Makalah ini saya terima waktu Jum'atan kemarin, sebagai Bulletin Masjid Al-Baitul Amien Jember.
Isinya sangat menarik dan tidak biasa.
Jember, 8 Maret 2014
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118, Jember
Pesantren
sebagai Basis Ideologi Nasionalisme
Oleh
: Dadang Mustajab *)
“Berawal
dari agama lalu timbul nasionalisme, dan nasionalisme adalah bagian dari agama” (KH.
Wahid Hasyim)
Metode pendidikan nasionalisme yang dilakukan oleh kiai di pesantren adalah dengan teladan atau uswah (education by model). Ini adalah metode unggul yang pada umumnya dilaksanakan di pesantren. Di pesantren, menularkan ilmu kepada orang lain merupakan salah satu ibadah yang harus dilandasi dengan niat ikhlas (li Allah ta’ala), yakni untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, bukan untuk mendapatkan imbalan materi dari sesama manusia. Tidak hanya itu, keberhasilan dan sempatnya seseorang santri dalam menularkan ilmu, bagi orang-orang pesantren, merupakan salah satu tanda bahwa seseorang tersebut mendapatkan ilmu yang bermanfaat (nafi’) dan barokah yang didapatkan bukan hanya karena seorang santri tersebut pandai dan rajin belajar, melainkan juga karena dia telah berbakti kepada guru (kiai), sehingga sang kiai mendoakannya secara bersungguh-sungguh hingga dia mendapatkan kemuliaan dan kehormatan secara moral, spiritual, dan intelektual.
Sebab
itu, tidak heran, kalau di kalangan masyarakat santri, mondok untuk menuntut
ilmu di suatu pesantren sering diistilahkan sebagai “mengabdi” kepada kiai
pengasuh pesantren yang bersangkutan. Hal inilah yang menyebabkan kiai-santri
tidak hanya memiliki hubungan intelektual, melainkan juga ikatan spiritual
sekaligus moral yang akan terus bertahan secara turun-temurun, baik dari pihak
kiai maupun santri, Hal semacam ini sangat sulit ditemukan dalam tradisi
keilmuan modern yang cenderung bersifat positivistik.
Karena
adanya ikatan intelektual, moral, sekaligus spiritual antara kiai dan santri,
maka pola hidup kiai tentu saja menjadi model ideal (uswat al-hasanah) bagi
kehidupan santri. Seorang kiai biasanya memiliki kepribadian dan moralitas
unggul, memiliki wawasan keilmuan yang luas, memiliki jiwa nasionalisme, serta
spiritual yang matang. Hal ini sangat menguntungkan dalam proses pendidikan
yang mengutamakan pembentukan karakter dan moralitas peserta didik, termasuk
karakter dan moral nasionalisme. Bukan hanya itu, kecenderungan pribadi seorang
kiai sering secara otomatis menjadi kecenderungan umum santrinya. Misalnya,
jika sang kiai cenderung menjalani hidup sebagai sufi atau mengutamakan
penguatan spiritualitas, maka santrinya juga cenderung demikian.
Pondok Pesantren Tebuireng sekarang
Pesantren ini dulunya didirikan oleh KH. Hasym Asy'ari
Dalam
konteks nasionalisme, kiai tidak hanya pandai dan fasih berbicara mengenai
nasionalisme. Kiai pada umumnya melakukan apa yang dikatakan. Apa yang diyakini
kiai, itulah yang dipikirkan. Apa yang dipikirkan itulah yang dibicarakan. Apa yang
disampaikan, itulah yang dilakukan.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari memberi fatwa
dan bertaushiyah kepada santri agar tidak mengikuti budaya bangsa asing yang
tidak sesuai dengan Islam, dia melaksanakan sendiri apa yang dikatakannya itu.
Misalnya Kiai Hasyim secara terang-terangan menolak untuk melakukan saikerei (sikap hormat dengan cara
membungkukkan badan ke arah Kaisar Jepang Tenno Heika yang oleh masyarakat
Jepang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari).
Penolakannya ini berbuah
pada dipenjarakannya KH. Hasyim Asy’ari oleh pemerintah Jepang. Dipenjarakannya
KH. Hasyim ini kemudian menyulut kemarahan dan protes dari kalangan masyarakat
santri yang dimobilisasi oleh Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid Hasyim.
Mereka memaksa pemerintah Jepang untuk melepaskan Kiai Hasyim. Bahkan kalau
tidak, mereka rela dipenjara bersama-sama Kiai Hasyim.
Contoh
metode pendidikan by model paling
artikulatif dan ekspresif di pesantren mengenai semangat nasionalisme di zaman
modern ini ditunjukkan oleh KH. Muslim Imampuro yang akrab dipanggil Mbah Lim.
Dia adalah kiai dan pejuang nasional yang memiliki nama sudah beken. Mbah Lim
adalah sosok kiai karismatis yang tinggal di sebuah desa kecil di Sumberrejo, Kelurahan Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Di
desanya itu, Mbah Lim sudah lama memangku “Pesantren Pancasila Sakti”.
Pesantren tersebut merupakan salah satu pesantren
tertua di Indonesia. Mbah Lim juga mendirikan sekolah formal hingga tingkat
aliyah (SMA). Nama yang dilabelkan pada santri-santrinya adalah “Kader Kampus
Bangsa Indonesia” (KKBI). Setiap ada kegiatan-kegiatan di pesantren, Mbah Lim
selalu mengawali dengan menyanyikan Indonesai Raya (Said Aqil Siraj, 2013).
Menurut
Said Aqil Siraj, Mbah Lim yang wafat pada Mei 2012 ini sebelumnya punya nazar. Yakni,
dirinya siap diberi azab oleh Allah hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil,
dan makmur. Ternyata benar, tiba-tiba Mbah Lim tidak bisa berak sampai beberapa
bulan, meski makan kenyang. Mbah Lim secara artikulatif menyatakan mau diazab
oleh Allah “hanya” karena demi negara yang menyangkut kepentingan banyak orang.
Nazar
Mbah Lim ini mengingatkan kita pada Sumpah Palapa-nya Patih Gadjah Mada pada
zaman Majapahit. Yakni sumpah untuk menyatukan segenap wilayah Nusantara di
bawah kekuasaan Majapahit. Keduanya, tampaknya, punya substansi semangat yang
sama, yaitu tekad untuk mewujudkan negara nasional yang kukuh serta impian agar
negeri ini adil dan makmur dengan semangat nasionalisme yang menggetarkan.
Mbah
Lim bukan patih atau birokrat yang mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan
kenegaraan. Mbah Lim hanya seorang “kiai kampung”, figur asli civil
society yang dekat dengan masyarakat
bawah. Apa yang bisa diperbuatnya demi negara ini hanyalah nazar, doa, atau
permohonan seorang hamba kepada Sang Khalik. Kalau ditelisik dalam tradisi
sufi, tingkatan doa atau nazar yang dilakukan oleh Mbah Lim ini sama
dengan yang disebut sufi besar Andalusia
Muhyidin Ibn Al-Arabi sebagai su’al
al-isti’dad. Yakni, doa hamba yang dibarengi sikap pasrah dengan menerima (qana’ah) segala risiko yang diberikan
Sang Khalik. Doa itu sudah tentu harus dilalui dengan ketulusan hati tanpa
mengharap imbalan yang serba instan dan hanya menguntungkan secara pribadi.
Itulah
doa dan sikap seorang kiai pencinta dan nasionalis sejati yang senantiasa
peduli serta cinta terhadap tanah airnya tanpa harus berteriak-teriak (bil lisan), mencari kesempatan dalam
situasi krisis demi kepentingan pribadi atau kelompok (bil hal), atau ramai-ramai berdemo, mendirikan forum-forum atau
partai, sembari membuat pernyataan serta deklarasi yang malah kerap
membingungkan dan meminggirkan rakyat. Sikap seperti ini dengan gaya dan model
yang berbeda sering dilakukan oleh kiai-kiai pengasuh pesantren sebagai media
pendidikan bagi santrinya untuk meneladani sikap dan tindakan sang kiai, sesuai
dengan maqam masing-masing individu.
*)
Alumni PMII, Akademisi dan Kandidat Doktor pada UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar