sumber : posmetro Medan
13. kasus korupsi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog
yang merugikan keuangan negara Rp 96 miliar. Kasus ini melibatkan Beddu Amang, Ricardo Gelael dan Tommy Suharto.
yang merugikan keuangan negara Rp 96 miliar. Kasus ini melibatkan Beddu Amang, Ricardo Gelael dan Tommy Suharto.
Sumber :korupedia
Daftar Pejabat Penerima Uang Kasus Korupsi E-KTP
Oleh: Muhammad Irfan
9 Maret,
2017 - 14:09
Berkas kasus
korupsi e-KTP/ANTARA
SEJUMLAH Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara
kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 1 Maret 2017 lalu. Berkas
perkara kasus E-KTP dengan total 24 ribu halaman tersebut milik dua tersangka
mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi
Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.*
JAKARTA, (PR).- Dakwaan yang dibacakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana korupsi pengadaan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik 2011-2012 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,
Kamis 9 Maret 2017 mencengangkan banyak pihak.
Sejumlah
nama pejabat besar ikut terseret karena diduga mendapat aliran dana dari
korupsi itu. Beberapa pejabat yang disebut di antaranya mantan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Gamawan Fauzi, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum, Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto,
hingga Menteri Hukum dan HAM saat ini Yasonna Laoly.
Dalam
dakwaan yang dibacakan tim jaksa KPK yang beranggotakan Eva Yustisiana, Wawan
Yunarwanto, Irene Putrie, Abdul Basir, Mocha-mad Wiraksajaya, Ariawan
Agustartono, Taufiq Ibnugroho, dan Mufti Nur Iriawan itu, disebutkan Gamawan mendapat 4,5 juta dolar dan Rp
50 juta.
Anas Urbaningrum mendapat 5,5 juta
dolar dan Rp 20 miliar. Setya Novanto
menerima 615.000 dolar dan Rp 25 juta. Yasonna
yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR RI mendapat 84.000 dolar.
Selain
itu, disebut juga nama Marzuki Alie,
mantan Ketua DPR RI 2009-2014 yang mendapat Rp 20 miliar. Ade Komaruddin, mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar menerima
100.000 dolar. Olly Dondo-kambey menerima 1,2 juta dolar.
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah
yang saat itu duduk di Komisi II DPR periode 2009-2014 menerima 584.000 dolar
dan Rp 26 juta. Agun Gunandjar Sudarsa
selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menerima 1,047 juta dolar. Mirwan Amir menerima 1,2 juta dolar. Melchias Markus Mekeng menerima 1,4
juta dolar.
Dalam sidang
itu dihadirkan pula dua terdakwa kasus korupsi tersebut yakni mantan Dirjen
Dukcapil Kemendagri Irman serta Sugiharto, eks Ketua Panitia Lelang Proyek
e-KTP.
Jaksa KPK
juga menyebut aliran dana korupsi proyek e-KTP tak hanya mengalir ke anggota DPR.
Diketahui, auditor BPK, staf di Ke-menterian Keuangan, staf di Kementerian
Dalam Negeri, dan beberapa pihak lainnya pun ikut menikmati uang tersebut. Berdasarkan
daftar, ada 12 nama dari lembaga-lembaga tersebut yang menerima uang berkisar
antara Rp 10 juta sampai Rp 80 juta.
"Bahwa
selain memberikan sejumlah uang kepada Komisi II DPR, pada bulan
November-Desember 2012, terdakwa II (Sugiharto) juga memberikan sejumlah uang
kepada staf pada Kemendagri, Kemenkeu, BPK, sekretariat Komisi II DPR, dan Bappenas
yang terkait dengan pengusulan dan pembahasan tambahan anggaran penerapan KTP
berbasis NIK secara nasional," kata Jaksa KPK.***
Sudah 290 Kepala Daerah Terjerat Hukum
Anita Yossihara
Kompas.com - 06/02/2013, 11:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sedikitnya sudah 290 kepala daerah tersangkut masalah
hukum. Dari 290 itu, sebanyak 86,2 persen di antaranya menjadi tersangka,
terdakwa, dan terpidana karena me-lakukan korupsi.
Data
itu kembali disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja
dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2013).
"Sekarang
ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi
tersangka, terdakwa, dan terpidana," katanya. Mayoritas atau sekitar 86,2
persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi.
Korupsi
ditengarai dilakukan lantaran tingginya dana
kampanye yang harus dikeluarkan kepala daerah. Oleh karena itu,
Gamawan meminta agar fakta-fakta itu dijadikan pertimbangan dalam pembaha-san
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Untuk diketahui, saat ini, RUU Pilkada
sudah memasuki pembahas-an tingkat satu. Pembahasan dilakukan oleh Komisi II
dan pemerintah
dengan
mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi adanya wacana pilkada tidak langsung.
Tribun
Medan/DEDY SINUHAJI
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi
berbincang dengan Plt Gubernur Sumut, Gatot
Pudjo
Nugroho dalam sebuah acara belum lama ini.
Laporan Wartawan
Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi
adanya wacana pilkada tidak langsung. Ide itu menyatakan bahwa pemilihan kepala
daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Gamawan
mengatakan, pemilihan tidak langsung itu bisa diterapkan pada tingkat provinsi.
"Ya untuk tingkat provinsi diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten
kota masih tetap pemilihan langsung," kata Gamawan di gedung DPR, Jakarta,
Senin (24/9/2012).
Gamawan
mengatakan, pilkada tidak langsung itu selaras dengan UUD 1945 yakni perwakilan
bagi seluruh rakyat Indonesia. "Kalau kita menganut itu ya harus melalui
perwakilan saja," imbuhnya.
Selain
itu, Gamawan, mengatakan, Pilkada tidak langsung akan menghemat biaya.
"Ya itu di dalam kampanye ada rencana itu (pilkada perwakilan).
Tapi kalau sudah melalui DPRD itu biayanya pasti murah. Karena tidak perlu
kampanye lagi dan tidak usah juga kampanye di luar lagi cukup di DPRD saja
seperti menyampaikan visi dan misi," tukasnya.
Sebelumnya,
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama merekomendasikan pemilihan
kepala daerah, baik gubernur maupun bupati / wali kota, dilaksanakan secara
tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Rekomendasi
tersebut merupakan hasil pembahasan komisi maudluiyah yang dipimpin oleh KH
Hartami Hasni di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
"NU
berpendapat pilkada langsung harus ditinjau ulang, kembali ke pilkada tidak
langsung oleh DPRD," kata Katib Aam PBNU KH Malik Madaniy saat menjelaskan
hasil rapat komisi kepada wartawan.
Alasannya, selain pilkada langsung tidak
sesuai dengan Pancasila, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar
dibandingkan kemaslahatan yang diperoleh.
Penulis:
Ferdinand Waskita
Editor: Anwar Sadat Guna
Selama 11 Tahun, Ada 56 Kepala Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi di KPK
Ikhwanul Khabibi - detikNews
|
Namun, sebelum terkecoh janji para calon kepala daerah, tak ada salahnya menilik data terkait kisah para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Salah satunya, adalah kisah para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK.
Dalam data yang didapat dari pihak KPK, Kamis (6/8/2015), hingga saat ini, setidaknya sudah ada 56 kepala daerah yang terjerat kasus hukum di KPK. Terhitung sejak KPK berdiri pada tahun 2003, kepala daerah merupakan salah satu objek bidang penindakan KPK.
56 kepala daerah yang telah terjerat KPK terdiri dari gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati dan wakil bupati. Rata-rata dari para kepala daerah itu terjerat kasus penyalahgunaan wewenang, baik dalam pe-ngelolaan anggaran dan aset daerah ataupun penyalahgunaan terkait perizinan. Namun ada pula kepala daerah yang terjerat kasus penyu-apan.
Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan KPK, kepala daerah yang mempraktikan politik dinasti paling rawan korupsi. Hal itupun terbukti dari beberapa kasus yang telah ditangani KPK.
"Potensi korupsi dalam politik dinasti memang sangat memungkin-kan berdasarkan praktik empiris, seperti kasus Gubernur Banten atau kasus Bupati Empat Lawang," kata Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji beberapa waktu yang lalu.
Para kepala daerah yang memiliki kewenangan begitu besar memang lebih berpotensi terjerat kasus hukum karena penyalahgunaan wewenang. Bahkan, berdasarkan data di KPK, tak sedikit kepala daerah yang terjerat lebih dari satu kasus.
Berikut daftar kepala
daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK selama 11 tahun ini :
1. Abdullah Puteh Gubernur NAD, TPK dalam
pengadaan pesawat Helikopter Mi-2 milik Pemerintah Provinsi NAD.
2. Suwarna Abdul
Fatah Gubernur Kalimantan Timur , TPK pelaksanaan Program Pembangunan Perkebunan Kelapa
Sawit sejuta Hektar di Kalimantan Timur yang diikuti dengan Penerbitan Ijin
Pemanfaatan Kayu Tahun 1999-2002
3. Abubakar
Ahmad, Bupati Dompu , TPK pengeluaran atau penggunaan dana yang tidak sesuai dengan
peruntukannya pada Dana Tak Tersangka APBD Kabupaten Dompu TA
2003-2005
4. Sjachriel
Darham, Gubernur Kalimantan
Selatan
PK penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai dengan peruntukannya pada
Anggaran Belanja Rutin Pos Kepala Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2001 s.d
2004
5. Hendy
Boedoro, Bupati Kendal TPK penyalahgunaan wewenang penggunaan Dana APBD TA 2003 Pos Dana Tak
Tersangka Dana Alokasi Umum dan Dana Pinjaman Daerah Kabupaten Kendal yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
6. Syaukani HR ,
Bupati Kutai Kartanegara TPK dalam pelaksanaan proyek pembangunan Bandara Samarinda Kutai
Kartanegara yang terjadi di pemerintahan Daerah Kutai Kartanegara Propinsi
Kalimantan Timur, tahun 2003 s.d 2004
7. Baso Amiruddin Maula , Walikota Makassar TPK
Proyek Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk Tohatsu Tipe V-80-ASM di
Pemerintah Kota Makassar APBD Tahun 2003 dan 2004
8. Abdillah, Walikota
Medan, TPK Proyek
Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk MORITA di Pemerintah Kota Medan APBD
Tahun 2005 dan TPK Penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pemerintah Kota Medan TA 2002 sd 2006
9. Ramli, Wakil
Walikota Medan, TPK
Proyek Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk MORITA di Pemerintah Kota Medan APBD Tahun 2005
10. Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan,TPK penyalahgunaan perijinan dalam penerbitan IUP HHK-HT/IPK tahun 2001 sd 2006 di wilayah Kabupaten Pelalawan kepada sejumlah perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
10. Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan,TPK penyalahgunaan perijinan dalam penerbitan IUP HHK-HT/IPK tahun 2001 sd 2006 di wilayah Kabupaten Pelalawan kepada sejumlah perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
11. Agus Supriadi,
Bupati Garut, TPK
penyimpangan penggunaan dana APBD Garut TA 2004 s.d 2007
12. Vonnie A
Panambunan, Bupati Minahasa Utara, TPK penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
13. Iskandar, Bupati
Lombok Barat, TPK pada ruislag tanah dan bangunan eks kantor Bupati
Lombok Barat tahun 2004
14. Dany Setyawan,
Mantan Gubernur Jawa Barat, TPK pengadaan mobil pemadam kebakaran , mobil ambulan, stoom walls dan
dump truck oleh pemerintah Jawa Barat tahun 2003
15. Armen Desky,
Bupati Aceh Tenggara,
TPK dalam pengelolaan APBD Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara TA
2004-2006
16. Jimmy Rimba Rogi,
Bupati Manado,
TPK penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pemerintah
Kota Manado TA 2006
17. Samsuri Aspar,
Wakil Bupati Kutai Kartanegara, TPK penyalahgunaan anggaran bantuan sosial Kabupaten Kutai
Kartanegara tahun 2005
18. Ismunarso,
Bupati Situbondo,
TPK Penyalahgunaan APBD Kabupaten Situbondo TA 2005 – 2007
19. Syahrial Oesman,
Mantan Gubernur Sumatera Selatan, TPK perbuatan turut serta terhadap pemberian sejumlah
dana kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan proses
permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang Sumatera
Selatan.
20. Jules F Warikar,
Bupati Kabupaten Supiori, TPK dalam kegiatan pembangunan Pasar Sentral Supiori, terminal induk
kabupaten Supiori, Rumah Dinas Eselon Kabupaten Supiori, dan renovasi pasar
sentral Supiori untuk kantor cabang Bank Papua dengan menggunakan dana APBD
Kabupaten Supiori TA 2006-2008
21. Hamid Rizal, Mantan Bupati Natuna, TPK penyalahgunaan APBD Kabupaten Natuna TA 2004 yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pengeluaran kas tidak disertai bukti yang lengkap dan sah.
21. Hamid Rizal, Mantan Bupati Natuna, TPK penyalahgunaan APBD Kabupaten Natuna TA 2004 yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pengeluaran kas tidak disertai bukti yang lengkap dan sah.
22. H Daeng Rusnadi,
Bupati Natuna, TPK
penyalahgunaan APBD Kabupaten Natuna TA 2004 yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan pengeluaran kas tidak disertai bukti yang lengkap dan sah.
23. Arwin AS, Bupati
Siak, TPK terkait
penerbitan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman tahun
2001 sampai dengan 2003 di wilayah kabupaten Siak kepada sejumlah perusahaan
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengakibatkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara dan atau menerima hadiah
berkaitan dengan kekayaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya
24. Ismeth Abdullah,
Gubernur Kepulauan Riau, TPK dalam peng-adaan Mobil Pemadam kebakaran Merek
Morita Tahun Anggaran 2004 dan 2005 di Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam
25. Indra Kusuma,
Bupati Brebes, TPK
dalam pengadaan tanah untuk pasar pada pemerintah kabupaten Brebes TA
2003
26. Yusak Yaluwo,
Bupati Boven Digoel,
TPK penyalahgunaan dana APBD dan OTSUS Pemda Kabupaten Boven Digoel Prop Papua
TA 2006-2007
27. Syamsul Arifin,
Gubernur Sumatera Utara, TPK dalam penyalah-gunaan dan pengelolaan kas daerah Kabupaten Langkat serta penyalah-gunaan penggunaan APBD Kabupaten Langkat pada tanun 2000-2007
28. Jefferson
Soleiman Montesqieu Rumajar, Walikota Tomohon, TPK dalam penggunaan APBD
Pemkot Tomohon TA 2006-2008
29. Mochtar Mohamad,
Walikota Bekasi,
TPK dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan APBD Pemerintah Kota
Bekasi dan atau perbuatan melakukan percobaan perbantuan, atau permufakatan
jahat untuk memberi atau menjanjikan sesuatu terkait dengan Adipura dan
pengesahan APBD 2010.
30. Binahati B Baeha,
Bupati Nias, TPK
dalam pengelolaan dana penanggulangan bencana alam Nias Tahun 2007
31. Robert Edison
Siahaan, Mantan Walikota Pematang Siantar, TPK dalam Pengelolaan Dana Bantuan Sosial
Sekretariat Daerah dan Dana rehabilitasi / Pemeliharaan Dinas Pekerjaan Umum
pada APBD Kota Pematang Siantar TA 2007
32. Fahuwusa Laila,
Bupati Nias Selatan,
TPK memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
33. Murman
Effendi, Bupati Seluma, TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
34. Soemarmo Hadi
Saputro, Walikota Semarang, TPK terkait dengan pemberian sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara bersama sama dengan Sekda Kota Semarang.
35. Amran Batalipu,
Bupati Buol, TPK
berupa menerima sesuatu atau janji terkait dengan proses pengurusan Hak Guna
Usaha (HGU) Perkebunan atas nama PT Cipta Cakra Murdaya dan atau PT Hardaya
Inti Plantation yang terletak di Kecamatan Bukal Kab. Buol Sulawesi
Tengah
36. Muhammad Hidayat Batubara, Bupati Mandailing Natal, Perkara TPK
pemberian sesuatu oleh PN dan atau pegawai negeri dan atau pihak-pihak tertentu
Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal kepada PN atau pegawai negeri dan atau
pihak-pihak tertentu Pemerintah Propinsi Sumatera Utara terkait alokasi Dana
Bantuan Daerah (DBD) tahun 2013
37, Dada Rosada,
Walikota Bandung,
Perkara TPK berupa memberi hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara
Tindak Pidana Korupsi mengenai penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota
Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman (Mantan
Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung)
38. Hambit Bintih,
Bupati Gunung Mas,
Perkara TPK memberi sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berkaitan dengan
Penanganan Perkara Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung
Mas Propinsi Kalimantan Tengah
39. Rusli
Zainal, Gubernur Riau,
Perkara TPK sehubungan dengan pemberian pengesahan Bagan Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (BKUPHHKHT) pada areal hutan alam
dalam kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten
Siak tahun 2004.
40. Ratu Atut
Chosiyah, Gubernur Banten, Perkara TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili berkaitan dengan penanganan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) Kabupaten Lebak, Propinsi Banten Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
41. Ikmal Jaya,
Walikota Tegal,
perkara TPK sehubungan dengan pelaksanaan tukar guling tanah antara Pemerintah
Kota Tegal dengan pihak swasta tahun 2012.
42. Ilham Arief
Sirajuddin, Walikota Makassar, ,perkara TPK sehubungan dengan pekerjaan kerjasama
rehabilitasi, kelola dan transfer untuk instalasi pengolahan air antara PDAM kota Makassar dengan pihak swasta periode tahun
2006 - 2011.
43. Rachmat Yasin,
Bupati Bogor,
perkara TPK sehubungan dengan menerima hadiah atau janji terkait pemberian
rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di kabupaten bogor atas nama PT. Bukit Jonggol
Asri.
44. Romi Herton,
Walikota Palembang,
perkara TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah Kota Palembang di
Mahkamah Konstitusi tahun 2013 dan dengan sengaja tidak memberikan keterangan
atau memberikan keterangan yang tidak benar terkait persidangan atas nama
terdakwa M. Akil Mochtar di pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta.
45. Yesaya Sombuk,
Bupati Biak Numfor,
perkara TPK sehubungan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya Pengurusan APBN-P TA 2014 pada Kementerian PDT
untuk proyek pembangunan TALUD di Kabupaten Biak Numfor Provinsi
Papua.
46. Ade Swara, Bupati
Karawang, dugaan
TPK sehubungan dengan pegawai negeri/penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu terkait
pengurusan izin Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang (SPPR) atas nama PT.
Tatar Kertabumi di Kabupaten Karawang.
47. Raja Bonaran
Situmeang, Bupati Tapanuli Tengah, TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada M. Akil Mochtar selaku Hakim Mahkamah Konstitusi dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2011 yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
48. Amir Hamzah, Wakil
Bupati Lebak,
dugaan TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili berkaitan dengan penanganan perkara sengketa Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Tahun 2013 di Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia atau memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut.
49. Zaini Arony,
Bupati Lombok Barat,
dugaan TPK sehubungan dengan proses permohonan izin pengembangan kawasan Wisata
di Lombok Barat Tahun 2010 s.d. 2012.
50. Fuad Amin, Bupati
Bangkalan, dugaan
TPK sehubungan dengan menerima hadiah atau janji terkait dengan jual beli gas
alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur Bangkalan Madura, Jawa
Timur dan perbuatan penerimaan lainnya.
51. Barnabas Suebu,
Gubernur Papua,
dugaan TPK sehubungan dengan Kegiatan Detail Engineering Design (DED) PLTA
sungai Mem-beramo dan Sungai Urumuka tahun 2009 dan 2010 di Propinsi
Papua.
52. Annas Maamun,
Gubernur Riau,
dugaan TPK sehubungan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji dngan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan pengajuan Revisi
Alih Fungsi Hutan di Provinsi Riau Tahun 2014 kepada Kementerian
Kehutanan.
53. Marthen Dira Tome, Bupati Abu Raijua, dugaan TPK dalam kegiatan penyalahgunaan kewenangan dalam menggunakan Dana Pendidikan Luar Sekolah pada Sub Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2007
53. Marthen Dira Tome, Bupati Abu Raijua, dugaan TPK dalam kegiatan penyalahgunaan kewenangan dalam menggunakan Dana Pendidikan Luar Sekolah pada Sub Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2007
54. Budi Antoni
Aljufri, Bupati Empat Lawang, TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempe-ngaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah kabupaten empat lawang
di Mahkamah Konstitusi tahun 2013
55. Rusli Sibua,
Bupati Pulau Morotai,
TPK memberi atau menjan-jiakn sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili terkait
dengan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Pulau Morotai di Mahkamah
Konstitusi tahun 2011
56. Gatot Pujo
Nugroho, Gubernur Sumatera Utara, TPK bersama-sama memberi atau menjanjikan sesuatu berupa
uang kepada majelis hakim dan panitera PTUN Medan, Sumatera Utara dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
terkait permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera
Utara sesuai UU No 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan atas
penyelidikan tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dana bantuan
sosial (bansos), bantuan daerah bawahan (BDB), bantuan operasional sekolah
(BOS), dan penahanan pencairan dana bagi hasil (DBH) yang dilakukan Gubernur Sumatera
Utara di PTUN.
ICW: Setiap Tahun Rata-Rata 350 PNS Diduga Terlibat Korupsi
Indonesia
Corruption Watch mengungkapkan sejak 2010 hingga 2018 jumlah PNS yang diduga
kuat terlibat perkara korupsi setiap tahunnya rata-rata mencapai 350 orang.
Sholahuddin
Al Ayyubi | 20 Februari 2019 17:45 WIB
- Indonesia Corruption Watch (ICW): Setiap Tahun Rata-Rata 350 PNS Diduga Terlibat Korupsi - Antara
Bisnis.com, JAKARTA--Indonesia Corruption Watch
mengungkapkan sejak 2010 hingga 2018 jumlah PNS yang diduga kuat terlibat
perkara korupsi setiap tahunnya rata-rata mencapai 350 orang.
Kepala Staf Divisi Investigasi ICW Wana
Alamsyah mengakui tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PNS lembaga dan
kementerian kini tengah menjadi tren di Indonesia.
"Kalau dari 2010-2018, kami melihat
rata-rata aktor yang paling banyak terlibat kasus korupsi adalah PNS yang
rata-rata ada 350-an PNS terlibat korupsi tiap tahun," tutur Wana, Rabu
(20/2/2019).
Wana mensinyalir PNS, yang seharusnya
melayani publik karena digaji melalui pajak masyarakat, kini lebih memilih
berlomba-lomba untuk melakukan tindak pidana korupsi. Menurut Wana, tidak
sedikit PNS yang sudah ditangkap oleh aparat penegak hukum dalam bebe-rapa
tahun terakhir.
"Seharusnya kan PNS menjadi pelayan
publik. Tapi ini kok banyak yang mencoba melakukan korupsi," kata Wana.
Bahkan dia mengungkapkan akibat tindak
pidana korupsi yang di-lakukan oknum PNS, kerugian negara mencapai Rp 6,5
miliar setiap bulan dan Rp 72 miliar setiap tahun.
Wana berharap Kementerian Dalam Negeri
maupun Menpan RB dapat menindak tegas PNS yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Wana menyarankan tindakan pemecatan dan pemblokiran terhadap
rekening PNS terlibat korupsi agar mereka tidak lagi mene-rima gaji dari
masyarakat.
"PNS yang berstatus terpidana korupsi
dan masih menerima gaji dari negara itu harus segera dipecat dan rekening untuk
menerima gaji dari negara harus segera diblokir," ujarnya.
Berdasar
data Badan Pusat Statistik, tahun 2016 jumlah PNS mencapai 4.374.349 orang
yang terdiri dari:
- 918 444 PNS Pusat
- 301.781 PNS Provinsi
- 3.154. 124 PNS Kabupaten / Kota
Sementara itu, sebuah riset dari The World
Bank bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memaparkan data peme-taan
PNS 2018 bertajuk 'Mapping Indonesia's Civil Service', yang di-publikasi pada
Rabu (21/11/2018).
Dari segi umur, PNS di Indonesia yang
merupakan 17% dari popu-lasi total warga Indonesia ini berusia paruh baya
dengan rata-rata umur 45 tahun.
PNS tahun 2018 tercatat meningkat 25% dari
tahun 2006, yaitu sebanyak lebih dari 4,5 juta orang. Anggaran yang digunakan
untuk para abdi negara ini akan memiliki beban total 25% dari APBN.
Kebanyakan dari PNS merupakan tenaga
pengajar atau guru, yaitu 26,4% dari PNS nasional dan 63,9% dari PNS lokal.
Dari aspek gender, jumlah PNS perempuan
terbanyak dimiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebanyak 74%, disusul
Mabes TNI AD sebanyak 67%, kemudian sebanyak 63% dimiliki Kementerian
Kesehatan.
Sedangkan jumlah PNS perempuan paling
sedikit terdapat di Badan SAR Nasional (Basarnas) dan Badan Pengawasan Keuangan
& Pem-bangunan (BPKP) yang hanya 10%.
PNS
perempuan yang menjabat, sebanyak 36% menduduki posisi fungsional, 33%
menduduki posisi struktural di Pemda.
Editor :
Saeno
Berapa Anggota DPR dan
DPRD yang Tertangkap Korupsi?
|
Sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah
menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 22 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Malang sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Ini akan
menambah panjang daftar wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi. Jumlah
Anggota DPR dan DPRD yang tertangkap korupsi (2004-Mei 2018) 120 Orang * 2018
data s/d Mei
Tags
Korupsi Pejabat KPK DPR DPRD Unduh Opsi Lain
Sumber
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Rilis
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2018
Sepanjang 2018 Terdapat 454 Kasus Penindakan
Dugaan Korupsi Penindakan kasus korupsi tertinggi terjadi pada 2017 dengan 576
kasus dan 1.298 tersangka.
|
16/3/2019, 14.11 WIB 2018,
Anggota DPR / DPRD
Terjerat Kasus Korupsi Melonjak 5 Kali Lipat menjadi 103 orang pada 2018 dari
tahun sebelumnya.
15/3/2019, 19.28 WIB
Wakil
Rakyat, Pejabat Terbanyak Terjerat Kasus Korupsi 2018
Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil
rakyat justru banyak yang terjerat kasus korupsi.
Artikel ini telah
tayang di Katadata.co.id dengan
judul ["Berapa Anggota DPR dan DPRD yang Tertangkap Korupsi?"] ,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/09/05/berapa-anggota-dpr-dan-dprd-yang-tertangkap-korupsi
Jokowi: Sudah 122 Anggota DPR Dipenjara karena Korupsi
Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo
buka-bukaan ter-hadap kasus-kasus korupsi yang saat ini tengah diselesaikan
para penegak hukum di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah
dipenjara.
"Hingga hari ini sudah 122 anggota DPR
dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner,
17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14
hakim sudah dipenjara karena korupsi, tapi jangan diberikan tepuk tangan untuk
ini," kata Jokowi dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai
Kartini, Jakarta di Balai Kartini, Kamis (1/12/2016).
Dengan berbagai tindak korupsi yang masih
terjadi sampai saat ini, Jokowi mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
berada di peringkat 88. Dengan demikian, Indonesia masih harus terus bergiat memberantas
korupsi.
Karena itu, banyaknya pejabat yang sudah
diadili karena aksi korupsi tersebut dianggap Jokowi bukan suatu hal yang
membangga-kan. Untuk itu dirinya meminta para penegak hukum untuk menjadikan
hal itu sebagai semangat untuk terus memberantas korupsi.
Jokowi mengungkapkan, sampai saat ini
sektor pelayanan publik di masing-masing Kementerian / Lembaga atau instansi
non pemerintahan menjadi satu hal yang sangat rawan akan tindak korupsi.
"Dalam pemberantasan korupsi ini,
saya minta para penegak hukum untuk meningkatkan sinergi, tidak jalan sendiri,
antara polisi, kejaksaan, dan KPK," tegas Jokowi.
Turut
hadir dalam acara tersebut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindus-trian Airlangga Hartarto,
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, serta Menteri Komunikasi dan Informatika
Rudiantara.
Para koruptor yang lari ke luar negeri
Hingga saat ini Indonesia masih termasuk dalam
daftar negara-negara paling korup di Asia Tenggara. menurut catatan Indonesian
Corruption Watch (ICW), para koruptor rata-rata kabur ke luar negeri dan
menjadi buronan aparat penegak hukum. ICW mencatat, sejak 2001 ada 45 orang
koruptoryang kabur keluar negeri. mereka seperti menghilang di telan bumi dan
kasusnya seperti tenggelam di makan waktu.
Para koruptor kebanyakan melarikan diri ke negara Singapura kare-na Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu. Dari Singapura, beberapa di antara lalu pergi ke negara-negara lain. Berikut daftar 45 orang yang terjerat hukum Indonesia dan melarikan diri ke luar negeri:
"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, du-gaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun kepada Kompas.com di Jakarta.
Para koruptor kebanyakan melarikan diri ke negara Singapura kare-na Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu. Dari Singapura, beberapa di antara lalu pergi ke negara-negara lain. Berikut daftar 45 orang yang terjerat hukum Indonesia dan melarikan diri ke luar negeri:
"Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, du-gaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun kepada Kompas.com di Jakarta.
1. Sjamsul Nursalim
Kasus: Korupsi BLBI Bank BDNI.
Kerugian Negara: Rp. 6,9 trilliun+ 96,7 juta dollar Amerika.
kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
Kasus: Korupsi BLBI Bank BDNI.
Kerugian Negara: Rp. 6,9 trilliun+ 96,7 juta dollar Amerika.
kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
2. Bambang Sutrisno
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang lari ke Singapura dan Hongkong. Pengadilan memvonis Bambang in absentia.
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang lari ke Singapura dan Hongkong. Pengadilan memvonis Bambang in absentia.
3. Andrian Kiki Ariawan
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp 1,5 triliun.
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp 1,5 triliun.
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
4. Eko Adi Putranto
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp. 2,659 trilliun
melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
5. Sherny Konjongiang
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp 2,659 triliun.
melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
6. David Nusa Wijaya
Kasus: Korupsi BLBI Bank Servitia.
Kerugian Negara: Rp 1.29 triliun.
David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
7. Samadikun Hartono
Kasus: Korupsi BLBI Bank Modern.
Kerugian Negara: Rp.169 milyar
melarikan diri ke Singapura.
8. Agus Anwar
Kasus: Korupsi BLBI Bank Pelita.
Kerugian Negara: Rp.1.9 trilliun
melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. Proses selanjutnya tidak jelas.
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp. 2,659 trilliun
melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
5. Sherny Konjongiang
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp 2,659 triliun.
melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
6. David Nusa Wijaya
Kasus: Korupsi BLBI Bank Servitia.
Kerugian Negara: Rp 1.29 triliun.
David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
7. Samadikun Hartono
Kasus: Korupsi BLBI Bank Modern.
Kerugian Negara: Rp.169 milyar
melarikan diri ke Singapura.
8. Agus Anwar
Kasus: Korupsi BLBI Bank Pelita.
Kerugian Negara: Rp.1.9 trilliun
melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. Proses selanjutnya tidak jelas.
9. Sujiono Timan
Kasus: Korupsi BPUI.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
melarikan diri ke Singapura.
Kasus: Korupsi BPUI.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
melarikan diri ke Singapura.
10.
Maria Pauline
Kasus: Pembobolan BNI.
Kerugian Negara: Rp.1,7 trilliun
melarikan diri ke Singapura kemudian ke Belanda
Korupsi
ICW
ALNews - Hasil dari Pengadilan Tinggi Jakarta, Fuad Amin dihukum 13 Tahun
penjara dan Seluruh Asetnya yang mencapai 250 milyar dirampas.
Perampasan
oleh PT DKI Jakarta pada Seluruh Aset Fuad Amin menjadi yang terbesar sepanjang
sejarah Indonesia dalam kasus Korupsi. Berbeda dengan pengadilan tipikor Jakarta yang hanya merampas sebagian asetnya.
Fuad
dicokok KPK pada Desember 2014 karena menerima suap dari pihak ketiga. Fuad
membela kekayaannya diraih dengan cara yang legal.
M Hatta
selaku humas PT Jakarta mengatakan "Mengabulkan seluruh tuntutan jaksa
untuk menyita seluruh asetnya," di Jl. Letjen Suprapto-Jakpus (10/02/16).
Berkas
tuntutan Fuad Amin setebal 6.374 halaman, di mana 2 ribu halaman di antaranya
adalah daftar asetnya hasil dari korupsi dan pencucian uang semuanya dilakukan
individu /perorangan.
Fuad yang telah memanfaatkan jabatannya
selama menjadi Bupati Bangkalan dan Ketua DPRD Bangkalan hanya untuk memperkaya
dirinya sendiri. bahkan pencucian uang yang dilakukannya mencapai 250 Milyar.
tidak hanya itu, berikut ini berbagai aset miliknya dari hasil korupsi untuk
negara :
Uang
ratusan miliar di lebih dari satu rekening.
- Rumah di kelurahan Kraton Bangkalan
- Rumah di jalan Cokro Bangkalan.
- Rumah di jalan Kupang Jaya 4-2 Surabaya.
- Uang cash dalam bentuk rupiah dengan jumlah miliaran.
- Sebuah mobil Honda Mobilio
- Sebuah mobil Land Cruiser.
- 70 bidang tanah.
- Kondominium di Bali dengan 50 kamar.
- Rumah di jalan Teuku Umar Bangkalan.
- Rumah di jalan KH Muhammad Kholil Bangkalan,
- mobil Toyota Alphard.
- mobil Toyota Camry.
- mobil Oddysey.
- mobil H1.
- 12 mobil lainnya dari berbagai jenis dan merek.
Berikut beberapa jumlah daftar aset Para
Koruptor lainnya yang telah disita pengadilan:
1. Angelina Sondakh, selain dihukum 10 tahun
penjara, asetnya yang disita Rp 15 miliar. Kasus ini ditangani KPK.
2. Irjen Djoko Susilo, selain dihukum 18 tahun
penjara, asetnya sebesar Rp 32 miliar juga disita negara. Kasus ini ditangani
KPK.
3. Gayus Tambunan, selain dihukum 32 tahun,
asetnya sebesar Rp 70 miliar juga disita negara. Kasus ini ditangani Kejaksaan.
4.
Bahasyim,
selain dihukum 12 tahun penjara, asetnya sebesar Rp 64 miliar juga disita
negara. Kasus ini ditangani Kejaksaan.
Kesan Penulis, Koruptor itu lebih rendah
daripada sampah, ga pantas hidup kalau sudah makan uang rakyat. mending dihukum
pancung biar pada jera.
Lapas Penuh Akibat Penjahat Seperti Pencuri Ayam dan Pecandu Narkoba Dipenjara
Pencuri ayam, pencuri yang kerugiannya tidak terlalu besar dipenjara yang mengakibatkan penjara penuh,"
Sabtu, 30 April 2016 20:56 WIB
Tribun Jabar/Teuku Muhammad
Guci Syaifudin
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly (kiri) berdialog dengan
para tahanan saat menyambangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banceuy di Jalan
Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jawa Barat pasca kerusuhan yang terjadi di lapas
tersebut, Sabtu (23/4/2016).
Laporan Wartawan
Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Untuk
mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan, pemerintah diminta untuk
mengobral vonis penjara kepada semua jenis kejahatan.
Wakil Direktur Center for Detention Studies, Gatot Goei,
mengatakan selama ini semua penjahat tanpa memandang jenis kejahatannya dikirim
ke penjara oleh pengadilan karena undang-undang.
"Pencuri ayam, pencuri yang kerugiannya tidak terlalu besar dipen-jara
yang mengakibatkan penjara penuh," kata Gatot saat diskusi ber-tajuk 'Ada
Apa Dengan Lapas' di Cikini, Jakarta, Sabtu
(30/4/2016).
Selain itu Gatot mengatakan karena
undang-undang, penjara penuh oleh pecandu narkoba.
Padahal,
kata Gatot, pecandu narkoba harusnya direhabilitasi.
Gatot mengusulkan agar pecandu langsung direhabilitasi tanpa menunggu
putusan pengadilan.
Pencandu tidak boleh ditempatkan di
penjara sambil menunggu vonis pengadilan.
"Pecandu-pecandu yang seharusnya
direhabilitasi itu dipenjara. Solusinya undang-undang harus direvisi segera.
Kalau enggak akan bertambah terus," kata Gatot.
Gatot mengatakan persoalan tersebut bukan
hanya kerjaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM,
namun juga Presiden, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, serta Badan Narkotika Nasional (BNN).
Vonis Ringan Tidak Membuat Koruptor Jera
Thursday, 17 May, 2018 - 12:17
Indonesia
Corruption Watch (ICW) pada 3 Mei 2018 lalu meluncurkan tren vonis perkara
korupsi yang diputus pengadilan selama tahun 2017. Mayoritas terdakwa korupsi
divonis ringan oleh hakim. Rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 2 tahun 2
bulan penjara. Efek jera terhadap koruptor mulai dipertanyakan.
Berdasarkan hasil pemantuan ICW dari 1.381 terdakwa kasus korupsi yang
dihukum hakim sebanyak 1.127 (81,61%) divonis ringan.
Tentu saja vonis pidana ringan
yang menjadi mayoritas dalam tren vonis 2017 tidak mengakibatkan efek jera bagi
para koruptor. Secara keseluruhan hal ini sangat mengecewakan dalam penegakan
pembe-rantasan korupsi karena efek jera tampak tidak tergambar dalam vonis yang
dijatuhkan kepada para pelaku korupsi.
Vonis
ringan terhadap koruptor juga tidak bisa dilepaskan dari tun-tutan jaksa yang
juga ringan. Dari data tuntuntan jaksa dari Kejaksaan yang dikumpulkan pada
periode semester 2 tahun 2017, ICW mencatat adanya penurunan penuntutan
dibanding dengan tuntutan pada semes-ter 1 tahun 2017. Di Semester 2 jaksa
rata-rata hanya menuntut tiga tahun dua bulan penjara sedangkan pada semester 1
rata-rata empat tahun satu bulan penjara.
Tidak saja
vonis hakim, penerapan pidana denda dan uang peng-ganti pada terdakwa kasus
korupsi yang rendah pun membuat efek jera bagi koruptor makin tidak terasa. Di
tahun 2017 jumlah pidana denda yang berhasil diidentifiksi total mencapai
Rp 110,688 miliar dengan jumlah pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1,466
triliun.
Jumlah
uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor hanya sebesar 4,91 persen dari
total keseluruhan kerugian negara pada tahun 2017 yang mencapai Rp 29,419
triliun.
ICW juga
menyoroti minimnya penegak hukum menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU TPPU) untuk menjerat para koruptor di tahun 2017. Dari 1.032
terdakwa yang diajukan ke Pengadilan hanya 2 orang yang dituntut menggunakan UU
TPPU. Kondisi ini membuat upaya pemiskinan koruptor hanya sekedar menjadi
wacana.
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW diharapkan dapat men-jadi
perbaikan bagi para penegak hukum dalam menjerat koruptor dan sekaligus
memberikan efek jera. Agar membuat jera koruptor maka se-lain dijerat dengan UU
Tindak Pidana Korupsi maka pelaku perlu juga djerat dengan menggunakan UU TPPU
sebagai bentuk upaya pemis-kinan. Uang-uang yang dinikmati para pelaku korupsi
sebaiknya dapat seluruhnya dikembalikan ke kas negara. Selain itu jaksa juga
harus menerapkan tuntutan maksimal agar hakim juga dapat menjatuhkan vonis yang
maksimal untuk pelaku korupsi.*** (Sigit/Emerson)Kenapa Hukuman Koruptor Ringan?
Ini Penyebabnya
Oleh : Tempo.co
Selasa, 18
Agustus 2015 17:14 WIB
Mantan
Gubernur Papua, Barnabas Suebu ikuti sidang perdana dengan agenda mendengarkan
pembacaan dakwaan atas dirinya di pengadilan Tipikor, Jakarta, 6 Juli 2015.
Barnabas didakwa telah melakukan korupsi dengan merugikan keuangan negara
mencapai Rp 43,362 miliar.
TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Hukum
dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho mengatakan bahwa hakim pengadilan
lebih suka menggunakan pasal dengan hukuman rendah dalam memutus perkara kasus
korupsi. Hal inilah yang membuat hukuman bagi para koruptor selama ini rendah.
"Pasal yang sering didakwakan kepada
koruptor adalah Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman
hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal seumur hidup," ujar Emerson
di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Agustus 2015.
Padahal, kata Emerson, selain pasal 3,
juga terdapat Pasal 2 Undang-Undang Tipikor yang dapat digunakan. Dalam Pasal 2
Undang-Undang Tipikor disebutkan bahwa hukuman minimal bagi terpidana kasus
korupsi adalah 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
Sayangnya, menurut Emerson, majelis hakim
lebih sering menggunakan pasal 3 sebagai putusannya, sehingga banyak koruptor
yang dijatuhi hukuman penjara selama rata-rata 2 tahun saja. Dari hasil
pantauan ICW periode Januari-Juni 2015, dari 193 kasus korupsi, 134 putusan di
antaranya menggunakan pasal 3 sebagai dakwaan dan 59 putusan didakwa dengan
pasal 2. Sedangkan tiga lainnya masing-masing menggunakan pasal 7, 11, dan 12
a.
Menurut Emerson, penggunaan pasal ini akan membuka ruang diskresi
hakim yang besar untuk memutus hukuman paling ringan. Ketika jaksa menuntut
tersangka dengan pasal 2 dan 3, kata Emerson, kemungkinan besar hakim akan
memilih pasal 3 sebagai dakwaan. "Hal-hal semacam ini memang subyektivitas
hakim," katanya.
Untuk itu, dia
berharap, ke depan pengadilan dapat menghukum koruptor seberat-beratnya. Sebab,
menurut dia, dampak dari korupsi dapat membawa kerugian bagi rakyat, dan itu
tidak sedikit.
DIAH HARNI SAPUTRI
Mengapa Koruptor Sering Terlihat Tersenyum dan Cengar-cengir Saat Ditangkap KPK? Ini Alasannya
Bahkan, para korupto terlihat cengar-cengir, melebarkan senyum, tetap tenang, dan tidak ada rasa malu yang muncul dari dirinya.
Sabtu, 8 September 2018 22:18
Koruptor cengar-cengir saat ditangkap KPK
TRIBUNPEKANBARU.COM -
Baru-baru ini, masyarakat
dihebohkan dengan kasus suap tentang pembahasan APBD Pemerintah Kota Malang.
Kasus tersebut menyeret 43 orang pejabat
pemerintah, terdiri dari dua pejabat eksekutif pemerintah dan 41 anggota DPRD
Kota Malang.
Bukan hanya sekali ini, rentetan kasus
korupsi sering muncul di sistem pemerintahan kita.
Anehnya, tak ada rasa malu
dari beberapa pelaku kasus korupsi ini.
Bahkan, mereka terlihat cengar-cengir,
melebarkan senyum, tetap tenang, dan tidak ada rasa malu yang muncul dari
dirinya.
Psikolog politik Hamdi Muluk mengatakan,
sikap yang ditunjukkan parakoruptor tersebut disebabkan belum adanya etika
publik yang terbentuk dengan baik.
Etika publik yang dimaksud di sini adalah
munculnya rasa malu dan bersalah dari dalam diri politikus jika mereka
melakukan kesalahan kepada publik, seperti korupsi atau penyalahgunaan
wewenang.
"Kalau etika (publik) tinggi, itu ada
dua perasaan yang ditimbulkan. Satu (perasaan) malu, dua (merasa) bersalah
karena mengkhianati kepercayaan publik," kata Hamdi
kepada Kompas.com, Sabtu (8/9/2018).
Perilaku ketika seseorang merasa
bersalah, menurut Hamdi, akan ditunjukkan dengan diam, menunduk malu, menutupi
wajahnya, tidak mau membuka suara, bahkan menghindar.
KORUPSI DALAM KONTEK MAKNA, SEBAB, SERTA AKIBAT DARI KORUPSI
By Redaksi Kolom
Oleh : Muzanni
S.S, MH
Pengertian atau
Definisi Korupsi
Dari segi semantik,
"korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua
kata dalam bahasa latin yaitu com
yang berarti bersama-sama dan rumpere
yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan
sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai
menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan
administrasinya.
Secara hukum pengertian
"korupsi" adalah tindak pidana seba-gaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih
banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau
lembaga yang kompeten. Akan tetapi yang jelas pengertian "korupsi"
lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau
masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Sebab-sebab Korupsi
Tindak korupsi
bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku
korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif
bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab
seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada
jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
a. Dorongan
dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b. Rangsangan dari luar (dorongan
teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya
menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri
dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau
kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan
kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk
korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan
korupsi
Analisa yang
lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi
Pemberantasan Korupsi," antara lain :
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak
manusia
Kemungkinan
orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak
cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat
besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu
datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang
kurang kuat
Seorang yang
moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu
bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang
memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan
yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan
selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka
seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala
upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan sema-cam ini yang akan
memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu,
tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar
pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan
hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan
seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu
membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas di antaranya dengan
melakukan korupsi.
e. Gaya hidup
yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali
mendorong gaya hidup sese-orang konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila
tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang
untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau
tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil
dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam
ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat,
diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama
yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius
yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di
lapangan menunjuk-kan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat.
Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam
kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang
adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal
maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak
bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat
korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama
dengan atasannya.
b. Tidak adanya
kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh
kuat terhadap anggota-nya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan
baik, akan menim-bulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan
organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki
pelu-ang untuk terjadi.
c.
Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi
pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap
instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil
mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian
pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan
situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan
sistim pengendalian manajemen
Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah
organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai
di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam
organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak
korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat
tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat
Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya
korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama
korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam
korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu
adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga
karena proses anggaran pembangunan bisa berku-rang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat
korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang
disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa
dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif. Pada umumnya masyarakat ber-pandangan
masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari
bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan
perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam
peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang
monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang
kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu
ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya
bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Ciri-ciri Korupsi
Korupsi di manapun dan kapanpun akan
selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai
negeri atau anggo-ta birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha
swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok,
uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang
tunai atau benda atau pun wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan,
biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Akibat Korupsi
Korupsi selalu membawa konsekuensi.
Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan
pembangunan yang berkelanjutan adalah:
- Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
- Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
- Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
- Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
- Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang
sistimatik menyebabkan:
- Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
- Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
- Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Modus Korupsi
Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana
korupsi itu dilakukan. Banyak modus-modus dalam korupsi. Di bawah ini hanyalah
sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan :
1.
Pemerasan
Pajak
Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak
menemukan kesala-han perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran
pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena kesengajaan wajib pajak dan
bisa juga bukan karena kesengajaan. Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan
imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk ke
kantong pemeriksa pajak.
2.
Manipulasi
Tanah
Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi
status kepemilikan tanah termasuk, memanipulasi tanah negara menjadi milik
perorangan / badan, merendahkan pembebasan tanah dan meninggikan pertang-gungjawaban,
membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena proyek dengan harga murah.
Jalur Cepat Pembuatan KTP
Dalam Pembuatan KTP dikenal 'jalur biasa' dan
'jalur cepat'. Jalur biasa adalah jalur prosedural biasa, yang mungkin waktunya
lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan 'jalur cepat' adalah proses
pembuatannya lebih capat dan harganya lebih mahal.
4.
SIM
Jalur Cepat
Dalam proses
pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian / tes tertulis dan praktek yang
dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM.
Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus
mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan
oleh petugas. Biasanya yang terlibat dalam praktek ini adalah warga yang
mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM.
Markup Budget /
Anggaran
Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian komputer tetapi pada prakteknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganya lebih murah.
6. Proses Tender
Dalam proses tender pengerjaan tender
seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan seringkali terjadi
penyelewengan. Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang
tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak yang mampu 'main
belakang' dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam
hal ini telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang
sebenarnya tidak qualified.
7. Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara
Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk
uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak) pasal-pasal yang ada untuk
meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada penegak hukum.
Praktek ini melibatkan terdakwa / tersangka, penegak hukum (hakim / jaksa) dan
pengacara.
Istilah-istilah
Umum dalam Kegiatan Korupsi
- Uang Tip: Sama dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang karena jasanya / pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.
- Angpao: Pada awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan
-
41
- Uang Diam: Pemberian dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika memeriksa pertanggung jawaban walikota / gubernur agar pertanggung jawabannya lolos.
- Uang Bensin: Uang yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu sama lain, seperti antara teman satu dengan yang lain. Misalnya A minta bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan, uang bensinnya mana ?
- Uang Pelicin: Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.
- Uang Ketok: Uang yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui / mengesahkan anggaran usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
- Uang Kopi: Uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
- Uang Pangkal: Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan / kegiatan agar pekerjaan tersebut lancar
- Uang Rokok: Pemberian uang yang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara / kasus penyelesaianya cepat.
- Uang Damai: Digunakan ketika menghindari sanksi formal dan lebih memberikan sesuatu biasanya berupa uang / materi sebagai ganti rugi sanksi formal.
- Uang di Bawah Meja: Pemberian uang tidak resmi kepada petugas ketika mengurus / membuat surat penting agar prosesnya cepat
- Tahu Sama Tahu: Digunakan di kalangan bisnis atau birokrat ketika meminta bagian / sejumlah uang. Maksud antara yang meminta dan yang memberi uang sama-sama mengerti dan hal tersebut tidak perlu diucapkan.
- Uang Lelah: Menunjuk pada pemberian uang secara tidak resmi ketika melakukan suatu kegiatan. Uang lelah ini bisanya diminta oleh orang yang diminta bantuanya untuk membantu orang lain. Istilah ini kemudian sering digunakan oleh birokrat ketika melayani masyarakat untuk mendapatkan uang lebih
Mengapa di kalangan Kepala
Pemerintahan Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sering terjadi korupsi
?
Komentar penulis
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwa-kilan Daerah (DPD) di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2013).
"Sekarang
ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi
tersangka, terdakwa, dan terpidana," katanya. Mayoritas atau sekitar 86,2
persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi.
Korupsi ditengarai dilakukan lantaran tingginya dana kampanye yang
harus dikeluarkan kepala daerah.
Menurut Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Nasional Pembe-rantasan
Korupsi di Balai Kartini, Jakarta pada hari Kamis (1/12/2016), hingga hari ini
sudah 122 anggota DPR
dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17
gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim
sudah dipenjara karena korupsi.
Banyaknya anggota DPR dan DPRD yang terlibat korupsi adalah akibat tingginya dana kampanye yang
harus mereka kelu-arkan.
Kedua
hal tersebut adalah akibat dari sistem pemilihan kepala daerah dan legislatif
secara langsung.
Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi adanya wacana pilkada tidak langsung.
Ide itu menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).
Gamawan
mengatakan, pemilihan tidak langsung itu bisa diterapkan pada tingkat provinsi.
"Ya untuk tingkat provinsi diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten
kota masih tetap pemilihan langsung," kata Gamawan di gedung DPR, Jakarta,
Senin (24/9/2012).
Gamawan mengatakan, pilkada tidak langsung
itu selaras dengan UUD 1945 yakni perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Kalau kita menganut itu ya harus melalui perwakilan saja," imbuhnya.
Selain
itu, Gamawan, mengatakan, Pilkada tidak langsung akan menghemat biaya.
"Ya itu di dalam kampanye ada rencana itu (pilkada perwakilan).
Tapi kalau sudah melalui DPRD itu biayanya pasti murah. Karena tidak perlu
kampanye lagi dan tidak usah juga kampanye di luar lagi cukup di DPRD saja
seperti menyampaikan visi dan misi," tukasnya
Sebelumnya,
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama merekomendasikan pemilihan
kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dilaksanakan secara tidak
langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sedangkan tingginya kasus korupsi di
kalangan pejabat pemerintah, menurut penulis adalah akibat dari
1. Adanya kesempatan / kekuasaan
2. Serakah / tamak
3. Tidak takut kepada Alloh Swt.
4. Tidak takut pada ancaman penjara.
5. Tidak dilaksanakannya Hukum Pidana Islam
Uraian
1. Adanya
kesempatan / kekuasaan
Besarnya
kekuasaan para pejabat di tempat kerjanya serta kurangnya pengawasaan.
Lebih-lebih di wilayah otonomi daerah.
Sebagai
contoh adalah kasus Bupati Bangkalan
Hasil dari
Pengadilan Tinggi Jakarta, Fuad Amin dihukum 13 Tahun penjara dan Seluruh
Asetnya yang mencapai 250 milyar dirampas.
Perampasan
oleh PT DKI Jakarta pada Seluruh Aset Fuad Amin menjadi yang terbesar sepanjang
sejarah Indonesia dalam kasus Korupsi. Berbeda dengan pengadilan Tipikor Jakarta
yang hanya merampas sebagian asetnya.
Fuad
dicokok KPK pada Desember 2014 karena menerima suap dari pihak ketiga. Fuad
membela kekayaannya diraih dengan cara yang legal.
2. Serakah / tamak
25/3/2019, 15.11 WIB
Terjaring
Operasi Tangkap Tangan KPK, Direktur Krakatau Steel
Berapa Gaji Direktur Krakatau Steel?
Berdasarkan
laporan tahunan total gaji dan tunjangan direksi Krakatau Steel mencapai Rp
16,32 miliar dalam setahun.
Terkait
Pengadaan barang dan jasa senilai Rp 26,4 miliar
OTT KPK
terhadap WNU, Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel, diduga terkait
pengadaan barang dan peralatan
yang masing-masing bernilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4
miliar.
Wakil
Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, AMU diduga menawarkan beberapa rekanan
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut kepada WNU dan disetujui.
"AMU menyepakati commitment fee
dengan rekanan yang disetujui untuk ditunjuk, yakni PT GK dan GT senilai 10
persen dari nilai kontrak. AMU diduga bertindak mewakili dan atas nama
WNU," ujar Saut di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
3.
Para koruptor tidak takut kepada Alloh
Swt.
Setiap
orang Islam harus beriman kepada Alloh Swt. dan kepada adanya hari akhir /
akhirat.
Kedua rukun iman ini diringkas dengan kata
taqwa.
Di dalam Al-Qurán dan Terjemahnya
yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI dalam
mengartikan taqwa pada QS. Al-Baqoroh [2] : 2 tertulis sebagai berikut :
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Alloh dengan
mengikuti segala perintah-perintahNya; dan menjauhi segala
larangan-laranganNya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah
terjadi G30S PKI tahun 1965, agar peristiwa itu tidak terulang, MPR RI mewajibkan
semua pejabat di NKRI untuk bertaqwa kepada Tuhan YME. Syarat ini berlaku
sampai sekarang.
Nyatanya
kejadian korupsi di kalangan Pemerintahan RI tetap saja
merebak. Bahkan juga terjadi di kalangan tokoh-tokoh politik yang ber-gelar
Ustaz dan Kiyahi Haji. Mungkin arti taqwa yang panjang tadi tidak menimbulkan
rasa takut berbuat kejahatan pada para pemimpin kita itu.
Marilah
kita lihat definisi taqwa ini di dalam Kitab suci Al Qur-an
Definisi-definisi
taqwa
a. Takut terhadap kegoncangan yang
dahsyat di hari kiamat. Yaitu QS. Al-Haj [22]: 1.
Hai manusia, bertakwalah (*
takut) kepada Tuhanmu; Sesungguh-nya
kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (QS Al-Haj [22]: 1).
b.
Takut terhadap hari kita dibangkitkan dan dihimpun di padang mahsyar. Yaitu QS.
Al-An’am [6]: 51.
Dan berilah peringatan dengan apa
yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada
hari kiamat), sedang bagi mereka
tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar
mereka bertakwa
(*takut). (QS Al-An’am
[6]: 51).
C. Takut terhadap
(pengadilan) hari Kiamat. Yaitu QS. Al-Baqoroh [2]: 48, QS.
Al-Baqoroh [2]: 123, QS Al-An’am [6]: 51 dan QS. Lukman [31] : 33.
Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap hari (pengadilan Alloh, yang pada hari itu) seseorang
tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak
diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
(QS. Al-Baqoroh [2]: 48).
Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu kepada suatu hari (pengadilan) di
waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun
dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi
man-faat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong. (QS.
Al-Baqoroh [2]: 123).
Dan berilah peringatan dengan apa
yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut (يَخَافُونَ) akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang
pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa (* takut). (QS Al-An’am [6]: 51).
Hai manusia, bertakwalah (*
takut) kepada Tuhanmu dan takuti-lah suatu hari yang (pada hari itu) seorang
bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedi-kitpun Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah
sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu
(syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. (QS. Lukman [31] :
33).
d. Takut terhadap hari pembalasan. Yaitu QS. Al-Baqoroh
[2]: 281.
|
. Takut terhadap neraka. Yaitu QS.
Al-Baqoroh [2: 24] dan QS.
Ali Imron [3]:131:
Maka jika kamu tidak dapat membuat
(satu surat seperti Al Qur-an) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya), maka takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (QS.
Al-Baqoroh [2]: 24).
Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap api neraka, yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS. Ali Imron [3]:131).
f. Definisi panjang orang yang bertaqwa :
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang
selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-pera-turanNya)
(yaitu) orang yang takut kepada
Tuhan yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang
dengan hati yang bertaubat. (QS Qof [50]: 32-33)
Nabi Muhammad Saw. sangat takut
kepada Alloh Swt.
Baginda Nabi
Muhammad Saw. sangat takut kepada Alloh Swt. sesuai dengan sabdanya berikut :
|
Janganlah
kita kalah dengan iblis, karena Iblis takut kepada Alloh Swt. yang sangat keras siksanya.
Sesuai sabda Alloh di dalam Al Qur-an.
Iblis berkata :
Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian
tidak dapat melihat, sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Alloh sangat
keras siksaNya. (QS. Al-Anfal 48).
Pandangan masyarakat tentang faham takut kepada Alloh Swt.
Sangat sedikit orang berfaham tentang arti taqwa adalah takut kepada Alloh
Swt. Selama hidup penulis, hanya ada dua orang khotib Jum’at
yang membahasnya. Pertama adalah ayah penulis sendiri se-waktu membaca khutbah
Jum’at di Masjid Jami’ Jember (yang lama). Yang kedua adalah seorang khotib
sholat Jum’at di Masjid Al-Huda Kaliwates Jember.
Alhamdulillah, sekarang ditambah Ustadz Abcusshomad yang
mengartikan taqwa dengan takut (kepada Alloh Swt.)
Masalah takut kepada Alloh Swt di kalangan
masyarakat sangat jarang dibahas. Sebagian besar pengajian dan ceramah mengutarakan tentang
pentingnya mendekatkan diri kepada Alloh Swt. dan Cinta kepada Alloh Swt..
Ini terjadi karena besarnya faham tasauf di kalangan ulama’. Faham tasawuf sangat dipengaruhi oleh
faham mahabbah yang di-cetuskan oleh Sufi wanita terbesar yaitu Robiah
Al-Adawiyah.
Orang yang menganut
faham Takut kepada Alloh Swt. berpen-dapat bahwa dirinya sangat lemah dan
kecil, sebaliknya Alloh Swt. adalah Maha Besar dan sangat berkuasa.
4. Para koruptor tidak takut kepada ancaman
hukuman penjara dan denda.
Ternyata
hukuman dan denda terhadap koruptor sangat ringan sebagaimana uraian sebelumnya
.
ICW mengategorikan vonis 1-4 tahun penjara
merupakan hukuman ringan bagi koruptor. Adapun vonis level sedang ialah
rata-rata 4-10 tahun. Sementara vonis berat semestinya di atas 10 tahun penjara.
Sebagaimana makalah
di bawah ini vonis
ringan tidak membuat koruptor jera.
|
Vonis Ringan Tidak Membuat Koruptor Jera
Thursday, 17 May, 2018 - 12:17
Indonesia
Corruption Watch (ICW) pada 3 Mei 2018 lalu melun-curkan tren vonis perkara
korupsi yang diputus pengadilan selama tahun 2017. Mayoritas terdakwa korupsi
divonis ringan oleh hakim. Rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 2 tahun 2
bulan penjara. Efek jera terhadap koruptor mulai dipertanyakan.
Berdasarkan hasil pemantuan ICW dari 1.381 terdakwa kasus korupsi yang
dihukum hakim sebanyak 1.127 (81,61%) divonis ringan.
Tentu saja vonis pidana ringan
yang menjadi mayoritas dalam tren vonis 2017 tidak mengakibatkan efek jera bagi
para koruptor. Secara keseluruhan hal ini sangat mengecewakan dalam penegakan
pembe-rantasan korupsi karena efek jera tampak tidak tergambar dalam vonis yang
dijatuhkan kepada para pelaku korupsi.
Vonis ringan terhadap koruptor juga tidak
bisa dilepaskan dari tun-tutan jaksa yang juga ringan. Dari data tuntuntan
jaksa dari Kejaksaan yang dikumpulkan pada periode semester 2 tahun 2017, ICW
mencatat adanya penurunan penuntutan dibanding dengan tuntutan pada semes-ter 1
tahun 2017. Di Semester 2 jaksa rata-rata hanya menuntut tiga tahun dua bulan
penjara sedangkan pada semester 1 rata-rata empat tahun satu bulan penjara.
Tidak saja vonis hakim, penerapan pidana
denda dan uang peng-ganti pada terdakwa kasus korupsi yang rendah pun membuat
efek jera bagi koruptor makin tidak terasa. Di tahun 2017 jumlah pidana denda
yang berhasil diidentifiksi total mencapai Rp 110,688 miliar dengan
jumlah pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1,466 triliun.
Jumlah uang pengganti yang dibebankan
kepada koruptor hanya sebesar 4,91 persen dari total keseluruhan kerugian
negara pada tahun 2017 yang mencapai Rp 29,419 triliun.
ICW juga menyoroti minimnya penegak hukum
menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) untuk menjerat
para koruptor di tahun 2017. Dari 1.032 terdakwa yang diaju-kan ke Pengadilan
hanya 2 orang yang dituntut menggunakan UU TPPU. Kondisi ini membuat upaya
pemiskinan koruptor hanya sekedar menjadi wacana.
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW diharapkan dapat men-jadi
perbaikan bagi para penegak hukum dalam menjerat koruptor dan sekaligus
memberikan efek jera. Agar membuat jera koruptor maka se-lain dijerat dengan UU
Tindak Pidana Korupsi maka pelaku perlu juga djerat dengan menggunakan UU TPPU
sebagai bentuk upaya pemis-kinan. Uang-uang yang dinikmati para pelaku korupsi
sebaiknya dapat seluruhnya dikembalikan ke kas negara. Selain itu jaksa juga
harus menerapkan tuntutan maksimal agar hakim juga dapat menjatuhkan vonis yang
maksimal untuk pelaku korupsi.*** (Sigit/Emerson)
4.
Tidak dilaksanakannya Hukum Pidana Islam
Berikut ini dibHa Hukuman Korupsi
menurut Hukum Pidana Islam
Jember, 12 Mei
2019
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah
Mada 118
Tilpun (0331)
481127
Jember
Pengertian, Ancaman dan Hukuman Korupsi Menurut Islam dan
Negara
http://www.jadipintar.com/2014/02/Pengertian-Ancaman-dan-Hukuman-Korupsi-Menurut-Islam-dan-Negara.html
www.republika.co.id
www.kpk.go.id
Sumber-sumber lain.
Pengertian, Ancaman dan Hukuman Korupsi Menurut Islam dan Negara
Praktek korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya di
hampir semua tingkatan, dari yang rendah sampai yang tertinggi, Indonesia bahkan pernah mengukir prestasi
hebat sebagai "Negara Terkorup Di Dunia."
Aneka lembaga penegak hukum di Indonesia terbukti mandul dalam memberantas
korupsi, terbukti dengan makin merajalelanya korupsi seperti virus, wabah
atau penyakit menular. Dan memang terbukti sebagian aparat
penegak hukum juga ikut "bermain menikmati" korupsi. Jadi mana
mungkin sapu yang kotor bisa untuk membersihkan lantai ? Kini sudah didirikan
lembaga anti korupsi baru yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sebagai lembaga independen KPK lebih leluasa dalam memburu para koruptor.
Tetapi ya itu tadi, jika sudah menjadi budaya, apakah masih bisa dihentikan ???
Para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan. Atau
dari kata orrumpere yang bermakna merusak. Korupsi secara epistemologi
adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang,
waktu, dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Pada mulanya istilah
korupsi di Indonesia bersifat umum, dan kemudian menjadi
istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/ PM'061957
tentang korupsi.
Konsideransi peraturan tersebut menyebutkan
"Menimbang, bahwa berhubung dengan tidak adanya kelancaran dalam
usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera
menetapkan suatu tata kerja
untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.”
Apabila
diperhatikan dengan seksama, konsideransi peraturan tersebut memberi batasan
rumusan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi dan apa maknanya. Dari
konsiderans itu pula tersimpul beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.
2. Unsur-Unsur Yang Dikategorikan Korupsi
1. Unsur
Kerugian Keuangan.
Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri atau
keluarga atau golongan atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara.
2. Unsur
Memanfaatkan Jabatan.
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji
dari keuangan negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepadanya oleh karena jabatannya, langsung atau tidak langsung
membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.
3. Korupsi Menurut Perspektif Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk
kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan
pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak
milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas,
mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan
yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya
kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena
pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan
yang dituju dengan tidak tercapai.
Ulama fikih telah
sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang. Karena
bertentangan dengan maqasid asy-syariah.
4. Keharaman Korupsi Ditinjau dari Berbagai Segi
1. Curang
dan Penipuan. Perbuatan korupsi merupakan
perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara
(masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu
dihindari, seperti pada firmanNya,
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ
أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ
تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
"Tidak mungkin
seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang
mereka tidak dianiaya.” (QS.
Ali Imron : 161).
Nabi Muhammad
saw. telah menetapkan suatu peraturan bahwa setiap kembali dari peperangan,
semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya harus
dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan pimpinan perang kemudian Rasulullah saw.
membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk
Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu
sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka yang
berperang. (QS. Al-Anfal: 41).
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
2. Khianat. Berkhianat terhadap amanat
adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam
Alquran, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ
وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil . Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58).
Kedua ayat ini
mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan korupsi bagi
pejabat adalah terlarang lagi haram.
3. Aniaya (Dzalim). Perbuatan korupsi untuk memperkaya
diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara
adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan
buta huruf yang mereka peroleh dengan susah
payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat yang memperkaya
dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehingga Allah SWT memasukkan mereka ke
dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam firmanNya,
Maka berselisihlah golongan-golongan
(yang terdapat) di antara mereka, lalu kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat). " (QS. Az-Zukhruf [43] : 65).
4. Suap dan
Gratifikasi.
Termasuk ke dalam kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara
kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang menginginkan
fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad
saw. disebut laknat seperti dalam sabdanya,
Pada kesempatan lain Rasulullah
saw.bersabda, "Barangsiapa yang telah aku
pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang
diambilnya di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR.
Abu Dawud).
5. Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah
memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk
kepentingan ibadah,
sosial. dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak
pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan
cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama
dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara
memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini
ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara
yang ilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu
bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara
yang terlarang.Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah
firman Allah SWT,
“Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil,
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 188).
Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain
yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri,
menipu, dan korupsi.
·
Harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan
dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba (? Pen.), karena kedua
bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal. Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130),
maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Di samping itu ulama
memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi
yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya /
memanfaatkannya”.
·
Oleh
karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula
diharamkan memanfaatkan hasilnya. Namun, jika perbuatan itu tidak lagi
dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu
diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pela-kunya dituntut untuk
mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan
pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka
berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi
tersebut.
6. Shalat dan Haji dari Uang Korupsi, Sahkah ?
·
Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki, dan
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat
dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu /
korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun
yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya
adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat
mereka tentang haji dengan uang yang
diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa
menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya
ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
·
Sedangkan
menurut Imam
Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan
kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang
suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram
memakainya sama dengan shalat memakai pakaian
bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang
diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal,
haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat
pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan
tidak menerima kecuali yang baik (HR.
At-Tabrani).
Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta
yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit,
'Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia.
Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak
dicampuri dosa'.” “Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia
mengucapkan talbiah maka datang seruan dari langit, 'Tidak diterima kunjunganmu
dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka
hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima)’.” (HR.
At-Tabrani).
Atas dasar logika dan hadis
tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil
kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil
korupsi.
7. Hukuman bagi Koruptor
· Wewenang Hakim. Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
· Usulan Hukuman Mati. Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. ”MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini.”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.
· Masyarakat Menghendaki Hukuman mati. Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
· Komitmen KPK. Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberan-tasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, Minggu (15/9).
Sebarkan !!! insyaallah bermanfaat.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagiMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagiMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
www.republika.co.id
www.kpk.go.id
Sumber-sumber lain.
LAMPIRAN
Ironi tahanan koruptor di Indonesia, layaknya memenjarakan beruang dalam penjara bambu
Juli 27, 2018 4.12pm WIB
Penulis
PhD Candidate in Criminology at Australian National
University, Australian National University
Pengungkapan
Leopold Sudaryono menerima dana dari
Australian National University untuk riset doktoralnya di 6 provinsi di
Indonesia.
Mitra
Australian National University memberikan dana sebagai
anggota The Conversation AU.
Menahan koruptor yang memiliki sumber daya
keuangan dan penga-ruh politik yang sangat besar di dalam penjara bukanlah
perkara yang mudah.
Jumlah koruptor mungkin hanya 4.552 dari
248.690 tahanan atau 1,8% dari total narapidana di
Indonesia. Namun kemampuan mereka untuk mempengaruhi bagaimana
penjara dikelola jauh lebih besar daripada angka 1.8% tersebut.
Kasus korupsi
baru-baru ini di Lembaga Pemasyarakatan Suka-miskin di Bandung, Jawa Barat
membuktikan betapa kuatnya kekua-saan para koruptor meskipun mereka sudah
terkunci di balik jeruji.
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menahan ketua penjara di Bandung, Jawa Barat karena
dituduh menerima suap. Narapidana koruptor dikabarkan bisa meminta fasilitas
dan layanan tambahan, seperti sel penjara yang mewah dan akses ke ponsel,
dengan menyuap.
Saya meneliti soal ekonomi politik
kelebihan narapidana di penjara-penjara Indonesia. Setelah meneliti kondisi
penjara di enam provinsi di Indonesia, saya berpendapat bahwa menahan koruptor
yang kaya di penjara yang kekurangan dana dan kekurangan petugas itu sama
seperti menaruh beruang buas di dalam kandang bambu yang goyah yang dijaga oleh
penggembala yang tidak terampil.
Kandang itu mungkin masih berdiri tegak di
sana, tetapi beruang itu masih memiliki pengaruh dalam menentukan bagaimana
gembala harus menjalankan kandangnya
Mari kita lihat penyebab masalah ini secara mendetil:
Buruknya kondisi penjara
Kondisi di sebagian besar penjara di
Indonesia sangat mempri-hatinkan. Kondisinya sangat jauh di bawah aturan
minimum standar PBB untuk perawatan narapidana atau yang dikenal dengan Aturan Nelson Mandela.
Aturan Mandela ini mensyaratkan tersedianya kebu-tuhan dasar dan layanan yang
sesuai dengan standar nasional.
Standar yang ditentukan oleh Kementerian
Kesehatan untuk asupan kalori per orang adalah antara 2.475-2.725 kilo kalori ,
namun penjara di Indonesia hanya mampu menyediakan 1.559 hingga 2.030 kilo kalori
karena anggaran yang rendah. Anggaran bahan makanan untuk nara-pidana di Indonesia
adalah A$ 1,5 per narapidana per hari atau sekitar Rp15.000 per narapidana per
hari
Untuk layanan kesehatan, setiap narapidana
hanya mendapat anggaran A$ 1,2 per tahun atau sekitar Rp1.000 setiap bulan.
Seorang narapidana perlu berbagi sel dengan 6-7 orang lain dalam sel yang
dirancang untuk 3. Mereka makan, tidur, dan buang air besar di sana. Jika Anda
penghuni tahanan tanpa ada dukungan keuangan, hidup akan sangat berat.
Dihadapkan dengan kondisi sulit seperti
ini, narapidana tindak pidana korupsi akan menggunakan sumber keuangannya untuk
mengurangi penderitaan mereka selama di penjara; dan ironisnya ini akan membuat
mereka terlibat dalam praktik korupsi baru selama di penjara.
Dengan uang yang dimiliki, narapidana
tindak pidana korupsi bisa mendapatkan telur rebus sebagai nutrisi tambahan
atau menyewa kasur tidur yang lebih layak pakai.
Jadi, faktor
pendorong utama mengapa praktik penyuapan terjadi di penjara adalah karena
kondisi kehidupan yang tidak manusiawi di balik jeruji.
Praktik korupsi di penjara
Praktik
korupsi di penjara terjadi dalam berbagai bentuk.
Praktik ini dimulai dengan upaya pemenuhan
kebutuhan dasar: makanan yang layak, tempat tidur yang pantas, kipas angin
karena udara sel panas dan lembab. Para narapidana bisa mendapatkan fasilitas
ini dengan menyuap penjaga.
Kebutuhan ini tidak hanya berhenti pada
keperluan dasar, namun juga pada pengadaan barang-barang mewah mendekati
standar kualitas hidup koruptor sebelum dipenjara.
Dengan harga tertentu, para koruptor
terpidana ini bisa mendapatkan fasilitas AC di dalam sel yang diperlengkapi
dengan kulkas, kasur pegas untuk terapi serta TV berlayar lebar. Narapidana
bahkan bisa mendapatkan barang terlarang seperti ponsel, laptop dan alat
komunikasi lainnya.
Fasilitas lain yang bisa dinikmati oleh
narapidana tindak korupsi adalah izin keluar untuk berobat yang memungkinkan
mereka untuk meninggalkan penjara selama beberapa hari atau bahkan beberapa
minggu sesuai dengan izin yang diberikan.
Izin keluar didapatkan berdasarkan surat
rujukan dari dokter di dalam penjara dengan persetujuan kepala penjara.
Kesempatan ini mendorong banyaknya praktik suap yang terjadi.
Yang parah
adalah keberadaan narapidana ini selama mereka keluar penjara tidak dapat
diketahui karena sistem pengawasan yang lemah, bahkan tidak ada. Ini sebabnya
narapidana koruptor Gayus Tambunan dapat pergi jauh hingga ke Bali dan Macau
saat masih dalam masa penahanan.
Koruptor yang mengatur penjara
Setelah kebutuhan fisik terpenuhi,
narapidana korupsi juga menggunakan sumber daya dan pengaruhnya untuk bisa
mengendalikan penjara yang dihuninya.
Mereka mendapatkan pengaruh besar dengan
menyediakan duku-ngan finansial pada program rumah tahanan yang tidak dipenuhi
oleh anggaran negara; ini membuat mereka mendapatkan respek dan per-lakuan
khusus dari pengelola tahanan sebagai imbal baliknya.
Sebagai contoh, sejumlah narapidana
korupsi membantu pengelola tahanan untuk mengadakan program pembinaan
keterampilan bagi narapidana lain. Pemerintah mewajibkan setiap rumah tahanan
untuk menyelenggarakan program tersebut namun tidak memberikan alokasi dana
yang memadai.
Sebagai contoh pada kasus Bob Hasan saat
menjadi narapidana korupsi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Konglomerat industri
kayu ini membantu pengurus penjara untuk mengembangkan bengkel kerja bagi narapidana
lain) untuk mengembangkan keahliannya.
Contoh lain pada kasus mantan Deputi
Gubernur BI, Miranda Gultom yang dihukum karena menyuap anggota parlemen. Ia
membe-rikan bantuan sangat besar kepada pengurus penjara dalam bentuk pengadaan
komputer dan renovasi masjid dan gereja
di lembaga pemasyarakatan (lapas) wanita Tangerang di Banten tempat ia
menjalani hukuman.
Selain itu, narapidana korupsi juga
membantu petugas secara keuangan dalam memenuhi kebutuhan mereka tanpa diminta
seperti uang sekolah anak-anak atau bantuan hajatan perkawinan keluarga.
Akhirnya,
bantuan keuangan ini, meskipun mungkin dengan niat yang baik dan tidak bisa
dibuktikan sebagai upaya menyuap, dapat membuat petugas dan pengelola penjara
memiliki hutang budi kepada tahanan koruptor. Bantuan keuangan seperti inilah
yang mempengaruhi bagaimana para gembala mengelola kandang menuruti tuntutan si
beruang.
Pengaruh politik
Banyak narapidana tindak pidana korupsi
masih memegang posisi sangat tinggi saat ditahan dan memiliki pengaruh politik
yang sangat besar meskipun sudah di belakang jeruji penjara.
Mereka masih bisa memobilisasi dukungan
dari berbagai kalangan baik di pemerintahan maupun parlemen.
Saya
menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota parlemen meminta kepada Untung
Sugiyono, Direktur Jendral Pemasyarakatan saat itu (menjabat periode 2007-2011)
agar kerja sama antara narapidana tindak pidana korupsi dan pengelola penjara
tertentu bisa ditingkatkan untuk menciptakan kondisi sel yang lebih manusiawi.
Anggota parlemen mengadukan permintaan
tersebut karena salah seorang rekannya yang sedang dipenjara karena kasus
korupsi di penjara tersebut menghadapi pimpinan lapas yang kurang kooperatif.
Interaksi di atas menunjukkan bagaimana
koneksi politik tingkat tinggi berusaha mempengaruhi otoritas penjara dalam
menangani narapidana korupsi.
Ketika kepala
penjara bersedia bekerja sama dengan narapidana korupsi, maka mereka akan
ditawarkan promosi jabatan yang lebih tinggi. Apabila mereka menolak,
“kepemimpinan” mereka dalam mengelola penjara tersebut dinilai lemah; dan
dipastikan performa buruk ini akan terdengar di tingkat nasional.
Bagaimana sebaiknya menghadapi para beruang ini?
Untuk
menghentikan para narapidana tindak pidana korupsi merusak integritas lapas,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) harus mengambil langkah yang
lebih mendasar dan drastis:
Pertama, memperkuat tidak hanya aspek
pengamanan fisik (seperti sel dan CCTV) atau prosedur sistem pengamanan namun
juga tak kalah penting ketahanan petugas (personnel
resilience).
Sebuah penjara bisa saja
memiliki sistem pengamanan fisik dan prosedur yang sangat canggih, namun tanpa
adanya ketahanan petugas, maka semua itu menjadi tidak efektif di bawah
pengaruh narapidana tindak pidana korupsi.
Ketahanan petugas bisa diperkuat dengan
menyediakan lebih banyak pelatihan, sistem pengembangan karier dan penghargaan
atas prestasi yang lebih baik, pengakuan akan adanya risiko khusus, sistem
pengawasan yang lebih kuat, serta promosi atau pemindahan tugas secara rutin
untuk mencegah petugas direkrut oleh narapidana koruptor secara mudah.
Kedua, pemerintah harus mulai
memperlakukan narapidana tindak pidana korupsi sebagai narapidana dengan risiko
tinggi. Seperti layak-nya narapidana teroris, tahanan koruptor juga memiliki
ancaman yang tidak kalah seriusnya terhadap integritas penjara, meskipun dalam
bentuk yang berbeda.
Teroris dan koruptor akan menggunakan kombinasi
cara persuasi dan intimidasi untuk bisa mempengaruhi sistem dan merekrut
petugas.
Oleh karenanya tindakan efektif untuk
menangani tahanan koruptor adalah dengan pengawasan 24 jam melalui CCTV dan
gelang kaki elektronik. Cara lain adalah dengan menutup identitas petugas
(dengan masker) untuk menghentikan interaksi antara petugas dan narapidana
korupsi.
Pada penanganan narapidana teroris, Badan
Nasional Penanggu-langan Terorisme masih terlibat dalam program dan pengawasan.
Sudah saatnya Kementerian Hukum dan HAM melibatkan KPK dalam pengawasan
penanganan tahanan koruptor untuk memastikan kejadian yang sama tidak akan
terulang kembali.
Ketiga, melindungi proses seleksi pimpinan
penjara dari intervensi politik. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Menteri
Hukum dan HAM harus melihat upaya untuk mengatur pemilihan pimpinan lapas oleh
pihak lain sebagai ancaman langsung terhadap integritas institusi penjara.
Jika kita mengabaikan ancaman narapidana tindak pidana korupsi terhadap reputasi penjara serta tidak melakukan perubahan mendasar, praktik korupsi dan suap oleh narapidana tindak pidana korupsi di dalam penjara akan selalu berulang
Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Petaka Bangsa. (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A.)
21 Maret 2014 23:24 Diperbarui: 24 Juni 2015 00:39 284 0 0
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A., sebagai Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi
harus bertanggung jawab penuh atas berbagai akibat pemikiran otonomi
daerah yang kini menjadi beban pembengkakkan angka Korupsi dan keamburadulan
birokrasi.
Reformasi
birokrasi pemikiran Ryaas Rasyid yang akhirnya justru berbuntut pada
hilangnyaprofesionalisme birokrasi di Daerah dan mahalnya Politik Kekuasaan di
Daerah yang bermuara pada merebaknya Korupsi sampai basis birokrasi paling
bawah.
Salah satu contoh nyata adalah tidak
adanya batas kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyusun Birokrasi di daerah.
Bupati, Walikota dan Gubernur mempunyai kebebasan untuk memenuhi hasratnya
dalam menempatkan pejabat-pejabat teras, tidak berdasar-kan kompetensi akan
tetapi berdasarkan kedekatan dan balas jasa semasa pencalonannya sebagai
Bupati, Wali Kota atau Gubernur. Pasca pemilihan Bupati / Walikota atau
Gubernur nyaris tidak akan pernah lepas dari mutasi besar-besaran pada posisi teras
tiap-tiap dinas. Maka jangan kaget bila Kepala dinas Kehutanan disuatu daerah
sama sekali tidak mengenal masalah hutan, karena diangkat dari seorang Camat.
Bila Bupati, WaliKota dan Gubernur yang berbasis Politik Praktis tidak mengenal
dan tidak menghargai pentingnya satu kompetensi dalam memegang satu
jabatan kemudian hanya berfikir untuk balas budi, akan jadi apa Negeri ini ?
Banyaknya
kasus sengketa PILKADA yang juga karena alasan Politis semata diubah manjadi
PEMILUKADA sekedar untuk mendapat “ perlindungan “ dari Mahkamah Konstitusi dan
jaringan KORUPSI / SUAP menuju Mahkamah Konstitusi, itu juga“DOSA-RYAAS
RASYID”. Ryaas Rasyid pulalah, sebenarnya pencetak para koruptor / penyuap
dalam setiap laga Pemilu Kada.
Dari segi system pemisahan kekuasaan Pusat
dan Daerah, ada berapa Negara yang menganut faham yang diterapkan Ryaas Rasyid?
Di negara besar, sebuah Negara Federal
sebesar Amerika Serikat pun hanya memisahkan kekuasaan pada dua tingkat
kewenangan, yaitu Kewenangan Negara Bagian dan Kewenangan Federal.
Batas kewenangan antara Propinsi dengan
Kabupaten Kota yang tidak jelas, semakin menjauhkan Politik Kebijakan Pusat
dengan Daerah. Kewenangan Legislatif di Daerah akhirnya dalam praktik
kenyataannya overlapping dengan kewenangan Eksekutif. Hampir semua tender
dengan pelaksana Proyek yang terjadi di daerah tidak akan lepas dari campur
tangan langsung Legislatif. Hanya dengan adanya deal-deal pembagian kepentingan
antara Eksekutif dan Legis-latif tender setiap proyek bisa berjalan. Ini Juga“
Dosa “ Ryaas Rasyid.
Prof. Dr.
M. Ryaas Rasyid, M.A. memang bisa berkilah, bahwa oto-nomisasi yang berlaku
saat ini sudah bukan tanggung jawabnya lagi karena sudah menjadi amanat Undang
Undang Dasar. Otonomisasi adalah hasil
Amandemen UUD 45. Akan tetapi justru itulah dosanya semakin besar, memanfaatkan
semangat reformasi yang hanya ber-modal kebencian terhadap Orde Baru,
melontarkan ide Otonomisasi tanpa arah untuk mengubah sebuah Undang Undang
Dasar yang selain hanya untuk memberi kepuasan diri dan kesempatan berekspresi
bagi actor politisi daerah juga berpotensi merobek-robek arti persatuan yang
seharusnya dipertahankan.
Praktik Otonomi Daerah yang saat ini
justru “menjadi beban” Bangsa Indonesia dengan menghabiskan anggaran dan
kekayaan Negara dan sarat dengan kepentingan Politik sesaat yang melambungkan
Tingkat Korupsi sampai ke puncak paling tinggi, adalah satu indikasi bahwa
Amandemen UUD 45 telah gagal dan perlu ditinjau kembali.
Bagaimana
Otonomi Daerah yang Ideal ?
Tulisan ini tidak hanya mengkritik, akan
tetapi juga mencari sebuah Solusi.
Otonomi
Daerah dengan pemberian kekuasan yang lebih luas kepa-da daerah memang sangat
diperlukan, akan tetapi pembagian kekuasa-an antara Pusat dengan Daerah harus
hanya terjadi satu tingkat pem-bagian kewenangan dan tidak ada overlapping
kewenangan, sehingga pertanggung jawabannya menjadi jelas. Dimana Pusat hanya terbatas mengurusi masalah HANKAM NAS, Politik
Nasional dan Hubungan Luar Negeri, system Ekonomi Nasional, System
Kesejahteraan Nasional serta Hukum dan Hak Azasi Warga Negara / Manusia.
Sedangkan masalah Pembangunan seutuhnya diserahkan kepada Daerah. Biarlah
Daerah bersaing dengan kelebihan dan kekurangannya untuk kemudian saling
bekerja sama antar daerah dengan atau tanpa mediasi kewenangan Pusat.
Akan tetapi yang paling
penting “ TIDAK LAGI ADA PEMBAGIAN KEWENANGAN BERTINGKAT-TINGKAT DENGAN
OVERLAPPING KEWENANGAN” dimana hanya ada pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
dengan otonomi luas sampai dengan tingkat Propinsi. Sedangkan Kabupaten dan Kota adalah
bagian tak terpisahkan dari wilayah Otonomi Propinsi.Tidak ada lagi Pemilu Kada
Kabupaten – Kota, Tidak ada lagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten /Kota. Bupati
dan Wali kota “TIDAK LAGI PERLU DIPILIH “ akan tetapi adalah merupakan Birokrasi di bawah
Pemerintahan Otonomi Propinsi. Konsekuensi dari hilangnya Otonomi Kabupaten / Kota,
maka Propinsi dengan otonomi yang lebih luas di sebuah Negara Besar seperti
Indonesia ini, tidak akan cukup hanya dengan 34 Propinsi. Berapa Propinsi ? Itu
yang harus dikaji untuk munculnya sebuah Undang-Undang.
Pemilihan umum
|
|
Pramono: Demokrasi di Indonesia Terlalu Mahal
Red:
Mansyur Faqih
Republika/Yasin
Habibi
REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Proses demokrasi di Indonesia dinilai terlalu
mahal. Sehingga dianggap memiliki benang merah dengan praktik dugaan korupsi
yang merugikan keuangan negara.
Wakil
ketua DPR Pramono Anung mengatakan, mahalnya demokrasi di Indonesia dapat
dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan setiap kelompok.
Kondisi
itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang
menerapkan politik biaya murah dan mengutamakan transparansi dalam penggunaan
dana.
Perbandingan
tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari
jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia.
Di
negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus
mengumumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu
dolar AS.
Sedangkan
di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah
mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS
untuk perusahaan.
"Itu
membuktikan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal," katanya, Kamis
(24/10).
Kondisi
itu menjadi semakin mahal karena proses demokrasi yang akan dilalui setiap
orang mencapai delapan jenis. "Dalam lima tahun bisa delapan kali. Mulai
dari presiden hingga kepala desa," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Menurut
Pramono, fenomena mahalnya proses demokrasi di Indonesia tersebut cukup
mengkhawatirkan karena dapat berdampak langsung pada perilaku korupsi.
Kondisi
itu menjadi tanggung jawab bersama agar proses demokrasi di Indonesia tidak
perlu mengeluarkan biaya mahal dan kembali ke jalur yang benar.
Tanpa
harus menghabiskan biaya yang besar, seluruh elemen bangsa harus dapat
memanfaatkan proses demokrasi untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
"Kesejahteraan
itu esensi dari demokrasi. Biaya mahal itu salah satu penyebab perilaku
korupsi, walau penyebab utamanya adalah faktor keserakahan," katanya.
Sumber : Antara
Sejarah Pemilu Kepala Daerah di Indonesia
30 November 2010 04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015 11:10 11236 0 0
Masyarakat
hari ini sudah tidak asing lagi dengan proses pemilihan kepala daerah yang
dilakukan secara langsung. Sedikit berbeda memang dengan kondisi di saat
pemerintahan masa orde baru karena di masa itu pemilihan kepala daerah
dilaksanakan oleh lembaga legislatif pada tingkatannya. Namun sebelum masa orde
baru bahkan sebelum Indonesia Merdeka jabatan kepala daerah sudah memiliki
sistem (konstitusi) yang mengaturnya.
Sejak masa pemerintahan kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit-elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya. Sejarah demokrasi di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang-undang pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903. Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan-ketentuan untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat ordonansi di Hindia Belanda. Dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904).[2] Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota dan ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu. Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa dan Madura.
Pemerintahan Pangrehpraja saat itu bersifat hierarkis dan sentralistis, mulai dari gewest (propinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen; afdeling (asisten residen). Pada tingkat pamong praja, terdapat kabupaten (bupati), district atau kawedanan (wedana) dan onderdistrict atau kecamatan (camat).[3] Jabatan gubernur, residen, dan asisten residen dijabat oleh orang - orang Belanda, sedangkan untuk jabatan lainnya dipegang oleh bangsa Indonesia. Untuk semua jabatan tersebut, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh penguasa kolonial atau tepatnya gubernur jenderal, dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan kompensasi ekonomi (upeti). Pendudukan Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga undang - undang yang mengatur tentang penyelengaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 osamu sirei (dalam bahasa Indonesia disebut oendang-oendang). Ketiga oendang-oendang itu adalah oendang-oendang nomor 27 tentang perubahan pemerintah (tertanggal 5 - 8 - 2602), oendang-oendang nomor 28 tentang pemerintahan syuu (tertanggal 7 - 8 - 2602) dan oendang-oendang nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1 - 9 - 2602).[4]
Sejak masa pemerintahan kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit-elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya. Sejarah demokrasi di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang-undang pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903. Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan-ketentuan untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat ordonansi di Hindia Belanda. Dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904).[2] Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota dan ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu. Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa dan Madura.
Pemerintahan Pangrehpraja saat itu bersifat hierarkis dan sentralistis, mulai dari gewest (propinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen; afdeling (asisten residen). Pada tingkat pamong praja, terdapat kabupaten (bupati), district atau kawedanan (wedana) dan onderdistrict atau kecamatan (camat).[3] Jabatan gubernur, residen, dan asisten residen dijabat oleh orang - orang Belanda, sedangkan untuk jabatan lainnya dipegang oleh bangsa Indonesia. Untuk semua jabatan tersebut, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh penguasa kolonial atau tepatnya gubernur jenderal, dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan kompensasi ekonomi (upeti). Pendudukan Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga undang - undang yang mengatur tentang penyelengaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 osamu sirei (dalam bahasa Indonesia disebut oendang-oendang). Ketiga oendang-oendang itu adalah oendang-oendang nomor 27 tentang perubahan pemerintah (tertanggal 5 - 8 - 2602), oendang-oendang nomor 28 tentang pemerintahan syuu (tertanggal 7 - 8 - 2602) dan oendang-oendang nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1 - 9 - 2602).[4]
|
Setelah Indonesia merdeka, undang-undang yang menyinggung kedudukan kepala daerah adalah undang-undang nomor 1 tahun 1945, tentang peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah menjalankan fungsi ekseku-tifnya sebagai pemimpin komite nasional daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua legislatif dalam badan perwakilan daerah. Pada masa undang -undang nomor 1 tahun 1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya, hal itu dilaku-kan karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat itu tidak baik.
UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun 1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan di daerah. Dalam undang-undang ini yang dimaksud pemerintahan daerah adalah propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), nagari atau marga. Pengaturan tentang kepala daerah dalam undang-undang ini tertulis dalam pasal 18. dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah propinsi (gubernur) diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh men-teri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota kecil) yang diangkat oleh kepala daerah propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).
Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan ditetapkannnya Undang-Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1957. didalam undang-undang ini, tingkatan-tingkatan daerah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; daerah tingkat I dipimpin oleh gubernur, daerah tingkat II dipimpin oleh bupati atau walikota dan daerah tingkat III dipimpin oleh camat.
Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya, oleh karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka akses rakyat berpartisipasi sangat tampak dalam pilkada yang diatur UU No.1 tahun 1957. Dalam undang-undang ini, sistem pemerintahan kepala daerah langsung telah dijabarkan namun dalam prosesnya. Berdasarkan keterangan itu, sistem pilkada langsung dalam UU nomor 1/1957 benar-benar merupakan introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan.[5]
Selain undang-undang, presiden pertama Republik Indonesia mem-buat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah. Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Oleh karena itu undang-undang ini kelihatan lebih ber-sifat darurat dalam rangka retooning sebagai tindak lanjut berlakunya kembali Undang-Undang 1945. dalam undang-undang ini, kepala dae-rah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam nege-ri. Pengangkatan dilakukan terhadap salah seorang yang diajukan oleh DPRD. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang mengajukan calon kepala daerah.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya undang-undang nomor 18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. dalam undang-undang nomor 18/1965, bertolak belakang dengan undang-undang nomor 1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturan-nya berdasarkan peraturan pemerintah.[6] Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.
Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk menda-patkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan peme-rintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukan-lah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.[7]
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. undang-undang ini menimbulkan perubahan pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penye-lenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara peme-rintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang-undang ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD di luar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.[8] Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelum-nya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan ke-mudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem rekrutmen kepala daerah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok-kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi.[9] Untuk menggantikan undang-undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah undang-undang nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) No. 3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepala daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005.
Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam undang- undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang-undang yang baru demi mencip-takan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten Lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melaku-kan uji materil pada UU No.32 tahun 2004. akhirnya keluarlah Keputu-san MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
Revisi undang-undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008. Undang-undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Di mana di dalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah.
Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang-undang ini Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemu-dian masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan PEMILUKADA.
Referensi
[1] Mariam Budiharjo, edisi revisi, Dasar - Dasar Ilmu Politik PT. Gramedia, Jakarta, 2008., hal 134 -
135.
[2] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hal 38
[2] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hal 38
[3] Ibid., hal 40.
[4] Ibid, hal 42.
[5] Ibid, hal 55.
[6] Ibid, hal 61.
[7] Ibid, hal 65.
[8] Koirudin, Sketsa Kebijakan
Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian
Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75.
[9] Ibid., hal 97 - 98.
Pemilu Serentak dan Masa Depan
Konsolidasi Demokrasi
Ria Casmi Arrsa
Peneliti Pusat Pengembangan Otonomi
Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya
Gedung Munir Lt II Jl.MT. Haryono No
169
Malang Jawa Timur Kode pos 65145
Email:ppotoda@gmail.com,
website:http://www.ppotoda.org
Naskah diterima: 4/8/2014 revisi: 18/8/2014 disetujui: 29/8/2014
Abstrak
Perkembangan transisi demokrasi di Indonesia berjalan sangat pesat pasca
dilakukannya amandemen UUD 1945. Salah satu perkembangan dalam bingkai politik
ketatanegaraan ditandai dengan rumusan konstitu-si yang memberikan kerangka
dasar bernegara bahwa kedaulatan ber-ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar rumusan tersebut maka suksesi
kepemimpinan dalam ca-bang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilaksanakan
secara langsung sebagaimana mandat Pasal 22 E ayat (2).
Namun demikian dalam praktek
ketatanegaraan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menunjukkan hal yang inkonsisten
dengan rumusan di dalam konstitusi.
Sebagaimana termaktub dalam ketentuan
Pasal 3 ayat (5) menye-butkan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dilaksanakan sete-lah pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pada
akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menya-takan bahwa
model pemilihan dimaksud inkonstitusional. Atas dasar itulah penilaian
konstitusionalitas norma pemilihan serentak didasarkan pada metode tafsir
konstitusi baik dari sisi original intent maupun tafsir sejarah. Desain
konstitusional pemilihan umum serentak
Sebagaimana
dimaksud lahir sebagai upaya untuk menggeser arah transisi demokrasi menuju
pada penguatan sistem konsolidasi demo-krasi agar praktek buram demokrasi langsung yang cenderung transaksional,
koruptif, manipulatif, berbiaya tinggi dan melanggengkan kekuasaan dapat
diminimalisasi dalam praktek ketatanegaraan yang berdimensikan pada paham
demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Kata Kunci : Pemilihan Umum, Kedaulatan Rakyat, Inkonstitusional, Demokrasi
Pemilu Serentak dan Masa Depan
Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014
5 16
Abstract
The development of democracy in Indonesia is running very rapidly after the
1945 amendment. One of the developments within the frame of politics
characterized by constitutional formula that provides a basic framework state
that sovereignty belongs to the people and carried out in accordance with the
Constitution. On the basis of the formulation of the succession of leadership
in the executive and legislative branches are directly implemented as the
mandate of Article 22 E of paragraph (2). However, in practice the
constitutional arrangements in the Law Number 42 Year 2008 concerning General
Pemlihan President and Vice President shows inconsistent with the statement in
the constitution . As set out in Article 3 paragraph ( 5 ) states that the
election of President and Vice- President held after an election DPR, DPD and
DPRD. At the end of the Constitutional Court through Decision No. 14/PUU-XI/2013
stated that the selection of models is unconstitutional.
Based on
that assessment constitutionality of norms selection method based on the
simultaneous interpretation of the constitution of both the original intent and
interpretation of history. Design constitutional elections simultaneously
referred born as an attempt to shift the direction of the transition towards
democracy in the reinforcement system in order consolidation of democratic
practice direct democracy tends opaque transactional, corrupt, manipulative,
high costs and preserve power can be minimized in the practice of
constitutional democracy dimention to understand and sovereignty of the people.
Keywords : General Election, Sovereignty of
the People, Unconstitutional, Democracy
Pemilu Serentak
PENDAHULUAN
Perkembangan politik dan hukum ketatanegaraan di Indonesia berjalan pesat pasca dilakukannya
amandemen terhadap UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat RI pada kurun waktu 1999-2002. Salah
satu dimensi
perkembangan
sebagaimana dimaksud ditandai dengan adanya penguatan demokrasi partisipatif
oleh rakyat dalam kancah suksesi kepemimpinan nasional melalui sarana
penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan
secara langsung. Sebagaimana amanat UUD Negara Republik Indonesia khususnya Pasal
1 ayat 2 menegaskan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang Undang Dasar”. Selanjutnya ketentuan Pasal 6A Ayat (1)
mengamanatkan pula bahwa,
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”
Pemilu Serentak dan
Masa Depan Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014
5 17
Gagasan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung lahir dan diimplemetasikan dalam sistem politik Indonesia dengan latar belakang potret buram
tirani kekuasaan pada rezim orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama di
bawah kepemimpinan Presiden Soekarno pelanggaran terhadap konstitusi terjadi
tatkala Soekarno menerima pengangkatan dirinya sebagai Presiden seumur hidup
menyusul dikeluarkannya TAP MPRS yang mengatur bahwa, : “Dr. Ir Soekarno (Mr.
Soekarno), Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang sekarang Presiden Republik
Indonesia, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini menjadi Presiden
Indonesia seumur hidup”.
Demikian halnya praktek ketatanegaraan
pada masa orde baru di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto yang menerapkan
secara ketat sistem satu partai. Meskipun secara formal terdapat tiga partai
antara lain Golkar, PPP, dan PDI. Guna memperketat kontrol terhadap partai yang
ada Pasal 14 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik
memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai yang tidak sesuai
dengan tujuan negara.
1 Praktek demokrasi di era orde baru bisa
dibilang belum tercipta pelembagaan demokrasi yang substansial. Kondisi ini
terjadi mengingat bahwa proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat
diten-tukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu menurut Yves Meny dan
Andrew Knapp 2 mengutarakan bahwa, “A democratic system without political
parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu
sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai politik sulit sekali dibayangkan
untuk di sebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.
Dalam
perkembangannya dengan menelisik aspek sejarah amande-men terhadap UUD 1945
menunjukkan bahwa wacana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan topik
yang hangat diperdebat-kan oleh berbagai kalangan dalam proses amandemen.
Perdebatan sebagaimana dimaksud mengemuka sejak Rapat BP MPR ke 2 pada 6
Oktober 1999 terutama mengenai isu seputar apakah pasangan Presiden dan Wakil
Presiden tetap dipilih oleh MPR sebagaimana pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 ataukah
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Dalam rapat
Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyinggung soal perlunya perubahan tata cara
Presiden dan Wakil Presiden menjadi lebih terbuka dan demokratis.
31 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 (Antara Mitos dan
Pembongkaran),
Jakarta: Penerbit Mizan: 2007, h. 140-1412
Yves Meny dan
Andrew Knapp dikutip dari Jimly Asshidiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran
Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h. 55.
Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014
518
Terminologi demokrasi sendiri bermula dari
istilah Yunani Klasik pada abad ke-5 SM. Istilah yang dikenalkan pertama kali
di Athena ini berasal dari dua kata, yaitu demos yang memiliki arti rakyat, dan
Kratos / cratein yang berarti pemerintahan (rule) atau kekuasaan (strength).
4 Dalam ranah konseptual, demokrasi dapat
diberi pengertian sebagai sebuah pemerintahan yang dilangsungkan dengan
dilandasi kedaulatan rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi, atau yang biasa
kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
5. Abraham Lincoln pada 1867 memberikan
pengertian demokrasi sebagai “government of the people, by the people, and for
the people”.
Pasca-Perang
Dunia II, pemilihan umum merupakan praktek politik ke-tatanegaraan yang sudah
sangat lazim digelar di banyak negara. Hal ini merupakan implikasi historis
atas kemenangan demokrasi dalam meng-hadapi gagasan, ideologi atau rezim
lainnya. Saat ini hampir tidak ada negara yang menolak gagasan demokrasi,
bahkan negara yang tidak mempraktekkan demokrasi pun mengklaim dirinya sebagai
negara demokratis. Pemilu sesungguhnya bukan sekadar arena untuk mengek-presikan
kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya, tetapi juga sebagai sarana untuk
menilai kinerja pemimpin dan menghukumnya jika kinerja dianggap buruk. Dengan
demikian, para pemimpin rakyat yang menjadi anggota badan perwakilan rakyat
maupun yang menduduki jabatan pemerintahan, diseleksi sendiri oleh rakyat. Pada
titik ini pemilu menunjukkan kemampuannya dalam menerjemahkan gagasan mengenai
demokrasi dan kedaulatan rakyat.
6 Dalam praktek ketatanegaraan di masa
transisi demokrasi yang berlangsung pada kurun waktu 1998 sampai saat ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan konsolidasi
demokrasi yang tangguh dan handal.
Momentum transisi
demokrasi di era reformasi ditandai dengan pe-nyelenggaraan Pemilu 1999 yang
merupakan pemilu pertama pada masa reformasi yang diikuti oleh 48 partai
politik. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak
di seluruh wilayah Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama dengan
Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan yang digunakan bersifat berimbang
Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002), Jakarta: Mahkamah Konstitusi: 2010, h. 240.
4 Dalam konsep pemikiran Para ahli politik, pemerintahan maupun hukum
tidak berbeda dalam mengutip mengenai asal kata ’demos’ yang memiliki arti
pemerintahan, namun demikian banyak yang berbeda dalam mengutip kata ’kratos’,
ada yang menyebutnya cratia, cratein, atau cratos.
Oleh karena itu jika terdapat keberagaman
dalam pemaknaan semantik dari kata demokrasi, maka dapat memahami dan memaklumi
perbedaan tersebut. Secara prinsip hal tersebut sama.
Lihat Sunil Bastian dan Robin Luckham, Can
Democracy be Designed ?, The Politics of Institutional Choice in Conflict-torn
Societies, London&Newyork: Zed Books, 2003, h. 15.
5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002,
h. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar