Dentuman Besar
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Menurut model ledakan
dahsyat, alam
semesta mengembang dari keadaan awal
yang sangat padat dan panas dan terus mengembang sampai sekarang. Secara umum,
pengembangan ruang semesta yang mengandung galaksi-galaksi dianalogikan seperti roti kismis yang mengembang. Gambar
di atas merupakan gambaran konsep artis yang mengilustrasikan pengembangan
salah satu bagian dari alam semesta rata.
Ledakan Dahsyat atau Dentuman
Besar (bahasa
Inggris: Big Bang)
merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan
pembentukan alam
semesta berdasarkan kajian kosmologi mengenai
bentuk awal dan perkembangan alam semesta (dikenal juga dengan Teori
Ledakan Dahsyat atau Model
Ledakan Dahysat). Berdasarkan permodelan ledakan ini, alam
semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus
menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran terbaik tahun 2009, keadaan
awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu,[1][2] yang kemudian selalu
menjadi rujukan sebagai waktu terjadinya Big Bang tersebut.[3][4] Teori ini telah
memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat yang didukung oleh metode
ilmiah beserta pengamatan.[5][6]
Adalah Georges Lemaître,
seorang biarawan Katolik Roma Belgia, yang mengajukan teori ledakan dahsyat
mengenai asal usul alam semesta, walaupun ia menyebutnya sebagai "hipotesis atom purba".
Kerangka model teori ini bergantung pada relativitas
umum Albert
Einstein dan beberapa asumsi-asumsi sederhana,
seperti homogenitas dan isotropi ruang. Persamaan
yang mendeskripsikan teori ledakan dahsyat dirumuskan oleh Alexander Friedmann. Setelah Edwin Hubble pada tahun 1929 menemukan
bahwa jarak bumi dengan galaksi yang
sangat jauh umumnya berbanding lurus dengan geseran
merahnya, sebagaimana yang disugesti oleh Lemaître pada
tahun 1927, pengamatan ini dianggap mengindikasikan bahwa semua galaksi dan
gugus bintang yang sangat jauh memiliki kecepatan tampak yang secara langsung
menjauhi titik pandang kita: semakin jauh, semakin cepat kecepatan tampaknya.[7]
Jika jarak antar gugus-gugus galaksi terus meningkat seperti
yang terpantau sekarang, semuanya haruslah pernah berdekatan pada masa lalu.
Gagasan ini secara rinci mengarahkan pada suatu keadaan massa
jenis dan suhu yang
sebelumnya sangat ekstrem.[8][9][10] Berbagai pemercepat partikel raksasa telah dibangun
untuk mencoba dan menguji kondisi tersebut, yang menjadikan teori tersebut dapat konfirmasi
dengan signifikan, walaupun pemercepat-pemercepat ini memiliki kemampuan yang
terbatas untuk menyelidiki fisika
partikel. Tanpa adanya bukti apapun yang berhubungan
dengan pengembangan awal yang cepat, teori ledakan dahsyat tidak dan tidak
dapat memberikan beberapa penjelasan mengenai kondisi awal alam
semesta, melainkan mendeskripsikan dan menjelaskan
perubahan umum alam semesta sejak pengembangan awal tersebut.
Kelimpahan unsur-unsur ringan yang terpantau di seluruh kosmos sesuai dengan
prediksi kalkulasi pembentukan unsur-unsur ringan melalui proses nuklir di
dalam kondisi alam semesta yang mengembang dan mendingin pada awal beberapa
menit kemunculan alam semesta sebagaimana yang diuraikan secara terperinci dan
logis oleh nukleosintesis ledakan dahsyat.
Fred
Hoyle mencetuskan istilah Big Bang pada
sebuah siaran radio tahun 1949. Dilaporkan secara luas bahwa, Hoyle yang
mendukung model kosmologis alternatif "keadaan tetap" bermaksud menggunakan
istilah ini secara pejoratif, namun Hoyle secara eksplisit membantah hal ini
dan mengatakan bahwa istilah ini hanyalah digunakan untuk menekankan perbedaan
antara dua model kosmologis ini.[11][12][13] Hoyle kemudian
memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha para fisikawan untuk memahami nukleosintesis bintang yang
merupakan lintasan pembentukan unsur-unsur berat dari unsur-unsur ringan secara
reaksi nuklir. Setelah penemuan radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis pada
tahun 1964, kebanyakan ilmuwan mulai menerima bahwa beberapa skenario teori
ledakan dahsyat haruslah pernah terjadi.
Sejarah dan perkembangan teori
Teori ledakan dahsyat dikembangkan berdasarkan pengamatan
pada stuktur alam semesta beserta pertimbangan teoritisnya. Pada tahun
1912, Vesto Slipher adalah
orang yang pertama mengukur efek
Doppler pada "nebula spiral"
(nebula spiral merupakan istilah lama untuk galaksi
spiral), dan kemudian diketahui bahwa hampir semua
nebula-nebula itu menjauhi bumi. Ia tidak berpikir lebih jauh lagi mengenai
implikasi fakta ini, dan sebenarnya pada saat itu, terdapat kontroversi apakah
nebula-nebula ini adalah "pulau semesta" yang berada di luar
galaksi Bima
Sakti.[14][15]
Sepuluh tahun kemudian, Alexander Friedmann,
seorang kosmologis dan matematikawan Rusia,
menurunkan persamaan Friedmann dari persamaan relativitas
umum Albert
Einstein. Persamaan ini menunjukkan bahwa alam semesta
mungkin mengembang dan berlawanan dengan model alam semesta yang statis seperti
yang diadvokasikan oleh Einstein pada saat itu.[16]
Pada tahun 1924, pengukuran Edwin Hubble akan jarak nebula spiral
terdekat menunjukkan bahwa ia sebenarnya merupakan galaksi
lain. Georges Lemaître kemudian
secara independen menurunkan persamaan Friedmann pada tahun 1927 dan mengajukan
bahwa resesi nebula yang disiratkan oleh persamaan tersebut diakibatkan oleh
alam semesta yang mengembang.[17]
Pada tahun 1931 Lemaître lebih jauh lagi
mengajukan bahwa pengembangan alam semesta seiring dengan berjalannya waktu
memerlukan syarat bahwa alam semesta mengerut seiring berbaliknya waktu sampai
pada suatu titik di mana seluruh massa alam semesta berpusat pada satu titik,
yaitu "atom purba" di mana waktu
dan ruang bermula.[18]
Mulai dari tahun 1924, Hubble mengembangkan sederet
indikator jarak yang merupakan cikal bakal tangga jarak kosmis
menggunakan teleskop Hooker 100-inci (2,500 mm) di Observatorium Mount Wilson. Hal
ini memungkinkannya memperkirakan jarak antara galaksi-galaksi yang pergeseran
merahnya telah diukur, kebanyakan oleh Slipher.
Pada tahun 1929, Hubble menemukan korealsi antara jarak dan kecepatan resesi,
yang sekarang dikenal sebagai hukum
Hubble.[7][19] Lemaître telah menunjukan
bahwa ini yang diharapkan, mengingat prinsip
kosmologi.[20]
Gambaran artis mengenai
satelit WMAPyang
mengumpulkan berbagai data untuk membantu para ilmuwan memahami ledakan dahsyat
Semasa tahun 1930-an, gagasan-gagasan lain diajukan sebagai
kosmologi non-standar untuk menjelaskan pengamatan Hubble, termasuk pula model Milne,[21] alam semesta berayun (awalnya
diajukan oleh Friedmann, namun diadvokasikan oleh Albert
Einstein dan Richard Tolman)[22] dan
hipotesis cahaya lelah (tired
light) Fritz Zwicky.[23]
Setelah Perang
Dunia II, terdapat dua model kosmologis yang
memungkinkan. Satunya adalah model keadaan tetap Fred
Hoyle, yang mengajukan bahwa materi-materi baru
tercipta ketika alam semesta tampak mengembang. Dalam model ini, alam semesta
hampirlah sama di titik waktu manapun.[24]
Model lainnya adalah teori ledakan dahsyat Lemaître, yang diadvokasikan dan
dikembangkan oleh George
Gamow, yang kemudian memperkenalkan nukleosintesis ledakan dahsyat (Big Bang
Nucleosynthesis, BBN)[25] dan
yang kaitkan oleh, Ralph Alpher dan Robert Herman,
sebagai radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis (cosmic
microwave background radiation, CMB).[26] Ironisnya,
justru adalah Hoyle yang mencetuskan istilah big bang untuk
merujuk pada teori Lemaître dalam suatu siaran radio BBC pada
bulan Maret 1949.[27][cat 1]
Untuk sementara, dukungan para ilmuwan terbagi kepada dua
teori ini. Pada akhirnya, bukti-bukti pengamatan memfavoritkan teori ledakan
dahsyat. Penemuan dan konfirmasi radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis
pada tahun 1964[28] mengukuhkan
ledakan dahsyat sebagai teori yang terbaik dalam menjelaskan asal usul dan
evolusi kosmos. Kebanyakan karya kosmologi zaman sekarang berkutat pada
pemahaman bagaimana galaksi terbentuk dalam konteks ledakan dahsyat, pemahaman
mengenai keadaan alam semesta pada waktu-waktu terawalnya, dan merekonsiliasi
pengamatan kosmis dengan teori dasar.
Berbagai kemajuan besar dalam kosmologi ledakan dahsyat
telah dibuat sejak akhir tahun 1990-an, utamanya disebabkan oleh kemajuan besar
dalam teknologi teleskop dan analisis data
yang berasal dari satelit-satelit seperti COBE,[29] Teleskop luar angkasa Hubble dan WMAP.[30]
Tinjauan
Garis waktu ledakan dahsyat
Ekstrapolasi pengembangan alam semesta seiring mundurnya
waktu menggunakan relativitas
umum menghasilkan kondisi masa
jenis dan suhu alam
semesta yang tak terhingga pada suatu waktu pada masa lalu.[31] Singularitas ini mensinyalkan
runtuhnya keberlakuan relativitas umum pada kondisi tersebut. Sedekat mana kita
dapat berekstrapolasi menuju singularitas diperdebatkan, namun tidaklah lebih
awal daripada masa
Planck. Fase awal yang panas dan padat itu sendiri
dirujuk sebagai "the Big Bang",[cat
2] dan dianggap sebagai "kelahiran"
alam semesta kita.
Didasarkan pada pengukuran pengembangan menggunakan Supernova Tipe Ia,
pengukuran fluktuasi temperatur pada latar gelombang mikro kosmis, dan
pengukuran fungsi korelasi galaksi,
alam semesta memiliki usia 13,73 ± 0.12 miliar tahun.[32] Kecocokan
hasil ketiga pengukuran independen ini dengan kuat mendukung model ΛCDM yang
mendeskripsikan secara mendetail kandungan alam semesta.
Fase terawal ledakan dahsyat penuh dengan spekulasi. Model
yang paling umumnya digunakan mengatakan bahwa alam semesta terisi secara
homogen dan isotropis dengan rapatan energi yang
sangat tinggi, tekanan dan temperatur yang
sangat besar, dan dengan cepat mengembang dan mendingin. Kira-kira 10−37 detik
setelah pengembangan, transisi fase menyebabkan inflasi
kosmis, yang sewaktu itu alam semesta mengembang
secara eksponensial.[33] Setelah
inflasi berhenti, alam semesta terdiri dari plasma kuark-gluon beserta partikel-partikel
elementer lainnya.[34]
Temperatur pada saat itu sangat tinggi sehingganya kecepatan
gerak partikel mencapai kecepatan relativitas,
dan produksi pasangan segala
jenis partikel terus menerus diciptakan dan dihancurkan. Sampai dengan suatu
waktu, reaksi yang tak diketahui yang disebut bariogenesis melanggar
kekekalan jumlah barion dan menyebabkan
jumlah kuark dan lepton lebih
banyak daripada antikuark dan antilepton sebesar satu per 30 juta. Ini
menyebabkan dominasi materi melebihi antimateri pada
alam semesta.[35]
Ukuran alam semesta terus membesar dan temperatur alam
semesta terus menurun, sehingga energi tiap-tiap partikel terus menurun.
Transisi fase perusakan simetri membuat gaya-gaya
dasar fisika dan parameter-parameter partikel
elementer berada dalam kondisi yang sama seperti
sekarang.[36] Setelah
kira-kira 10−11 detik,
gambaran ledakan dahsyat menjadi lebih jelas oleh karena energi partikel telah
menurun mencapai energi yang bisa dicapai oleh eksperimen fisika
partikel.
Pada sekitar 10−6 detik,
kuark dan gluon bergabung membentuk barion seperti proton dan
neutron. Kuark yang sedikit lebih banyak daripada antikuark membuat barion
sedikit lebih banyak daripada antibarion. Temperatur pada saat ini tidak lagi
cukup tinggi untuk menghasilkan pasangan proton-antiproton, sehingga yang
selanjutnya terjadi adalah pemusnahan massal, menyisakan hanya satu dari 1010 proton
dan neutron terdahulu. Setelah pemusnahan ini, proton, neutron, dan elektron
yang tersisa tidak lagi bergerak secara relativistik dan rapatan energi alam
semesta didominasi oleh foton (dengan
sebagian kecil berasal dari neutrino).
Beberapa menit semasa pengembangan, ketika temperatur
sekitar satu miliar kelvin dan
rapatan alam semesta sama dengan rapatan udara, neutron bergabung dengan proton
dan membentuk inti atom deuterium dan helium dalam
suatu proses yang dikenal sebagai nukleosintesis ledakan dahsyat.[37] Kebanyakan
proton masih tidak terikat sebagai inti hidrogen.
Seiring dengan mendinginnya alam semesta, rapatan energi massa rihat materi secara
gravitasional mendominasi. Setelah 379.000 tahun, elektron dan inti atom
bergabung menjadi atom (kebanyakan berupa hidrogen) dan
radiasi materi mulai berhenti. Sisa-sisa radiasi ini yang terus bergerak
melewati ruang semesta dikenal sebagai radiasi latar gelombang mikro kosmis.[38]
Medan Ultra Dalam Hubble memperlihatkan galaksi-galaksi dari zaman dahulu ketika
alam semesta masih muda, lebih padat, dan lebih hangat menurut teori ledakan
dahsyat.
Selama periode yang sangat panjang, daerah-daerah alam
semesta yang sedikit lebih rapat mulai menarik materi-materi sekitarnya secara
gravitasional, membentuk awan gas, bintang,
galaksi, dan objek-objek astronomi lainnya yang terpantau sekarang. Detail
proses ini bergantung pada banyaknya dan jenis materi alam semesta. Terdapat
tiga jenis materi yang memungkinkan, yakni materi gelap dingin, materi gelap panas,
dan materi barionik.
Pengukuran terbaik yang didapatkan dari WMAP menunjukkan bahwa bentuk
materi yang dominan dalam alam semesta ini adalah materi gelap dingin. Dua
jenis materi lainnya hanya menduduki kurang dari 18% materi alam semesta.[32]
Bukti-bukti independen yang berasal dari supernova tipe Ia dan radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis menyiratkan
bahwa alam semesta sekarang didominasi oleh sejenis bentuk energi misterius
yang disebut sebagai energi
gelap, yang tampaknya menembus semua ruang.
Pengamatan ini mensugestikan bahwa 72% total rapatan energi alam semesta
sekarang berbentuk energi gelap. Ketika alam semesta masih sangat muda,
kemungkinan besar ia telah disusupi oleh energi gelap, namun dalam ruang yang
sempit dan saling berdekatan. Pada saat itu, gravitasi mendominasi dan secara
perlahan memperlambat pengembangan alam semesta. Namun, pada akhirnya, setelah
beberapa miliar tahun pengembangan, energi gelap yang semakin berlimpah
menyebabkan pengembangan alam semesta mulai secara perlahan semakin cepat.
Segala evolusi kosmis yang terjadi setelah periode
inflasioner ini dapat secara ketat dideskripsikan dan dimodelkan oleh model ΛCDM, yang menggunakan
kerangka mekanika kuantum dan relativitas umum Einstein yang independen.
Sebagaimana yang telah disebutkan, tiada model yang dapat menjelaskan kejadian
sebelum 10−15 detik setelah kejadian
ledakan dahsyat. Teori kuantum gravitasi diperlukan
untuk mengatasi batasan ini.
Asumsi-asumsi dasar
Teori ledakan dahsyat bergantung kepada dua asumsi utama:
universalitas hukum
fisika dan prinsip
kosmologi. Prinsip kosmologi menyatakan bahwa dalam skala
yang besar alam semesta bersifat homogen dan isotropis.
Kedua asumsi dasar ini awalnya dianggap sebagai postulat,
namun beberapa usaha telah dilakukan untuk menguji keduanya. Sebagai contohnya,
asumsi bahwa hukum fisika berlaku secara universal diuji melalui pengamatan
ilmiah yang menunjukkan bahwa penyimpangan terbesar yang mungkin terjadi
pada tetapan struktur halus sepanjang usia
alam semesta berada dalam batasan 10−5.[39]
Apabila alam semesta tampak isotropis sebagaimana yang
terpantau dari bumi, prinsip komologis dapat diturunkan dari prinsip
Kopernikus yang lebih sederhana. Prinsip ini
menyatakan bahwa bumi, maupun titik pengamatan manapun, bukanlah posisi pusat
yang khusus ataupun penting. Sampai dengan sekarang, prinsip kosmologis telah
berhasil dikonfirmasikan melalui pengamatan pada radiasi latar gelombang mikro
kosmis.
Metrik FLRW
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker
Relativitas umum mendeskripsikan ruang-waktu
menggunakan metrik yang menjelaskan jarak
kedua titik yang terpisah satu sama lainnya. Titik ini, yang dapat berupa
galaksi, bintang, ataupun objek lainnya, ditunjukkan menggunakan peta koordinat yang
berada di keseluruhan ruang waktu. Prinsip kosmologis menyiratkan
bahwa metrik ini haruslah homogen dan isotropis dalam skala yang besar.
Satu-satunya metrik yang memenuhi persyaratan ini adalah metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker (metrik
FLRW). Metrik ini mengandung faktor skala yang menentukan
seberapa besar alam semesta berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini
memungkinkan kita untuk membuat sistem koordinat yang
dapat dipilih dengan praktis, yaitu koordinat segerak (comoving
coordinate).
Dalam sistem koordinat ini, kisi koordinat berekspansi
bersamaan dengan alam semesta yang mengembang, sehingga objek yang bergerak
karena pengembangan alam semesta akan berada pada titik yang sama dalam sistem
koordinat ini. Walaupun jarak koordinat (jarak segerak) kedua titik tetap
konstan, jarak fisik antara dua titik akan meningkat sesuai dengan faktor skala alam semesta.[40]
Ledakan Dahsyat bukanlah kejadian penghamburan materi ke
seluruh ruang semesta yang kosong. Melainkan ruang tersebut berekspansi seiring
dengan waktu dan meningkatkan jarak fisik antara dua titik yang bersegerak.
Karena metrik FLRW mengasumsikan distribusi massa dan energi yang merata,
metrik ini hanya berlaku pada skala yang besar.
Horizon
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Horizon kosmologis
Salah satu ciri penting pada ruang waktu Ledakan Dahsyat
adalah keberadaan horizon. Oleh karena alam semesta
memiliki usia yang terbatas, dan cahaya bergerak dengan kecepatan yang terbatas
pula, maka akan terdapat berbagai kejadian pada masa lalu yang cahayanya belum
mencapai kita. Hal ini akan membatasi kita dalam mengamati objek terjauh alam
semesta (horizon masa lalu). Sebaliknya, karena ruang itu
sendiri berekspansi dan objek yang semakin jauh akan menjauh semakin cepat,
cahaya yang dipancarkan oleh kita tidak akan pernah mencapai objek jauh
tersebut. Batasan ini disebut sebagai horizon masa depan, yang
membatasi kejadian-kejadian pada masa depan yang kita dapat pengaruhi.
Keberadaan dua horizon ini bergantung pada penjelasan detail
model FLRW mengenai alam semesta kita. Pemahaman kita mengenai alam semesta
pada waktu-waktu terawalnya menyiratkan terdapatnya horizon masa lalu, walaupun
pandangan kita juga akan dibatasi oleh buramnya alam semesta pada waktu-waktu
terawalnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memandang masa lalu lebih jauh
daripada yang kita dapat pandang sekarang, walaupun horizon masa lalu akan
menyusut dalam ruang. Jika pengembangan akan semesta terus berakselerasi, maka
akan terdapat pula horizon masa depan..[41]
Bukti pengamatan
Terdapat beberapa bukti pengamatan langsung yang mendukung
model Ledakan Dahsyat, yaitu pengembangan
Hubble terpantau pada geseran
merah galaksi, pengukuran mendetail pada latar belakang gelombang mikro kosmis,
kelimpahan unsur-unsur ringan, dan distribusi skala besar beserta evolusi galaksi[42] yang diprediksikan
terjadi karena pertumbuhan gravitasional struktur dalam teori standar. Keempat
bukti ini kadang-kadang disebut "empat pilar teori Ledakan
Dahsyat".[43]
Hukum Hubble dan pengembangan ruang
Pengamatan pada galaksi dan kuasar yang
jauh menunjukkan bahwa objek-objek ini mengalami pergeseran
merah, yakni bahwa pancaran cahaya objek
ini telah bergeser menuju panjang gelombang yang lebih panjang. Pergeseran ini
dapat dilihat dengan mengambil spektrum frekuensi suatu
objek dan mencocokkannya dengan pola spektroskopi garis emisi ataupun garis absorpsi atom
suatu unsur kimia yang berinteraksi dengan cahaya. Pergeseran ini secara merata
isotropis, dan terdistribusikan merata di kesemuaan objek terpantau di seluruh
arah pantauan. Jika geseran
merah ini diinterpretasikan sebagai geseran
Doppler, kecepatanmundur
suatu objek dapat dikalkulasi. Untuk beberapa galaksi, dimungkinkan pula
perkiraan jarak menggunakan tangga jarak kosmis. Ketika
kecepatan mundur dipetakan terhadap jaraknya, hubungan linear yang dikenal
sebagai hukum
Hubble akan terpantau:[7]
v = H0D,
dengan
Hukum
Hubble memiliki dua penjelasan, yaitu kita berada
pada pusat pengembangan galaksi (yang tidak mungkin sesuai denganprinsip
Kopernikus), atapun alam semesta mengembang secara merata
ke mana-mana. Pengembangan alam semesta ini diprediksikan dari relativitas
umum oleh Alexander Friedmann pada tahun 1922[16] dan Georges Lemaître pada
tahun 1927,[17]sebelum
Hubble melakukan analisi beserta pengamatannya pada tahun 1929.
Teori ini mempersyaratkan bahwa hubungan v = HD berlaku
sepanjang masa, dengan D adalah jarak segerak, v adalah kecepatan mundur,
dan v, H, D bervariasi
seiring dengan mengembangnya alam semesta (oleh karenanya kita menulis H0 untuk
menandakannya sebagai "konstanta" Hubble sekarang). Untuk jarak yang
lebih kecil daripada alam semesta teramati,
geseran merah Hubble dapat dianggap sebagai geseran Doppler yang sesuai dengan
kecepatan mundur v. Namun, geseran merah ini
bukan geseran Doppler sejatinya, namun merupakan akibat dari pengembangan alam
semesta antara waktu cahaya tersebut dipancarkan dengan waktu cahaya tersebut
dideteksi.[44]
Bahwa alam semesta mengalami pengembangan metrik
ditunjukkan oleh bukti pengamatan langsung prisip kosmologis dan
prinsip Kopernikus. Pergeseran
merah yang terpantau pada objek-objek yang jauh
sangat isotropis dan homogen.[7] Hal
ini mendukung prinsip kosmologis bahwa alam semesta tampaklah sama di
keseluruhan arah pantauan. Apabila pergeseran merah yang terpantau merupakan
akibat dari suatu ledakan di titik pusat yang jauh dari kita, maka pergeseran
merahnya tidak akan sama di setiap arah pantauan.
Pengukuran pada efek-efek radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis terhadap
dinamika sistem astrofisika yang jauh pada tahun 2000 membuktikan
kebenaran prinsip
Kopernikus, yakni bahwa Bumi bukanlah posisi pusat alam
semesta.[45] Radiasi
yang berasal dari Ledakan Dahsyat ditunjukkan cukup hangat pada masa-masa
awalnya di seluruh alam semesta. Pendinginan yang merata pada latar belakang
gelombang mikro kosmis selama milyaran tahun hanya dapat dijelaskan apabila
alam semesta mengalami pengembangan metrik dan kita tidak berada dekat dengan
pusat suatu ledakan.
Radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis
Semasa beberapa hari pertama alam semesta, alam
semesta berada dalam keadaankesetimbangan termal, dengan
foton secara berkesinambungan dipancarkan dan kemudian diserap. Hal ini
kemudian menghasilkan radiasi spektrum benda
hitam.
Seiring dengan mengembangnya alam semesta,
temperatur alam semesta menurun sehingganya foton tidak lagi dapat diciptakan
maupun dihancurkan. Temperatur ini masih cukup tinggi bagi elektron dan inti
untuk terus berpisah tanpa terikat satu sama lainnya. Walau demikian, foton
terus "dipantulkan" dari elektron-elektron bebas ini melalui suatu
proses yang disebut hamburan Thompson. Oleh
karena hamburan yang terjadi berulang-ulang, alam semesta pada masa-masa
awalnya akan tampak buram oleh cahaya.
Ketika temperatur jatuh mencapai beberapa
ribu Kelvin, elektron dan inti atom mulai
bergabung membentuk atom. Proses ini disebut sebagai rekombinasi. Karena foton jarang
dihamburkan dari atom netral, radiasi akan berhenti dipancarkan dari materi
ketika hampir semua elektron telah berekombinasi. Proses ini terjadi 379.000
tahun setelah Ledakan Dahysat, dikenal sebagai zaman
penghamburan terakhir. Foton-foton terakhir inilah yang kita pantau
pada radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis pada masa sekarang.
Pola-pola fluktuasi radiasi latar ini merupakan
gambaran langsung alam semesta pada masa-masa awalnya. Energi foton yang
berasal pada zaman penghamburan terakhir akan mengalami pergeseran merah
seiring dengan mengembangnya alam semesta. Spektrum yang dipancarkan oleh foton
ini akan sama dengan spektrum radiasi benda hitam, namun dengan temperatur yang
menurun. Hal ini mengakibatkan radiasi foton ini bergeser ke daerah gelombang
mikro. Radiasi ini diperkirakan terpantau di setiap
titik pantauan di alam semesta dan datang dari semua arah dengan intensitas
radiasi yang (hampir) sama.
Pada tahun 1964, Arno
Penzias dan Robert Wilson secara
tidak sengaja menemukan radiasi latar belakang kosmis ketika mereka sedang
melakukan pemantau diagnostik menggunakan penerima gelombang
mikro yang dimiliki oleh Laboratorium
Bell.[28] Penemuan
mereka memberikan konfirmasi yang substansial mengenai prediksi radiasi latar
bahwa radiasi ini bersifat isotropis dan konsisten dengan spektrum benda hitam
pada 3 K. Penzias dan Wilson kemudian dianugerahi penghargaan
Nobel atas penemuan mereka.
Spektrum latar belakang
gelombang mikro kosmis yang diukur oleh intrumen FIRAS pada satelit COBE merupakan
spektrumbenda
hitam berpresisi paling
tinggi yang pernah diukur di alam.[46] Titik-titik data beserta ambang batas kesalahan
pengukuran pada grafik di atas tertutup oleh kurva teoritis, menunjukkan
kepresisian pengukuran yang sangat tinggi.
Pada tahun 1989, NASA meluncurkan
satelit COBE (Cosmic
Background Explorer - Penjelajah latar belakang kosmis). Hasil
penemuan awal satelit ini yang dirilis pada tahun 1990 konsisten dengan
prediksi Ledakan Dahsyat.
COBE menemukan pula temperatur sisa alam semesta
sebesar 2,726 K dan pada tahun 1992 untuk pertama kalinya mendeteksi fluktuasi
(anisotropi) pada radiasi latar belakang gelombang mikro dengan tingkatan
sebesar satu per 105.[29] John
C. Mather dan George
Smoot dianugerahi Nobel atas kepemimpinan mereka
dalam proyek ini. Anisotropi latar belakang gelombang mikro kosmis
diinvestigasi lebih lanjut oleh sejumlah besar eksperimen yang dilakukan di
darat maupun menggunakan balon. Pada tahun 2000-2001, beberapa eksperimen,
utamanya BOOMERanG, menemukan bahwa alam
semesta hampir secara spasial rata dengan mengukur ukuran sudut anisotropi.
(Lihat bentuk alam semesta.)
Pada awal tahun 2003, hasil penemuan
pertama WMAP (Wilkinson
Microwave Anisotropy Probe) dirilis, menghasilkan nilai terakurat
beberapa parameter-parameter kosmologis. Wahana antariksa ini juga membantah
beberapa model inflasi
kosmis, namun masih konsisten dengan teori inflasi
secara umumnya.[30] WMAP
juga mengonfirmasi bahwa selautan neutrino kosmis merembes
di keseluruhan alam semesta. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa bintang-bintang
pertama memerlukan lebih dari setengah milyar tahun untuk menciptakan kabut
kosmis.
Kelimpahan unsur-unsur primordial
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Nukleosintesis Ledakan Dahsyat
Menggunakan model Ledakan Dahsyat, kita dapat
memperkirakan konsentrasi helium-4, helium-3, deuterium dan litium-7 yang ada di seluruh
alam semesta berbanding dengan jumlah hidrogen biasa.[37] Kelimpahan
kesemuaan unsur ini bergantung pada satu parameter, yakni rasio foton terhadap barion, yang nilainya dapat dihitung
secara independen dari detail struktur fluktuasi latar belakang gelombang mikro
kosmis. Rasio yang diprediksikan (rasio massa) adalah sekitar 0,25 untuk 4He/H,
sekitar 10−3 untuk 2H/H,
sekitar 10−4 untuk 3He/H dan
sekitar 10−9 untuk 7Li/H.[37]
Hasil prediksi ini sesuai dengan hasil
pengukuran, paling tidak untuk kelimpahan yang diprediksikan dari nilai tunggal
rasio barion terhadap foton. Kesesuaian ini cukup baik untuk deuterium, namun
terdapat diskrepansi yang kecil untuk 4He
dan 7Li. Dalam kasus helium dan litium, terdapat
ketidakpastian sistematis yang cukup besar. Walau demikian, konsistensi
prediksi ini secara umumnya memberikan bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan
Dahsyat.[47]
Evolusi dan distribusi galaksi
Pengamatan mendetail terhadap morfologi dan
distribusi galaksi beserta kuasarmemberikan
bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat. Perpaduan antara pengamatan
dengan teori menunjukkan bahwa galaksi-galaksi beserta kuasar-kuasar pertama terbentuk
sekitar satu milyar tahun setelah Ledakan Dahysyat. Sejak itu pula, berbagai
struktur astronomi lainnya yang lebih besar seperti gugusan galaksi mulai
terbentuk. Populasi bintang-bintang terus berevolusi dan menua, sehingga
galaksi jauh (yang pemantaunnya menunjukkan keadaan galaksi tersebut pada masa
awal alam semesta) tampak sangat berbeda dari galaksi dekat. Selain itu,
galaksi-galaksi yang baru saja terbentuk tampak sangat berbeda dengan
galaksi-galaksi yang terbentuk sesaat setelah Ledakan Dahsyat. Pengamatan ini
membantah model keadaan tetap. Pengamatan pada pembentukan bintang,
distribusi kuasar dan gaklasi, sesuai dengan simulasi pembentukan alam semesta
yang diakibatkan oleh Ledakan Dahysat.[48][49]
Bukti-bukti lainnya
Setelah melalui beberapa perdebatan, umur alam
semesta yang diperkirakan dari pengembangan Hubble dan radiasi latar belakang
gelombang mikro kosmis telah menunjukkan kecocokan yang sama (sedikit lebih
tua) dengan usia bintang-bintang tertua alam semesta.
Prediksi bahwa temperatur radiasi latar belakang
gelombang mikro kosmis lebih tinggi pada masa lalunya telah didukung secara
eksperimental dengan mengamati garis-garis emisi kabut gas yang sensitif
terhadap temperatur pada pergeseran merah yang tinggi. Prediksi ini juga
menyiratkan bahwa amplitudo dari efek Sunyaev–Zel'dovich dalam gugusan galaksi tidak
tergantung secara langsung pada geseran merah.
Ciri, persoalan, dan masalah
Walaupun sekarang ini teori Ledakan Dahsyat
mendapatkan dukungan yang luas dari para ilmuwan, dalam sejarahnya, berbagai
persaoalan dan masalah pada teori ini pernah memicu kontroversi ilmiah mengenai
model mana yang paling baik dalam menjelaskan pengamatan kosmologis yang ada.
Banyak dari persoalan dan masalah teori Ledakan Dahsyat telah mendapatkan
solusinya, baik melalui modifikasi pada teori itu sendiri maupun melalui
pengamatan lebih lanjut yang lebih baik.
Gagasan-gagasan inti Ledakan Dahsyat yang
terdiri dari pengembangan alam semesta, keadaan awal alam semesta yang panas,
pembentukan helium, dan pembentukan galaksi, diturunkan dari banyak pengamatan
yang tak tergantung pada model kosmologis mana pun. Walau bagaimanapun, model
cermat Ledakan Dahsyat memprediksikan berbagai fenomena fisika yang tak pernah
terpantau di Bumi maupun terdapat pada Model
Standar fisika
partikel. Utamanya, materi
gelap merupakan topik investigasi ilmiah yang
mendapatkan perhatian yang luas.[50] Persoalan
lainnya seperti masalah halo taring dan masalah galaksi katai dari materi gelap dingintidak
sefatal penjelasan materi gelap karena penyelesaian atas masalah tersebut telah
ada dan hanya memerlukan perbaikan lebih lanjut pada teori Ledakan
Dahsyat. Energi
gelap juga merupakan topik investigasi yang
menarik perhatian ilmuwan, namun tidaklah jelas apakah pendeteksian langsung
energi gelap dimungkinkan atau tidak.[51]
Di sisi lain, inflasi
kosmos dan bariogenesis masih
sangat spekulatif. Keduanya sangat penting dalam menjelaskan keadaan awal alam
semesta, namun tidak dapat digantikan dengan penjelasan alternatif lainnya
tanpa mengubah teori Ledakan Dahsyat secara keseluruhan.[cat
3] Pencarian akan penjelasan yang tepat atas
fenomena-fenomena tersebut menjawab pada masalah yang belum terpecahkan dalam
fisika.
Masalah horizon
Masalah horizon mencuat diakibatkan oleh premis
bahwa informasi tidak dapat bergerak melebihi kecepatan cahaya. Dengan usia
alam semesta yang terbatas, akan terdapat horizon partikel yang
memisahkan dua daerah dalam ruang alam semesta yang tidak memiliki hubungan
kontak sebab akibat.[52] Isotropi
radiasi latar yang terpantau menimbulkan masalah, karena apabila alam semesta
telah didominasi oleh radiasi ataupun materi sepanjang waktunya di mulai dari
masa penghamburan terakhir, horizon partikel pada masa itu haruslah
berkoresponden sekitar 2 derajat di langit, dan tidak akan terdapat mekanisme
apapun yang menyebabkan daerah lainnya yang dibatasi partikel horizon untuk
memiliki temperatur yang sama.
Penyelesaian atas inkonsistensi ini dijelaskan
oleh teori inflasi, yakni
medan energi skalar yang isotropis dan homogen mendominasi alam semesta pada
periode waktu terawalnya (sebelum bariogenesis). Semasa inflasi, alam semesta
mengalami pengembangan eksponensial dan horizon partikel berkembang lebih cepat
daripada yang kita asumsikan sebelumnya, sehingga daerah yang sekarang ini
berada berseberangan dengan alam semesta teramati akan melangkaui partikel
horizon satu sama lainnya . Isotropi radiasi latar yang terpantau kemudian akan
menunjukkan bahwa daerah yang lebih luas ini pernah berada dalam hubungan
kontak sebab akibat sebelum terjadinya inflasi.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg memprediksikan
bahwa semasa fase inflasi, akan terdapat fluktuasi termal kuantum.
Fluktuasi ini berperan sebagai cikal bakal keseluruhan struktur alam semesta.
Teori inflasi memprediksikan bahwa fluktuasi ini bersifat invariansi skala dan
berdistribusi normal,
sebagaimana yang dikonfirmasikan oleh pengukuran radiasi latar.
Masalah kerataan alam semesta
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Masalah kerataan
Geometri keseluruhan alam
semesta ditentukan oleh parameter kosmologis omega, apakah omega lebih kecil,
sama dengan, ataupun lebih besar daripada satu.
Masalah kerataan alam semesta adalah masalah
pengamatan yang diasosiasikan dengan metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker.[52] Alam
semesta bisa saja memiliki kelengkungan spasial yang
positif, negatif, maupun nol tergantung pada rapatan energinya. Kelengkungan
alam semesta negatif apabila rapatan energinya lebih kecil daripada rapatan kritisnya,
positif apabila lebih besar darinya, dan nol (rata) apabila sama besar
dengannya. Permasalahnnya adalah bahwa rapatan energi alam semesta terus meningkat
dan menjauhi nilai rapatan kritis walaupun alam semesta tetap hampir rata.[cat
4] Fakta bahwa alam semesta belum
mencapai Kematian Kalor maupun Remukan Besar setelah
milyaran tahun memerlukan penjelasan yang memadai, karena beberapa menit
setelah Ledakan Dahsyat, massa jenis alam semesta haruslah di bawah satu per 1014 dari
nilai kritisnya untuk tetap ada sampai sekarang.[53]
Penyelesaian masalah ini diselesaikan oleh teori
inflasi. Semasa inflasi, ruang waktu mengembang
sedemikiannya kelengkungannya dimuluskan.
Sehingganya, diteorikan bahwa inflasi ini mendorong alam semesta untuk tetap
hampir rata dengan rapatan alam semesta yang hampir sama dengan nilai rapatan
kritisnya.
Monopol magnetik
Persoalan monopol magnetik dicetuskan pada akhir
tahun 1970-an. Teori manunggal akbar memprediksikan kecacatan topologi ruang
yang akan bermanifestasi menjadi magnetik monopol. Benda
ini akan dihasilkan secara efisien pada awal alam semesta yang panas,
menghasilkan kerapatan yang lebih tinggi daripada yang konsisten dengan pemantauan
. Masalah ini diselesaikan pula oleh inflasi
kosmos, yang menghilangkan semua titik-titik cacat
dari alam semesta teramati sebagaimana ia mendorong geometri alam semesta
menjadi rata.[52]
Resolusi alternatif terhadap masalah horizon,
kerataan, dan monopol magnetik diberikan pula oleh hipotesis kelengkungan Weyl.[54][55]
Asimetri barion
Sampai sekarang masih belum dimengerti mengapa
alam semesti memiliki jumlah materi yang
lebih banyak daripada antimateri.[35]Umumnya
diasumsikan bahwa ketika alam semesta masih berusia muda dan sangat panas, ia
berada dalam kondisi kesetimbangan dan mengandung sejumlah barion dan antibarion yang sama
besarnya. Namun, hasil pengamatan menyiratkan bahwa alam semesta, termasuk pula
yang berada di tempat terjauh, hampir semuanya terdiri dari materi. Proses
misterius yang dikenal sebagai "bariogenesis"
menciptakan asimetri ini. Agar bariogenesis dapat terjadi, syarat-syarat kondisi Sakharov harus
dipenuhi. Kondisi ini mempersyaratkan bahwa jumlah barion tidak kekal, simetri-C dan simetri-CP dilanggar, serta
alam semesta menyimpang darikesetimbangan termodinamika.[56] Semua
kondisi ini terjadi dalam Model
Standar, namun efeknya tidaklah cukup kuat untuk
menjelaskan asimetri barion.
Usia gugusan globular
Pada pertengahan tahun 1990-an, pengamatan
pada gugusan-gugusan globular menunjukkan
hasil yang tampaknya tidak konsisten dengan Ledakan Dahsyat. Simulasi komputer
yang cocok dengan pemantauan pada populasi gugusan globular bintang menunjukkan
bahwa usia gugusan-gugusan ini sekitar 15 milyar tahun. Hal ini berkontradiksi
dengan usia alam semesta yang berusia 13,7 miltar tahun. Persoalan ini umumnya
diselesaikan pada akhir tahun 1990-an dengan simulasi komputer yang baru yang
melibatkan efek pelepasan massa yang diakibatkan oleh angin
bintang. Simulasi baru ini menunjukkan usia gugusan
globular yang lebih muda.[57]Walau
demikian, masih terdapat pertanyaan yang meragukan seberapa akurat usia gugusan
ini diukur. Tetapi yang jelas ada bahwa objek luar angkasa ini merupakan salah
satu yang tertua di alam semesta.
Materi gelap
Diagram yang menunjukkan
komposisi berbagai komponen alam semesta menurut model ΛCDM –
kira-kira 95% komposisi alam semesta berbentuk materi gelap dan energi gelap
Semasa tahun 1970-an dan 1980-an, berbagai
pengamatan menunjukkan bahwa adanya ketidakcukupan materi terpantau dalam alam
semesta yang dapat digunakan untuk menjelaskan kekuatan gaya gravitasi antar
dan intra galaksi. Hal ini kemudian memunculkan gagasan bahwa 90% materi alam
semesta berupa materi gelap yang tidak memancarkan cahaya maupun berinteraksi
dengan materi barion. Selain itu, asumsi bahwa alam
semesta terdiri dari materi normal akan menghasilkan prediksi yang inkonsisten
dengan hasil pengmatan. Khususnya, alam semesta sekarang ini tampak lebih
berbongkah-bongkah dan mengandung lebih sedikit deuterium. Hal
ini tidak dapat dijelaskan tanpa keberadaa materi gelap. Manakala pada awalnya
materi gelap ini cukup kontroversial, keberadaannya telah terindikasikan dalam
berbagai pengamatan, meliputi anisotropi pada radiasi latar belakang gelombang
mikro, dispersi kecepatan gugusan galaksi, kajian pada pelensaan gravitasi, dan pengukuran sinar-X pada
gugusan galaksi.[58]
Bukti keberadaan materi gelap kebanyakan berasal
dari pengaruh gravitasi materi ini terhadap materi lain. Sampai saat ini, belum
ada partikel materi gelap yang telah terpantau di laboratorium.
Energi gelap
Pengukuran pada hubungan geseran
merah dengan magnitudo
semu dari supernova tipe Ia mengindikasikan
bahwa pengembangan alam semesta telah berakselerasi sejak
alam semesta berusia setengah kali lebih muda dari sekarang. Untuk menjelaskan
akselerasi ini, relativitas
umum mempersyaratkan bahwa kebanyakan energi
dalam alam semesta terdiri dari sebuah komponen yang bertekanan negatif, atau
diistilahkan "energi
gelap". Energi gelap diindikasikan oleh
sederetan bukti.
Pengukuran pada latar belakang gelombang mikro kosmis mengindikasikan
bahwa alam semesta hampir secara spasial rata, sehingganya menurut relativitas
umum, alam semesta haruslah memiliki energi/massa yang hampir sama dengan rapatan kritisnya. Namun,
rapatan alam semesta yang dihitung dari penggugusan gravitasional menunjukkan
bahwa ia hanya sekitar 30% dari rapatan kritisnya.[20] Oleh
karena energi gelap tidak menggugus seperti energi lainnya, energi gelap dapat
menjelaskan rapatan energi yang "hilang" itu.
Tekanan negatif merupakan salah satu ciri/sifat
dari energi vakum. Namun sifat persis
energi gelap masih misterius. Hasil ekperimen dari WMAP pada tahun 2008 yang
menggabungkan data dari radiasi latar belakang dan sumber data lainnya
menunjukkan bahwa rapatan massa/energi alam semesta utamanya terdiri dari 73%
energi gelap, 23% materi gelap, 4,6% materi biasa, dan kurang dari 1%-nya
neutrino.[32]
Rapatan energi dalam materi menurun seiring
dengan mengembangnya alam semesta, tetapi rapatan energi gelap tetap (hampir)
konstan. Oleh karenanya, materi mendominasi keseluruhan energi total alam
semesta pada masa lalunya. Persentase ini akan menurun pada masa depan seiring
dengan semakin dominannya energi gelap.
Masa depan menurut teori Ledakan Dahsyat
Sebelum diindikasikannya energi
gelap, para kosmologis umumnya mengajukan dua
skenario masa depan alam semesta. Jika rapatan massa alam semesta lebih besar
daripada rapatan kritisnya, maka alam semesta akan mencapai ukuran maksimum dan
kemudian mulai runtuh. Alam semesta kemudian menjadi lebih padat dan lebih
panas kembali, dan pada akhirnya akan mencapai Remukan Besar.[41]
Sebaliknya, apabila rapatan alam semesta sama
atau lebih kecil daripada rapatan kritisnya, pengembangan alam semesta akan
melambat namun tidak akan pernah berhenti. Pembentukan bintang-bintang kemudian
akan berhenti karena semua gas antar bintang di setiap galaksi telah habis
dikonsumsi; bintang-bintang yang ada kemudian akan terus menjalani pembakaran
nuklir menjadi katai
putih, bintang neutron,
dan lubang hitam. Dengan sangat perlahan,
tumbukan antara katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam akan
mengakibatkan pembentukan lubang hitam yang lebih besar. Temperatur rata-rata
alam semesta akan secara asimtotis mencapai nol
mutlak (Pembekuan Besar).
Selain itu, apabila proton tidak stabil, maka
materi-materi barion akan menghilang dan menyisakan hanya radiasi beserta
lubang hitam. Pada akhirnya pula, lubang-lubang hitam yang terbentuk akan
menguap dengan memancarkan radiasi
Hawking. Entropi alam
semesta akan meningkat sampai dengan taraf tiada lagi bentuk energi lain bisa
didapatkan dari entropi tersebut. Keadaan ini disebut sebagai kematian kalor alam
semesta.
Pengamatan modern menunjukkan bahwa pengembangan
alam semesta terus berakselerasi, ini berarti bahwa semakin banyak bagian alam
semesta teramati sekarang akan terus melewati horizon
peristiwa kita dan tidak akan pernah berkontak
dengan kita lagi. Akibat akhir dari pengembangan yang terus meningkat ini tidak
diketahui.
Model ΛCDM alam semesta
mengandung energi
gelap dalam bentuk konstanta kosmologi. Teori
ini mensugestikan bahwa hanya sistem yang terikat secara gravitasional saja,
misalnya galaksi, yang akan terus terikat bersama. Namun, galaksi-galaksi
inipun akan mencapai kematian kalor seiring
dengan mengembang dan mendinginnya alam semesta.
Penjelasan alternatif lainnya yang disebut
teori energi fantom mensugestikan
bahwa pada akhirnya gugusan-gugusan galaksi, bintang, planet, atom, inti atom,
dan materi akan terkoyak oleh pengembangan yang terus meningkat, dan keadaan
ini disebut sebagaiKoyakan Besar.[59]
Fisika spekulatif melangkaui teori Ledakan Dahsyat
Konsep pengembangan alam
semesta, di mana ruang (termasuk bagian tak teramati alam semesta) di wakili
oleh potongan-potongan lingkaran seiring dengan berjalannya waktu.
Manakala model Ledakan Dahsyat telah cukup mapan
dalam bidang kosmologi, sangat besar kemungkinannya model ini akan terus
diperbaiki pada masa depan. Sampai sekarang, sangat sedikit sekali yang kita
ketahui mengenai masa-masa awal sejarah alam semesta.Teorema singularitas Penrose-Hawking mempersyaratkan
keberadaan singularitas pada awal
kemunculan waktu. Namun, teori ini mengasumsikan bahwa teori relativitas
umum berlaku, walaupun teori relativitas umum
haruslah tidak berlaku sebelum alam semesta mencapai temperatur Planck.
Penerapan teori gravitasi kuantumyang
tepat mungkin dapat menghindari keberadaan singularitas ini.[60]
Terdapat beberapa gagasan beserta hipotesis tak
teruji yang diajukan:
·
Model keadaan Hartle-Hawking, yang
mana keseluruhan ruang waktu terbatas; Ledakan Dahsyat mewakili batasan waktu,
namun tidak memerlukan keberadaan singularitas.[61]
·
Model kekisi Ledakang Dahsyat[62] menyatakan
bahwa alam semesta pada saat Ledakan Dahsyat terdiri atas sejumlah kekisifermion yang
terbatas yang merambah domain fundamental,
sehingganya ia memiliki simetri rotasional, translasional, dan tolok. Simetri
ini merupakan simetri terbesar yang dimungkinkan, sehingganya memiliki entropi
terendah dari keadaan manapun.
·
Model kosmologi membran[63] yang mengajukan
bahwa inflasi terjadi diakibatkan oleh pergerakan membran-membran dalam teori
dawai; model pra-Ledakan Dahsyat; model ekpirotik, yang mana Ledakan
Dahsyat merupakan akibat tumbukan membran-membran; dan model siklik yang sama
dengan model ekpirotik tetapi tumbukan
terjadi secara berkala. Dalam model siklik, Ledakan Dahsyat didahului
oleh Remukan Besar dan
alam semesta terus menerus melalui siklus ini dari satu proses ke proses
lainnya.[64][65][66]
Beberapa gagasan memandang Ledakan Dahsyat
sebagai suatu kejadian yang terjadi di alam semesta yang lebih besar dan lebih
tua dan bukanlah kebermulaan alam semesta.
Penafsiran keagamaan
Teori Ledakan Dahsyat adalah teori ilmiah, sehingganya ia
tergantung pada kecocokan teori ini dengan pengamatan yang ada. Namun, sebagai
suatu teori, ia mengalamatkan asal usul realitas dan alam semesta, yang pada
akhirnya memiliki implikasi teologis dan filosofis akan konsep penciptaan ex nihilo.[67][68][69][70][71] Pada tahun 1920-an
dan 1930-an, hampir semua kosmologis cenderung mendukung model keadaan tetap
alam semesta dan beberapa kosmologis mengeluh bahwa adanya permulaan waktu
dalam Ledakan Dahsyat memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam ilmu fisika;
keberatan ini terus disuarakan oleh para pendukung teori keadaan tetap.[72] Kecurigaan
ini lebih menjadi-jadi oleh karena pengusul teori Ledakan Dahsyat,
Monsignor Georges Lemaître, adalah
seorang biarawan Katolik
Roma.[73] Paus
Pius XII pada pertemuan Pontificia Academia Scientiarum tanggal
22 November 1951 mendeklarasikan bahwa teori Ledakan Dahsyat sesuai dengan
konsep penciptaan Katolik.[74]
Sejak diterimanya teori Ledakan Dahsyat sebagai
paradigma kosmologi fisika yang dominan, terdapat berbagai tanggapan yang
berbeda dari kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda akan implikasi teori ini
terhadap doktrin penciptaan keagamaan mereka. Beberapa menerima bukti-bukti
ilmiah teori Ledakan Dahsyat, yang lainnya berusaha merekonsiliasi teori ini
dengan ajaran agama mereka, dan ada pula yang menolak maupun mengabaikan bukti
teori ini.[75]
Kesalahan umum
Orang sering kali salah mengartikan dentuman
besar sebagai suatu ledakan yang menghamburkan materi ke ruang hampa. Padahal
dentuman besar bukanlah suatu ledakan, bukan penghamburan materi ke ruang
kosong, melainkan suatu proses pengembangan alam semesta itu sendiri. Dentuman
besar adalah proses pengembangan ruang-waktu. Bahkan istilah 'ledakan besar'
sendiri merupakan istilah salah kaprah.
Catatan
^ Dilaporkan secara meluas
bahwa Hoyle bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif. Namun, Hoyle
kemudian membantah hal ini, mengatakan bahwa ini hanyalah untuk menekankan
perbedaan antara dua teori ini bagi para pendengar radio. Lihat Bab 9 The
Alchemy of the Heavens oleh Ken Croswell, Anchor Books, 1995.
·
^ Tiada
konsensus seberapa lama fase the Big Bang ada.
Biasanya paling tidak beberapa menit awal kejadian ledakan (sewaktu helium
disintesis) dikatakan terjadi "sewaktu ledakan dahsyat.
·
^ Energi
gelap digunakan untuk menjelaskan kerataan alam semesta; walau demikian, alam
semesta tetap rata selama beberapa milyar tahun bahkan sebelum rapatan energi
gelap cukup signifikan untuk mempertahankan kerataan alam semesta.
Referensi
·
^ Komatsu,
E. (2009). "Five-Year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe Observations:
Cosmological Interpretation". Astrophysical Journal Supplement 180: 330.Bibcode:2009ApJS..180..330K.doi:10.1088/0067-0049/180/2/330.
·
^ Menegoni,
Eloisa et al. (2009), "New constraints on variations of the fine structure
constant from CMB anisotropies", Physical
Review D 80(8),doi:10.1103/PhysRevD.80.087302
·
^ Jonathan
Keohane (November 08, 1997). "Big Bang theory". NASA's
Imagine the Universe: Ask an astrophysicist. Diakses 2010-09-03.
·
^ Feuerbacher,
B.; Scranton, R. (25 January 2006). "Evidence for the Big Bang". TalkOrigins.
Diakses 2009-10-16.
·
^ Wright,
E.L. (9 May 2009). "What is the evidence for the Big Bang?".
Frequently Asked Questions in Cosmology. UCLA,
Division of Astronomy and Astrophysics. Diakses 2009-10-16.
·
^ a b c d Hubble,
E. (1929). "A Relation Between Distance and Radial Velocity
Among Extra-Galactic Nebulae".Proceedings of the National Academy of Sciences 15 (3):
168–73.doi:10.1073/pnas.15.3.168.PMC 522427. PMID 16577160.
·
^ Gibson,
C.H. (21 January 2001). "The
First Turbulent Mixing and Combustion". IUTAM Turbulent Mixing
and Combustion.
·
^ Gibson,
C.H. (2001). "Turbulence And Mixing In The Early Universe".arΧiv:astro-ph/0110012 [astro-ph].
·
^ Slipher, V.M. "The Radial Velocity of the Andromeda Nebula". Lowell
Observatory Bulletin 1: 56–57.
·
^ a b Friedman, A.A. (1922).
"Über die Krümmung des Raumes". Zeitschrift für Physik 10:
377–386.doi:10.1007/BF01332580. (Jerman)
(Terjemahan Inggris di: Friedman, A. (1999). "On the Curvature of Space". General Relativity and Gravitation 31:
1991–2000.doi:10.1023/A:1026751225741.)
·
^ a b Lemaître, G. (1927). "Un
univers homogène de masse constante et de rayon croissant rendant compte de la
vitesse radiale des nébuleuses extragalactiques". Annals of the Scientific Society of Brussels 47A: 41.(Perancis)
(Diterjemahkan di: "A Homogeneous Universe of Constant Mass and Growing
Radius Accounting for the Radial Velocity of Extragalactic Nebulae".Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 91:
483–490. 1931.)
·
^ Lemaître, G. (1931). "The
Evolution of the Universe: Discussion". Nature 128:
699–701. doi:10.1038/128704a0.
·
^ Christianson,
E. (1995). Edwin Hubble: Mariner of the Nebulae. New
York (NY): Farrar, Straus and Giroux.ISBN 0374146608.
·
^ a b Peebles,
P.J.E.; Ratra, Bharat (2003). "The Cosmological Constant and Dark
Energy". Reviews of Modern Physics 75:
559–606.doi:10.1103/RevModPhys.75.559.arXiv:astro-ph/0207347.
·
^ Milne,
E.A. (1935). Relativity, Gravitation and World Structure. Oxford
(UK): Oxford University Press.LCCN 35-19093.
·
^ Tolman,
R.C. (1934). Relativity, Thermodynamics, and Cosmology. Oxford
(UK): Clarendon Press.LCCN 34-32023.
·
^ Zwicky,
F. (1929). "On the Red Shift of Spectral Lines through
Interstellar Space". Proceedings of the National Academy of Sciences 15 (10):
773–779. doi:10.1073/pnas.15.10.773.PMC 522555. PMID 16577237.Full
articlePDF (672 KB).
·
^ Hoyle,
F. (1948). "A New Model for the Expanding Universe". Monthly Notices of the Royal Astronomical Society 108: 372.
·
^ Alpher, R.A.; Gamow, G. (1948). "The Origin of Chemical Elements".Physical Review 73: 803.doi:10.1103/PhysRev.73.803.
·
^ Alpher, R.A. (1948).
"Evolution of the Universe". Nature 162: 774.doi:10.1045/march2004-featured.collection.
·
^ a b Penzias,
A.A.; Wilson, R. W. (1965). "A Measurement of Excess Antenna Temperature at 4080
Mc/s".Astrophysical Journal 142:
419 Extra|pages= or |at= (help).doi:10.1086/148307.
·
^ a b Boggess,
N.W., et al.; Mather, J. C.; Weiss, R.; Bennett, C. L.;
Cheng, E. S.; Dwek, E.; Gulkis, S.; Hauser, M. G. et al. (1992). "The COBE
Mission: Its Design and Performance Two Years after the launch". Astrophysical Journal397:
420 Extra |pages= or |at= (help).doi:10.1086/171797.
·
^ a b Spergel,
D.N., et al. (2006).Wilkinson
Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Three Year Results: Implications for
Cosmology. Diakses 2007-05-27.
·
^ Hawking,
S.W.; Ellis, G.F.R. (1973).The
Large-Scale Structure of Space-Time. Cambridge (UK): Cambridge University Press. ISBN 0-521-20016-4.
·
^ a b c d Hinshaw,
G., et al. (2008)."Five-Year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe
(WMAP) Observations: Data Processing, Sky Maps, and Basic Results" (PDF).The Astrophysical Journal.
·
^ Guth, A.H. (1998). The
Inflationary Universe: Quest for a New Theory of Cosmic Origins. Vintage Books.ISBN 978-0099959502.
·
^ Schewe,
P. (2005). "An
Ocean of Quarks". Physics
News Update(American Institute of Physics) 728 (1).
Diakses 2007-05-27.
·
^ Ivanchik,
A.V. (1999). "The Fine-Structure Constant: A New Observational Limit on
Its Cosmological Variation and Some Theoretical Consequences".Astronomy and Astrophysics 343: 459.arXiv:astro-ph/9810166.Bibcode:1999A&A...343..439I.
·
^ d'Inverno,
R. (1992). "Chapter 23".Introducing Einstein's
Relativity. Oxford University Press. ISBN 0-19-859686-3.
·
^ Gladders,
M.D.; et al. (2007). "Cosmological
Constraints from the Red-Sequence Cluster Survey". The Astrophysical Journal 655 (1):
128–134. arXiv:astro-ph/0603588.Bibcode:2007ApJ...655..128G.doi:10.1086/509909.
·
^ Srianand,
R.; Petitjean, P.; Ledoux, C. "The microwave background temperature at the
redshift of 2.33771".Nature 408 (6815):
931–935.arXiv:astro-ph/0012222.Bibcode:2000Natur.408..931S.Ringkasan – European Southern Observatory (December
2000).
·
^ White,
M. (1999). "Anisotropies in the CMB". Proceedings
of the Los Angeles Meeting, DPF 99, UCLA.
·
^ Steigman,
G. (2005). "Primordial Nucleosynthesis: Successes And
Challenges". arΧiv:astro-ph/0511534[astro-ph].
·
^ Bertschinger,
E. (2001). "Cosmological Perturbation Theory and Structure
Formation". arΧiv:astro-ph/0101009 [astro-ph].
·
^ Bertschinger,
E. (1998). "Simulations of Structure Formation in the Universe".Annual Review of Astronomy and Astrophysics 36 (1):
599–654.Bibcode:1998ARA&A..36..599B.doi:10.1146/annurev.astro.36.1.599.
·
^ Dicke,
R.H.. "The big bang cosmology—enigmas and nostrums". Hawking, S.W.
(ed); Israel, W. (ed)General Relativity: an Einstein centenary survey:
504–517,Cambridge University Press.
·
^ Penrose,
R. (1979). "Singularities and Time-Asymmetry". Hawking, S.W. (ed);
Israel, W. (ed) General Relativity: An Einstein Centenary Survey:
581–638, Cambridge University Press.
·
^ Penrose,
R. (1989). "Difficulties with Inflationary Cosmology". Fergus, E.J.
(ed) Proceedings of the 14th Texas Symposium on Relativistic
Astrophysics: 249–264, New York Academy of Sciences.DOI:10.1111/j.1749-6632.1989.tb50513.x.
·
^ Sakharov,
A.D. (1967). "Violation of CP Invariance, C Asymmetry and Baryon Asymmetry
of the Universe".Zhurnal Eksperimentalnoi i Teoreticheskoi Fiziki, Pisma 5: 32.(Rusia)
·
^ Navabi,
A.A.; Riazi, N. (2003). "Is the Age Problem Resolved?". Journal
of Astrophysics and Astronomy 24 (1–2):
3. Bibcode:2003JApA...24....3N.doi:10.1007/BF03012187.
·
^ Caldwell,
R.R; Kamionkowski, M.; Weinberg, N. N. (2003). "Phantom Energy and Cosmic
Doomsday".Physical Review Letters 91 (7):
071301. arXiv:astro-ph/0302506.Bibcode:2003PhRvL..91g1301C.doi:10.1103/PhysRevLett.91.071301.PMID 12935004.
·
^ Hawking,
S.W.; Ellis, G.F.R. (1973).The Large Scale Structure of Space-Time.
Cambridge (UK): Cambridge University Press. ISBN 0-521-09906-4.
·
^ Hartle,
J.H.; Hawking, S. (1983). "Wave Function of the Universe".Physical Review D 28 (12):
2960.Bibcode:1983PhRvD..28.2960H.doi:10.1103/PhysRevD.28.2960.
·
^ Linde,
A. (2002). "Inflationary Theory versus Ekpyrotic/Cyclic Scenario".arΧiv:hep-th/0205259 [hep-th].
·
^ Than,
K. (2006). "Recycled Universe: Theory Could Solve Cosmic
Mystery". Space.com. Diakses 2007-07-03.
·
^ Kennedy,
B.K. (2007). "What Happened Before the Big Bang?".
Diarsipkan dari aslinya tanggal 2007-07-04.
Diakses 2007-07-03.
·
^ Russel,
R.J. (2008). Cosmology: From Alpha to Omega. Fortress Press. ISBN 9780800662738.
"Amazingly, some secularists attribute to t=0 a direct implication. The
June 1978 issue of the New York Timescontained
an article by NASA's Robert Jastrow, an avowed agnostic, entitled "Found
God?" Here Jastrow depicts the theologians to be "delighted"
that astronomical evidence "leads to a biblical view of Genesis."
Though claiming to be agnostic, he argued without reservation for the religious
significance of t=0: It is beyond science and leads to some sort of
creator."
·
^ Corey,
M. (1993). God and the New Cosmology. Rowman & Littlefield.ISBN 9780847678020.
"Indeed, creation ex nihilo is a fundamental
tenet of orthodox Christian theology. Incredibly enough, modern theoretical
physicists have also speculated that the universe may have been produced
through a sudden quantum appearance "out of nothing." Physicist Paul
Davies has claimed that the particular physicis involved in the Big Bang necessitates creation ex
nihilo."
·
^ Lerner,
E.J. (1992). The Big Bang Never Happened: A Startling Refutation of
the Dominant Theory of the Origin of the Universe. Vintage Books. ISBN 9780679740490.
"From theologians to physicists to novelists, it is widely believed that
the Big Bang theory supports Christian concepts of a creator. In February of
1989, for example, the front-page article of theNew York
Times Book Review argued that scientists and novelists were
returning to God, in large part through the influence of the Big Bang."
·
^ Manson,
N.A. (1993). God and Design: The Teleological Argument and Modern
Science. Routledge.ISBN 9780415263443.
"The Big Bang theory strikes many people as having theological
implications, as shown by those who do not welcome those implications."
·
^ Davis,
J.J. (2002). The Frontiers of Science & Faith. InterVarsity Press.ISBN 9780830826643.
"Genesis' concept of a singular, ex nihilobeginning
of the universe essentially stands alone among the cosmolgies of the ancient
world and exhibts, at this point, convergence with recent big bang cosmological
models."
·
^ Kragh,
H. (1996). Cosmology and Controversy.
Princeton (NJ): Princeton University Press. ISBN 0-691-02623-8.
·
^ Ferris,
T. (1988). Coming
of age in the Milky Way. Morrow. hlm. 274, 438. ISBN 978-0-688-05889-0.,
citingBerger, A. (1984). The
Big bang and Georges Lemaître: proceedings of a symposium in honour of G.
Lemaître fifty years after his initiation of big-bang cosmology,
Louvainla-Neuve, Belgium, 10–13 October 1983. D. Reidel. hlm. 387. ISBN 978-90-277-1848-8.
·
^ Wright,
E.L (24 May 2009)."Cosmology and Religion". Ned
Wright's Cosmology Tutorial. Diakses 2009-10-15.
Jember 3 Januari 2014
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tlp. (0331) 481127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar