Pahlawan Jember
Letkol Moch Sroedji, dr Soebandi, Brigjen Safiudin, KH Dzofir, KH Abdulloh Shiddiq, KH Shodiq Mahmud Jauhari, Kyai Dawud, Kyai Amiruddin, Mujahid, Sulthan Fadjar, H Syech, Burah, KH Umar dan KH Bakir
Penulis:
Drs. AFTON
ILMAN HUDA, MH
SAMAN HUDI,
S.Ag, M.Si.
Editor:
Dra. ENDAH
NUR TJENDANI, M.Pd.
Lay-Out:
ARIFIN NUR
BUDIONO, S.Pd, M.Si.
Penerbit :
UIJ Kyai
Mojo
Jalan Kyai
Mojo 101 Jember, Jawa Timur
E-mail :
uijember@gmail.com
, Website : uij.ac.id
Cetakan
Pertama - Juli 2006
Cetakan Kedua
- Juni 2012
Hak cipta
dilindungi undang-undang
Dilarang
mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya
Perpustakaan Nasional Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
Ilman
Huda-Samanhudi, Afton
Pahlawan
Jember/ Afton Iman Huda-Saman Hudi
Jember:
UIJ-Kyai Mojo, Juni 2012
117 hlm, 14
x 21 cm
ISBN:
978-602-18386-0-0
PENGANTAR
اكاتهلسلام
عليكم ورحمة الله وبرلسم الله الر حمن الر حيم نحمدك ياذاالجلا ل والا
كرام على
مااكمل لنامن دين الاسلام ونصلى ونسلم على نبى الهدى والرحمة
المبحوث
بلكتاب والحكمة خا تم النبيين وامام المرشدين سيدنامحمدوعلىآله
وصحبه
واتباعه اجمعين
Dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami memuji-Mu wahai Dzat yang
memiliki sifat keagungan dan kemuliaan, atas segala sesuatu yang telah Engkau
sempurnakan untuk kami dari agama Islam.
Kami juga
menghaturkan ucapan shalawat dan salam atas Nabi pemberi petunjuk dan rahmat,
yang diutus dengan membawa Al-kitab dan hikmah. Sebagai penutup sekalian Nabi
dan pimpinan para penunjuk kebenaran yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
juga atas semua keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya.
Buku ini
kelanjutan dari Laporan Penelitian yang berjudul Studi terhadap Peran dan Nilai Kepahlawanan Kabupaten
Jember. Laporan
Penelitian ini adalah realisasi Program Penelitian kerjasama BAPPEKAB (Badan Perencanaan
Pembangunan Kabupaten) Jember dengan
UIJ
(Universitas Islam Jember) yang ditulis oleh Drs H Afton Ilman Huda MH., dan
Saman Hudi S.Ag. M.Si.
Terdapat alasan yang kuat
mengapa buku hasil penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah:
pertama,
bahwa
Jember merupakan bagian dari Indonesia; sehingga apa yang terjadi pada republik
ini dalam skala nasional, akan membawa imbas juga pada tingkatan lokal.
Artinya,
bahwa apa yang terjadi pada perjuangan di tingkatan lokal;
kedua, bahwa perencanaan dan pembangunan
kota Jember ini haruslah berpijak pada akar historis kota ini, bagaiamana the founding fathers kota ini mengkonstruksi
Jember sebagai daerah yang cukup strategis.
Tujuannya
adalah merekam gerak juang para Pejuang Jember dalam sajian data yang nantinya
bermanfaat untuk penelitian mendatang, untuk pelestarian nilai-nilai 45 dan
pengabadian biografi perjuangannya yang sudah mulai hilang. Sehingga setelah
ini akan mudah pengembangan
data berikutnya
Buku ini
memuat 14 orang Tokoh Pejuang diantaranya dari TNI (Letkol Sroedji, Letkol dr
Soebandi dan Brigjen Syafiuddin), dari PPPR/ Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat
(KH Dzofir, KH Jauhari, Kyai Dawud, KH Abdulloh, KH Shodiq
Mahmud dan Kyai Amiruddin), Hizbullah (Sulthan, H Sjech dan Burah), dari
Pejabat Pemerintah (Mujahid) serta dari yang independen (KH Umar dan KH Bakir).
Rencana semula ada sekitar 29 orang Pejuang termasuk diantaranya Soedarman
(Bupati era Kemerdekaan 45 yang pertama), Joeswono (Bupati Pemerintahan Darurat),
KH Machmud alias Bung Rewel, Kyai Zainuri, Ghaffar, Arief Wignyo Sumarto.
Letkol Imam Soekarto,
Kendalanya
adalah nara sumber dari Pelaku perjuangan sudah terbatas dan hanya beberapa
orang yang dapat menyampaikan secara detail dan menyimpan foto/dokumen tempo
dulu secara baik. Nara Sumber yang banyak adalah keluarga Pejuang yang relatif
kurang lengkap
dalam menceritakan kisah perjuangannya.
Apapun
hasilnya, Buku ini adalah data dan dokumen tentang para Pejuang Jember yang
komprehensip sehingga dapat dijadikan referensi penelitian tentang perjuangan
para pahlawan di Jember. Dan pada masa mendatang diharapkan Laporan ini menjadi
inspirasi awal terhadap upaya penyempurnaan
data dan dokumen tentang Pejuang Jember baik secara isi penulisan maupun tentang
jumlah yang ditulis.
Besar
harapan kami semata-mata untuk belajar terhadap keteladanan para Pejuang
sebagai Pemimpin Pejuang dan teladan sebagai manusia kebanyakan.
Mempelajari
keteladanan sikap, pemikiran, perilaku dan akhlaq yang baik para Pejuang sama
dengan meraba-raba keteladanan Rosululloh Muhammad SAW yang harus dilakukan
oleh setiap muslim sehingga dapat memperbaiki sikap, pemikiran, perilaku dan
akhlaq kita dalam bermasyarakat,
beragama dan bernegara.
Terima
kasih atas perhatian bapak Drs H Suprapto Msi. sebagai Kepala BAPEKAB (Badan
Perencanaan Pembangun Kabupaten) Jember dan Drs. H. Achmad Zein MPd. sebagai Rektor
UIJ (Universitas Islam Jember) yang telah berkenan memfasilitasi penulisan buku
ini sehingga dapat terealisasi. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada
keluarga para Pejuang atas bantuan informasi dan data dan terima kasih pula
kepada LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Jember dan Pengurus DHD
Angkatan 45 Jember yang telah membantu kami.
Mohon maaf
atas segala kekurangan dalam Laporan ini. Semoga Allah SWT meridloi yang sudah
kita lakukan
ini sebagai
nilai ibadah bagi manusia, amin.
كاتهوالله
الموفق الى اقو م الطر يق ولسلام عليكم ورحمة الله وبر
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ...................................................... i
KATA
PENGANTAR ..................................................... iii
DAFTAR ISI
.................................................................. vi
BAB I
PAHLAWAN LOKAL JEMBER ........................ 1
A. Kondisi
Objektif Nasional ............................. ......... 1
B. Kondisi
Lokal Jember ............................................ 2
BAB II PERJUANGAN
KEMERDEKAAN DIJEMBER
(1942-1949)
.................................................... 4
A.
Deskriptif Obyektif Perjuangan ........................ 4
B.
Masa-masa Pembentukan PETA di Jember ....... 7
C. Suasana
Proklamasi 1945 di Jember ................ 8
D. Agresi
Militer Belanda I dan II ......................
... 10
E.
Organisasi Perjuangan ................................... . 11
BAB III
PROFIL PEJUANG DARI TNI .................. 14
A. Letkol
Mochammad Sroedji ............................. 14
B. Letkol
dr R.M. Soebandi .................................. 39
C. Brigjen
Syafiudin ............................................ 41
BAB IV
PROFIL PEJUANG DARI PPPR .............. 45
A. KH
Dzofir Salam ............................................. 45
B. KH
Abdullah Shiddiq ....................................... 65
C. KH
Shodiq Machmud S.H ................................ 72
D. KH
Jauhari ..................................................... 76
E. Kyai
Dawud .......................................... .......... 82
F. Kyai
Amirudin ........................................... ...... 84
i
BAB V
PROFIL PEJUANG DARI PEJABAT PEME-
RINTAH
................................. ....... ................ 86
Mujahid
.........................................
................... 86
BAB VI
PROFIL PEJUANG DARI HIZBULLAH ..... 88
A. Sulthan
Fadjar Njata ....................................... 88
B. Burah
............................................................ 109
C. H.Syech
......................................................... 112
BAB VII
PROFIL PEJUANG NON-ORGANISASI . 115
A. KH. Umar
....................................................... 115
B. KH.
Bakir ....................................................... 117
DAFTAR
PUSTAKA .............................................. 121
BAB I
PAHLAWAN
LOKAL JEMBER
A. KONDISI
OBYEKTIF NASIONAL
Masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia secara nasional antara tahun 1942-1949 dapat
dibagi dalam tiga tahapan masa, pertama adalah pada masa pendudukan Jepang
tahun 1942-1945, kedua pada masa agresi militer Belanda I yang dilancarkan pada
tanggal 20 Juli 1947 dan ketiga pada masa agresi militer Belanda II yang
dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948.
Pendudukan
Jepang di Indonesia dimulai setelah Jepang mengalahkan Belanda. Pada masa ini,
Jepang membagi kekuasaan di Indonesia menjadi 3 kekuatan wilayah, pertama di
Sumatera di bawah komando Angkatan Darat XXV, kedua Jawa dan Madura di bawah komando
Angkatan Darat XVI. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan Darat
Wilayah VII dengan bermarkas besar di Singapura. Sedangkan ketiga adalah wilayah
Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai oleh Angkatan Laut. Pada masa ini
terjadi agresi Militer Belanda I.
Agresi
Militer Belanda I dilancarkan pada tanggal 20 Juli 1947 yang bergerak dimulai
di Jakarta dan Bandung untuk
menduduki Jawa Barat, tidak termasuk Banten.
Dalam waktu
yang hampir bersamaan, Belanda juga mendaratkan pasukannya di Surabaya dan
bergerak menduduki Madura dan Ujung Timur Surabaya. Setelah itu dilanjutkan
Agresi II.
Agresi
Militer Belanda II dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948 yang berdampak
pada bencana militer dan politik bagi Belanda, walaupun disisi lain pada saat
itu tampaknya memperoleh kemenangan dengan mudah.
Pada
tanggal 19 Desember 1948 Belanda berhasil menduduki Yogyakarta. Dikatakan
sebagai bencana militer dan politik bagi Belanda karena dengan menyerahnya para
pemimpin Republik Indonesia setelah mendeklarasikan kemerdekaan, merupakan
pukulan politik ditingkat diplomatik bagi Belanda di mata Internasional,
terutama PBB; sehingga dapat dikatakan Belanda menang secara militer tapi kalah
secara diplomatik.
B. KONDISI
LOKAL JEMBER
Dampak dari
pada kedudukan Jepang, Agresi Belanda I dan II secara nasional, adalah
terjadinya sejumlah perlawanan para pejuang lokal untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, termasuk di kota Jember. Di
sini banyak gerakan perlawanan
yang dilakukan oleh para pejuang lokal, baik pada masa pendudukan Jepang,
maupun Agresi Militer
Belanda I
dan II.
Bentuk
perlawanan yang terjadi di Jember banyak melibatkan rakyat dari berbagai
kelompok dan komponen masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa
tokoh pejuang baik dari kalangan Hizbullah, Sipil, dan militer yang terlibat
langsung pada proses perlawanan atau perjuangan tersebut.
Kelompok
pertama adalah PPR (Pusat Perjuangan Rakyat) yang dipimpin oleh K.H. Dzofir
Salam;
kedua kelompok
Hizbullah dengan komendannya Bapak Sulton Fadjar;
ketiga,
K.H. Abdullah Shiddiq sebagai Komandan Batalyon Elang Emas;
keempat,
Mayor Sjafiudin sebagai Komandan
Batalyon TKR; dan
kelima, Kolonel Sroedji sebagai
Komandan Resimen TKR. Hal tersebut cukup
menjadi bukti dan tanda sejarah, bahwa proses
bagaimana Jember
ini lahir banyak melibatkan tokoh-tokoh tersebut, dan bahkan rakyat Jember yang
lebihbanyak jumlahnya yang tidak mungkin disebut
satu persatu.
Para tokoh diatas adalah sangat layak untuk
diabadikan nilai perjuangan dalam mempertahankan kota Jember khususnya dan
Indonesia pada umumnya. Pada proses penelitian yang sudah dilakukan, data di
cari dari sumber-sumber yang layak untuk memberikan keterangan tentang proses dan tingkat perjuangannya,
untuk itu narasumber yang otentik juga menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi.
Umumnya narasumber adalah kerabat dan teman dekat yang bisa memberi informasi
tentang nilai-nilai perjuangan yang diperjuangkan.
BAB II
PERJUANGAN
KEMERDEKAAN DI JEMBER (1942-1949)
A.
DESKRIPTIF OBYEKTIF PERJUANGAN
Perang
Dunia II telah memberi dampak yang sangat signifikan terhadat peradapan dunia,
termasuk di Indonesia. Negara ini termasuk pada lokasi pertarungan baik perang
fisik maupun pertarungan politik. Kondisi di Indonesia juga termasuk pada
kondisi kacau pada saat itu. Ditambah lagi, akibat dari segala bentuk
kolinisasi, masa kependudukan Belanda, adalah tertindasnya dimensi kemanusiaan
rakyat Indonesia yang mengalami kemunduruan yang luar biasa dan bersifat multidimensional.
Akibat lainnya yang tidak kalah parahnya adalah terhambatnya proses pembentukan
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Kondisi
kacau di Indonesia ini akibat dari penjajahan yang terlalu lama, yaitu sekitar
3,5 abat. Dimulai pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuknya Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) di Indonesia oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya VOC adalah
kampium perekonomian Belanda, selanjutnya berkambang menjadi bentuk penjajahan
pada negara.
Selama di
Indonesia, Belanda menerapkan sistem politik pecah belah atau adu domba, yaitu
mengadu antar kolompok atau individu masyarakat Indonesia agar supaya sibuk
dengan pertentangan di internal masyarakat, sedangkan penjajah sibuk juga
dengan
eksploitasi
hasil sumber daya alam negara kita. Untuk melancarkan eksploitasi, maka kerja
rodi/paksa diterapkan dengan para pekerja bangsa Indonesia dari berbagai umur
dan jenis kelamin, dengan melakukan praktek kolonisasi territorial. Kondisi ini
berlangsung sampai dengan tahun 1942. Pada tahun ini bersamaan dengan pertarungan
besar antara tentara sekutu dan Jepang. Pada tahun 1942 pula Belanda hengkang
dari kedudukanya di Indonesia dan digantikan oleh Jepang.
Pada
tanggal 8 Maret 19421 Jepang resmi menduduki Indonesia.
Beberapa
sekolah Belanda saat itu sejak kedatangan Jepang tersebut dengan seketika
ditutup. Beberapa sekolah itu misalnya HIS/MULO/NIAS. Dalam kondisi demikian
anak republik yang sempat mengenyam pendidikan pada sekolah Belanda tersebut
juga berhenti.
Bergantilah
penguasa kolonial di Indonesia dari Belanda, digantikan Jepang, dengan ditandai
ditutupnya beberepa sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti HIS/MULO/NIAS,
secara otomatis anak-anak yang sekolah berhenti juga. Pada masa Jepang inilah,
kondisi Indonesia semakin
parah. Jepang yang semula mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia, telah
menciderai persaudaraan itu. Jepang tidak lebih baik, bahkan lebih represif dan
eksploitatif terhadap rakyat Indonesia.
Sebagai
akibatnya, penderitaan rakyat Indonesia semakin menjadi-jadi. Di sana-sini
banyak terjadi jeritan tangis rakyat karena disiksa dan kelaparan.
Inilah
sebuah fakta yang dengan dalih bagaimanapun tetap harus dikemukakan bahwa colonial
dan kolonialisme selalu memberi dampak yang parah bagi subjek yang terjajah dan
tertindas (Gandhi: 2001). Subjek yang tertindas dan terjajah selalu saja
mengalami bentuk tindakan
kekerasan dengan segala macam bentuknya.Dalam kondisi demikian, bukan menjadi
sesuatu yang mustahil untuk dilakukan bahwa subjek tertindas tersebut akhirnya melakukan perlawanan
1 Catatan yang dibuat Pak Sadiran,
seorang pejuang republic yang pernah terlibat aktif di PETA. Pak Sadiran sampai
sekarang masih t
Perlawanan
inilah oleh kaum pejuang Indonesia diterjemahkan sebagai bentuk perjuangan yang
dapat bernilai tidak semata-mata territorial dan ideologis. Akan tetapi, lebih
jauh dapat diterjemahkan dalam kerangka teologis; yakni perjuangan itu diberi
nilai ketuhanan.
Dalam
konteks inilah, jihad dengan berbagai macam bentuknya mendapatkan daya
relevansinya. Seperti yang dikemukakan Pak Tarwi2, beliau mengatakan bahwa orang semula tidak berani pun dapat
menjadi berani karena jihad itu. Dan, tidak ada pahala bagi orang yang berjihad
di jalan Allah, kecuali surga.
Dalam
kerangka demikian itu, para Kyai dan pejuang di Indonesia dengan semangat
berkobar berani melakukan perlawanan terhadap pihak colonial tersebut.
Dan, tidak
ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi perjuangan tersebut. Terdapat
bentuk kesatuan nilai yang cukup signifikan yang dialami oleh para pejuang
yaitu menyatukan dua konsep nilai; nilai kebangsaan, sebuah nilai yang
membutuhkan kemerdekaan dan nilai ketuhanan
sebagai pengejawantahan amanat ketuhanan.
Bumi
nusantara (Indonesia) ini adalah amanat Tuhan yang perlu dijaga dan disyukuri
keberadaannya.
Sikap para
pejuang tersebut, dimata colonial tentunya menimbulkan kemarahan. Pihak
colonial tidak senang, sehingga mereka menyebut para pejuang tersebut sebagai
teroris, pembangkang, dan lain sebagainya. Piliang (2004) mengemukakan bahwa
dalam kondisi tertentu sebuah kekuatan colonial seringkali membuat klaim
politik terorisme terhadap para kelompok perlawanannya. Terorisme merupakan
bentuk citraan politik yang diharapkan dapat menimbulkan efek kooptatif bagi piyhak yang ditududuh sebagai pihak teroris. Termasuk juga Belanda dan Jepang.
2 Pak Tarwi seorang saksi dan
sekaligus pelaku perjuangan. Sekarang tinggal di Mayang dan aktif di DHC 45
Mayang (Jember)
B.
MASA-MASA PEMBENTUKAN PETA DI JEMBER
Para
pejuang kemerdekaan di Jember, pada awalnya sebagian besar menyambut dengan
baik dan senang atas kedatangan Jepang. Jepang yang mengaku sebagai saudara tua
tersebut mencoba menghibur rakyat Indonesia dengan janji akan memberikan
kemerdekaan bagi negeri ini.
Salah satu
upaya uantuk mempersiapkan kemerdekaan itu adalah perlunya dibentuk sebuah
pasukan yang disebut Pembela Tanah Air yang disingkat PETA. PETA ini dibentuk
pada tanggal 27 Desember 1943 oleh Jepang dengan tujuan dipersiapkan untuk
melawan sekutu, dengan demikian, banyak pejuang di Indonesia yang terlibat
dalam PETA tersebut termasuk di Jember. Para pejuang Jember yang masuk PETA
adalah Dr. Soebandi masuk PETA dengan pangkat Eise Syodancho di Daidan Lumajang
(dokter tentara), Letkol Moh Soedji, Bapak Sulthon
fajar, KH Dzafir Salam, KH. Ahmad Mursyid, dan para pejuang yang tergabung
dalam organisasi perjuangan rakyat dan Hizbullah. Pada masa-masa ini merupakan
jejak awal perjuangan rakyat di Jember.
Selanjutnya
PETA hanya bertahan sekitar 2 tahun pada saat menyerahnya Jepang atas sekutu
dengan Bom meletus di Hirosima dan Nagasaki, sehingga PETA di bubarkan,
tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945. Yang selanjutnya, bermetamorfosa menjadi
Resimen 40 amarwulan.
Sementara, organisasi perjuangan rakyat seperti Hizbullah tetap eksis di
Jember.
SUASANA PROKLAMASI 1945 di
JEMBER
Pada masa
tahun 1945 an bisa dikatakan masa yang sangat heroic, dengan ditandai dengan
deklarasi kemerdekaan. Seluruh rakyat Indonesia terlibat emotif,memekikkan
kemerdekaan. Pekik itu merupakan wujud syukur sekaligus haru. Tidak ada yang
tersisa dan tidak ada yang
berharga kecuali kemerdekaan.
Pada saat
itu di Jember juga terlibat dalam situasi gembira ini dengan cara emotif dan
aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang dikemukakan Pak Tarwi “bahkan
banyak yang menangis saat itu, jika tidak ikut berjuang untuk dikirim ke
Surabaya untuk bergabung ke
Surabaya”. Perlu dikemukakan pada masa-masa ini Jember banyak dimintai dukungan
berupa pengiriman pasukan untuk bergabung dengan Bung Tomo di Surabaya.
Berita
Proklamasi 17 Agustus 1945 mendapat reaksi keras Kenpetai Jepang yang melalui
harian Soeara Asia
dengan
mengeluarkan pengumuman peringatan keras agar penduduk dan orang-orang Belanda
di Indonesia tetap
jangan mengganggu keamanan, jangan menyiarkan kabar bohong sehingga membikin
kalut penduduk dan jangan bertingkah sombong dan menghina.3
Sesungguhnya
Jepang di Indonesia berada pada posisi dilematis, karena Jepang sudah menyerah
tanggal 10 Agustus 1945 pada fihak Sekutu akibat kalah perang dalam Perang Asia
Timur Raya sehingga harus melakukan penyerahan daerah kekuasaan jajahannya pada
Belanda, tetapi pada sisi lain Jepang secara diam-diam mendukung kemerdekaan
Indonesia sehingga proses pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang oleh para
pejuang relative mudah dan tanpa kekerasan.
3 Lasykar Hizbullah, KH Hasyim
Latief, hal 46, Lajn
rPoklamasi
dapat didengarkan secara luas oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk Jember
karena peran radio yang selalu menyiarkan. Reaksi gembira melalui teriakan
“merdeka” terjadi satu dua saja dengan nada ketakutan. Maklumlah karena masih
banyak Tentara Jepang yang
ada di Jember. Tapi, pada tanggal 20 Agustus 1945 dirumah tingkat Ping Loen (sebelah selatan Masjid Jami‟) daerah Ambulu
berkibar 2 bendera yaitu Merah Putih dan Cina Nasionalis.
Alasan
Sulthan tentang pengibaran bendera tersebut adalah:
Saya
dengarkan dari radio dan berita dari Jember. Bahwa Tentara Jepang menyerah pada
Sekutu dan Indonesia Merdeka. Orang Indonesia bakal senang. Untukmerayakan
kemenangan Sekutu (maksudnya Front ABCD yaitu Amerika Serikat, Belanda, Cina
Nasionalis dan Denmark) maka perlu mengibarkan bendera Merah Putih dan Bendera
Kebangsaan Cina. Setelah
diberi penjelasan
bahwa sebaiknya
bendera Merah Putih saja yang berkibar,kemudian diturunkan bendera Cina
Nasionalis.
Peristiwa
berkibarnya Merah Putih cepat tersiar dikecamatan Ambulu sehingga menjadi opini
rakyat saat itu. Mereka bingung dengan situasi sudah Proklamasi tersebut mau
melakukan apa, kecuali bergerombol disana-sini sambil membicarakan situasi.
Ternyata
pada tanggal 20 Agustus 1945 di kota Jember sudah banyak berkibar bendera Merah
Putih dimana-mana dan plakat-plakat yang tertulis “Merdeka, Indonesia Medeka,
Merdeka atau Mati”, menyematkan lencana
merah putih dibaju atau pecinya, pengambil-alihan kantor-kantor Pemerintah,
Bank, perusahaan dll dtempeli plakat “milik Republik” dan beberapa Pejabat Pemerintah
yang pro Jepang dieksekusi rakyat tanpa proses pengadilan.
Setelah pekik kemerdekaan dikumandangkan tidak selang lama di Surabaya, Inggris datang yang dipimpin oleh Jendral Mallaby. Jendral mallaby itu sendiri terbukti tewas pada saat perang 10 Nopember di Surabaya dan terkenel sampai saat ini sebagai perlawanan rakyat Surabaya teradap penjajah dengan terkenal Hari Pahlawan.
D. AGRESI MILITER BELANDA I DAN II
Awal masuknya Belanda ke Jember adalah bersamaan
dengan Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 19474.
Jember adalah kota yang strategis untuk mengendalikan wilayah karesidenan
Besuki. Pada saat ini, korban penahanan pertama adalah dr. Soebandi, karena telah
menolong untuk tindakan operasi seorang prajurit korban tembak. Hukuman yang
diberikan adalah tahanan kota.
Kondisi genting akibat dari Agresi I ini bertahan
sampai dengan Agresi Belanda II atau juga disebut dengan Aksi Polisional II.
Aksi ini berlangsung pada tanggal 18 Desember 1948 yang telah menewaskan beberapa
orang warga masyarakat dan tokoh masyarakat sebagai pejuang untuk membela dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah tercatat korban meninggal
pertempuran di Kedawung adalah Letkol. Moh Sroedji dan Letkol. Dr. Soebandi.
Letkol Dr. Soebandi tewas ditembak oleh tentara Belanda dikarenakan salah strategi
untuk mengambil jalan dalam pelarian menyelamatkan diri. Disisi lain, Letkol.
Moh Sroedji tewas karena tertangkap dan disiksa di tahanan pihak Belanda.
4 Catatan
lain yang dibuat Pak Sadiran seorang pejuang lokal di Jember menyatakan bahwa
Agresi Belanda I terjadi pada tanggal 21 Ju
Menurut
penuturan KH. Ahmad Mursyid5,
Letkol Moh. Sroedji wajahnya hancur karena tulang wajahnya remuk karena pukulan
benda keras.
Korban selanjutnya adalah Bapak Burah. Dia
meninggal karena di tembak oleh tentara Belanda di Jatian Desa Mayang setelah
pulang dari Masjid. Menurut Pak Tarwi setelah meninggal, jasadnya dibakar
dengan alasan kesaktian yang dimilikinya yaitu Belanda percaya bahwa Pak Burah
dianggap bisa hidup kembali setelah di tembak.
E. ORGANISASI PERJUANGAN
Menjelang dan setelah mendeklarasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh di Kabupaten Jember yang sudah
membentuk laskar perjuangan adalah:
1. Kyai Dzofir mendirikan Sabilillah yaitu
pasukan yang beranggotakan para Kyai bersama-sama dengan Kyai Abdullah Shiddiq,
Kyai Shodiq Mahmud, Kyai Dawud Klompangan, Kyai Haji Damanhuri Mangli, Kyai
Haji Sholeh Kaliwining, dll. Selanjutnya Kyai Dzofir sebagai Shumukacho dan
tokoh Masyumi. Pembentukan Tentara Sabilillah ini selanjutnya secara spontan
diikuti oleh warga Pesantren yang lainnya, seperti di
Malang dipimpin oleh Kyai Haji Masykur. Tujuan pembentukan Tentara Sabilillah
adalah mengawasi dan mengarahkan gerak gerik Tentara Hizbullah yang mayoritas
generasi muda agar tidak melanggar syariat Islam. Selain itu juga berfungsi sebagai penasehat dan pembina
mental dan spritual para pejuang, khususnya Hizbullah.6
Pada perkembangan selanjutnya adalah
diadakannya
5 Seorang
pejuang yang menolong jenazah Letkol Moh. Sroedji. Sekarang tinggal di Jember.
Wawancara tanggal 13 Oktober 2006
6 KH Yusuf Hasyim,
makalah
Kongres
Ummat Islam di Yogjakarta pada tanggal 8 Nopember 1945 dan menetapkan Masyumi
sebagai sebuah partai. Kota Malang adalah ditetapkan sebagai markas tertinggi
Hizbullah dengan dipimpin oleh Kyai Haji Zainul Arifin, sedangkan pasukan
Sabilillah dipimpin oleh KH Masykur. Sedangkan pada tahun 1948 Kyai Dzofir
membentuk PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) dengan mayoritas anggota dari
Tentara Sabilillah di Kabupaten Jember.
2. Sultan
Fadjar Njata dan para Alumni Cisarua Bogor dari Jember; Sulthon, Buchori, Moch.
Ro‟i, Moch. Irfan,Abd. Hamid, H. Ali, Anang, Muslich, Abd. Syarief, Abd.Rosyid,
Sa‟adi, Mudjahid dan Moch. Ro‟is membentuk Dewan Pertahanan Pemuda Islam (DPPI)
sedaerah karesidenan
Besuki. DPPI ini bermarkas di Kaliwates,tepatnya sekarang adalah Rumah Sakit
PTPN Jl Gajahmada Jember. Perkembangan selanjutnyakelompok ini menjadi Lasykar
Hizbullah.
3.
Daidantjo/Major Soerodjo menjadi Komandan TKR/Tentara Keamanan Rakyat Resimen
Besuki yang berkedudukan di Jember. Istilah TKR ini mempunyai beberapa kali
perubahan yaitu dari Badan Keamanan Rakyat/BKR, Tentara Keamana Rakyat/TKR,
kemudian berobah nama menjadi Tentara Rakyat Indonesia/TRI, pada akirnya
menjadi Tentara Nasional Indonesia/TNI hingga sekarang. Pada tanggal 17
Desember 1948 Major Soerodjo ditetapkan sebagai STM (Sub Teritorotium Militer
Besuki.
4. Brigade
III Damarwulan dipimpin oleh Letkol Moch Sroedji. Batalyon ini membentuk 3
batalyon yaitu Batalyon 25
Banteng Merah yang dipimpin Mayor Syafiuddin di Jember, Batalyon 26 yang
dipimpin Mayor
Magenda di
Bondowoso dan di Situbondo dan Batalyon 27 yang dipimpin Letkol Ach. Rivai pada
tahun 1948.
5. Resimen 40 Tentara Keamanan Rakyat/TKR dipimpin oleh
Letkol Prajudi
6. TRIP
(Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dipimpin Iskandar.
7. Badan
Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) yang diprakarsai Bung Tomo juga punya
perwakilan di Jember.
8. Pemuda
Sosialis Indonesia (PESINDO) yang berafiliasi dengan PKI.
9. Angkatan
Muda yang dipimpin Abdul Ghaffar.
10. Laskar
Merah, Laskar Rakyat, Laskar Banteng dan Laskar Buruh
7 Dra Irna HN Hadi Soewito, Rakyat Jawa timur
mempertahankan kemerdekaan, jilid 3, halaman 554 serta
makalah
Sulthon Fadjar Njoto.
BAB III
PROFIL
PEJUANG TNI
A. LETKOL
MOECHAMMAD SROEDJI
1. KARIER
MILITER
Mochammad
Sroedji lahir di Bangkalan 1 Februari 1915, dari pasangan bapak H. Hasan dengan
ibu Hj. Amna. Istrinya bernama Hj. Mas Roro Rukmini yang lahir dari pasangan M.
Nitisasmito dan Siti Mariyam. Beliau mempunyai 4 anak yaitu: Drs. H. Sucahjo
Sroedji, Drs. H. Supomo Sroedji, Soedi Astutik Sroedji, Poedji Rejeki Irawati
Sroedji.
Mochammad
Sroedji menempuh pendidikan di HIS (Hollands Indishe School) kemudian di
Ambachtsleergang. Selain itu juga pernah mengikuti Pendidikan Tinggi Opsir
Tentara PETA di Bogor dengan pangkat Tjudantjo Peta Besuki yang dipimpin
Daidantjo Moch. Soewito. Sesudah menjalani masa pendidikan formal sampai tahun
1943 kemudian beliau di angkat menjadi Pegawai Jawatan Kesehatan (Mantri
Malaria) di Kabupaten Jember. Karir militer dimulai dari Sjudantjo di Peta (Dai
I Dan) pada bulan Oktober 1943 dan Agustus 1945 di Jember.
Salah satu
pelopor terbentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan TKR (Tentara Kemanan
Rakyat) di Karesidenan Besuki adalah juga Sroedji. Pada bulan September 1945
s/d Desember 1946 berturut–turut dilantik sebagai Komandan Batalyon 1 Resimen
IV Divisi VII TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang berdomisili di Kencong,
Jember. Pada tahun 1946 beliau dikirim ke front pertempuran di daerah
Karawang dan Bekasi propinsi Jawa Barat.
Pada bulan
Januari 1947 s/d April 1948, Sroedji menjadi Komandan Resimen 40 Menak Koncar
dan merangkap jabatan sebagai Komandan Divisi VII Surapati yang berkedudukan di
Lumajang. Pada saat terjadi Pemberontakan Partai Komunis Indonesia(PKI) di
Madiun pada tahun 1948, Pak Radji (nama samaran Sroedji dalam perjuangan) yang
sabar, tenang dan suka bergaul itu, diangkat menjadi Komandan SGAP (Staf
Gabungan Angkatan Perang) yang bertugas menumpas pemberontakan PKI di wilayah
Blitar. Dalam tugasnya tersebut,
Resimen 39
didukung oleh Batalyon pimpinan Sjafi‟uddin Batalyon pimpinan Magenda, Batalyon
Soeramin dan Batalyon Darsan Iroe.
Selanjutnya
pada bulan Mei 1948 s/d Agustus 1949 menjadi Komandan Resimen 50 Damarwulan
pada Divisi VII. Resimen ini berobah menjadi Brigade II Damarwulan Divisi I
Jawa Timur. Brigade II Damarwulan mengadakan wingate-action di wilayah Jurusan Lumajang – Klakah – Jember –
Banyuwangi. Perjalanan ditempuh selama 51 hari dengan jarak tempuh 500 km dan
mengalami banyak pertempuran.Brigade III Divisi I disebut dengan nama
Damarwulan untuk mengenang dan mengingatkan pada legenda zaman Majapahit.
Damarwulan adalah sosok ksatria yang perkasa dan sederhana dengan mengemban
tugas untuk menundukkan Menak Jinggo, Adipati Blambangan yang membangkang. Pada
akhirnya Ksatria Damarwulan menang dan mempersembahkan penggalan kepala Adipati
Minak Jinggo dari Tlatah Blambangan pada Raja Majapahit saat itu.
2.
HIJRAHNYA RESIMEN 50 DAMARWULAN
Perjanjian
Renville banyak ditentang rakyat sehingga Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin
mundur dan menyerahkan mandat Perdana Menteri pada Wakil Presiden Drs. Muhammad
Hatta. Hatta membentuk kabinet tanpa menyertakan kelompok sosialis dan melaksanakan
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang/Rera untuk menormalkan TNI yang
telah dikacaukan Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin. Rera banyak memangkas
kekuatan komunis di TNI sehingga Mr. Amir Syarifuddin, Muso dan kelompok
komunis kecewa terhadap Rera dan kemudian memberontak pada tanggal 18 September
1948 yang terkenal sebagai Peristiwa Madiun.
Resiko dari
perjanjian Renville selanjutnya adalah gencatan senjata dan pengosongan wilayah
Jember dari para pejuang. Para pejuang ini harus pindah/hijrah ke Tulungagung,
Kepanjen Malang, Kediri dan Blitar sebagai batas wilayah Republik Indonesia
sebelah timur sesua Perjanjian Renville. Walaupun hijrah tersebut mengecewakan
para pejuang, tetapi mereka lakukan demi patuh pada keputusan Panglima Besar
TNI Jendral Soedirman.
Pada
Januari 1948 para pejuang, masyarakat, pegawai dan Resimen 40 Damarwulan
melakukan hijrah.
Resimen dan
rombongan rakyat yang ikut hijrah dengan berjalan kaki menuju desa Pakisaji
kecamatan Kepanjen Malang. Disini mereka diterima baik oleh Panitia yang mengatur
Hijrah dan kemudian mendistribusikan rombongan ke Sumber Pucung dan Dampit
(Kabupaten Malang), Kesamben, Wlingi, Blitar dan wilayah sekitarnya.
Selanjutnya
pengungsi ini di satukan dan berkumpul di Blitar. Mereka ngungsi selama sekitar
4 bulan yang kesemuanya diurus Panitia. Tetapi setelah 4 bulan beban konsumsi
dan akomodasi seluruh anggota Resimen ditanggung Komandan Sroedji. Sungguh
berat beban yang ditanggung Letkol Sroedji.
Pada
tanggal 18 September 1948, Sroedji memimpin anak buahnya bertempur melawan PKI
di Blitar sampai tumpas. Setelah Peristiwa PKI Madiun, Resimen 40 Damarwulan
berobah nama menjadi Brigade Mobil Damarwoelan. Kesatuan lain diantaranya TLRI
(Tentara Laut Republik Indonesia), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar),
Kepolisian dan Batalyon Angkatan Darat menggabung pada Brigade tersebut untuk menumpas
sisa-sisa laskar Pendukung PKI yang memberontak di Madiun. Kesatuan ini
dijuluki SGAP (Staf Gabungan Angkatan Perang) yang struktur lainnya adalah:
Letkol Moch Sroedji sebagai Komandan Brigade,
Kepala Staf
adalah Major Imam Soekarto, Kepala Kesehatan merangkap Residen Militer
Karesidenan Besuki adalah Letkol dr Soebandi, Komandan Batalyon 25 adalah Major
Syafioeddin, Komandan Batalyon 26 adalah Major EJ Magenda, Komandan Batalyon 27
adalah Major Soedarmin, Komandan Batalyon Depo adalah Major Darsan Iroe, Ex
pangkalan X ALRI/KOMDI adalah Kapten Bintoro, Sekretariat adalah Lettu O
Djajadi, Kapten Soeratmana sebagai PASI 1, PASI 2 adalah Lettu Machfudz, PASI 3
adalah Kapten Moesyarfan, Perlengkapan adalah Lettu Soetardjo, PA
Kendaraan/Angkutan adalah Lettu Soetjipto, PA Persenjataan adalah Lettu Adidarmo,
PA Pekerja Istimewa adalah Lettu Noegroho.
Dalam
operasi di Blitar tersebut Brigade menuai sukses.
Kemudian
Brigade melakukan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang/Rera, maka
turunlah Keputusan Menteri Pertahanan No. A/582/48 tanggal 25 Oktober 1948 yang
isinya merobah nama Brigade menjadi Brigade III Damarwulan, Divisi I Jawa
Timur. Tanggal 17 Desember 1948 diadakan Upacara peresmian Brigade tersebut di
lapangan Kuak Kota Kediri disaksikan Kolone Soengkono (Komandan Divisi I Jawa
Timur) dan Kolonel AH Nasution (Panglima Komando Jawa).
3. KEMBALI
KE JEMBER
Setelah 10
bulan mengalami masa hijrah akibat dari perjanjian Renville, pada bulan Januari
1948 berlangsung gencatan senjata dan semua yang hijrah bisa kembali ke wilayahnya, termasuk wilayah karesidenan
Besuki. Semua kembali ke wilayah asal dengan tugas membebaskan kampung halaman
dari penjajah. Semua pejuang bernaung di bawah komando Damarwulan yang dipimpin
oleh Letkol. Sroedji, yang pada akhirnya perwira TNI membentuk kesatuan
bersenjata di Besuki.
Dalam
Komando I Damarwulan terdiri dari unsur kekuatan tempur dan pemerintahan sipil
yang teridiri atas Bupati, Wedana, Camat, Dinas Penerangan,perekoperasian,
perindustrian, dan tokoh masyarakat.
Keluarga
pasukan komando dan juga masyarakat turut serta, para istri dan anak-anak,
sehingga perjalanan ini merupakan
perjalanan berat yang terdiri atas berbagai macam lapisan masyarakat. Residen
Besuki tidak termasuk dalam rombongan ini. Dapat dibayangkan betapa rumitnya
mengatur rombongan sebesar itu dalam perjalanan serba darurat. Tidak saja
karena mereka tidak akan melalui jalan besar, tetapi di sepanjang perjalanan telah
diperhitungkan akan sering kali berhadapan dengan musuh yang sewaktu-waktu siap
menghadang. Lagi pula betapa sulitnya perbekalan bagi hampir mencapai 5000 orang.
Juga rombongan perempuan dan anak-anak dalam perjalanan melalui gunung dan
jurang yang terjal?
Bagaimana
mengamankan mereka, bila berhadapan dengan musuh atau mengalami tembakan dari
pesawat udara? Adapun yang tersulit adalah bagaimana mendapatkan makanan di
sepanjang jalan dalm jumlah yang banyak? Sungguh beban mental yang cukup rumit bagi
LetkoL Sroedji, komandan Damarwulan yang memimpin perjalanan.
Namun
kegembiraan yang begitu memuncak di hati setiap orang, adalah bahwa kendala itu
tidak menyebabkan 1 orang pun mengurungkan niat ikut. Pada tanggal 18 Desember
(sehari sebelum agresi) kelompok Damarwulan
mengadakan pertemuan di markas brigade.
Pada
pertemuan lengkap itu, Panglima Divisi I serta stafnya dan para perwira dari
Brigade III Komando Damarwulan
merencanakan siasat, bagaimana memasuki daerah yang masih diduduki musuh.
Mereka sudah memperkirakan bahwa agresi Belanda, paling lambat akan dilakukan
pada hari Natal 25 Desember. Sebelum agresi, mereka berketetapan untuk lebih
dahulu ada di daerah Besuki. Mereka cukup sadar, bahwa perjalanan menuju wilayah
itu masih akan melalui 2 kabupaten dan karesidenan Malang, yang kedua-duanya
telah diduduki Belanda.
Sebagaimana
direncanakan, komando ini melewat pegunungan sempit di sebelah selatan Gunung
Semeru yang
bérhutan lebat. Dalam perjalanan itu Batalyon 26 bergerak paling depan, diikuti Batalyon 25,
staf brigade, kemudian
Batalyon 27 dan Batalyon Depo. Mereka melalui Lodoyo, Binangun, Bantur, Sumber
Manjing menerobos Tempursari
hingga mencapai Lumajang bagian selatan.
Begitulah
ekspedisi ini bergerak dalam formasi siap tempur. Namun pada hari kedua,
tanggal 20 Desember, pasukan pelopor dan Batalyon 26 dan Batalyon 25 beradu senjata
dengan musuh di Lodoyo, karena kebetulan gerakan Belanda yang siap masuk Blitar
bertemu di Lodoyo. Pertempuran disini tidak diperpanjang, baik Belanda maupun
komando tempur. Bagi Belanda yang mendapat tugas untuk segera masuk Blitar
tidak meladeni singgungan senjata, hal yang juga menguntungkan bagi rombongan
ekspedisi. Mungkin juga serdadu Belanda tidak
mengetahui, bahwa peIopor dari Batalyon 25 dan 26, adalah bagian dari induk
pasukan yang siap memasuki daerah Besuki, daerah pusat Negara Boneka.
Pada
tanggal 28 Desember 1948, rombongan sudah memasuki batas status quo, untuk itu antara
komando Brigade Ill
dan komando Brigade IV diadakan musyawarah, bagaimana cara membuka gerbang
musuh, agar ekspedisi ini dapat lewat Iebih lama.
Rapat
gabungan antara staf Brigade Ill dan staf Brigade IV diadakan di Sumbar Tempur
pada tanggal 28 Desember 1948. Dan Brigade IV dihadiri oleh : Mayor Roesman,
Kapten Ngoedio, Kapteñ Soenarjo dan Kapten Nailoen. Sedangkan dan Brigade Ill,
selain komandan brigade
Letkol. Sroedji, hadir juga Letkol. dr. Subandi dan beberapa perwira staf,
antara lain Mayor Iman Sukarto kepala staf Brigade III. Dalam perundingan itu
dicapai kesepakatan bahwa Batalyon Depo dan Brigade IV, dibawah pimpinan Kapten
Nailoen, akan berusaha membuka gerbang
perjalanan dengan menyingkirkan pasukan Belanda yang berkawal di Tempursari,
yaitu gerbang yang harus dilalui rombongan dalam perjalanan menuju Jember,
Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi.
Selanjutnya
pada tanggal 31 Desember 1948, batalyon Depo Brigade IV, dibantu Batalyon 26
dan Batalyon 27 masing-masing 1 kompi mendahului rombongan bergerak dalam
formasi tempur ke Tempursari. Pos pengawalan Belanda ditempat ini tidak terlalu
besar, sekitar 2 pleton dan mampu disingkirkan pasukan tempur dengan berkekuatan
hampir 1 batalyon
Pasukan Belanda menyingkir ke
Pasirian Kompi Suwardi dan Batalyon 27 adalah pasukan pelopor ketika memasuki Tempursari
pada pukul 4 pagi, tanggal 1 Januari 1949.
Pihak
Belanda sebelum menghindar melakukan perlawanan tangguh, yang menyebabkan 2
anggota pasukan
kita gugur dan beberapa orang luka.
Pada saat
komando Brigade III ada di Sumber Tempur, pihak Belanda sudah mengetahui
ekspedisi ini, dan berusaha meIakukan pencegahan. Belanda mengirim sejumlah
pasukan ke Gonjo dan Tumbakrejo, dimana mereka berhadapan dengan pasukan Depo
Mayor Darsan Iru, dalarn pertempuran beberapa saat Depo Batalyon ini dapat
meladeni serbuan Belanda, dan kedudukan kita tidak terpengaruh, hingga Batalyon
Depo dapat meneruskan perjalanan mengikuti rombongan yang sudah di depan.
Akibat
tersingkirnya pengawalan Belanda di Tempursari, maka pasukan KNIL yang
tersingkir itu minta bantuan kepada kornandonya di Malang. Siang tanggal 1 Januari
1949 itu juga. datanglah bantuan dari Malang, tetapi
bukan dalam bentuk pasukan. melainkan 4 buah pesawat udara yang melayang-layang
sambil melepaskan rentetan temb- akan dan
menjatuhkan bom di atas Tempursari. Tentu saja seluruh komando Darnarwulan
tidak ada dalam kota
Letkol
Sroedji (x) bersama para Komandan Resimen se Indonesia dan panglima
Besar Soedirman (ditengah) th 1948 setelah Tempursari dikuasai,
karena mempunyai resiko yang lebih besar. Jadi setelah menduduki Tempursari pasukan
kita segera mencari tempat perlindungan yang aman, sambil merencanakan
penjalanan selanjutnya.
Dan tempat
perlindungan pasukan, kita dapat menyaksikan betapa ganasnya kapal terbang
Belanda menembaki dan membom kota kecil Tempursari berkali-kali, dan dengan
tahapan yang berbeda, yaitu pagi dan sore. Betapa berat penanggungan penduduk
Tempursari akibat penembakan dan pemboman itu. Banyak rumah hancur dan
terbakar, tetapi tidak ada korban manusia karena telah diungsikan sebelumnya,
namun banyak hewan piaraan yang tertambak.
Rombongan
Damarwulan selamat dalam pertempuran itu, dan meneruskan perjalanan menuju
Lumajang melalui desa Ampel Gading. Ruang gerak di selatan gunung Semeru sangat
terbatas. karena hutan yang lebat dan tanahnya berbatu kapur tajam. Perjanan
yang sangat berat.
Disisi lain, melalui jalur selatan gunung Semeru inilah diperhitungkan jalan
yang paling aman, dilihat dari kemungkinan serangan musuh. Brigade III
Damarwulan sama sekali tidak bermaksud melakukan pertempuran dalam wingate, sebelum tiba di daerah
tujuan, yaitu Besuki. Mereka waktu itu ada di wilayah karesidenan Malang, masuk
Wehrkreise Brigade IV.
Sementara
itu pasukan Belanda tidak mengira, bahwa pasukan sebesar 5 batalyon tersebut,
tidak bermaksud melakukan pertempuran, karenanya setelah 2 pleton serdadu KNIL
menyingkir dari Tempursari, Belanda memusatkan kekuatan di Pasirian dengan
perkiraan, pasukan TNI
akan menggempur kota kawedanan ini.
Pasukan
Belanda telah membuat strategi untuk memancing dan menjebak TNI di kota
kawedanan Pasirian, namun kota inni adalah bukan kota tujuan pasukan TNI,
sehingga pertempuran bisa terhindari. Hal ini sudah sesuai dengan rencana
Komando amarwulan yang bertekad untuk menghindari pertempuran sebelum tiba di
daerah sasaran, kecuali bila terpaksa untuk membuka jalan. Bisa dikatakan
pasukan Belanda yang sudah dikonsentrasikan di Pasirian akhirnya hanya bagaikan
“Menunggu Godot”. Alasan berikutnya adalah sejak di Tempursari, komando
Damarwulan sudah memencarkan rombongan dalam unit-unit yang Iebih kecil dengan
alasan untuk keamanan rombongan dari sergapan musuh, dan memudahkan dalam hal
mensuplai makanan yang dilakukan oleh penduduk. Tentulah amat sulit bagi penduduk
sebuah desa, jika harus menanggung 5000 orang apalagi desa-desa sebelum
memasuki Lumajang, tanahnya kurang subur. Lumajang, merupakan kabupaten terakhir
yang harus dilewati, sebelum rombongan memasuki kembali di kampung halaman.
Staf
brigade bergerak dari Lebaksari ke Sumbersengkaring sedangkan Kompi Kadiyo dari
Batalyon 25 bergerak di sebelah utaranya, sekaligus sebagai pelindung.
Sementara sisa batalyon tersebut bergerak melaIui hutan-hutan gunung Semeru
bagian selatan
menuju desa
Penggal. Batalyon 26 dan 27 sebagian masih ada di Sumbertangkil. Setibanya staf
brigade di Sumbersengkaring, pada tanggal 5 Januari 1949, maka lewat PHB
Brigade Ill diadakan hubungan dengan markas divisi yang ada di lereng Gunung
Wilis.Dengan sangat lamban rombongan bergeser setapak demi setapak, menghindari
jalan besar atau kota-kota kecil dalam pengawasan musuh, kecuali desa Penanggal
yang harus dilewati walaupun di sana terdapat sejumlah penjagaan. Seperti apa
yang dilakukan di Tempursari, maka desa Penanggal juga terpaksa digempur kompi
pelopor. Anehnya sebelum kompi pelopor tiba di desa, penduduk sudah lebih
dahulu memberi tahu pasukan kita, bahwa serdadu Belanda sudah meninggalkan
Penanggal, dan berkumpul di Pasirian.
Pada
tanggal 9 Januari, hampir seluruh rombongan ada di Penanggal, termasuk Batalyon
26,27 dan Batalyon Depo, yang selalu berjalan paling belakang. Desa ini ada di
sebelah timur Pasirian. Beberapa kilometer lagi rombongan akan memasuki
perbatasan karesidenan Besuki.
Jadi sia-sialah pemusatan serdadu musuh di Pasirian dan berharap akan membekuk
pasukan kita, sebab melalui celah hutan, dengan segala kesukaran kita dapat
melewati pertahanan musuh dari selatan Lumajang.
Brigade
Damarwulan mulai mengadakan persiapan untuk memasuki daerah tujuan, Besuki. Di
desa inilah, Letkol Mohammad Sroedji menyelesaikan masalah yang belum
diputuskan, yaitu pembagian tanggung jawab daerah tugas. Dalam musyawarah
tanggal 20 Januari 1949
ditetapkan pembagian tugas Pembentukan Pemerintahan Militer zaman perjuangan,
sebagai berikut:
Letkol Moch
Sroedji sebagai Sub Teriorium Militer/STM Besuki merangkap Pemimpin Operasi di
Jember dan Banyuwangi, Wakil STM Besuki merangkap Pemimpin Oerasi di Bondowoso
dan Situbondo adalah Major Imam Soekarto, Residen Militer Besuki adalah Letkol
dr Soebandi,
KDM/Komando Distrik Militer Jember adalah Major Syafioeddin, KDM Bondowoso dan
Situbondo adalah Major Magenda dan KDM Banyuwangi adalah Letkol Achmad Rivai.
Dari desa
Penanggal mulai disebarkan perang urat syaraf, yang dilakukan pemerintah sipil, terutama
bagian penerangan.
Diberitahukan lewat penduduk, bahwa komando Damarwulan dengan kekuatan yang
amat besar telah tiba dan dalam waktu singkat akan mengakhiri riwayat serdadu
Belanda dengan negara boneka ciptaan Van der Plas. Berbagai pamflet dan
selebaran mulai disebarkan kepada penduduk, agar ditempel dimana saja, terutama
dikirim kepada mereka yang telah berkhianat kepada RI. Kepada pejabat Negara
Jawa Timur dan pamong angkatan Belanda diserukan, agar mereka segera meninggalkan
musuh dan bergabung dengan Republik, sebelum hari pembelaan tiba.
Selain itu
didesa Penanggal, oleh komando Damarwulan beserta pemerintah sipil mulai
diedarkan uang ORI (Oeang Republik Indonesia) yang ternyata diterima gembira
oleh penduduk malahan dengan kurs 1 : 1 dengan uang Nica.
Selesai
mengadakan musyawarah, maka rombongan meninggalkan Penanggal, meneruskan
perjalanan menuju Besuki secara terpencar, sesuai dengan wilayah yang telah
ditentukan. Staf brigade sendiri maju menuju desa Bodong dan menyeberang di
selatan Klakah. Sementara Batalyon 25 menggempur musuh di Candipuro secara mendadak,
menyebabkan jatuh korban 15 orang, juga ditemukan 2 orang gugur, 1 orang
tertawan, I orang hilang, dan beberapa pucuk senjata rusak.
Begitu pula
Batalyon 27 yang juga bergerak menuju kampung halaman, tiba di Karanglodi,
sebelah tenggara Lumajang. Di desa ini secara tak terduga bertemu dengan patroli,
sehingga terjadi, tembak-menembak. Disini anggota Batalyon 27 tertawan oleh pertempuran
kecil dan kemudian
meneruskan perjalanan memasuki daerah Jember/Besuki, masuk kecamatan Gumukmas.
Ketika staf brigade beserta pasukan melewati Klakah, dihadang oleh pasukan
musuh yang tangguh, sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun seluruh staf
brigade dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat. Sementara Batalyon 26
sudah memasuki wilayah Besuki di kawedanan Puger.
Batalyon 25
bersama dengan staf Brigade Damarwulan pada tanggal 19 Januari sudah tiba di
pos komando Karangbayat Jember. Dengan begitu Mayor Syafiudin tinggal mengatur
penempatan kembali beserta kompi-kompinya. Batalyon 26-Magenda masih harus meneruskan
perjalanan menuju Bondowoso dan Situbondo, sesuai dengan daerah pertahanannya (wehrkreise) melalui celah-celah utara
kota Lumajang, menuju gunung Lamongan, kemudian melewati baratdaya Gunung
Argapura, terus ke pegunungan dimana menjadi kompleks wehrkreis-nya. Batalyon 27 yang masih jauh harus
melalui Jember Selatan menyeberangi sungai Sanen, lewat kota Blater kemudian
menembus pegunungan Betiri. Dalan perjalanan ini Batalyon 27 sempat dicegat
musuh di Ambulu, dimana dalam insiden ini terdapat 2 orang prajurit gugur.
Selanjutnya, batalyon 27 berhasil menembus pegunungan Miru, dan menduduki perkebunan/persil
Sukamade, dimana batalyon ini menempatkan pos komando wehrkreisenya selanjutnya. Batalyon Depo,
Mayor Darsan Iru pada tanggal 24 Januari 1949 tiba juga di Jatibanteng, distrik
Besuki bersama dengan Batalyon Abdul Syarif, yang dulu dari Brigade 1V. Perlu
pula dicatat turut sertanya sepasukan lasykar Hisbullah dalam Batalyon 25, di
bawah pimpinan Haji Syekh.
Demikianlah
setelah 25 hari dalam perjalanan yang sangat sulit, seluruh pasukan wingate memasuki wilayah Besuki pada, tanggal 14
Januari 1949. Kemudian Komando Brigade Damarwulan mengambil pos komando sementara
di Karangbayat Jember
Di Sumber Wringin pada tgl. 7 April serdadu Cakra mengumpulkan rakyat dan mengancam “ Siapa yang memberi makan TKR akan dibunuh”. Tentu saja ancaman menakutkan rakyat dan terbukti sekali Belanda benar-benar membunuh rakyat.
5. GERAK
JUANG BATALYON 26
Mayor
Magenda yang memimpin Batalyon 26 dan Brigade Ill Damarwulan, mempunyai daerah
gerilya di 2 Kabupaten, yaitu Bondowoso dan Situbondo: Batalyon ini dibantu
Batalyon Depo dan juga oleh pasukan Mobil Brigade. Demikian luas wilayah yang
menjadi wehrkreise
Batalyon
26, sehingga mengapa dalam perang rakyat semesta, Mayor Magenda membagi
pasukannya dalam bentuk sektor-sektor, yang terdiri dari Vak A sampai Vak F.
Vak A yang wilayah tugasnya di sekitar Kraksaan, yaitu bagian barat kabupaten
Bondowoso.
Baru tiba
di daerah tugas pada pertengahan bulan Maret 1949. Pasukan ini terpaksa
rnengalami beberapa kesulitan, sejak memasuki wilayah Jember, mengangsur ke
utara, dan sedapat mungkin senantiasa menghindari kontak senjata dengan musuh
agar kekuatan pasukan tetap
terpelihara sampai di daerah tugas.
Demikian
situasi selama kurang-lebih 5 bulan di wilayah tugas vak A, dan posisi pasukan
kita tetap di daerah yang sudah ditempati, sampai adanya gencatan senjata 10
Agustus 1949.
Pasukan
lain dari Batalyon 26 Magenda, yang disebut vak B, mempunyai lokasi gerilya di
sekitar Situbondo.
Karena
daerah tujuan begitu jauh di pantai utara, maka pasukan vak B ini baru tiba di
daerah tugas pada akhir Januari 1949. Namun selama perjalanan, sejak wingate, pasukan ini sudah menghadapi
kontak senjata dengan musuh, seperti apa yang terjadi tanggal 1 Januari 1949 di Tempursari,
ketika pasukan kita harus membukakan jalan bagi Iewatnya seluruh rombongan
Dalam pertempuran 1 Januari itu, dari anggota pasukan ini telah gugur 1 orang prajunit,
1 orang luka berat dan 3 orang luka ringan.
Selanjutnya
laporan dan pasukan vak B
adalah sebagai berikut:
Sejak
tanggal 10 Juli 1949, vak C yang bertugas di sekitar Bondowoso melakukan
gerakan mobil, termasuk markas kompinya. Demikian pula seksi Suwoto, seksi Sunargi,
seksi Sutaryo dan pasukan Brimob terus-menerus melakukan gerakan mobil dan satu
desa ke desa lain.
Tindakan
ini dimaksud selain menghindari grebekan musuh, juga memberikan pengaruh kepada
rakyat, bahwa pasukan kita ada dimana-mana. Dengan cara itu, memberi tekanan
juga ke pihak musuh bahwa di luar kota dan jalan besar, pasukan gerilya
menguasai keadaan.
Tugas
pasukan vak C agak lebih berat disbanding pasukan di vak lain, karena di
Bondowoso terasa adanya pengikut tokoh-tokoh koperator semacam R.T.P. Achmad Kusumonegoro,
yang menjadi kaki tangan Belanda dan melawan arus zaman. Karena itu tugas-tugas
operasional sedikit
terhalang, bahkan bila kita hendak melakukan operasi, harus sembunyi-sembunyi
jangan sampai ketahuan rakyat. Pada umumnya rakyat memihak RI, tetapi satu dua
orang pendukung atau kerabat keluarga Achmad Kusumonegoro yang ada di desa,
cukup merepotkan aksi gerilya. Mereka itulah yang selalu melapor kepada Belanda
keadaan gerilyawan kita.
Padahal
dalam perang gerilya, adalah mutlak seluruh rakyat tanpa kecuali, mendukung dan
sebagai pelaksana aksi, sehingga setiap rencana gerakan tidak akan bocor ke pihak
musuh. Namun Bondowoso, kota yang dijadikan tempat kelahiran Negara Boneka Jawa
Timur, ada juga satu dua pengikut Belanda yang setia.
Sementara
itu vak D, yang juga adalah bagian dan Batalyon 26, mendapat tugas wehrkreise antara Jember-Bondowoso. Pasukan vak D ini
baru mulai melakukan aksi gerilyanya pada awal April 1949, Posisi pasukan kita
di vak D tetap bertahan seperti situasi bulan, JuIi 1949 sampai diumumkannya gencatan senjata bulan Agustus 1949. Karena
patroli Belanda yang kuat, maka pasukan kita Iebih banyak melakukan gerakan mobil,
dan hampir tidak sempat melakukan gerakan serbuan, kecuali melakukan
pembumihangusan atas gudang atau gedung milik Belanda. Walaupun gerakan tempur
tidak seberapa, namun adanya pasukan kita dari vak D di sekitar Jember bagian
utara itu, menyebabkan serdadu Belanda tidak pernah aman dalam menjalankan apa
yang mereka sebut rust en
orde.
Sementara
itu pasukan vak E, juga dari Batalyon 26, menempati daerah sebelah utara
Kalisat dan sebagian dari daerah utara Bondowoso. Pasukan vak E ini sudah tiba
di tempat wehrkreisenya
pada
pertengahan bulan Februari 1949, dan sejak awal Maret tahun itu mulai melakukan
aksi gerilya.
Situasi
pertempuran di daerah vak E terus berjalan seperti keadaan di akhir bulan Juni
1949, sampai adanya gencatan senjata. Pasukan kita tetap menempati desa-desa
dengan terus mobil seakan-akan kita menguasai seluruh daerah, kecuali kota dan
jalan besar. Tindakan kita sekali-sekali menyerbu Belanda di markasnya, menyebabkan
mereka kurang dan 1 pleton tidak berani meninggalkan markas. Belanda amat
khawatir bila
serangan
kita datang mendadak ke markasnya, pada saat mereka keluar mengadakan patroli.
Karena itu untuk mempertahankan markas,
Belanda tetap menyediakan cadangan pasukan.
Sementara
itu vak F, yaitu vak ke-enam dari Batalyon 26, merupakan pasukan yang paling
banyak melakukan tekanan terhadap musuh. Pasukan ini dipimpin Kapten Bintoro,
seorang perwira yang terkenal keberanian dan keunggulannya dalam perang. Sejak
awal Januari pasukan ini
sudah menempati posnya di vak E, yang tidak begitu jauh dari Jember. Pasukan ni
tiba di Gondoroso
pada
tanggal 4 Januani 1949, lengkap dengan persenjataan dan semangat juang yang
tinggi.
Laporan vak
F ini hanya sampai pada akhir bulan Mei, karena sejak bulan Juni pasukan vak
.meIakukan perubahan taktik, tidak lagi mencari pos-pos Belanda untuk diserang,
melainkan mengkonsolidasi wilayah-wilayah yang sudah pernah ditempati, agar
rakyat merasa terlindungi
oleh pasukan Republik. Itulah mengapa pasukan vak F sejak bulan Juni lebih
banyak mengadakan gerak mobil, mendatangi desa-desa, sambil meyakinkan rakyat
akan benarnya perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan.
Bukan
berarti sejak bulan Juni tidak pernah terjadi pertempuran. Patroli mereka bukan
sekali dua kali kepergok
pasukan kita yang sedang mobil. Pertempuran-pertempuran seperti itu, termasuk peristiwa di luar rencana.
Rencana operasi pasukan kita, hanyalah tertuju kepada
pembumihangusan alat-alat perhubungan dan gudang-gudang milik Belanda, dan
sekali-sekali melakukan penghadangan di jalan raya.
Kegiatan
mobil menyebabkan pasukan kita tetap utuh sampai adanya gencatan senjata bulan
Agustus 1949. Pada saat itu, dimana-mana berkibar bendera merah putih. Di
bawahnya berdiri 5 sampai 7 orang prajurit TNI bersenjata Iengkap, sebagai
bukti bahwa tempat itu masuk kekuasaan Republik. Siasat ini rupanya jauh Iebih menguntungkan,
dibanding terus-rnenerus melakukan aksi tempur.
6. GERAK
JUANG BATALYON 27
Sementara
itu Batalyon 27, dibawah pimpinan Letkol. A. Rivai, yang mempunyai daerah tugas
di kabupaten Banyuwangi, baru mantap di daerah wehrkreisenya pada akhir Februari. Batalyon ini dalam perjalanan menuju daerah
pertahanan (wehkreise)
telah
berkali-kali menghadapi
penghadangan musuh, yang menyebabkan beberapa anggota gugur.
Rintangan-rintangan itu merupakan sebab, mengapa Batalyon 27 baru dapat mencapai
wilayah pertahanannya akhir Februari 1949.
Adanya
pasukan bersenjata yang bergerilya di desa dan gunung, sekali-kali muncul di
perkebunan Belanda, bahkan di depan markas serdadu Belanda. Hal itu tidak saja
membangkitkan semangat rakyat untuk lebih banyak menyumbangkan tenaga kepada
perjuangan, tetapi juga menyebabkan serdadu dan pemerintah Belanda tidak nyaman
dan tak tenang hatinya, baik yang di tangsi, di kantor, apalagi di perkebunan.
Dari data
Batalyon 26 maupun dan Batalyon 27 tersebut, jumlah korban fihak RI lebih besar
dibandingkan terhadap korban pasukan Belanda. Tapi yang lebih memprihatinkan
adalah Kapten Bintoro dan Letkol. Rivai, pada saat-saat kritis tidak mampu
mempertahankan identitas
kepahlawanannya, malahan sebaliknya memihak musuh.
Rasa
prihatin karena sikap beberapa gelintir penduduk yang terpukau oleh rayuan
manis pembesar-pembesar Belanda. Mereka memihak musuh melawan bangsa sendiri yang
sedang berusaha menegakkan kernerdekaan, adalah satu hal yang memperlemah
mata-rantai people-defence.
Betapapun kecilnya jumlah mereka dan
dari kalangan rakyat yang tidak mendukung perlawanan rakyat semesta tersebut,
maka nilai perang gerilya itu sendiri merosot.
Ketidak-monolitannya
penduduk daerah Besuki, memang bukan tanggung jawab militer, dan bukan urusan
pemerintah militer, melainkan tanggung jawab pemimpin pergerakan nasional, yang
harus berani melakukan koreksi-dini. Daerah Besuki yang dikenal sebagai daerah
pengaruh aliran Islam, dapat melakukan tinjauan kembali atas
ketidakmonolitannya rakyat sekitar tahun 1949, termasuk kelemahan kita mengapa
unsur-unsur kolaborator dapat berhasil menegakkan Negara boneka Jawa Timur.
Bagi
kalangan militer, hendaknya dapat pula dijadikan tinjauan-kembali, bahwa dan
sekian banyak korban akibat pertempuran, maka jumlah terbesar adalah penduduk biasa
yang gugur, dianiaya, ditangkap dan ditawan, miliknya dirampas rumahnya
dibakar, anak gadisnya diperkosa.
Kesemua itu menampilkan kenyataan bahwa perjuangan bersenjata tidak hanya
menjadi beban angkatan bersenjata, tapi Iebih besar menjadi beban dan tanggung
jawab rakyat.
Jangan pula
dilupakan, bahwa penduduk biasa yang memberi dukungan gerilyawan, baik makanan,
pengawalan atau kurir dan lain sebagainya itu, yang dapat disimpulkan pada kata
bermakna, “bagaikan air dengan ikan”. Rakyat itu sendiri setiap saat dirundung rasa
cemas oleh dua hal, yakni cemas akan tindakan serdadu Belanda yang bisa saja
menangkap dan membunuh mereka, tanpa peradilan. Kedua, rasa cemas akan nasib
putra-putranya yang terlibat dan menjadi anggota pasukan bersenjata.
Pantas diingat, bahwa pasukan
gerilya kita dapat beroperasi di wilayah Besuki, dan tetap bertahan sampai datangnya
hari gencatan senjata, itu hanya dimungkinkan karena mayoritas rakyat telah
menjadikan dirinya sebagai air, di mana tentara dapat berenang sambil
menyelinap
kian
kemari.
7. GUGURNYA
LETKOL MCOH. SROEDJI
Dalam
perjalanan Brigade di Aengsono Jatiroto behasil menghancurkan pabrik, melucuti
Pasukan Cakra.
Di
Sumberayu dan Gondang dapat merebut 50 pucuk senjata. Letnan S Prajitno dari
Batalyon Safiuddin memegang peran penting. Pertempuran terjadi lagi di Darungan
Tanggul, Sumber Canting Bangsalsari dan Tugusari Bangsalsari. Awal Februari
1949 menyerang Lojejer
Wuluhan dan Pomo Ambulu. Pasukan Onderneming/Cakra yang dipimpin Sudarmin
menyerah dan
menyerahkan 32 pucuk senjata.Lalu Brigade melanjutkan perjalanan ke Jenggawah, Jatisari
dan Gayasan. Tanggal 6 Februari 1949 terjadi pertempuran dahsyat di Gayasan,
musuh dibantu pasukan dari banyak daerah. Kedua fihak banyak korban dan
diantara korban kita adalah 12 orang anggota Letnan Wagino dan 17 angota
Mochammad Dibjan. Musuh selalu mengintai perjalanan Brigade dari Gayasan menuju
Karang Kedawung Mumbulsari.
Pada waktu
itu Selasa 8 Februari 1949 jam 05.15 di Pos Komando Brigade III Damarwulan, dukuh
Lelang desa Karang Kedawung Mumbulsari Jember sedang mengadakan rapat
koordinasi staf yang dipimpin oleh Letkol Moch Sroedji dan dihadiri antara
lain: dr Letkol dr Soebandi
sbg Residen Militer Besuki merangkap Pewira Kesatuan, Mayor Imam Soekarto (Brigade
Mayor), Mayor Syafiuddin (Komandan Batalyon 25) dan Brigade Abd Syukur
(Pengawal Pribadi Sroedji).
Tengah
berlangsung rapat tiba-tiba seorang pengawal melapor: “Belanda datang pak!”.
“Adakan perlawanan!”, perintah Sroedji kepada pengawal tsb. “Siap kerjakan !”
jawab Pengawal. Ternyata musuh datang dari arah Kebun Lengkong yang diduga
dipimpin oleh Letkol Brengen (Komandan Resimen V Besuki.
”Kita
hadapi Belanda”, kata Sroedji pada peserta rapat sehingga semua keluar dan
mengambil posisi siaga pertahanan. Komandan Brigade yang dikenal dengan nama
samaran Pak Raji, diikuti Residen Militer Lelkol. dr. Soebandi dan Pengawal
Pribadi M. Abd. Syukur dan Seorang
Pesuruh yang terlupa namanya, turun menuju dimana pasukan brigade itu bertahan,
dengan maksud Iangsung memimpin pertempuran. Tetapi waktu sampai di bawah,
tiba-tiba Pak Raji terkena tembakan dari arah timur mengenai pundak kirinya dan
terus menelungkup jatuh terguling dengan teriakan : ”Aduh, kena
Kur!‟
Sebutan Kur
adalah nama belakang Abdus Syukur. Pada saat itu pula Pesuruh tertembak dan
seketika gugur.
Walaupun
peluru nancap di pundak kirinya, tetapi Pak Radji rnasih sadar, selanjutnya
dengan bantuan Letkol. dr. Soebandi dan pengawal pribadi, dibawa merayap dalam
parit untuk berlindung dari tembakan yang sangat gencar. Tembak-menembak antara
pasukan
Damarwulan
dengan Belanda terus berlangsung. Letkol. dr. Subandi melihat keadaan
komandannya semakin parah. Berhubung banyaknya darah keluar, rnaka dengan jalan
merunduk sepanjang parit mereka berusaha mendekati pasukannya.
Tiba-tiba
dr. Subandi tertembak dari arah barat dan gugur seketika itu juga. Melihat
keadaan demikian, M. yaitu Jenasahnya tidak boleh
dibuka oleh kyai Dachnan tetapi langsung dimakamkan
Akhirnya
tanggal 9 pebruari 1949 itu juga jenazahnya dibawa pulang oleh Kyai Dachnan
dengan menggunakan
truk militer Belanda disertai delapan pengawal tentara Belanda.
Kiyai
Moh.Dachnan yang mengetahui bahwa jenazah Letkol Moh.Seroedji belum dimandikan,
kemudian mnta ijin kepada komandan pengawal pengawal jenazah untuk membuka
penutup jenazah guna dimandikan dengan alasan “saudara saya ini orang
Islam,kalau tidak dimandikan secara
Islam tidak boleh dimakamkan” .
Demikian
jenazah almarhum yang telah dibungkus oleh Belanda kemudian dibuka untuk
dimandikan. Begitu bungkusan dibuka terjadi peristiwa yang mengagetkan, ternyata
jenazah Letkol Moh.Seroedji hampir tidak dapat dikenali lagi. Badannya hancur
penuh dengan tembakan peluru dan
tusukan bayonet yang tak terhitung jumlahnya.
Kepala staf
TNI Darat Besuki, Mayoor Sukarto, yang merupakan tangan kanan Almarhum secara
diam-diam dating ke rumah Kyai Dachnan untuk menanyakan benar
tidaknya
jenazah itu adalah Letkol Moh.Seroedji.
Selang dua
jam dari saat pemakaman, Kyai Moh.dachnan ditangkap oleh tentara Belanda dan
ditahan dirumah tahan Jember selama tiga hari.Alasan penangkapannya Kyai
dachnan adalah karena pada waktu pemakaman jenasah Almarhum diselubungi dengan Bendera
Merah putih dan dilawat orang banyak.Dari laporan Komando Divisi I, Oktober
1949 itu dijelaskan pula, bahwa selain kedua perwira, yakni Letkol. Sroedji dan
Letkol. Subandi, gugur pula Sersan Mayor Burhan,
petugas PHB, bersama dengan alat PHB-nya hancur binasa. Juga pasukan dekking komando
hancur berantakan,
tidak sedikit menderita korban. Disebutkan juga, bahwa dalam peristiwa itu,
pihak musuh dapat merampas dokumen-dokumen penting, termasuk kata-kata sandi,
sehingga seluruh brigade harus merubah taktik.
Akibat
gugurnya Letkol. Soerdji, maka pimpinan brigade dipercayakan kepada Letkol.
Abdul Rivai, yaitu komandan Batalyon 27. Upacara penyerahan jabatan dilakukan
pada tanggal 21 Maret 1949. Dengan terisinya kembali jabatan komandan brigade,
maka Brigade Damarwulan mendapatkan kembali semangat tempurnya dan melanjutkan
gerilya secara aktif di daerah Besuki.
Namun
setelah Letkol. A. Rivai tertangkap dan menyerah kepada Belanda tanggal 25 Juni
1949, maka Panglima Divisi I Kolonel Sungkono menetapkan pimpinan brigade dipegang
oleh kepala staf brigade yaitu Letnan Kolonel Imam Sukarto.
Pasukan
Brigade III Damarwulan tetap melakukan tugas sampai datangnya perintah pada
tanggal 3 Agustus 1949, untuk siap-siap menghadapi gencatan senjata yang mulai
berlaku pada tgl. 10 Agustus 1949 jam 00.00. OIeh karena itu seluruh pasukan
kita yang ada di Besuki menempati pos-pos terdepan, sambil mengibarkan bendera
Merah Putih. Pagi hari tanggal 11 Agustus 1949,
ternyata
Iebih dari dua pertiga wilayah Besuki ada di tangan Republik Indonesia. 9
9 Tulisan ini meramu dari
makalah–makalah arsip DHC 45 Jember tentang Sejarah
B. LETKOL dr. R.M. SOEBAND
Nama
lengkap beliau Raden Mas Soebandi, lahir di Klakah, Lang pada tanggal 17
Agustus 1917. Orang
tua beliau
R. Soeradi Wiknyosukarto, seorang D.K.A. Klakah dengan jabatan sebagai Kepala
Depot. Mempunyai
istri yang
bernama Rr. Soekesi. Bersama Rr. Soekesi, beliau dikaruniai tiga orang putrid,
antara lain:
1.
Widiyasmani;
2.
Widiyastuti;
3.
Widorini.
Letkol dr.
R.M. Soebandi termasuk orang yang sangat beruntung karena dapat
mengenyam
pendidikan yang tinggi.
Beliau
sekolah di H.I.S/ M.U.L.O/ N.I.A.S. Pada tanggal 8 Maret 1942 NIAS di tutup
karena
Jepang menduduki Indonesia.
Kemudia
beliau pada tanggal 29 April1943 melanjutkan kuliah di Ika Daigoku (Sekolah
Tinggi Kedokteran di
Jakarta).Tanggal
12 Nopember 1943 lulus dari Ika Daigoku, kemudian masuk Pendidikan/ Latihan
Eise Syo Dancho.
Tanggal 20
Desember 1943 selesai Latihan diangkat sebagai Eise Syodancho.
Pengalaman
ketentaraan, beliau terlibat dalam tentara PETA pada tanggal 27 Desember 1943
sebagai
Eise
Syodancho di Daidan Lumajang. Yakni, sebagai dokter tentara. Pada tanggal 19
Agustus 1945 tentara ETA
dibubarkan oleh Jepang, karena Jepang menyerah kalah pada sekutu.Sesudah PETA
bubar, beliau berdinas
di R.S.U.
Probolinggo tetap sebagai dokter.
10 Ditulis ulang berdasarkan sumber
tulisan dari Bapak Sadiran. Bapak Sadiran merupakan pelaku (pejuang). Pada saat
masa perjuangan Bapak Sadiran menjadi anak buah dr Soebandi sebagai tenaga
medis. Tulisan ini juga
sudah
diajukan kepada keluarga dr. Soebandi dan sudah disetujui kebenarannya.
Di waktu
pembentukan BKR, Letkol dr. R.M. Soebandi dipanggil ke Malang. Selanjutnya
menjadi dokter di RST di
Claket
Malang dengan pangkat kapten. Selanjutnya BKR pada tanggal 5 Oktober 1945
berubah menjadi TKR dan
pada
tanggal 25 Januari berubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia),
kemudian beliau diberi
pangkat
Mayor.
1. KEMBALI
KE JEMBER DAN AGRESI I
Pada
tanggal 22 April 1946 Letkol dr. R.M. Soebandi dipindahkan ke Resimen IV Divisi
VIII. Di Jember menjadi
Kepala DKT
dengan pangkat Mayor> Kemudian Resimen IV berubah menjadi Resiman 40
Damarwulan. Divisi VIII
tetap
sebagai Kepala DKT di Jember.
Pada tahun
1945-1947 Letkol dr. R.M. Soebandi sering ditugaskan di front pertahanan
Surabaya Selatan
Sidoarjo,
Tulangan Porong, Bangil dan pernah juga dikirim ke front pertahanan Bekasi
Krawang Jawa Barat sebagai
dokter
dalam medan pertempuran.
Pada waktu
Agresi I, yakni pada tanggal 20 Juli 1947 setelah tentara Belanda masuk Jember,
beliau ditangkap
Belanda. Waktu itu kebetulan sedang menolong prajurit yang kena tembak dan
dioperasi di DKT,
selanjutnya
beliau mendapat tahanan kota.
2. SAAT
HIJRAH
Pada waktu
TNI diperintahkan hijrah. Letkol dr. R.M. Soebandi ikut hijrah ke daerah RI yang
lain, yakni hijrah
ke Blitar.
Ketika di Blitar ini Brigade III Damarwulan mendapat tugas menumpas sisa-sisa
peristiwa pemberontakan
Madiun yang ada di Blitar dan untuk mengatasi ini di bentuk SGAP ( Staf
Gabungan Angkatan
Perang).
Beliau diangkat sebagai kepala staf.
3. AGRESI II
Pada Agresi
II mengikuti Brigade III, yakni mengadakan penyusupan ke daerah Besuki, beliau sebagai
Kepala Dokter Brigade III Damarwulan dan merangkap sebagai Residen Militer
daerah Besuki. Dalam penyusupan
ini ikut serta rombongan pemerintah sipil daerah Karesidenan Besuki, tetapi
residennya tidak dapat
mengikuti,
maka beliau diangkat sebagai Residen Militer.
4.
PERISTIWA GUGURNYA dr SOEBANDI
Selama
dalam perjalanan dari Blitar ke daerah Besuki/Jember, sering terjadi pertempuran
dengan Belanda.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua bula, terjadi pertempuran dengan
tentara Belanda di Desa Karangkedawung
Kec. Mumbulsari Kawedanan Mayang Kabupaten Jember. Pada tanggal 8 Pebruari 1949
pada
waktu pagi
hari, beliau gugur bersama-sama Komandan Brigade III Letkol Moh. Sroedji.
Setelah
jenazah beliau diketemukan di tepi sawah, di Dusun Plalangan Desa
Karangkedawung oleh tim pencari jenazah,
kemudian dibawa ke DKT Jember dan disemayamkan di DKT Jember. Pada tanggal26
Maret 1950, jenazah
beliau disemayamkan kembali di TMP Kreongan Jember dengan upacara militer.
Kemudian pada tanggal 15
Agustus 1960 jenazah beliau dipindahkan lagi di TMP Patrang Jember.
C. BRIGJEN
SJAFI’UDDIN
Beliau
lahir di Nangkaan Bondowoso, pada tanggal 23 Pebruari
1923. Menikah tanggal 18 Agustus 1948 di Jember dengan seorang putrid bernama Brigjen
Syafiudin bersama istri Sri
Sulastri. Dari pernikahan tersebut dikaruniai lima orang putra:
1. Slamet
Satria Indrajid;
2. Doddi
Satria Indrawan;
3. Beni
Satria Indra Cahyadi;
4. Nono
Satria Indra Buana;
5. Ratna
Satria Indra dewi.
Semua nama
putra beliau diikuti dengan “Satria” dengan harapan putra-putranya dapat
menjadi seorang kesatria.
Wafat
tanggal 18 Januari 1978 di Jember dimakamkan di Tanman Makam Pahlawan (TMP) Jember.
Ibu Sri Sulastri
lahir 29
Juli 1926, wafat 18 April 1994, dimakamkan di Tanggul.
1. KARIR
DALAM PROFESI
Pangkat
terakhir Brigjend Sjafi‟udin dengan dinas di SUAD (Staf Umum Angkat Darat).
Pangkat pertama yang diterima
beliau adalah Mayor dengan tugas di Batalyon 509, sebagai komandan. Pernah juga
menjadi Komandan
Resimen 12
di Jember dengan pangkat letkol. Kemudian sekolah SKAD rangking 2. Sebagai
penghargaan atas prestasi
ini beliau diberi pangkat kolonel dan dipercaya menjadi Pangdam XVI Udayana. Pengangkatan
sebgai Pangdam XVI
Udayana tersebut terjadi pada tahun 1962.
Menjadi
pangdam ini sampai dengan tahun 1966 dalam usia 39.
Setelah
menjadi Pangdam Udayana, beliau menjadi Pangdam KASKODAKAL (Kepala Staf Komando Antar daerah
Kalimantan) berkedudukan di Banjarmasin, antara tahun 1967 sampai dengan 1968.
Setelah itu baru terakhir di
SUAD. Istilah Pak Beni, beliau dikotakkan oleh Pak Harto, karena Brigjend
Sjafi‟udin dianggap dekat
dengan Bung
Karno. Padahal kedekatan itu hanya bersifat structural. Karena jabatan beliau
sebagai Pangdam Udayana kemudian menjadi
dekat dengan Bung Karno.
Pihak
Suharto mengetahui hal ini dan tidak senang; sehingga beliau diletakkan di
SUAD. Di SUAD ini sampai beliau
pension pada tanggal 1 April 1974.11
2. MASA
PERJUANGAN
Terdapat
peristiwa yang menarik untuk dicermati, yakni ketika Batalyon 25 Banteng Merah
bersama dengan staf
Brigade Damarwulan pada tanggal 19 Januari sudah tiba di pos komando
Karangbayat Jember. Dengan begitu Mayor
Syafiudin tinggal mengatur dislokasi dan kompi-kompinya. Batalyon 26-Magenda
masih harus meneruskan
perjalanan
menuju Bondowoso dan Situbondo, sesuai dengan daerah pertahanannya
(wehrkreise)
melalui celah-celah utara
kota Lumajang, menuju gunung Lamongan,
kemudian
melewati baratdaya Gunung Argapura, terus ke pegunungan Yang, yang menjadi
kompleks wehrkreis-nya.
Batalyon 27
yang masih jauh harus melalui Jember Selatan menyeberangi sungai Sanen, lewat
kota Blater kemudian
menembus pegunungan Betiri. Dalan perjalanan ini Batalyon 27 sempat dicegat musuh
di Ambulu,
dimana dalam insiden 2 orang prajurit gugur.
Kemudian
batalyon 27 berhasil menembus pegunungan Miru, dan menduduki perkebunan/persil
Sukamade, dimana
selanjutnya batalyon ini menempatkan pos komando wehrkreisenya.
Batalyon
Depo, Mayor Darsan iru pada tanggal 24 Januari tiba juga di Jatibanteng,
distrik Besuki bersama dengan
Batalyon Abdul Syarif, yang dulu dari Brigade 1V.
Perlu pula
dicatat turut sertanya sepasukan lasykar
11 Wawancara dengan Bapak Beni Satria Indra Cahyadi, putra ketiga Brigjend Sjafi’uddin pada tanggal 13 Oktober 2006
Hisbullah dalam Batalyon 25,
di bawah pimpinan Haji Syech.
Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari aksi gerilya yang benar-benar melumpuhkan musuh
secara keseluruhan.
3. GERAK
JUANG BATALYON 25
Sejak kembalinya
pasukan hijnah ke Besuki melalui jalan amat sukar selama 25 hari dengan
berbagai rintangan
dan keterpaksaan menghadapi pertempuran berkali-kali, maka daerah karesidenan
Besuki, dimana tadinya
oleh Belanda dianggap paling aman, mulai terasa bagaikan gunung berapi
rnendidih.
Demikianlah
situasi medan laga di wilayah Jember dan sekitarnya, dimana Batalyon 25
melakukan perang gerilya
sampai akhir bulan Juli 1949. Walaupun operasi dan patroli Belanda sangat
banyak, dan mengakibatkan
korban
begitu besar di pihak kita, terutama dari kalangan rakyat, namun batalyon ini
tetap bertahan di wilayah wherkreise-nya,
dan
terus-menerus membantu pemerintahan militer sejak win gate Damarwulan tiba di
Besuki.
Bila kemudian pada 10 Agustus 1949 tenjadi gencatan senjata, sebagai
konsekuensi statement
Roem-Royen, make
posisi pasukan kita tetap seperti apa yang sudah ada di akhir Juli 1949.
Sehingga wilayah kekuasaan Republik,
tidak dapat dipungkiri Belanda.
Berhubung
wilayah Besuki, merupakan wilayah yang ditinggalkan pasukan kita sejak akhir
Februani 1946, sebagai
lanjutan dan perjanjian Renville, hingga praktis daerah karesidenan ini
dikuasai Belanda sepenuhnya, maka aksi
gerilya yang dilakukan Brigade III Damarwulan dengan 3 batalyon dan 1 Batalyon
Depo-nya, begitu tingginya
kesadaran dan semangat rakyat dalam turut menegakkan kemerdekaan tanah air.
BAB IV
PROFIL
PEJUANG PPPR (PUSAT
PIMPINAN PERJUANGAN RAKYAT)
A. KH
DZOFIR SALAM
KH Dzofir
bin H Abdus Salam yang popular dikenal dengan sebutan Kyai Dzofir lahir di desa
Rambipuji kabupaten Jember pada tahun 1908 dari pasangan bapak H Abdus Salam
dan ibu Hj Muslikhah. Beliau wafat pada Ahad, 12 Juli 2006 dan dimakamkan di
komplek Pondok Pesantren
Alfattah Jember.
Beliau
beristri 3 yaitu:
1. Nyai Hj
Siti Zulaikho binti KH Muhammad Shiddiq Jember yang wafat pada Selasa, 17
Januari 2006.
Dengan Nyai
Cho dikaruniai seorang anak, Nurhuda (almarhum)
2. Nyai Hj
Siti Masturah binti Sumohadi Jember yang wafat pada tahun 1990. Dengan Nyai
Turah
dikaruniai seorang anak, H Muzammil Jember
3. Nyai
Mu‟awanah binti Mas‟ud Rembang yang wafat pada tahun 1990. Dengan Nyai Mu‟
dikarunia seorang anak, Ny Hj Ahdaniah Malik Bondowoso
Beliau
belajar di HIS (Holland Indische School), lalu sejak tahun 1919 ngaji pada
Kyai-kyai dikota Lasem diantaranya KH Cholil Masyhuri, KH Ma‟shum, KH Baidlowi
dan KHM asduqi. Pada tahun 1921 ngaji pada KH Muhammad Shiddiq, sejak tahun 1925 ngaji pada KH Cholil
Harun Rembang dan sejak tahun 1925 ngaji pada Ulama di Makkah diantaranya Syech
Alwi bin Abbas Al Maliki.
Kemudian
tahun 1930 ngaji pada KH Dimyati Termas Pacitan
.1.
MENGAMBIL ALIH RESIDEN DARI JEPANG
Sejak tahun
1944 Kyai Dzofir menjabat Shumukacho yaitu Kepala Urusan Agama yang meliputi wilayah karesidenan
Besuki yang berkedudukan di Bondowoso.
Shumuka
adalah Intansi pada zaman penjajahan Pemerintahan Jepang yang mengurusi agama
di level karesidenan dan tugasnya adalah:
a.
meningkatkan bimbingan dan propaganda Jepang terhadap ummat islam
b.
mempererat hubungan antara pamong praja/executive dengan alim ulama
c. mengaktivkan
alim ulama supaya dapat bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang
d.
mengarahkan dan mengendalikan penghulu.
e.
mengajarkan bahasa Jepang dan pengetahuan umum kesekolah-sekolah agama
f.
menyeleksi siswa yang dilatih sebagai alim ulama12
Mengapa
Kyai Dzofir yang diangkat sebagai Shumuka dikaresidenan Besuki? Adalah
pertimbangan ketokohan ulama yang menonjol karena beliau memimpin Pesantren
Talangsari yang paling berpengaruh di Jember saat itu. Selain itu beliau adalah
Ketua NU cabang Jember (menggantikan KH Machfudz Shiddiq yang dipilih 12 Kutipan Pengarahan Dr Hoesin Djajadiningrat/mantan
Shumubucho pada buku Mobilisasi dan Kontrol, Aiko
Kurasawa,
hal 287, tahun 1983
Shumuka
berjumlah 18 di Indonesia dan dikendalikan oleh Shumubucho yaitu kantor urusan
agama di pusat pemerintahan
Jakarta, yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari. Karena sering udzur dan tinggal
di Jombang
kesehariannya
diatur oleh H Abdul Kahar Moezakkir/Wakil Shumubucho dan KH Abdul Wachid Hasyim sebagai
Penasehat/Sanyo. Praktis keduanyalah yang memimpin Shumubu.ebagai Ketua PBNU).
Pengangkatan beliau tidak lepas dari saran KH Mahfudz Shiddiq yang berperan
besar mengkadernya.
Menjadi
Shumuka jauh beda dengan posisi Kepala epag
sekarang yang mempunyai staf banyak orang dan profesional. Shumuka hanya
memiliki seorang staf yang masih harus direcruit sendiri dan harus digaji
sendir melalui gaji yang diterima beliau sebagai Shumuka yang kantornya
di Bondowoso sebagai ibukota karesidenan Besuki.
Aku ngetik
dewe, nganter surat dewe, ngubungi pejabat pemrintah dewe, kata beliau
menceritakan kerja sendiri di
Shumuka walaupun statusnya sebagai Birokrat yang dihormat banyak orang.
Saat
Kemerdekaan, banyak tokoh masyarakat bingung tentang pemerintahan di
karesidenan yang masih dipegang Jepang. Kebingungan mereka adalah tentang bagaimana
cara mengambil-alih Karesidenan dari Jepang?
Saat itulah
tampil Kyai Dzofir berinisiatif mengumpulkan beberapa orang tokoh masyarakat
untuk rapat yang tujuannya pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang.
Yang hadir
pada rapat adalah :
a. KH
Dzofir sebagai Shumuka dan bertindak pengundang
b. Mr.
Surjadi sebagai Kepala Pengadilan Karesidenan Besuki.
c.
Subiantoro, Patih Bupati/Kencho Bondowoso yang dapat berbahasa Jepang sehingga
ditugaskan sebagai Penterjemah
d.seorang
Tentara berpangkat Daidantjo.
Dan rapat
memutuskan bahwa yang nantinya akan ditetapkan sebagai Residen pengganti
nantinya adalah Mr. Surjadi.
Kemudian
mereka mendatangi Shuchokan/Residen (seorang Jepang tetapi lupa namanya) yang
didampingi oleh
Mr R.
Sundoro Budhyarto Martoatmodjo sebagai Fukushuchokan/staf karesidenan. Terjadilah perdebatan sengit
diantara mereka dimana Kyai Dzofir, dan kawan-kawan berpendapat bahwa dengan
Proklamasi maka peralihan kekuasaan Karesidenan secara spontan harus diserahkan
pada orang-orang Republik Indonesia, sedangkan fihak Jepang berpendapat situasi
saat itu adalah situasi peralihan/transisi sehingga ia bersikap menunggu proses
peralihan yang akan diatur oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.
Suasana
perdebatan antara Mr Surjadi dengan Pejabat Residen Jepang alot karena saling
bersikukuh terhadap sikapnya sehingga membuat Kyai Dzofir dan kawan-kawan naik
pitam dan mengancam. Akhirnya Jepang mengalah dan terjadilah kompromi kekuasaan
yaitu:
Pejabat Residennya adalah Mr Surjadi yang mewakili fihak Indonesia dan Mr. R. Sundoro Budhyarto
Martoatmodjo
sebagai Patih/Wakil Residen yang mewakili kepentingan Jepang.
Keberhasilan
pengambil-alihan kekuasaan dari Jepang tersebut menumbuhkan rasa percaya diri
pada para pejuang sehingga menumbuhkan inspirasi pengambilan-alihan kekuasaan
Jepang ditempat lain. Tak berapa lama dari peristiwa tersebut yaitu sekitar
September
1945 terjadilah peristiwa penyerahan Konsigniring/penampungan logistik Jepang
yang terletakdi Garahan kecamatan Silo Jember. Konsigniring ini adalah yang
terbesar di Jawa Timur karena dipergunakan untuk mengcover beberapa
karesidenan. Konsigniring tersebut
menampung orang Jepang sebanyak 40.000 orang yang dibentengi tembok tinggi
seluas puluhan hektar. Didalamnya berbagai peralatan senjata lengkap, amunisi
yang berlimpah, alat teknik, kendaraan, bahan makanan dan obat-obatan.
Suasana
kemerdekaan mendorong masarakat banyak datang kesana untuk meminta, mencuri dan
merampas bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok yang terdapat didalam
Konsigniring. Semula mereka sembunyi-sembunyi, lalu setelah masarakat yang
berkumpul
jadi ribuan jumlahnya maka terang-terangan mereka merampas apa saja yang
terdapat di konsigniring tersebut. Maklum, rakyat banyak menderita kelaparan saat
itu, sehingga peristiwa kemerdekaan menjadi motivasi expresi rakyat yang bebas
untuk merampas logistik
Jepang. Fihak Jepang membiarkan saja aksi perampasan tersebut karena takut
terhadap massa ribuan.
Walaupun
fihak Jepang diam membiarkan aksi perampasan tersebut tetapi para tokoh
masyarakat khawatir karena mereka bersenjata lengkap yang sewaktu-waktu dapat
menghabisi rakyat yang mengepungnya. Melihat situasi tersebut tampillah Kyai Dzofir/Sabilillah,
Mayor Soerodjo/Komandan TKR Resimen Besuki di Jember, Kyai Shodiq
Machmud/Sabilillah, Sulthon Fadjar/Komandan Hizbullah dan beberapa tokoh pejuang
lainnya mendatangi Pimpinan Konsigniring untuk berunding tentang penyerahan
kepada fihak Republik Indonesia. Mereka datang ke Konsigniring diikuti oleh ribuan
massa yang mengepung.
Tanpa
kesulitan fihak Jepang bersedia angkat kaki dalam rundingan tersebut dan mohon
pengawalan para tokoh pejuang. Kemudian ribuan orang Jepang dipindahkan
kepenampungan sementara di Balung Tutul dan kemudian dilanjutkan pemindahannya
menggunakan kereta api
ke Surabaya untuk dipulangkan kenegeri asalnya.
Mengapa
Kyai Dzofir dapat berperan pada moment pengambil-alihan kekuasaan Residen dari
Jepang dan perebutan konsigniring Garahan Jember? Faktor penentunya adalah
Jabatan beliau sebagai birokrat Shumukacho dan menjadi Pimpinan Cabang NU
Jember sehingga dapat tampil memobilisasi kyai-kyai dan tokoh-tokoh pejuang.
Beliau adalah Ketua Lasykar Sabilillah yang dapat bekerja-sama dengan TKR,
Hizbullah dan lasykar lainnya.
Menjelang
kemerdekaan 17 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam Jember diantaranya Kyai
Dzofir, KH Halim Shiddiq, KH Shodiq Machmud, KH Damanhuri, KH Jauhari Kencong,
dll membentuk laskar pejuang Sabilillah yaitu pasukan para Kyai bersama Kyai
Abdullah Shiddiq, Kyai Shodiq
Mahmud, Kyai Dawud Klompangan, KH Damanhuri Mangli, KH Sholeh Kaliwining, dll.
Pembentukan Tentara Sabilillah ini sporadis dan spontanitas oleh tokoh kyai setempat
diberbagai kota, termasuk di Malang yang dipimpin oleh KH Masykur.
Tujuan
pembentukan Tentara Sabilillah adalah mengawasi gerak Tentara Hizbullah yang
mayoritas generasi muda agar tidak melanggar syariat Islam serta berfungsi
sebagai penasehat dan pembina mental dan spritual para pejuang khususnya
Hizbullah. Kongres
Ummat Islam
di Yogjakarta, 8 Nopember 1945 menetapkan Masyumi sebagai partai dan menetapkan
Malang sebagai markas tertinggi Hizbullah yang dipimpin KH Zainul Arifin dan
Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur.
2. MEMIMPIN
PPPR BERJUANG MELAWAN BELANDA
Pasca
Proklamasi terjadi perlawanan pejuang Indonesia gigh tak kenal menyerah
terhadap Belanda d seluruh
Indonesia sampai Lord Killiearn sebagai Pimpinan Tentara Inggris menjembatani
perundingan antara
fihak Indonesia dengan Belanda, untuk mengakhiri perang. Perundingan terjadi di
Linggarjati, Cirebon, Jawa Barat
tanggal 25 Maret 1947 dimana delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan
Syahrir dari Partai Sosialis Indonesia
dan delegasi Belanda dipimpin Schemerhorn dan dr. HJ Van Mook. Perundingan
tersebut menghasilkan persetujuan
tentang :
a. Pengakuan
Belanda secara Defacto atas Jawa, Madura dan Sumatera.
b. Republik
Indonesia dan Belanda akan bersama-sama membentuk suatu Negara Indonesia
Serikat yang terdiri
dari: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Kalimantan.
c. Negara
Indonesia Serikat dan Belanda akan merupakan suatu uni yang dinamakan Uni
Indonesia
Belanda
yang diketuai oleh Ratu Belanda Ternyata perjanjian Linggarjati tersebut tidak
berjalan
mulus dan bahkan suasana bertambah keruh, sebab
a. Timbul
konflik di dalam negeri antara kelompok sayap kiri (Partai Komunis
Indonesia/PKI, Partai Sosialis,
Partai
Buruh Indonesia/PBI, Persatuan Sosialis Indonesia/PESINDO yang pro-Perjanjian
Linggarjati dengan
kelompok penentang Perjanjian Linggarjati yaitu: MASYUMI/Majlis Syura Muslimin
Indonesia,
PNI/Partai
Nasional Indonesia, Partai Rakyat Djelata/PRD, Barisan Pejuang Rakyat Indonesia
/BPRI, dan Barisan
Banteng Republik Indonesia, dan mengakibatkan Kabinet Syahrir jatuh. Perdana
Menteri Syahrir
digantikan oleh Mr. Amir Syarifuddin (yang juga dari Partai Sosialis)
b. Adanya
perbedaan penafsiran tentang pokok–pokok perjanjian, dimana Belanda memaksakan
kehendaknya yang
disertai ultimatum, agar RI menerima penafsirannya. Bahkan setelah
penanda-tanganan
Perjanjian
Linggarjati, Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan cara menyerang
Mojokerto tanggal 17
Maret 1947
dan Van Mook melaksanakan kebijakan Rijksverbund (Negara Serikat) di Surabaya
sehingga Van Der
Plast berhasil mendirikan Negara Jawa Timur pada 3 Desember 1947 dan berakhir
pada Februari 1950.
Sikap
pro-kontra terhadap perjanjian Linggarjati tersebut menjadi kesempatan bagi
Belanda untuk menjajah
lagi dengan cara melakukan Agresi Militer. Pada hari Senin Wage 2 Romadlan
1336/21 Juli 1947. Belanda menyerbu
daerah-daerah Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur dimana pada saat itu ummat
Islam melaksanakan
ibadah puasa Romadlan. Tentu tidak ada perlawanan sama sekali karena para
Pejuang melaksanakan
puasa Romadlan.Kapal-kapal Belanda merapat dipantai Pasir Putih Situbondo
dan bergerak ke Bondowoso kemudian ke Jember. Keesokan harinya Belanda sudah
menduduki Jember dan
kabupaten lainnya di Jawa Timur dengan persenjataan modernnya. Di Jember,
Belanda menempatkan
Major Brengen sebagai Pelaksana Rijksverbund yang bertanggung-jawab pada Residen
Mr.
Aassen di
Surabaya dan selalu diawasi Van Der Plast sebagai Penasehat Pemerintah Belanda.
Kemudian Belanda
membentuk Pasukan Cakra dan Polisi Perkebunan/Ondernemings Wacht. Bupati dan
semua Camat
diganti yang pro-Belanda dan bahkan tanggal 14 Oktober
1948 mereka memilih DPR Jember melalui Pemilu.
Pada malam
Senin 10 Ramadhan 1336/ 29 Juli 1947, Kyai Dzofir bersama Nyai Zulaikho, Gus
Nurhuda, KHSholeh Kaliwining dan Amiruddin mengungsi dengan mengendarai Cikar
menuju rumah Pak Supiah Curahlele, Balung.
Dipersembunyian Curahlele ini beliau merasa tenang beribadah puasa sambil
membaca situasi Belanda
di Jember.
Beliau
melakukan komunikasi pada Kyai-kyai sekitar Balung yang tergabung dalam
Sabilillah untuk diajak berjuang
kembali mempertahankan kemerdekaan dan banyak kyai yang setuju. Pada suasana
Lebaran Senin Wage 7
Syawal/25 Agustus 1947, beliau proklamirkan Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat/PPPR yang berpusat di
Curahlele
Balung. Kelasykaran pasca Proklamasi 1945 yang eksis hanya 4 yaitu: Sabilillah,
Hizbullah, TRIP dan TNI
Batalyon Banteng Merah pimpinan Major Syafiuddin.
Bahkan
Sabilillah/PPPR dengan Hizbullah menyatu dalam langkah dan sikapnya sehingga
sering disebut keduanya dengan nama
Lasykar
Mujahidin.
Selebaran
informasi berdirinya PPPR diketik dan disebarkan sendiri kemasyarakat.
Rapat-rapat untuk membahas
taktik perjuangan dan mengatur pos-pos perjuangan di Desa-desa dilakukan oleh
sedikit orang PPPR karena
masih rawannya desa-desa. Untuk menjaga kerahasiaan perjuangan PPR, beliau
pakai sandi
Kyai, maksudnya menunjukkan pada
masyarakat bahwa umat Islam Jember yang dipimpin para Kyai tetap aktif berjuang.
Susunan Pengurus PPPR adalah : a KH. Dzofir sebagai ketua dengan nama samaran
Pak Nur
b. Kyai
Shodiq Mahmud sebagai Sekretaris dengan nama samaran Pak Isjampir
c. KH.
Abdul Halim Shiddiq sebagai bagian politik dengan nama samaran Pak Ali
d. KH.
Abdullah Shiddiq sebagai kepala keamanan dengan nama samaran Pak Jimun
22 Oktober
1945. Resolusi Jihad adalah keputusan rapat PBNU di Bubutan Surabaya yang
dipimpin oleh KH Wachab
Chasbullah dan direstui oleh Ro‟is Akbar PBNU KH Hasyim Asy‟ari, isinya:
a.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agsutus 1945 wajib
dipertahankan.
b. Republik
Indonesia sebagai satu-satunya Pemerintahan yang sah wajib dibela dan
diselamatkan.
c. Ummat
islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-
kawannya
yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Kewajiban
tersebut adalah jihad yang wajib/fardlu „ain bagi setiap muslim yang berada
pada jarak radius 94 km.
Adapun
mereka yang berada diluar jarak tsb berkewajiban membantu saudar-saudaranya
yang berada dijarak radius tersebut.
Sejak tahun
1945 sampai 1947 terjadilah perlawanan oleh para pejuang terhadap Belanda yang
ingin kembali menjajah
Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang dipimpin oleh Inggris.
Perlawanan pejuang terjadi di
Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan, Sumatera Selatan, Bali, Sumatera
Tengah, Sulawesi, Maluku,
Irian dan Jawa Timur. Perlawanan di Surabaya Jawa Timur terkenal dengan sebutan
Peristiwa 10 Nopember
dan selalu diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya
tersebut tidak lepas dari
motivasi Resolusi
Jihad. Banyak
tokoh pejuang Jember datang ke Surabaya untuk memenuhi panggilan jihad,
diantaranya Sulthon Fadjar dan Kyai Machmud/Bung Rewel dari Pace Silo.
Mobilisasi
para kyai dan pejuang di PPPR/Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat tahun 1947 yang dipimpin Kyai Dzofir merupakan mode
pengorganisasian kelasykaran/ militer yang muncul di Jember. Semula pendirian
PPPR hanya melibatkan jaringan dekat beliau di antaranya KH Abdullah Shiddiq
(adik iparnya), KH Halim Shiddiq
(kakak iparnya), KH Shodiq Machmud (keponakannya), Kyai Amiruddin (santrinya)
dan Pak Supiah
(santrinya). Kemudian diikuti para Kyai dan tokoh lain diantaranya: KH Jauhari
Kencong, Kyai Dawud Ajung, KH Hafidz
Rambipuji, KH Ichsan Jenggawah, Arief Wignyo Sumarto, Sholeh Hasan, Sutoyo,
Burah, dll yang kemudian
diorganisir dalam struktur didesa-desa dan bahkan ada perwakilan di Banyuwangi,
Bondowoso dan Tulungagung.
Ada pembagian tugas mulai dari Ketua, Sekretaris, Bagian Tahkim, Bagian
Keamanan, Bagian Politik,
Bendahara dan membentuk kompi-kompi.
Pos-pos
perjuangan diatur hampir merata di desa-desa se Jember yang pengaturannya
dilakukan oleh sedikit
orang PPR karena masih rawannya situasi misalnya: Curahlele Balung sebagai
Pusat Kendali, Alas Simpen
Kemuning Panti, rumah H Yusuf Sumber Tengah Mumbulsari, rumah Nyai Khotijah
Mayangan Gumukmas, rumah Kyai
Dawud Sukamakmur Ajung, dll. Pada umumnya pos tersebut ditempatkan dirumah
santri beliau dan tokoh
NU setempat. Kuatnya jaringan PPPR di masyarakat karena didukung mayoritas kyai
Jember yang
memiliki jaringan kuat dimasyarakat dan memiliki semangat berjuang untuk
membela agama atau jihad.
PPPR
mendapatkan simpati rakyat sehingga bantuan logistik, tempat perlindungan dan
sarana perjuangan mudah
didapatkan dari bantuan rakyat.
Selebaran
informasi tentang berdirinya PPPR dan Edaran Panggilan Perjuangan diketik sendiri oleh beliau dan
disebarkan oleh beberapa kurir khusus ke masyarakat demi menjaga kerahasiaan
dan keamanan. Untuk menjaga kerahasiaan perjuangan, beliau pakai sandi Kyai, maksudnya menunjukkan pada
masyarakat bahwa umat Islam Jember yang dipimpin para Kyai tetap aktif berjuang.
Setelah selesai pengaturan pos-pos perjuangan dan beredar Panggilan Perjuangan
kemasyarakat kemudian
berduyun-duyunlah sukarelawan mendaftarkan diri pada PPPR.
Pada setiap
pertempuran beliau selalu ada di depan moncong peluru lawan untuk mengomando
dan memberi semangat berani
kepada anak buahnya.
Dadi
pemimpin kudu nang ngarep, lan ojo gampang ngorbanno anak buahe, kata beliau
tentang prinsip harus diposisi depan dalam
berjuang. Tentu saja semangat berani dan tampil percaya diri sebagai pemimpin
pada beliau tidak asal bondo
nekat, karena beliau terkenal sebagai pengamal Hizb Thoyr. Saat kepepet terkepung musuh, lalu beliau jongkok
sambil membaca Hizb Toyr. Kemudian dilempar songkoknya keudara sehingga musuh
menembak songkok tersebut.
Tiba-tiba beliau sudah keluar dari kepungan Belanda dengan selamat.
Hal yang
unik pada Kyai Dzofir adalah tidak memiliki pengalaman militer, basic
pengalamannya hanya ngaji dipesantren
saja, dan pengalaman organisasi NU secara otodidak serta sekilas pengalaman
birokrasi Sumukatjok,
telah
menampilkan sosok yang berani tampil memimpin kelasykaran PPPR. Beliau tampil
didepan memimpin PPPR dengan
pengorganisasian ala komunitas pesantren yang bertumpu pada kekuatan hubungan
kyai-santri tetapi mampu
menampilkan PPPR sebagai organisasi kelasykaran kyai yang disegani musuh
Belanda.
Menginformasikan
dan mengedarkan panggilan perjuangan, mengatur pos-pos perjuangan, menggunakan sandi
rahasia serta menggunakan identias seragam gerilya hitam-hitam tak lepas dari
perilaku kepemimpinan beliau yang
berani tampil kedepan, merekruit tokoh-tokoh kyai yang berpengaruh dimasyarakat
dan menggembleng
semangat
berjuang demi agama. Dan yang khas dari mode kepemimpinan kyai yaitu memotivasi
semangat dengan
pendekatan spiritual agama melalui bacaan hizb-hizb.
Mereka
menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak
mudah diketahui
oleh musuh kecuali kawan sendiri. Nama Pak Nur adalah putra Kyai Dzofir.
Setelah mengatur pos-pos perjuangan,
barulah mengumumkan Edaran
Panggilan Perjuangan sehingga berduyun-duyunlah
sukarelawan mendaftarkan
diri pada PPPR. Kuatnya jaringan PPPR di masyarakat karena didukung mayoritas
kyai Jember yang
memiliki jaringan kuat dimasyarakat. PPPR mendapatkan simpati rakyat sehingga
bantuan logistik,
tempat
perlindungan dan sarana perjuangan mudah didapatkan dari bantuan rakyat.
Suatu
ketika beliau ke Muneng kecamatan Gumukmas naik Cikar dalam rangka mengatur pos
perjuangan disana. Tiba-tiba beliau dihadang dan diinterogasi beberapa orang
yang mengaku Petugas Keamanan desa Plerenan Gumukmas. Dijelaskan tentang identitas
beliau, kemudian beliau ditangkap dan disekap di suatu rumah yang entah tidak
diketahui milik siapa.
Hasil
nguping pembicaraan orang-rang tersebut diketahui bahwa mereka adalah PKI yang
akan membunuh para Kyai.
Untungnya,
sang Kusir Cikar cerdik, lalu menghubungi Pak Angrumo/H Zaini yaitu seorang
Tokoh Islam
Plerenan yang kemudian dapat membebaskan Kyai Dzofir dari sekapan PKI. Kemudian
beliau dapat melanjutkan
perjalanan menuju rumah Nyai Khotijah di Muneng. Keesokan harinya Pak Angrumo
bertamu dan mengabarkan
tentang oknum petugas keamanan yang PKI tersebut telah dibunuh oleh kawan-kawan
pejuang islam dan
kemudian mayatnya dibuang ke laut selatan.
Pada
pertengahan bulan Oktober 1947, para pimpinan PPPR seluruh keresidenan Besuki
mengadakan rapat
koordinasi di Masjid Pak Hamdi Kebon Asem, Wuluhan. Pertemuan itu mengembirakan
para Kyai dan Pejuang
sehingga mereka banyak datang untuk bernostalgia. Maklumlah zaman perang,
ketemu masih hidup sudah
mengembirakannya. Di antara kyai yang hadir yaitu: KH. Jauhari Kencong, KH.
Asmu‟i Semboro, KH.
Anas
Mumbulsari, KH Haromain Gadungan Gumukmas, KH. Hafidz Nogosari Rambipuji, KH.
Jazuli Tanjungrejo Wuluhan,
KH. Abu Darrin Sumberejo Ambulu, KH. Ismail Karanganyar Ambulu, KH. Ahmad
Mursid Condro Jember, KH. Suyuti
dan KH Ichsan Jatisari, KH. Abdul Qodir Kemuningsari Jenggawah, KH. Ya‟qub
Gumukmas, KH. Dawud
Klompangan Ajung, KH. Ichsan Bangsalsari, KH. Khotib Curahkates Ajung, KH.
Damanhuri Mangli Kaliwates,
KH. Hasan Basuni Bunot Panti, KH. Alwi Condro, KH. Sholeh Kaliwining Rambipuji,
KH. Fachurrazi asal Kajen
Pati, KH. Abdul Halim Shiddiq Talangsari Jember, KH. Achmad Shidiq Talangsari
Jember, KH. Shodiq
Mahmud SH Talangsari Jember, KH. Harun Banyuwangi, KH. Ghozali Wonosari Bondowoso,
KH. Abdulloh
Shiddiq Talangsari Jember serta KH. Dzofir sebagai Pimpinan PPPR.
Rapat itu
membahas langkah-langkah perjuangan agar lebih rapi dan mantap dan juga
diputuskan pemakaian seragam
yang terdiri baju dan celana berwarna hitam sebagai identitas PPPR. Tujuan
seragam hitam
adalah menunjukkan pada fihak Belanda terhadap identitas. Sebelum ada identitas
PPPR, Belanda selalu membabi-buta dalam membalas serbuan dan sergapan PPPR
sehingga ia tak pandang bulu. Setiap ketemu manusia ditembak, tak peduli besar
atau kecil, wanita atau
laki-laki. Belanda frustasi terhadap PPPR yang selalu lolos dari serangannya.
Ketika selesai sholat jama‟ah
shubuh,
tiba-tiba terdengar tembakan senjata Belanda.Rupanya Belanda tahu adanya
pertemuan ini sehingga semua
pejuang PPPR lari menyelamatkan diri dari sergapan Belanda tersebut.
Alhamdulillah, tidak ada korban
tewas.
Koordinasi
dan keutuhan semangat antara PPPR dengan lasykar lain terjalin baik karena demi
perjuangan
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dan tanpa ada rasa kecemburuan ketokohan diantara para
pejuang. Saat itu banyak
sekali kesatuan-kesatuan gerilya yang berjalan sendiri-sendiri termasuk di
Jember misalnya: ada PPR,
Batalyon
Elang Mas dan Hizbullah. Beberapa nama pada susunan PPPR sebagai Komandan Kompi
dan pada susunan
kesatuan lainnya sebagai kesatuan tersendiri yang lepas dari PPPR, contohnya
adalah Sulton Fajar
Njoto sbg
Komandan Kompi PPPR yang merangkap sebagai Komandan Hizbullah di Jember, dimana
secara nasional
Hizbullah memiliki struktur tersendiri. Kyai Abdullah Shiddiq sebagai Kepala
Keamanan PPPR merangkap
sebagai Komandan Batalyon Elang Emas
Pada tanggal 14 Oktober 1947
diadakan musyawarah yang diikuti antar Laskar PPPR, Resimen III Hizbullah,
Batalyon Elang Mas dan Lasykar-lasykar lainnya di Jember, yang keputusannya
adalah: PPPR konsentrasi
pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir. Tentara
Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah,
Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar bergabung menjadi 1 resimen dengan nama
Resimen Mujahidin
yang meliputi daerah sekaresidenan Besuki dan dipusatkan di Jember. Komandan Resimen adalah
Sulton Fadjar
Njoto.
Bersatunya
tokoh-tokoh pejuang dalam satu bendera Mujahidin merupakan kekuatan yang solid
sekali. Kyai
Dzofir
adalah tokoh senior Masyumi yang aktif memotivasi para pemuda mendirikan
Hizbullah,
pengiriman
ke Diklat Cibarusa dan Diklat Hizbullah di Awu-awu Temuguruh Banyuwangi sebagai
lanjutan Diklat
Cibarusa
ditingkat Karesidenan Besuki. Mujahidin seolah-olah merupakan sayap militer
PPPR sehingga nama PPR dan
Mujahidin diterima rakyat dimana-mana. PPPR selalu menginstruksikan pada setiap
pos penjagaan agar membantu
pejuang Republik dari segala aliran.
Kita ini butuh
kesatuan perjuangan, tandas Kyai Dzofir sebagai Ketua PPPR dalam setiap wejangannya. Dan bahkan opini masyarakat
mengatakan bahwa PPPR adalah Mujahidin sebagaimana terdapat pada Catatan Kyai
Dzofir tentang PPPR.
Bahkan PPPR
meluaskan areal perjuangannya di Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. PPPR Banyuwangi
dipimpin oleh KH. Abdul Latief dan KH. Harun sedangkan PPPR Bondowoso dan
Situbondo dipimpin KH.
Ghozali
Wonosari, Bondowoso. Bahkan saat hijrah pejuang ke Tulungagung pada tahun 1948
KH Achmad
Shiddiq
sebagai Koordinator PPPR di Tulungagung berperan aktiv membantunya. Rumah KH
Mujib /mertua KH Achmad
Shiddiq menjadi tempat pengungsian pejuang di Tulungagung.
Jember saat
itu masih diduduki Belanda tetapi para pejuang yang hijrah kembali angkat
senjata melawan Belanda.
Pasukan Brigade Damarwulan tetap melakukan seragan gerilya di beberapa
desa-desa. Kyai Dzofir juga melakukan
konsolidasi sisa kekuatan PPPR yang masih sembunyi di Jember dan melakukan
serangan gerilya terhadap
Belanda. Sayang beliau tertangkap Belanda dan ditahan 2 bulan di Jenggawah.
Sejak itu
Van der Plas sering bertamu kerumah para tokoh Islam di Jember diantaranya Kyai
Dzofir, KH Halim Shiddiq, KH
Damanhuri Mangli dan lainnya untuk berdiskusi tentang islam dan masalah
lainnya. Van Der Plas adalah seorang
Orientalis yaitu orang Kafir yang banyak mempelajari islam dan pandai berbahasa
Arab sebagaimana Snouck Horgrounje di Aceh yang tujuannya justru merusak
islam. Dalam menghadapi gerilyawan islam di Jawa Timur, Plast banyak
menggunakan pendekatan persuasif sehingga tidak
melakukan perang lagi sebagaimana yang dilakukannya terhadap Kyai Dzofir.
Dalam
menghadapi Van Der Plas -- yang bersikap halus dan terkesan kooperatif terhadap
tokoh islam – Kyai Dzofir
menanggapinya dengan hangat dalam berdiskusi ketika bertamu ke rumah. Beliau
tahu bahwa pandangan dan
sikapnya tidak akan merubah iman Van der Plas yang kafir menjadi islam tetapi
akan selalu dapat menarik perhatiannya
agar selalu dekat dengan beliau.
Ngadepi van
Der Plas harus dengan otak dan bukan dengan peluru, kata beliau sehingga
kedekatannya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan perjuangan islam.
Ada
kesefahaman antara Van Der Plas dengan Kyai Dzofir yaitu beliau minta jaminan
terhadap kyai dan tokoh masarakat
yang ngungsi ke pesantren Talangsari akan dijamin keamanannya oleh Belanda.
Belanda menyetujuinya
karena agar suasana politik tidak memanas lagi pasca penahanan Kyai Dzofir dan
agar
mudah bagi
Belanda untuk mengawasi mereka. Bahkan sikap ulama dan tokoh lain yang bersedia
menerima
santunan
bulanan dari Pemerintah, di antaranya KH Achmad Mursyid, KH Shodiq Machmud SH,
KH Abdullah Shiddiq,
dll
TOKOH
PEJUANG PENDIDIKAN
Kyai Dzofir
adalah Pengasuh Pesantren Talangsari Jember melanjutkan kepengasuhan dari KH
Muhammad Shiddiq
yang wafat tahun 1934. Pada tahun 1960 mendirikan Pesantren Alfattah sampai
wafatnya.
Kyai Dzofir
termasuk pendiri NU di Kabupaten Jember tahun 1930 bersama KH Machfudz Shiddiq,
KH Machmud
Shiddiq, KH Abdul Halim Shiddiq, KH Mayhur, Sayyid Abdullah bin Ali Alkaff, KH
Muhammad Yasin dan KH Basuni
dan bahkan selalu memimpin NU sebagai Ketua Tanfidziah. Terakhir beliau
menjabat sebagai Ro‟is Syuriah sampai
wafat tahun 1987. Beliau tidak hanya sebagai Kyai Pengajar di pesantren,
Pejuang Mujahidin dan Pejuang NU, dan
bahkan dan Pelopor berdirinya sekolah–sekolah Islam di Jember, diantaranya:
a. Mendirikan
SMI (Sekolah Menengah Islam) di tengah perang melawan penjajah tahun 1948.
Sekarang SMI menjadi
SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama)
Islam
Jember.
b. Bersama
KH Abdulloh Shiddiq, Profesor KH Shodiq Machmud SH dan Hartoyo tahun 1950
mendirikan SGAI (Sekolah
Guru Agama Islam) untuk mengkader calon guru agama, yang kemudian tahun 1959
dirobah menjadi
PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri).
Sekarang
PGAN tersebut berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri) II Jember.
c. Bersama
Profesor KH Shodiq Machmud SH, KH Muchid Muzadi, Mayor H Syari‟in tahun 1965
mendirikan STAID (Sekolah Tinggi Agama Islam
Djember). Kemudian tahun 1966 dirobah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN (Institut
Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Jember.
Sekarang
menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Jember.
d. Bersama
Profesor KH Shodiq Machmud SH dan KH Muchid Muzadi tahun 1966 merintis SP-AIN
(Sekolah Persiapan
Agama Islam Negeri) Jember. Sekarang berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah
Negeri) I Jember.
e. Bersama
H Muchson Sujono, Drs H Achyat dan Anwar Ridlwan tahun 1979 mendirikan SMAI
(Sekolah Menengah
Atas Islam)
f. Bersama
KH Ali Yasin, H Muchammad Soewardi, H Abdul Kadir jaelani, Ir Bambang Gonggo
Moertjitro,
Drs H Ulum
AA dll UIJ (Universitas Islam Jember) .
13 B. KH
ABDULLOH SHIDDIQ
1. REMAJA
YANG BERANI
Kyai
Abdulloh begitulah sering memanggilnya. Nama lengkapnya adalah KH Abdulloh bin
KH Muchammad Shiddiq
Jember. Beliau lahir di Jember 12 Jumadil Ula 1390 H/1922 M dari pasangan KH
Muchammad Shiddiq dengan Nyai
Hj Maryam. Beliau wafat tahun 1982 dan dimakamkan di Pemakaman Turbah Condro
Jember.
Kyai
Abdulloh menikah dengan Hj Malikhah binti KH Abdul Azis Malang dan dikaruniai
anak antara lain:
1. dr H
Muhammad Nasim Fauzi, Jember
2. Dra Hj
Maryam Halim, Surabaya
3. Dra Hj
Diana Cholida Muhammad, Surabaya
4. Hj
Habibah Fudloli, Surabaya
13 Tulisan ini mengutip dari buku
Thariqah Sang Kyai, Biografi KH Dzofir Salam, Afthon Ilman Huda, Alfattah – UIJ pres, 2005
5. KH Lutfillah, Balung Jember0
6. Ir H
Tanzil Furqon, Surabaya
7. Ir H
Ibrahim Ubaid, Surabaya
Remaja
Abdulloh menjadi yatim pada usia sekitar 12 tahun sejak ayahnya (KH Much
Shiddiq) wafat. Sehinggasejak kecil
sudah merasakan kesengsaraan hidup karena sulitnya perekonomian keluarga.
Beliau belajar ngaji di
Pesantren
Tebuireng Jombang yang diasuh KH Hasyim Asyari tetapi secara formal ngaji di
Madrasah Nidzomiah yang diasuh
KH Wachid Hasyim (Putra KH Hasyim). Dari Gus Wachid-lah Abdulloh banyak
mengenal kepemimpinan dan
pengorganisasian masyarakat termasuk NU.
Sepulang
dari ngaji tahun 1945, langsung beliau terlibat kelasykaran Sabilillah bersama
Kyai Dzofir, Kyai Halim
Shiddiq, Kyai Damanhuri dll. Kyai Abdulloh masuk Sabilillah karena pertimbangan
kedekatan hubungan kekerabatan
dengan Kyai Dzofir (kakak ipar) dan Kyai Halim (kakak kandung) dan keberanian
mental berkat gemblengan
Kyai Halim. Sejak kecil Abdulloh diasuh oleh kakaknya KH
Halim Shiddiq yang kepribadiannya Pemberani dan keras dalam pendirian.
Selain
pemberani, Kyai Abdulloh adalah seorang yang bersikap tenang, penyabar dan
teduh pemikirannya sehingga
dalam berbagai permasalahan keluarga seringkali semua putra-putrinya diajak
musyawarah.
Begitu pula
dalam menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, sering melibatkan banyak
tokoh kyai dan tokoh
masyarakat lainnya.14 Lingkungan hidup aktivis perjuangan
membentuk Kyai Abdulloh tampil menjadi
Aktivis
perjuangan dipartai dan perjuangan dengan memanggul senjata.
14 Wawancara dengan keluarga KH
Abdulloh Shiddiq: KH Lutfillah Lc (putra) dan Drs KH Nadzir Muhammad MA (keponakan),
13 Nopember 2006.
Kyai
Abdulloh aktif di Partai Masyumi bersama KH Halim Shiddiq, KH Shodiq Machmud,
KH Achmad Mursyid,
KH
Damanhuri dll dan bahkan beliau sebagai anggota DPRDS Jember yang pertama dari
hasil Penetapan Pemerintah
sejak tahun 1950 sampai tahun 1955. Dan berikutnya beliau tampil memimpin NU
Wilayah Jatim dalam
beberapa periode (hingga wafatnya tahun 1982) sehingga mengantarkan beliau
menjabat DPRD Jawa Timur dari
Partai NU dari hasil Pemilu 1971.
Dan karena
NU berada di PPP (Partai Persatuan Pembangunan) maka beliaupun menjabat sebagai
Ketua Wilayah PPP
Jawa Timur yang menghantarkan menjadi anggota DPRD Jawa Timur hasil Pemilu 1977
sampai wafat tahun
1982. Mestinya beliau diangkat sebagai DPRRI hasil Pemilu 1982 tetapi beliau
wafat sehingga
Pelantikan
sebagai DPRRI digantikan kader PPP lainnya.
2.AKSI JUANG PAK JIMUN
Pada bulan
September 1945 terjadilah peristiwa penyerahan Konsigniring/penampungan
logistik Jepang yang
terletak di Garahan kecamatan Silo Jember.
Konsigniring
ini adalah yang terbesar di Jawa Timur karena dipergunakan untuk mengcover
beberapa karesidenan.
Konsigniring tersebut menampung orang Jepang sebanyak 40.000 orang yang
dibentengi tembok tinggi
seluas puluhan hektar. Didalamnya berbagai peralatan senjata lengkap, amunisi
yang berlimpah, alat
teknik,
kendaraan, bahan makanan dan obat-obatan.
Suasana
kemerdekaan mendorong masarakat banyak datang kesana untuk meminta, mencuri dan
merampas bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok yang terdapat didalam
Konsigniring. Semula mereka sembunyi-sembunyi, lalu setelah masarakat yang berkumpul
jadi ribuan jumlahnya maka terang-terangan mereka merampas apa saja yang
terdapat di konsigniring tersebut.
Maklum, rakyat banyak menderita kelaparan saat itu, sehingga peristiwa
kemerdekaan menjadi motivasi
expresi rakyat yang bebas untuk merampas logistik Jepang. Fihak Jepang
membiarkan saja aksi perampasan
tersebut karena takut terhadap massa ribuan.
Walaupun
fihak Jepang diam membiarkan aksi perampasan tersebut tetapi para tokoh
masyarakat khawatir
karena mereka bersenjata lengkap yang sewaktu-waktu dapat menghabisi rakyat
yang mengepungnya.
Melihat situasi tersebut tampillah Kyai-kyai dari Sabilillah yaitu Kyai Dzofir,
KH Shodiq Machmud dan KH
Abdulloh Shiddiq bersama Mayor Soerodjo (Komandan BKR /Badan Keamanan Rakyat)
Resimen
Besuki di
Jember, Sulthon Fadjar/Komandan Hizbullah dan beberapa tokoh pejuang lainnya
mendatangi Pimpinan Konsigniring
untuk berunding tentang penyerahan kepada fihak Republik Indonesia. Mereka
datang ke Konsigniring diikuti
oleh ribuan massa yang mengepung.
Ketika Belanda masuk dan menduduki Jember tahun 1947, Kyai Abdulloh yang berdomisili di Balung melakukan kontak komunikasi dengan sahabat-sahabatnya di antaranya KH Mudzhar Glundengan Wuluhan, Pak Supiah Curahlele Balung, Pak Sutoyo, dll.
Mereka rembugan tentang sikap
dan langkah apa yang harus dilakukan terhadap pendudukan Belanda tesebut.
Tak lama
kemudian datanglah Kyai Dzofir, KH Soleh Kaliwining dan Kyai Amiruddin.
Sehingga semakin banyaklah
tokoh yang terlibat diskusi tersebut. Kemudian pada suasana Lebaran Senin Wage
7 Syawal/25 Agustus
1947,
mereka bersepakat proklamirkan Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat/PPPR yang berpusat di rumah Pak Supiah,
Curahlele Balung.
Mereka
menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak
mudah diketahui
oleh musuh kecuali kawan sendiri. Pak Jimun adalah nama gembong penjahat yang
terkenal saat itu, sehingga
terkesan KH Abdulloh adalah orang yang ditakuti lawan. Setelah mengatur pos-pos
perjuangan, barulah mengumumkan
Edaran Panggilan Perjuangan sehingga berduyun-duyunlah
sukarelawan mendaftarkan diri pada PPPR.
Kuatnya jaringan PPPR dimasyarakat karena didukung mayoritas kyai Jember yang
memiliki jaringan kuat
dimasyarakat. PPPR mendapatkan simpati rakyat sehingga bantuan logistik, tempat
perlindungan dan sarana
perjuangan mudah didapatkan dari bantuan rakyat.
Perkembangan
berikutnya PPPR membentuk organisasi khusus kelasykaran sebagaimana TKR
(Tentara Keamanan
Rakyat) yang dipimpin Major Surodjo Komandan BKR Karesidenan Besuki dan
kemudian digantikan
Letkol Prajudi Atmosoedirdjo sebagai Komandan Resimen I TNI Teritorial Daerah
Besuki. Maka
disepakati
Pak Jimun sebagai Komandan Batalyon Elang Emas dan KH Shodiq Machmud sebagai
Kepala Staf yang memimpin
kompi-kompi yaitu: Kyai Amiruddin, Bachtiar, Sutoyo dan Sholeh Hasan. KH
Mudzhar sebagai bagianpersenjataan. Masing-masing Kompi memimpin regu yang pada
masing-masing regu beranggotakan 5 orang.
Pertempuran
melawan Belanda terjadi di Gumelar, Balung Lor, Panti, Bangsalsari, dll. Saat
pertempuran di Sukorambi
Pasukan ini berhasil memporak-porandakan tentara Cakra sehingga dapat rampasan
peluru dan senjata
banyak.
Pada
tanggal 14 Oktober 1947 diadakan musyawarah yang diikuti antar Resimen III
Hizbullah dan Batalyon
Elang Mas sebagai bagian keamanan PPPR yang keputusannya adalah:
1. PPPR
konsentrasi pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir.
2. Tentara
Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar
bergabung menjadi 1 resimen
dengan nama Resimen
Mujahidin yang
meliputi daerah se karesidenan Besuki dan dipusatkan di Jember.
Komandan Resimen adalah Sulton
Fadjar Njoto dan H Sjech sebagai Kepala Staf Hizbullah.
3. Resimen
Mujahidin memimpin 3 Batalyon, yaitu:
a. Batalyon I Elang Emas
untuk juang Jember dengan Komandannya Kyai Abdullah Shiddiq dan Kyai Shodiq Mahmud
sebagai kepala staf.
b.Batalyon
II untuk wilayah juang Bondowoso dan Situbondo dengan Komandan Niman Setyo
Atmodjo
c. Batalyon
III untuk wilayah juang Lumajang dengan Komandan M. Syarif
d.Batalyon
IV untuk wilayah Banyuwangi yang dipimpin Najmuddin.
4.
Mengesahkan 5 Kompi dari Batalyon I Elang Emas,
yaitu:
a. Kompi I
Ababil dipimpin Asjhadi yang bermarkas di Ambulu
b. Kompi II Macan Putih
dipimpin oleh Bachtiar yang bermarkas di Curahlele
c. Kompi
III Thoriq bin Ziad dipimpin Mujtahid yang bermarkas di Kencong
d. Kompi IV
Kholid bin Walid dipimpin oleh Kyai Amiruddin dan Wakilnya adalah Kyai Achmad
Mursid
yang
bermarkas di Pesantren KH Arif – sekarang diasuh Kyai Muzakka -- Compakaan
Sukorambi
e. Kompi V
Umar bin Khattab dipimpin oleh Muslich yang bermarkas di Mumbulsari
5.
Menetapkan kompi-kompi yang sudah ada di semua Batalyon
Bersatunya tokoh-tokoh
pejuang dalam satu bendera Mujahidin merupakan kekuatan yang solid sekali.
Mujahidin
seolah-olah merupakan sayap militer PPPR sehingga nama PPR dan Mujahidin
diterima rakyat
di mana-mana.
PPPR selalu menginstruksikan pada setiap pos penjagaan agar membantu pejuang
Republik dari
segala
aliran.
Bahkan PPPR
meluaskan areal perjuangannya di Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. PPPR
Banyuwangi
dipimpin oleh KH. Abdul Latief dan KH. Harun sedangkan PPPR Bondowoso dan
Situbondo dipimpin KH.
Ghozali
Wonosari, Bondowoso. Bahkan saat hijrah pejuang ke Tulungagung pada tahun 1948
KH Achmad Shiddiq
sebagai Koordinator PPPR di Tulungagung.
Untuk
mengobarkan perjuangan melawan Belanda maka pada tanggal 30 Desember 1947, PPPR
bersama
Hizbullah,
TNI pimpinan Letkol Prajudi dan lasykar lainnya seperti KH Bakir mengeluarkan
komando Serangan
Umum yang
dilakukan serentak dan tiba-tiba ke kota Jember, Ambulu, Rambipuji dan Kencong.
Hari itu mulai jam 10
pagi,
ribuan rakyat dan para pejuang termasuk para Kyai
Sepulang ngaji di Tebuireng
Jombang, Kyai Shodiq terlibat aktiv dalam perjuangan melawan Belanda di
Pusat Pimpinan
Perjuangan Rakyat/PPPR
Mereka
menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak
mudah
diketahui
oleh musuh kecuali kawan sendiri. Pak Isjampir adalah nama gembong penjahat
yang terkenal saat itu,
sehingga
terkesan KH Shodiq adalah orang yang ditakuti lawan.
PPPR tampil
kuat dan ditakuti Belanda bahkan frustasi melihat pejuang PPPR selalu lolos
dari serangannya,
sehingga Belanda menyerang membabi-buta kepada masyarakat sipil yang tidak
terlibat perang.
Untuk itu
pada pertengahan bulan Oktober 1947, rapat PPPR di Wuluhan memutuskan pemakaian
seragam
yang terdiri baju dan celana berwarna hitam sebagai identitas PPR. Tujuannya adalah menunjukkan pada
Belanda bahwa
Pejuang PPPR beridentitas seragam serba hitam dan menghentikan sikap ngawurnya.
Action PPPR
adalah melakukan penghadangan, taktik gerilya dan pertempuran terbuka terhadap
Belanda.
Moment
pertempuran terjadi di Balung, Mumbulsari, Jenggawah, Panti, Bangsalsari dan
hampir merata disemua
daerah di Jember. Siasat perang banyak dimusyawarahkan pada malam hari
dipos-pos saat
istirahat.
3. PAK
ISJAMPIR, GURU YANG ISTIQOMAH
Sesudah
perang tahun 1949, Pak Isjampir mengisi kegiatan social pendidikan di PUSRON
(Pusat Rawatan Rohani) di
Kodim Jember. Rupanya semangat mengembara mencari ilmu masih belum tuntas
sehingga sambil
kerja di Pusron, Kyai Shodiq kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tawang Alun
(sekarang Universitas Negeri
Jember). Pada saat lain Kyai Shodiq mengabdi sebagai Guru di SMI (Sekolah
Menengah Islam) yang didirikannya
bersama Kyai Dzofir pada tahun 1948.
Kemudian
pengabdiannya sebagai guru dan merintis beberapa sekolah Islam di Jember antara
lain:
1. Bersama
KH Dzofir, KH Abdulloh Shiddiq dan Hartoyo tahun 1950 mendirikan SGAI (Sekolah
Guru Agama Islam)
untuk mengkader calon guru agama, yang kemudian tahun 1959 dirobah menjadi PGAN (Pendidikan
Guru Agama Negeri). Sekarang PGAN tersebut berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah
Negeri)
II Jember.
2. Bersama
KH Dzofir, KH Muchid Muzadi, Mayor H Syari‟in tahun 1965 mendirikan STAID
(Sekolah Tinggi Agama Islam
Djember). Kemudian tahun 1966 dirobah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN (Institut
Agama Islam Negeri)
Sunan Ampel Jember dan Kyai Shodiq menjadi Dekan pertama. Sekarang menjadi
STAIN (Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri) Jember.
4. Bersama
KH Dzofir dan KH Muchid Muzadi tahun 1966 merintis SP-AIN (Sekolah Persiapan
Agama Islam Negeri)
Jember. Sekarang berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri) I Jember.
Kyai Shodiq
mengajar Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP/Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Jember
yang berinduk ke
IKIP Negeri Malang (kemudian berobah menjadi FKIP UNEJ). Pada tahun 1970,
beliau menjadi Dosen di
fakultas Hukum di Universitas Jember (UNEJ) dan bahkan menjadi Dekan Fakultas
Hukum. Selain sebagai
Dosen di UNEJ juga mengajar di UIJ (Universitas Islam Jember) dan UNISMA
(Universitas Islam Jember)
sampai
wafatnya. Kyai Shodiq mengembangkan Masjid dan Pesantren Al Jauhar yang
lokasinya terletak di Jl Nias komplek Kampus Mahasiswa Tegal Boto Jember yang tetap
exis hingga sekarang.16
Selain itu
Kyai Shodiq yang energik ini pernah meniti karir sebagai Kepala KUA (Kepala
Urusan Agama)
Departemen
Agama di Ambulu dan Rambipuji. Bersamaan dengan karir mengajarnya sebagai Dosen
di FIP .
4. KARIR POLITIK
Awal karir
Politik sebagai Ketua GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) di kabupaten Jember
yaitu
onderbouw
pemuda dari Partai Masyumi. Dari Ketua GPII inilah Kyai Shodiq diangkat sebagai
anggota DPRDS (Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara) periode tahun 1950 sampai tahun 1955 mewakili GPII
(Gerakan Pemuda Islam
Indonesia). Pengesahan DPRDS Jember dilakukan tanggal 21 Oktober 1950.
Pengesahan DPRDS tersebut melalui
proses pengangkatan (bukan melalui Pemilu) karena antara tahun 1947 sampai
tahun 1949 Kabupaten Jember
(termasuk kabupaten lain se Indonesia) diduduki Belanda yang ingin menjajah
lagi.
Pengangkatan
sebagai anggota DPRDS sebagai lembaga Legislatif saat itu bersamaan dengan
pengangkatan
DPDS (Dewan Pimpinan Daerah Sementara) sebagai lembaga Eksekutif. Anggota DPDS
saat itu
adalah R. Soekarto (Kepala Daerah dan Ketua DPDS), KH Abdulloh Shiddiq
(Masjumi/Wakil Ketua),
Ustadz
Mas‟ud Muhammad (Masjumi/anggota), Abdul Arief Wignjosumarto (NU/anggota), KH
Shodiq Machmud (GPII/anggota),
A.D. Wirjoatmodjo (PGRI/anggota).
16 Masjid didirikan oleh Ustadz Abdul
Hadi Basultanan
Karir
politiknya tidak diteruskan karena lebih memilih karier sebagai Pegawai
Negeri baik di DEPAG dan Dosen. Pengabdian terhadap NU tetap
tak pernah lekang
oleh situasi politik walaupun jabatannya di NU selalu di A‟wan. Dan sejak tahun
1990 beliau dipilh
sebagai
Rois Syuriah NU Jember sampai 2 periode hingga wafatnya.17
D. KH. DJAUHARI
KH Jauhari
lahir di padukuhan Waru desa Sidorejo, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang Jawa
Tengah,
tahun 1911
dari pasangan KH Zawawi dengan Nyai Ummah binti Nur Khotib. Sedan adalah desa
yang relatif
tandus
tetapi kental dengan budaya religius islami yang fanatik dan fundamental.
Djauhari
kecil agak bandel tetapi semangat belajarnya tekun dan giat sehingga berusia 11
tahun
sudah dapat
menghafal Kitab Alfiyah selama 3 bulan.18
Berikutnya,
Jauhari ngaji pada KH Kholil Kasingan Rembang, KH Abd Syukur Jatirogo Rembang,
KH Achmad
17 Wawancara dengan Drs KH Sahilun A.
Nasir MPDi (menantu KH Shodiq)
18 Kitab Nadzom Alfiah adalah kitab
tentang Alat untuk memahami Kitab Kuning yang disusun dalam bentuk syiir
berisi 1000
bait sehingga banyak dihafalkan. Umumnya hafalan Alfiah dilakukan oleh santri
klas Tsanawi sekitar
umur 16 tahun.
KH Shodiq
Mahmud (kiri) pada kampanye Masyumi
n KH
Imam Sarang Rembang, KH Dimyati Termas Pacitan, KH Hasyim Asy‟ari Jombang,
Syeikh Umar Hamdan
dan Syech Amin Kutby Makkah,
KH.
Djauhari menikah beberapa kali di antaranya dengan Nyai Maknunah binti Kyai
Masykur Sarang yang dikarunia
2 anak (tetapi wafat kecil), Nyai Solikhah binti KH Chasbullah Mlaten
Probolinggo, Nyai Zuhriah dan Nyai
Hj
Sa‟adah binti H Sholeh dari Gumukmas Jember.
Beberapa
kali Kyai Jauhari menikah tetapi tidak dikaruniai anak. Menikah dengan Nyai Hj
Sa‟adah menurunkan 4 orang
putra yaitu H. Achmad Fahim, KH Achmad Sadid, H Roshiful Aqli dan H Achmad
Ghonim.
Sebelum
merintis dan mengasuh Pesantren As Sunniah Kencong tahun 1940, Kyai Jauhari
membantu
pengajaran
santri mertuanya (Kyai Masykur Sarang) dan bersama Kyai Nawawi merintis
Madrasah yang terletak sebelah
utara Pasar Probolinggo.
a.
Perjuangan Melawan Penjajah
Di
Kencong pada tahun 1942 (masa Penjajahan Jepang) Pemerintah mewajibkan zakat
rakyat disetorkan
kepada
Pemerintah Jepang untuk kepentingan Perang yang disebutnya Jihad. Bahkan Hasil
bumi dan industri pakaian-pun
dirampas Pemerintah sehingga menambah kesengsaraan rakyat.
KH
Djauhari dalam suatu Pengajian NU (Nahdlatul Ulama) di Masjid Jami‟ Kencong
dengan berani menyatakan
bahwa zakat untuk jepang tidak syah.
Akibatnya
Kempetai menahan Kyai Jauhari di Sel Polisi yang terletak di utara Masjid Jami‟
Kencong. Ketika Subuh minta
ijin sholat dimasjid dan setelah sholat shubuh Kyai jauhari lari menelusuri
tangkis sungai kencong menuju Tanggul.
Di Sukoreno istirahat makan dirumah Pak Kiyak (Juru Khitan). Setelah makan ia
jalan terus menggunakan Topi Capil dikepala sampai stasiun Tanggul lalu numpang
Kereta
Api ke Rembang. Sesampainya di Rembang Kyai mengirim surat yang memberitahukan
keadaannya di
Rembang.
Larinya
Kyai Djauhari dari Sel membuat gusar Pemerintah sehingga rumah Kyai dan
Pesantrennya
digerosok
terus. Keluarga dan santri resah sehingga banyak yang pamit pulang dan hanya
Abdul Salam (Santri
asal
Gumukmas) dan Abdur Rochman (santri asal Malang) yang masih tinggal di
Pesantren. Nyai Zuhriyah (istri kyai)
dan
Kyai Athoillah (adik kyai) ditahan.
Kyai
Jauhari melanjutkan perjalanan k Tebuireng Jombang, sowan Hadloratush Syeich
KH. Hasyim Asy‟ari dan
menyampaikan keluahannya. Gurunya itu menganjurkan Kyai Jauhari sowan ke KH.
Wahid Hasyim
di
Surabaya. Saat itu KH Wachid Hasyim menjabat sebagai SUMUBHU (Kepala Urusan
Agama Pusat yang
dibentuk
Pemerintah Jepang) sehingga banyak berhubungan dengan Pemerintah Jepang.
Kyai
Wachid menyarankan “menyerah” dan menghadap Residen Besuki di Bondowoso. Di
Bondowoso,
Kyai Jauhari diadili tetapi Hakimnya seorang Pribumi sehingga memutuskan
Pembebasan dari segala
tuntutan.
Kyai kembali ke Kencong dengan percaya diri, bahkan disegani oleh Pemerintah
Jepang.
Saat
para kyai Jember mendirikan PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat ) yang
dipimpin Pak Nur
alias
Kyai Dzofir, KH. Djauhari bergabung dan berperan sebagai
Pemberi Informasi Gerak-gerik Belanda.
Di
suatu bulan Ramadlan KH Djauhari menerima informasi bahwa Belanda sudah di
Lumajang. Kemudian
Kyai
menugaskan 15 santrinya untuk ngecek naik Kereta Api ke Lumajang. .19 Sesampainya di tengah sawah
di Karangbendo kereta dihentikan Serdadu Belanda.
Semua
penumpang disuruh turun. Tangan, pundak dan punggung penumpang diraba dan yang
kulitnya halus
langsung ditangkap dan ditahan (termasuk 15 orang santri) karena dicurigai
sebagai Pejuang. Mereka digiring ke Markas
Polisi Lumajang untuk diinterogasi dan biasanya disiksa. Sesampainya di Tukum
hari mulai malam
sehingga memudahkan bagi sebagian Tahanan melarikan diri.
Ke 15 orang
santri (diantaranya KH Nashuha Hilal dari Kencong) adalah yang melarikan diri
dengan bercerai
berai
mencari selamat sendiri – sendiri, di tengah sawah ia ditolong oleh petani.
Sesampainya ke pesantren,
matahari
sudah menjulang tinggi. 15 orang santri yang datang dari jalur masing – masing
melaporkan apa yang
terjadi
kepada KH Djauhari, yang saat itu beliau sudah siap mengungsi dari Kencong.
Bahkan Kyai memerintah-
kan para
santri keluar dari pesantren bergabung dengan para pejuang.
Ternyata
seorang santri (Ichsan) tidak sempat melarikan diri sehingga ia digiring ke
Tangsi Belanda
Lumajang
untuk diinterogasi dan disiksa. Sore hari barulah Ihsan datang dalam keadaan
babak-belur karena disiksa
Belanda.
Suatu saat
KH Abdul Hayyi, Ketua NU Cabang Kencong sedang jalan malam di Kencong. Kok aneh
ada warung
malam hari dengan lampu menyala. Disuruh salah satu anak buahnya (Jamil
namanya) mengamati warung malam itu.
Jamil mendekati warung dan tiba-tiba sudah ditodong senjata Belanda yang ada
didalam warung. Jamil
dan
beberapa orang Pejuang yang tertangkap saat itu
19 Diantara 15 orang tsb termasuk KH
Nasuha Hilal digelandang ke Sel Tahanan
dan dibebaskan tanggal 8
Agustus
1947.
Agresi
Belanda II menjadikan pemerintahan Kecamatan Kencong llumpuh sehingga para
pejuang,
tokoh
pemerintah dan tokoh masyarakat Kencong membentuk Pemerintahan Darurat yang
berpusat di suatu
rumah
tempat perlindungan yang terletak di selatan Masjid Kedunglangkap. Sehingga
dalam suasana gerilya,
Pemerintahan
berjalan walaupun tidak maksimal.
Belanda
sangat benci pada Hizbullah Gagak Hitam dan Sabilillah yang kebanyakan dari
suku Madura.
Semangat
juangnya tinggi walaupun tidak di gaji.
Seringkali
Gagak Hitam terlibat pertempuran dengan CAKRA (tentara bayaran belanda yang
juga banyak dari
suku
Madura.
Abdus
Salam, salah satu santri yang menjadi Komandan Regu Mujahidin di Gumukmas
menceritakan
pengalamannya
dalam gerilya: “
karena
tidak memiliki persenjataan lengkap, maka di antara cara perang
Mujahidin
adalah, bila sewaktu sewaktu belanda berjaga malam hari di stasiun Kencong.
Kemudian salah satu
pejuang
menyalakan senjata dari selatan dan ternyata Belanda yang jaga tersebut keder
dan lari keutara.
Pejuang
yang bersembunyi diutara menembaki Balanda tersebut.
Hari itu
Rebo Wage dibulan Sofar tahun 1946.
Tentara
Kompeni Kencong jengkel terhadap perang gerilya para pejuang lalu bergerak
merangsek terus ke
selatan
Kencong. Mereka menembaki siapa saja yang dijumpainya sehingga banyak rakyat
sipil yang kena
korban
tembak. Mereka juga membumi hanguskan Pasar di desa Cakru.
KH.
Djauhari dikejar Belanda karena seringkali Kyai mengisi pengajian yang isinya
nasehat untuk semang
Selama di
Menampu KH. Djauhari masih kontak dengan Pak Nur untuk membicarakan tentang
situasi
perjuangan
PPPR dan banyak Pejuang yang diisi atau digembleng amalan. Setelah Belanda tahu
bahwa Kyai
tinggal di
Menampu maka mereka akan menangkapnya tetapi mereka tidak dapat menangkapnya.
Kemudian H.
Hasan
Mustofa (anak H. Muhtar) mengajak Kyai Jauhari pindah ke Puger.
Kegiatan
da‟wah KH. Djauhari di Menampu ini sudah tertata tertib dan tampaknya kyai
betah. 7 bulan lamanya
Kyai dfi
Menampu, kemudian KH Abd Hayyi, H. Nawawi dan Nyai Ummi Kultsum (mertua kyai)
mengajak Kyai
Jauhari
kembali ke Kencong untuk menata kembali Pesantren Assuniah dan NU cabang
Kencong.
KH. Djauhari
dalam mendidik anak dan santrinya tidak hanya dengan nasihat ucapan saja tetapi
perilaku
sehari-harinya
dapat menjadi contoh teladan. Keteguhan sikap, istiqomah dalam beribadah dan
mengajar, hidup
sederhana
serta sering riyadloh adalah teladan akhlaq kehidupan Kyai Jauhari sampai
wafatnya pada hari Rabu
kliwon
tanggal 11 Shofar 1415/20 Juli 1994.20
E. KYAI
DAWUD
Tak ada
yang mengetahui kapan Kyai Dawud lahir tetapi beliau menceritakan kelahiran
desa Peterongan
Jombang. Beliau tinggal di Plalangan desa Sukamakmur kecamatan Ajung sampai
wafat tahun 1982 dalam
usia
sekitar 80 tahun dan dimakamkan di sebelah rumahnya.
Pendidikan
mondok ke Pesantren tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy‟ari Jombang dan Balung
Gading
20 Wawancara dengan KH Sadid Jauhari
(putra KH Jauhari)
Setelah
dirasa lama ngaji kemudian beliau pindah ke salah satu Pesantren di Gumelar
Jember. Di Gumelar beliau membantu
pengajaran
santri.
Beristri 2
kali yaitu: dengan Sapurah (almarhum) dikaruniai 2 anak
yaitu: Hj Solihah dan Abd Hamid
(almarhum),
dan kedua kawin dengan Shofiah
binti H Abd Mannan, usia 65 tahun dikaruniai anak sebagai berikut:
1. Muzayyin
Sidodadi Ambulu;
2. Mahfudz;
3. Choiriah;
4.
Choitijah (almarhum);
5. H Ichsan
Rambi;
6.
Maisaroh;
7. Zaini;
8.
Munawaroh;
9. Nurhuda;
10.
Asy‟ari.
Kedua
istrinya dikawin sebelum Perang (sekitar tahun 1947)
Ketika
perang beliau bergabung dengan para Kyai di Sabilillah pada tahun 1945 dan PPPR
(Pimpinan Persatuan
Perjuangan
Rakyat) pada tahun 1947 yang dipimpin Kyai Dzofir. Karena domisili beliau di
Plalangan maka wilayah
juangnya di
sekitar Jenggawah, Ajung dan Ambulu. Anak buahnya berjumlah sekitar 100 orang
antara lain Pak
Dahrawi,
Supangat, Kyai Jupri Renteng, dll.
Pertempuran
melawan Belanda yang dialami antara lain di Jenggawah, , Batokan Ambulu dll.
Pernah ditahan di Ambulu
setelah pertempuran di Ambulu tahun 1947.
Sering
dijenguk keluarga dan anak buahnya. Karena kawatir terjadi penyiksaan.. Bahkan
suatui hari beliau bersama
Dahrawi
mengambil senjata Belanda yang ada di markas Jenggawah tanpa musuh tahu.
Mungkin ini kekuatan Hizb
Songai
Rajeh yang diamalkan beliau.21
F. KYAI
AMIRUDIN
Kyai
Amirudin bin Samlawi lahir di Desa Baru Kabupaten Pamekasan tetapi tidak
diketahui dimana dan
kapan.
Beliau menikah dua kali yaitu dgn Siti Khusnul Chotimah dikaruniai anak yaitu:
Maimunah, Fatchiah, Ida.
Beliau
belajar di Pesantren Talangsari yang diasuh oleh KH Dzofir Salam. Tidak ada
keterangan berapa lama
nyantri dan
menamatkan berlajarnya di Talangsari, kemudian beliau dianjurkan oleh gurunya
merintis
pesantren
di rumahnya yang terletak di jalan Gajahmada muka masjid Alhuda Jember. Semula
hanya musholla kecil lalu
membangun 2 pondokan/kamar untuk beberapa santri.
Melihat
santrinya sudah membangun musholla dan pondokan/kamar santri lalu Kyai Dzofir
mengirimkan
Yusuf
(salah seorang santri seniornya) untuk membantu pengajaran disana. Kemudian
Yusuf dijodohkan dengan
Rodliyah
(adik iparnya).
Selalu
beliau diajak gurunya itu dalam berda‟wah di Nahdlatul Ulama yang akhirnya
dipilih sebagai Ketua
Cabang pada
tahun 1944 sampai tahun 1947. Termasuk diajak dalam Syirkah Muawanah yang
berkantor dimuka
pasar
(sekarang Pasar Tanjung Jl Trunojoyo).
Profesi
beliau beternak kuda dan berdagang. Saat di Syirkah, beliau bersama KH Dzofir
mengirim Kuda kuda ke
cepu dan
mengkulak minyak tanah dari Cepu serta mengkulak kain dari Solo. Cukup sukses
ternak dan dagangnya, bahkan dapat membeli sebidang tanah yang
lalu
diwaqafkan pada NU 22.
21 Wawancara dengan Keluarga Kyai
Dawud yaitu: Mariah (adik, usia 78 tahun) dan anak buahnya Pak Dahrawi
(usia 86
tahun) Jenggawah pada 16 Oktober 2006
Begitu pula
saat berjuang melawan Belanda sejak tahun 1947 melalui PPPR/Mujahidin yang
dipimpin Kyai Dzofir.23
22 Sekarang tanah waqaf NU tsb
ditempati Universitas Islam Jember
23 Hasil
wawancara dengan bu Hj Latifah Ali (adik ipar almarhum Kyai Amirudin) dan Hj
Ida Latif (anak keempat
almarhum
Kyai Amirudin tanggal 12 Nopember 2006.
BAB V
PROFIL
PEJUANG DARI PEJABAT PEMERINTAH
MUJAHID
Pak Mujahid
lahir di Jombang tahun 1916. Tempat tinggal di Jl KH Wachid Hasyim Jember.
Beliau wafat 18
Juli 1993
dan dimakamkan di TPU Kebonsari. Pak Mujahir menikahi Suyati dan dikaruniai
anak sbb: Tantowi Jauhari
Denpasar,
Ach Taufiq (almarhum), Siti Zubaidah Jember, Siti Muslikhah Jember dan Moch
Syaifuddin Jember.
Pendidikannya
lulus Sekolah Rakyat (SR) Jombang sebelum 1945 lalu mondok di Ciamis. Kemudian
ngaji ke
Solo.
Ngajinya selalu keliling dari satu kyai ke kyai lainnya.
Pada setiap
acara lomba Khitobah/pidato dipesantren selalu juara.
Setelah
merasa cukup ngaji keliling lalu diajak Mbah Sukardi (kakeknya) ke Tanjungrejo
Wuluhan Jember dan
tinggal
lama. Di Wuluhan Pak Mujahid mengajar di suatu Madrasah.
Karena
pidatonya memikat maka bersama Abdul Wachid (sahabat karib nya yang
kemudian
menjadi besannya) diangkat sebagai Juru Penerang merintis Muhammadiah di
Wuluhan.
Pak Mujahid
aktiv di Partai Masjumi dan aktivitas politiknya berakhir setelah selesai
menjabat
Ketua
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) Cabang Jember saat Pengurus Pusat dipimpin
H Jarnawi Hadikusumo. Beliau
tidak aktiv
lagi saat Parmusi dipimpin oleh DR HJ Naro SH
karena
menurutnya kepemimpinan Naro merebut Parmusi tidak secara konstitusional.
Pak Mujahid
bersama istri
Saat
perjuangan melawan Belanda lebih banyak berposisi sebagai Juru Runding daripada
sebagai Lasykar.
Banyak
tawanan Belanda dapat dibebaskan Pak Mujahid, hasil kerja diplomatisnya.
Saat Agresi
I tahun 1947, Pak Mujahid ditahan di Ambulu. Dan ketika Hijrah, beliau ikut
hijrah ke Madiun
karena
ibunya tinggal di Madiun. Di Madiun mengajar ngaji anak-anak. Pak Mujahid yang
berpenampilan rapi ini terkenal
sebagai seorang Muballigh dan Khotib dari Muhammadiah.
BAB VI
PROFIL
PEJUANG HIZBULLAH
A. SULTHAN
FADJAR NJATA
1. Komandan
Hizbullah Besuki
Sulthan
Fadjar Njoto yang akrab dipanggil Pak Sulthan lahir di Jember 16 Juli 1920
keseharian beliau tinggal di Jl Trunojoyo
muka GOR Bulu Tangkis Jalan HOS Cokroaminoto Jember dan wafat hari 8 April 2006 dimakamkan
di Pemakaman Umum Talangsari.
Pak Sulthan mempunyai anak sebagai berikut:
Bagus Qomaruzzaman, Indah
Qurrotul „Aini, Ana Nurlaila, Budiwati Uswatun Hasanah dan
Moch. Elang
Ulul Azmi.
Pak Sulthan
ngaji di Tebuireng dan bersekolah di Madrasah Nidzomiah yang diasuh oleh KH
Wachid Hasyim. Banyak
kawan
ngajinya yang kemudian tampil sebagai tokoh di antaranya KH Achmad Shiddiq, KH
Muchid
Muzadi, KH Shodiq Mahmud SH dll.
Pak Brahim,
nama samaran beliau dalam perjuangan adalah Komandan Resimen Hizbullah di
Wilayah Jawa
Timur
bagian Timur yang berpusat di Jember. Awalnya pada tanggal 1 September 1945
para alumni Diklat
Kaderisasi
Militer Hizbullah di Cibarusa Bogor yang tinggal di Jember membentuk Dewan Pertahanan Pemuda Islam
Daerah
Besuki bermarkas di gedung bekas tangsi tentara Jepang dan Heiho di kecamatan Kaliwates Jember
(sekarang
markas Brigif). Tujuan pembentukan Dewan ini adalah untuk menjaga keamanan dan
bela negara di Jember.
Diklat
Militer Hizbullah di Cibarusa Bogor berlangsung sejak Maret - Mei 1945 diadakan
oleh Dai Nippon bersama Masyumi. Diklat ini diikuti 500 orang pemuda Islam
Masyumi dari Jawa dan Madura. Dari Jember adalah: Sulthan, Buchori Achmad, Moch
Ro‟I, Moch Irfan, Abdul Hamid, H Ali, Ach Anang, Muslich, Abd Syarif, Abd
Rosyid, Sa‟adi, Mujtahid, dan Moch Ro‟is.
Selama
Diklat, kebutuhan konsumsi dibantu masyarakat sekitar dan pembuatan asrama
latihan serta Pelatihan diatur Yanagawa (Perwira Jepang) dan beberapa Sudantjo PETA
(Pembela Tanah Air) sebagai Pelatih. Bimbingan rohani diisi oleh beberapa Kyai
sehingga saat Seikere (menghormat Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan
Dewa Matahari dengan membungkukkan badan menghadap ke Timur) justru menghadap
ke barat (maksudnya menghadap Kiblat) sambil membaca Rodlitubillahi Robba, Wabil
Islamidina, Wabi Muhammadin Nabiyya Wa Rosula / Kami menerima Alloh sebagai Tuhan,
Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai
Nabi dan
RosulNya. Walaupun
secara rahasia tetapi semangat anti Jepang ditanamkan oleh para Pelatih Sudantjo
Peta
Tak lama
dari pembentukan Dewan tersebut, beliau menerima instruksi dari KH Wachid
Hasyim (Pimpinan
Pusat
Masyumi dan Hizbullah yang menjabat sebagai Menteri) tentang “pembentukan
Divisi Hizbullah disetiap
daerah dan
bekerja sama dengan BKR (Badan Keamana Rakyat)”. Spontan Dewan berobah menjadi
Divisi
Hizbullah
Karesidenan Besuki yang dipimpin beliau. Kemudian dibentuklah resimen dan
batalyon di Jember,
Bondowoso
dan Banyuwangi. Maklumlah saat itu belum tertib tentang pengorganisasaian
Hizbullah sebagaimana
TNI
(Tentara Nasional Indonesia).
Kegiatannya
antara lain:
1. Bersama
Badan Keamanan Rakyat (dipimpin Major Surodjo), Pusat Pimpinan Perjuangan
Rakyat disingkat
1. Karesidenan Surabaya
dibentuk Divisi Sunan Ampel yang dipimpin oleh KH Wahib bin KH Wahab Chasbullah
2.
Karesidenan Malang dibentuk Divisi Sunan Giri dipimpin H Saidu
3.
Karesidenan Kediri dibentuk Resimen dipimpin H Machfoedz dan HA Faqih
4.
Karesidenan Besuki dibentuk Resimen dipimpin Sulthan Fadjar Njata
5.
Karesidenan Bojonegoro dibentuk Resimen dipimpin Sofwan Hadi
6.
Karesidenan Madiun dibentuk Resimen dipimpin Kun Sarwani
Tanggal 28 April
1947 diadakan Konferensi Bersama antara Divisi Malang dengan Resimen
Besuki yang
ditempatkan di Jember. Konferensi tersebut dihadiri oleh masing-masing komandan
Divisi, Resimen,
Batalyon
dan Kompi. Keputusannya adalah kedua Divisi tersebut dilebur menjadi Divisi
yang berkedudukan di
Malang dan
Di Jember menjadi Resimen III yang dipimpin Sulthan Fadjar Njata. Markas
Resimen III di gedung milik
Berni
(sekarang Markas Brigif Jember) memimpin 3 Batalyon yang masing-masing:
Batalyon I di Jember
dipimpin Buchori Achmad dengan
Kompi-kompi di Jember, Ambulu,
Kencong dan Tanggul; Batalyon II di Bondowoso
dipimpin Niman Setyo Atmodjo dengan
kompi-kompi di Bondowoso,
Prajekan, Besuki dan Situbondo;
Kawan
seperjuangan di Hizbullah, tampak depan kiri Sulthan, kanan
KH Shodiq
Mahmud dan belakang kedua kiri KH Achmad Mursiddan Batalyon
III di Banyuwangi yang dipimpin Najamuddin dengan kompi-kompi di Banyuwangi, Rogojampi dan
Srono.
Tanggal 7
Maret 1947 muncul Dekrit Presiden tentang Peleburan semua laykar perjuangan
kedalam TNI
(Tentara
Nasional Indonesia). Untuk hal tersebut pada September 1947, Sulthan dan
beberapa orang stafnya
berjalan
kaki menuju Kediri untuk menemui KH Zainul Arifin sebagai Komandan Tertinggi
Hizbullah. Atas saran
beliau lalu
Sulthan menemui Kolonel Zainal Alimin (Komandan Brigade 13 Divisi VII TNI) di
Sumber Pucung
Malang dan
menghadap Dr Murdjani (Gubernur Jawa Timur). Dari saran tersebut menjelmalah
Resimen
Hizbullah
ke dalam Resimen TNI di bawah Brigade 13 Divisi VII dipimpin Sulthan.
Pada
tanggal 14 Oktober 1947 diadakan musyawarah yang diikuti antar Laskar PPPR,
Resimen III
Hizbullah,
Batalyon Elang Mas dan Lasykar-lasykar lainnya di Jember, yang keputusannya
adalah:
1. PPPR
konsentrasi pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir.
2. Tentara
Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar
bergabung menjadi 1
resimen
dengan nama Resimen
Mujahidin yang
meliputi daerah sekaresidenan Besuki dan dipusatkan di Jember.
Komandan
Resimen adalah Sulton
Fadjar Njoto dan H Sjech sebagai Kepala Staf Hizbullah
3. Resimen
Mujahidin memimpin 3 Batalyon, yaitu:
a. Batalyon
I Elang Emas untuk juang Jember dengan Komandannya Kyai Abdullah Shiddiq dan
Kyai Shodiq
Mahmud
sebagai kepala staf.
b. Batalyon
II untuk wilayah juang Bondowoso dan Situbondo dengan Komandan Niman Setyo
Atmodjo H
c. Batalyon
III untyuk wilayah juang Lumajang dengan Komandan M. Syarif
d. Batalyon
IV untuk wilayah Banyuwangi yang dipimpin Najmuddin.
4.
Mengesahkan 5 Kompi dari Batalyon I Elang Emas, yaitu:
a. Kompi I
Ababil dipimpin Asjhadi yang bermarkas di Ambulu
b.Kompi II
Macan Putih dipimpin oleh Bachtiar yang bermarkas di Curahlele
c. Kompi
III Thoriq bin Ziad dipimpin Mujtahid yang bermarkas di Kencong
d.Kompi IV
Kholid bin Walid dipimpin oleh Kyai Amiruddin dan Wakilnya adalah Kyai Achmad
Mursid yang bermarkas di Pesantren KH Arif – sekarang diasuh Kyai Muzakka --
Compakaan Sukorambi
e. Kompi V
Umar bin Khattab dipimpin oleh Muslich yang bermarkas di Mumbulsari
5.
Menetapkan kompi-kompi yang sudah ada di semua Batalyon
Pada tanggal
15 Nopember 1948 ada Surat Perintah Gubernur Militer/Panglima Divisi I Kolonel Sungkono
Nomer 269/GMDT/48 yang ditanda-tangani oleh Overste Dr Suwendo tentang status
Resimen Mujahidin dilebur kedalam Batalyon 25 Brigade III Damarwulan yang
dipimpin Mayor Syafiuddin, sebagai Kompi IV yang dipimpin Sulthan dengan
pangkat Letnan.
2. Serangan Umum melawan
Belanda
Agresi
Militer I Belanda mulai tanggal 21 Juli 1947.
Di Jember
Belanda melakukan penaklukan sejak Selasa 22 Juli 1947 setelah melakukan serangan
udara. Hizbullah, TKR, PPPR dan laskar lainnya meninggalkan kota dan melakukan
perlawanan gerilya yang banyak dilakukan malam hari. Sultan dan pasukan
Hizbullah ngungsi ke Ambulu.
Agresi
Militer Belanda tesebut mengakibatkan kekosongan pemerintahan di Jember, karena
Bupati R. Soedarman
24(periode tahun 1943 sampai tahun
1947) dan para pamong praja ditangkap Belanda. Lalu Belanda mengangkat Roekmoroto sebagai Bupati Jember tahun 1947
sampai tahun 1950, tetapi tidak diakui oleh rakyat.
Untuk itu
para pejuang bermusyawarah membahas kekosongan pemerintahan di Hutan Wonowiri Curahnongko
Tempurejo tanggal 3 Desember 1947. Yang hadir antara lain, KH. Dzofir, KH.
Abdullah Shiddiq dan Arief Wignyosoemarto dari PPPR, Sulton Fadjar dari Hizbullah,
Muntaha, Kelana, Letkol Prayudi Atmosoedirdjo/Komandan Resimen I TNI Teritorial
Daerah Besuki, Musafan, KH Bakir, Pak Bondet, dan lain-lain.
Keputusan
musyawarah adalah membentuk Dewan Siasat yang akan menetapkan siasat Militer, siasat Ekonomi dan siasat
Politik dalam mengatasi kekosongan pemerintahan di Jember.
Tak berapa
lama, Dewan Siasat berubah menjadi Central Comando Rakyat/CCR yang sering juga disebut sebagai Pemerintah Darurat Jember
yang bermarkas di Hutan Wonowiri Cuahnongko Tempurejo. Struktur CCR adalah CCR Pusat
Di Jember, CCR Sub Sektor, CCR Cabang di Tingkat Kawedanan, CCR
Ranting/kebekalan di tingkat kecamatan dan CCR Desa. Formasi CCR Pusat adalah:
1. R.
Joeswono Darmowinoto sebagai Bupati dan Said Hidayat sebagai Patih. Beliau
dalam CCR sebagai Pamong Praja Usaha Resmi Pemerintah.
24 Bupati Jember II Soedarman gugur
pertengahan tahun 1949 sebagai Pejuang dalam tahanan Belanda di
Sidoarjo,
Makalah Sulthan “Situasi Jember saat Proklamasi Kemerdekaan, 1 Agustus 1974
2. Arif
Wignyo Soemarto dibantu Akhmad Mujahid dari PPPR sebagai Sekretaris yang dalam
CCR menjabat
sebagai
Pamong Praja Usaha Rakyat
3. Sulthan
Fadjar Njata dibantu Akhmad Zainuri sebagai Sekretaris dan dalam CCR menjabat
sebagai Militer Usaha Rakyat.
4. Mayor
Syafi‟udin sebagai Pimpinan Keamanan dan dalam CCR sebagai Militer Usaha Resmi
Milik Pemerintah
Tugas CCR
adalah mengisi kekosongan pimpinan pemerintahan, memimpin mobilisasi
(pengerahan) rakyat untuk pertahanan umum baik tentang personil, materi, finansial,
dan lain-lainnya. Dengan terbentuknya Pemerintahan Darurat ini maka roda
pemerintahan lancer kembali walaupun dikendalikan dari hutan. Pamong Praja dan
Pamong Desa datang berunding dan koordinas dengan CCR
Untuk
mengobarkan perjuangan melawan Belanda maka pada tanggal 30 Desember 1947 CCR mengeluarkan
komando Serangan
Umum yang dilakukan serentak dan tiba-tiba ke kota Jember, Ambulu, Rambipuji dan Kencong.
Hari itu
mulai jam 10 pagi, ribuan rakyat dan para pejuang termasuk para Kyai dan
tentara dengan memakai ikat kepala berwarna merah-putih bahu-membahu menyerang
pos-pos Belanda, perusakan jembatan dan penebangan pohon sehingga banyak fihak
musuh yang tewas dan lari. Dikota Jember para pejuang sempat menduduki sebagian
wilayah termasuk Kepatihan dan Jagalan dan begitup ula dikecamatan Ambulu,
Kencong dan Rambipuji. Keesokan harinya secara serentak semua pejuang dan
rakyat mundur dari wilayah pendudukan.
Dalam
serangan umum tersebut gugur Muntaha seorang Ketua Regu Pemanah Hizbullah.
Beberapa
kali para pejuang juga melakukan serangan di Karang anyar Ambulu serta
Penghadangan di Gumelar Balung dan Karangsono Bangsalsari.
Tetapi,
sayang tak lama kemudian Belanda tahu keberadaan Pemerintah Darurat, kemudian
menyerbu Wonowiri sehingga Bupati, Patih dan para sekretaris CCR lari
menyelamatkan diri. Sejak itulah CCR tidak efektif lagi.
Agresi
Militer Belanda pertama tahun 1947 menimbulkan reaksi hebat dari dunia
Internasional. India dan Australia meminta PBB turun tangan. PBB membentuk
Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai wasit untuk melerai konflik Indonesia -
Belanda. Australia yang mewakili Indonesia, Belgia yang mewakili Belanda dan Amerika
Serikat yang dipilih pihak Australia dan Belgia sebagai pihak ketiga. Dipimpin
KTN, Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan dikapal Renville tanggal 17
Januari 1848. Delegasi RI dipimpin Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin yang
beraliran komunis dan fihak Belanda dipimpin oleh Abdul Qodir Widjojo Admodjo yaitu
seorang Indonesia yang memihak Belanda sebaga resiko berlakunya Republik
Indonesia Serikat.
Perjanjian
Renville memutuskan :
a.
Indonesia dan Belanda sepakat melakukan gencatan senjata/perdamaian dan Tentara
Republik Indonesia ditarik mundur dari daerah yang telah diduduki Belanda.
b. Belanda
hanya mengakui daerah Republik Indonesia atas Jawa Tengah, Yogjakarta, sebagian
kecil Jawa Barat dan Sumatra.
Dengan
keputusan perjanjian tersebut maka Jember termasuk daerah yang sudah diduduki
oleh Belanda pada Agresi Militer I tahun 1947 sehingga pejuang yang ada di daerah
kantong-kantong belakang garis Belanda termasuk Jember, harus di hijrahkan
kedaerah Republik yaitu Blitar dan Tulungagung. 25
5.
Mujahidin Hijrah
20 Desember
1947 diadakan pertemuan CCR di markas PPPR Curahlele Balung. Rapat tersebut merencanakan
Serangan Umum yang telah diuraikan di atas. Selesai rapat Sulthan, H Sjech dan
11 orang pasukannya menuju Sruni Jenggawah menginap semalam di rumah Soedar
(anggota Hizbullah). Keseokan harinya H. Sjech dengan 6 orang anak buahnya
(Buchori Achmad, Mochammad Rojjan, Sutrisno, Sungkowo dan Suroto) berjalan kaki
menuju Tegal Besar menjenguk keluarganya. Sesampainya di Cangkring terpergok Belanda
di Cangkring sehingga terjadi saling tembak. H. Sjech terluka dikepala dan
tertangkap, 2 orang stafnya (Sutrisno dan Rojjan) gugur dan yang lainnya
melarikan diri menuju Curahnongko untuk melapor pada Sulthan sebagai Komandan.
Mendapat
laporan tertangkapnya H Sjech, Sulthan bersama 5 orang (Syafi”I, Faqih, Kafrawi
dan Moch Anshori) menuju ke Sruni Jenggawah untuk melakukan melacak peristiwa
penangkapan. Tengah malam mereka mampir untuk minta minum kerumah pak Nawa di Jatisari.
Setelah disuguhi minum air dan sesisir pisang, mereka ditangkap KNIL dan
ditahan. Ternyata tuan rumah tega menjebak Sulthan dan kawan-kawan.
Digelandanglah mereka ke
Tahanan sebelah timur alun-alun Jember. Sering mereka dipukul, setrum dan
siksaan lainnya oleh Tentara Belanda.
25 Makalah Sejarah Perjuangan
Hizbullah Karesidenan Besuki dan asal mula Kompi IV TNI Batalyon 25 Brigade
Damarwulan,
Januari 1950.
Untungnya,
tak lama kemudian yaitu 25 Januari 1948 jam 09.00, Mayor Jendral
Djatikusuma/Komandan Divisi V TNI sebagai Utusan Pemerintah Pusat yang didampingi
Mayor Haryono MT. dari Mabes Angkatan Darat dan Letnan Noer Rohim menemui Pak
Brahim alias Sulthon dan Pak Sam alias H Sjech (yang sedang ditahan Belanda)
didampingi Mayor Van Brengen, Komandan KNIL atau komandan Batalyon Koninklijk
Nederlands Indisch Leger XVIII di Jember, Major Willem C atau Opsir Penghubung
dari Divisi A Surabaya dan Rukmoeroto atau Bupati Jember bentukan NICA atau
Netherlands Indies Civil Administration.
Pembicaraan
tertutup antara Kolonel Jatikusumo bersama 2 orang pengiringnya dengan H Syech
dilakukan di rumah Major Brengen (Hotel Djember yang persis di muka Penjara),
di antaranya sebagai berikut:
Jatikusumo:
Saya mendapat Perintah dari Panglima Besar Jendral Soedirman untuk mengadakan
pembicaraan dengan Perwira TNI yang bertanggung-jawab (maksudnya Wilayah Besuki),
di antaranya Letkol Prajudi (Komandan Resimen), Letkol Soewito dan rekan-rekan
yang sedang melakukan perang gerilya, bersama dengan Opsir Tentara Belanda yang
berkompeten tentang pemecahan dan cara-cara untuk penarikan pasukan bersenjata
dari daerah kantong yang dikuasainya,.dan senjatanya dipindahkan. Supaya
sebagian besar Pejuang dan senjata yang bagus disimpan baik. Mau tidak mau
nanti kita toh kembali untuk berperang lagi.26
Kemudian
Sulthan dan H. Syeh dibebaskan dari tahanan dan ditugaskan menemui para Pejuang
yang bersembunyi di desa dan gunung khususnya menemui Letkol Prajudi, Letkol
Soewito, KH. Dzofir dan KH. Abdullah Shiddiq.
Walaupun
hati pejuang sulit nrimo keputusan hijrah, tetapi demi patuh pada Pimpinan di
Jakarta yang menjaga kesatuan perjuangan maka dilakukan juga hijrah. Dengan pengawalan
PPPR dan TNI, pada tanggal 29 Januari 1948 para pejuang berjumlah sekitar 400
orang melakukan hijrah ke Tulungagung diantaranya adalah KH Hamid Wijaya,
Sulton Fajar, H Syech, dan lain-lain. KH. Dzofir bersikap tidak ikut hijrah dan
kembali mulang ngaji di Pondok, begitu juga KH. Abdullah Shiddiq sembunyi di Balung
dan KH. Shodiq Mahmud sembunyi di kota Jember.
Selama
perjalanan sehari penuh lalu sampai di Kepanjen Malang yang diterima Pabitia
Penerimaan Hijrah dipimpin Letkol Sudarsono. Beberapa hari di Kepanjen lalu melanjutkan
perjalanan ke Tulungagung yang disambut gembira oleh Panitia Hijrah yang
dipimpin Wedana Kota Tulungagung, Supardi bersama KH. Achmad Shiddiq sebagai
perwakilan PPPR/Mujahidin disana. Logistik dibantu juga oleh Panitia Hijrah
Pusat, Arudji Kartawinata sehingga cukup untuk sebulan dipengungsian. Di tempat
pengungsian yang menempati lokasi Pesantren KH Mujib (mertua KH Achmad Shiddiq)
kemudian dijadikan markas Resimen Mujahidin di Tulungagung.
26 Tulisan Sulthan tentang Mengenang
Pertemuannya dengan Mayor Jendral Jatikusumo, 25 Januari 1975
4.
Mujahidin Memberantas PKI Madiun
Perjanjian
Renville banyak ditentang rakyat sehingga Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin
mundur dan menyerahkan mandat Perdana Menteri pada Wakil Presiden Drs. Muhammad
Hatta. Hatta membentuk kabinet tanpa menyertakan kelompok sosialis dan didukung
PNI dan Masyumi. Hatta melaksanakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan
Perang/RERA untuk menormalkan TNI yang telah dikacaukan Perdana Menteri Mr Amir
Syarifuddin. RERA banyak memangkas kekuatan komunis di TNI sehingga Mr Amir
Syarifuddin, Muso dan kelompok komunis kecewa terhadap RERA dan kemudian
memberontak pada tanggal 18 September 1948 yang terkenal sebagai Peristiwa Madiun.
Secara
diam-diam Federasi Demokrasi Rakyat/FDR yang berafiliasi ke PKI menyiapkan
kekuatan rakyat bersenjata secara illegal dan melakukan insiden berdarah di
Delanggu, Solo, Tulungagung, Kertosono, dll. Bahkan di Solo terjadi penculikan
beberapa tokoh masyarakat sehingga situasi social politik bertambah panas.
Melihat
situasi Solo yang mencekam, Sulthan bersama beberapa orang staf Mujahidin yang
saat itu ada di Solo cepat-cepat menuju Tulungagung sebagai Markas Hijrah
Mujahidin dengan berjalan kaki. Di tengah jalan Sulthan bersama seorang anggota
memisah ke Gorang Gareng Magetan menjumpai ayah angkatnya, Wiro Sugito.
Di rumah
Pak Wiro bertemu juga dengan Pak Rofi‟I Cipto Martono (Adik Pak Wiro Sugito dan
sebagai Wedana Gorang Gareng) yang menasehati “agar jangan menginap dan segera
pergi karena situasi tidak aman. Siang dan malam banyak terjadi perampokan,
pembunuhan dan penculikan oleh gerombolan PKI. Saya tidak sempat mengurus
pemerintahan karena disibukkan dengan insiden berdarah tersebut”.27 Jadilah berjalan terus dan akhirnya menginap di hotel di
Kota Madiun. Perjumpaan dengan Pak Wiro dan Pak Rofi‟I tanggal 15 September
1948.
Keesokan
harinya sampai di Markas Tulungagung dan tak lama kemudian datanglah KH Muslich
(Komandan Hizbullah Banyumas) betamu kemarkas. Mereka berbincang-bincang
tentang “kemungkinan PKI akan melakukan Kudeta pada Pemerintah dengan kekuatan bersenjata.
Penculikan, pembunuhan dan perampokan ini sengaja dibuat PKI untuk mengacaukan
masyarakat sehingga Pemerintah tampak lemah”.
Tanggal 18
September 1948 jam 02.00 tengah malam, mendadak Major Zainal Fanani KMK
(Komando Militer Kabupaten) Tulungagung memanggil semua Komandan kesatuan
Gerilya termasuk Sulthan dan H. Sjech Untuk rapat
komando. Diberitahukan bahwa “saat ini Muso dan Amir Syarifuddin (FDR/PKI)
melakukan Kudeta dengan mendirikan Negara Sovyet Indonesia yang berpusat di
Madiun. Banyak Anggota TNI, Lasykar, Pamong Praja, Kyai dan Tokoh Masyarakat
yang ditangkap dan dibunuh”. Kemudian beliau membagikan Selebaran Surat
Perintah yang isinya adalah seluruh lasykar harus bergerak untuk membasmi
Pemberontakan FDR/PKI tersebut. Resimen Mujahidin ditugasi melokalisir gerakan
pasukan pemberontak didaerah perbatasan antara kabupaten Blitar – Tulungagung
sebelah Timur, Kabupaten Ponorogo sebelah Utara – Tulungagung dan kabupaten
Pacitan – Tulungagung sebelah barat.
Malam itu
juga Sulthan membagi pasukan yaitu: Pasukan Moch Siradj ditempatkan di Ngunut
(perbatasan Tulungagung – Blitar), Pasukan Soekarso dan Syafiuddin
27 Pak Rofi’I Ciptomartono kemudian
dibunuh PKI secara kejam dan dimasukan dalam sumur pada Peristiwa
Berdarah
Madiun September 1948ditempatkan
di Trenggalek dan Dongko (perbatasan Ponorogo – Pacitan). Semua Pasukan
tersebut dikoordinir oleh Buchori Achmad. Yang tugasnya melokalisir gerakan PKI.
Selain itu, sepasukan Gerak Cepat dipimpin Sulthan yang tugasnya membebaskan
daerah Ngantru dan Keras Kabupaten Tulungagung dari pendudukan Pasukan Pemberontak
Batalyon II pimpinan Maladi Yusuf. Ia bagian dari kesatuan Brigade 29 yang
dipimpin Kolonel Dahlan.
Tanggal 19
September 1948 sesudah Sholat Subuh, Sulthan bergerak dengan kekuatan 2 Peleton
bersenjata lengkap menyusuri kampung-kampung menuju Ngantru.
Suasana
rakyat tenang dan biasa terkesan tidak tahu yang sedang terjadi sehingga
pasukan lewat dianggap latihan biasa. Sesampai pertigaan desa Ngujang tampak 6 orang
Pasukan musuh sedang tidur pulas di Pos Jaga.
Langsung
mereka disergap dan dilucuti senjata dengan mudah. Mereka mengaku “dari pasukan
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang beraliran komunis Kompi I Pimpinan
Kapten Farhan yang bermarkas di Ngantru.
Markas
Batalyon II di Pabrik Kertas Keras”
Pasukan
Mujahidin berposisi di sela-sela gundukan Kuburan Cina disekitar rel kereta api
sebelah selatan sungai Brantas, sambil mengawasi lalu lalang orang-orang PKI
yang melarikan diri karena dikejar Pasukan Republik.
Seorang
Kurir yang menyamar menghubungi Camat Ngantru (yang sudah dikenal Sulthan) agar
membantu mengawasi Pasukan Pemberontak yang berada di Ngantru.
Saat itu
Ngantru sudah dikepung Pasukan Republik yaitu Pasukan Kapten Hutagalung dari
Utara, Batalyon Pimpinan Major Harsono dari barat, Batlayon Major Muzajin dari
timur dan Resimen Mujahidin pimpinan Sulthan dari selatan. Tapi pada jam 14.00,
satu regu kurir
Pemberontak bawa bendera merah putih berbaris menuju pasukan Mujahidin untuk
berunding tentang gencatan senjata tanda menyerah dengan dead line 20 September
1948 jam 05.00.
Ternyata
kesokan hari jam 04.30 Musuh ingkar dan mulai menembaki pasukan Mujahidin,
sehingga terjadi baku tembak yang hebat disekitar rel. Perang terjadi hingga
sampai jam 19.00 dan pasukan musuh melarikan diri kearah Gunung Wilis antara
Kediri – Madiun. Banyak senjata yang tersimpan dalam 2 gudang sehingga menjadi
rampasan yang disimpan di markas Mujahidin Tulungagung. Selama 15 hari
dilakukan pemulihan oleh Pemerintah setempat terhadap sisa pengikut PKI.
Pertengahan
Oktober 1948 Pasukan Gerak Cepat Mujahidin Pimpinan Sulthan bersama pasukan
Soekarso dan Syafiuddin yang semula ditempatkan di Trenggalek dan Dongko,
diperintahkan KMK bergerak ke Kawedanan Panggul kabupaten Pacitan, untuk
membebaskan daerah tersebut dari penguasaan Batalyon Pemberontak pimpinan Major
Panjang Joko Priono. Pasukan Batalyon Siliwangi pimpinan Achmad Wiranata Kusuma
sendiri sudah menguasai Pacitan tetapi kesulitan memasuki Panggul.
Sesampai di
Panggul, Mujahidin diposisi diatas bukit sebelah timur sungai desa Dongko dan
musuh di daratan rendah. Banyak rakyat biasa dengan memakai ikat kepala janur
dan bersenjata tajam membantu musuh. Tanpa perlawanan yang berarti Mujahidin
memasuki wilayah kawedanan Panggul yang ternyata semua rumah, kantor, sekolah,
asrama polisi dan pasar sudah kosong semua tanpa penghuni seorangpun kecuali
hewan ternak yang bebas berkeliaran. Kemudian Gedung-gedung Pemerintah yang
kosong ditempeli tulisan “Barang siapa yang membuka pintu bangunan pemerintah
tanpa izin Mujahidin, dihukum tembak ditempat” dan 2 hari semua pasukan
istirahat di hotel yang cukup besar tapi kosong. Setelah berteriak memanggil
tak ada satupun rakyat yang muncul lalu dilakukan teriakan Adzan saat akan Sholat.
Barulah mulai muncul turun dari gunung satu persatu rakyat dengan wajah agak
ketakutan tapi penasaran. Lalu muncul pula Pak Kusno (Wedana), Pak Musmantri
(Camat), Mantri Polisi, Guru dll. Sulthan : Pergi kemana saja dan sebab apa?
Rakyat :
Disuruh Pemimpin Tentara Rakyat (maksudnya Pemberontak) agar meninggalkan
tempat karena Belanda dating Sulthan : Siapa yang Belanda? Sekarang mengapa kembali?
Rakyat :
Pasukan Bapak. Dan kami turun karena dengar Adzan. Mustahil Belanda adzan Kemudian
dijelaskan tentang identitas Mujahidin dan tugasnya membasmi PKI sehingga
mereka faham bahwa selama ini telah dibohongi PKI. Dan sejak itu kegiatan masyarakat
pulih kembali seperti sedia-kala.
Suatu saat
ditulis pamflet yang ditempelkan di desa-desa terpencil yang bunyinya “agar
kaum Pemberontak dalam waktu singkat menyerahkan diri pada markas Komando. Jika
terlambat akan dilakukan tindakan tanpa mengenal kompromi”. Dan ternyata banyak
anggota PKI, Tentara Rakyat dan tokoh Pemberontak yang menyerahkan diri. Dari
tangan mereka ditemukan surat pengumuman yang diteken Major Panjang Joko Triono
berbunyi “Batalyon Tentara Rakyat kami bubarkan karena tidak mampu menghadapi
Pasukan Mujahidin yang sedang beroperasi di sini. Masing-masing dapat pesangon Rp
200 (ORI) dan menyelamatkan sendiri-sendiri”.
Operasi
pembersihan PKI dilanjutkan kedesa-desa di wilayah kabupaten Pacitan Sudimoro,
Besuki, Bodok, Tulakan, Nglorok dan Tegal Ombo. Sebanyak 68 senjata hasil
rampasan dan ratusan anggota Tentara Rakyat dan anggota PKI kenudian diserahkan
pada Komandan Batalyon Siliwangi Achmad Wiranata Kusuma. Selain itu banyak pula
pembebasan putrid-putri anggota Palang Merah dan orang-orang yang ditawan
Pemberontak.
Setelah
operasi tersebut Komandan Resimen Mujahidin menghadap Bupati Subekti melaporkan
hasil operasinya.
Awal bulan
Desember 1948 Pasukan Mujahidin ditarik mundur ke markas Tulungagung.28
Bersamaan
itu RERA terus dilakukan sehingga pada tanggal 15 Nopember 1948, Gubernur
Militer/Panglima Divisi I Kolonel Sungkono membuat Surat Perintah Nomer 269/GMDT/48
yang ditanda-tangani oleh Overste Dr Suwendo tentang perobahan status Resimen
Mujahidin yang dilebur kedalam Batalyon 25 Brigade III
Damarwulan
yang dipimpin Mayor Syafiuddin, sebagai Kompi IV yang dipimpin Sulthan dengan
pangkat Letnan.
5.Long
March Kembali Ke Jember
Agresi
Militer Belanda II yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 adalah
pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Renville. Saat itu Sulthan dan sebagian
Pasukan Mujahidin (yang berobah nama menjadi Kompi IV Mujahidin dalam kesatuan
Batalyon 25 Brigade Damarwulan Pimpinan Major Syafiuddin) masih di Tulungagung.
Saat itu Sulthan dikontak Major Syafiuddin yang bermarkas di Wlingi Blitar dan
diperintahkan segera kembali ke Jember.
28 Makalah Sulthan tentang Sejarah
Operasi Militer Mujahidin terhadap Kesatuan Pemberontakan FDR/PKI
Madiun
tanggal 18 September 1948, tanpa tahun penulisan.
Pada
tanggal 23 Desember 1948 berangkatlah Sulthan ke Kediri berkumpul lengkap
dengan Pasukan Mujahidin yang lain sehingga lengkap berjumlah sekitar 250
orang. Keesokan harinya jam 08.00 berangkatlah Pasukan Mujahidin Ke Wlingi
Blitar untuk bergabung dengan kesatuan Batalyon 25. Ternyata tepat saat itu pula
Belanda masuk ke Kediri. Perjalanan kaki Kompi ini melalui Wates terus ke
Perkebunan persil Bulu daerah Nglegok (sebelah timur kota Blitar). Di Bulu ini
satu granat tangan meledak sehingga menewaskan Sersan Sugeng dan Sersan Masduk
serta 17 orang Prajurit luka-luka. Penguburan 2 mayat tersebut di belakang
masjid kecil didesa tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke Wlingi tetapi Batalyon
25 sudah berangkat lebih dahulu, lalu dilanjutkan ke Bantur Malang Selatan. Di
Bantur bertemu dengan Residen Malang Sukartono yang sedang inspeksi ke Bantur
sehingga dapat saling tukar informasi tentang situasi wilayah saat itu. Di
Bantur satu granat meledak lagi sehingga tewas 4 orang Prajurit dan 8 orang
Prajurit lain luka-luka. Penguburan 4 mayat tersebut mendapat penghormatan
masyarakat yang luar biasa.
Saat itu
tanggal 7 Desember 1948, perjalanan dilanjutkan melintasi Garis
Demarkasi/Perbatasan antara Sumber Culing (Wilayah RI) dengan Lebakroto
(Wilayah Pendudukan Beland) ternyata kosong dari penjagaan Belanda. Konon
kabarnya mereka ditarik ke Pasirian dan Tempeh.
Pada tanggal 10 Agustus 1949 terjadi Gencatan senjata hasil Perundingan Roem-Royyen. Sesudah itu Kompi IV ditempatkan pada Asrama di Pringtali Mayang dan selanjutnya Komandan Brigade Damrwulan menugaskan Kompi IV mengatur keamanan sector Kawedanan Mayang dengan Pimpinan baru Letda Jazid.
B. PAK
BURAH
1. Pada
Tahun 1945
Pada tahun
1945, Pak Burah itu belum terkenal.
Terkenal
setelah aksipolisionil yang ke dua. Pada waktu itu bukan lagi antara tentara
musuh tentara; akan tetapi, suda berwujud rakyat yang secara total melawan
pihak colonial.
Semua harta
kekayaan rakyat saat itu digunakan untuk perjuangan melawan Belanda.
Saat itu
sudah menerapkan pertahanan dengan system pertahanan rakyat semesta. Oleh
karena itu, dapat dikatakan system ini terinspirasi dari perjuangan rakyat
semesta pada saat melawan Belanda pada tahun 1945.
Pak Burah
termasuk dari rakyat. Awalnya Pak Burah itu penakut. Waktu ia berjalan di
Jatian (dulu masuk kalisat, sekarang masuk Pakusari) itu berjalan bukan di jalan
besar, tapi di selokannya. Beliau dapat dikatakan begitu bodoh dan penakut.
Pendidikan yang diperoleh pun hanya pendidikan agama, yang ia peroleh di Surau.
Beliau
berani bukan karena wataknya yang pemberani, akan tetapi beliau berani karena
jihad secara betul-betul demi membela Negara. Pejuang dulu itu tidak mempertimbangkan
mati dan hidup dalam perjuangan.
29 Tulisan tersebut banyak menyadur
dari beberapa Makalah Sulthan untuk menjaga orisinalitas
Yang
dipikirkan oleh kaum pejuang hanyalah kemerdekaan.
Doktrin
kyailah yang sangat berpengaruh pada para pejuang. Termasuk kepada Pak Burah.
Kyai bilang bahwa “mati merebut kemerdekaan adalah mati sahit, dan mati sahid
hukumnya surga, sehingga tidak ada yang ditakuti”30. Doktrin inilah
sekali lagi yang membuat Pak Burah sangat berani; sehingga setiap perang dia berada di garda paling
depan.
Suatu ketika terdapat kejadian,
Pak Burah naik ke pohon bambu menunggu truck belanda lewat. Setelah truck
Belanda lewat, beliau meloncat, kemudian semua pasukan Belanda itu disabeti
dengan senjata tajamnya.
Belanda
banyak yang mati dan Pak Burah tidak apa-apa.
2.Gugurnya
Sang Pemberani
Ketika
pasukan rakyat banyak yang hijrah ke Blitar dan Tulungagung, Pak Burah tidak
ikut. Beliau tetap di Jember, memimpin perang untuk anak buahnya.
Akhirnya,
tidak ada kekuatan sama sekali. Terjadilah peristiwa pada hari Jumat, di Desa
Karang Kedawung Mumbulsari. Beliau masih sempat ke Masjid. Beliau tidak lari,
tetap saja t8inggal/diam di masjid.
30 Keterangan ini di sampaikan oleh
Pak Tarwi pada tanggal 19 Nopember 2006. Beliau seorang anggota PETA
dengan
pangkat Sersan Mayor. Saat ini berumur 82 tahun dan masih hidup, tinggal di
Mayang Jember.
Setelah
menjalankan ibadah haji nama Pak Tarwi diganti H. Saiful Akbar
Pak Burah
saat dibakar sehingga wafat oleh Tentara KNIL Belanda
Beliau
mengatakan “dari pada saya lari dari Belanda, lebih baik lari kepada Allah”31.
Oleh
Belanda di depan pohan mangga diberi tambang, dari takutnya, sehingga, ada
tentara yang berkomentar tentang Pak Burah, dia itu seorang pemberani. Setelah
itu Pak Burah keluar dari Masjid, kemudian di tembak oleh Belanda. Meskipun,
Pak Burah telah meninggal, tapi Belanda pun masih takut, karena ada anggapan
Pak Burah dapat hidup lagi dan sebagainya.
Setelah
meninggal, jasad beliau di bawa ke Desa Jatian. Di Desa Jatian tersebut jasad
Pak Burah ditaruh di dalam tumpukan kayu, kemudian diBakar oleh Belanda. Jasad
Pak Burah jadi abu dan dimakamkan di situ bersama abunya. Setelah dibakar
reaksi masyarakat marah tapi dipendam di dalam dada.
Catatan
lain Pak Burah termasuk pasukan Mujahidin.
Beliau pernah
berguru pada Kyai Abu di Jatian Suboh.
Kyai Abu
itu banyak muridnya. Istrinya masih hidup dan hidup secra kekurangan. Kerja di
Persil di Silo. Pak Burah itu tidak punya putra.
3.Rute
Perjuangan
Daerah
juang Pak Burah ada di Jember bagian timur.
Yakni, daerah
Mayang-Mumbulsari. Bahkan ketika beliau tertangkap juga di Mumbulsari di Desa
Karang Kedawung.
Hanya
memang pada Sifat-sifat Keteladanan
31 Idem
Tugu
peringatan
wafatnya
Pak Burah
1. Seorang
yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap garis perjuangan.
2. Seorang
yang taat beragama.
3.
Pemberani.
C. H. SYECH
a. Zaman
Perjuangan
H. SYECH
adalah seorang pendekar Jember dar keluarga terkaya yang termasuk peduli
terhadap perjuangan. Salah satu bukti yang dapat menunjukkan hal ini adalah
Pondok Asshiddiq itu merupakan wakaf dari ayah dari H. Syech, yang bernama H.
Alwi.
H. Syech
pada saat revolusi kemerdekaan belum pernah ikut dilatih sebagai militer. Tidak
seperti P. Sulthon yang pernah ikut latihan kemiliteran.
Hanya bekal
kependekaran
Beliau
merupakan tokoh yang ahli silat.
Kemudian H.
Syech bergabung dengan P. Sulthon (Sulthon Fajar), sebagai komando Hizbullah.
P. Sulthon butuh orang, diangkatlah H. Syech sebagai Letnan Satu. Pengangkatan
seperti ini mudah, karena masa revolusi. Pada saat itu pangkatnya Letkol.
Pada saat
Agresi I, P. Sulthon dan H. Syech di tangkap di Rambi Puji. Menjelang Agresi II
terdapat perjanjian, P. Sulthon dan H. Syech masih di penjara, kemudian di bebaskan.
Dibebaskannya kedua tokoh tersebut, karena satu-satunya tokoh pejuang yang
dapat menghubungi gerilyawan di desa adalah P. Sulthon dan H. Syech. Dan, dihubungilah
gerilyawan itu, di antaranya Kyai Abdullah Shiddiq (P.Jimun) dan Letkol
Sroedji. Terjadilah perjanjian di Hotel Jember (sekarang menjadi gedung BRI).
Setelah
perjanjian itu, kedua tokoh tersebut hijrah ke Tulungagung. Menurut pengakuan
orang Tulungagung, kalau tidak ada Mujahidin pada saat pemberontakan PKI, Tulungagung
dapat dikatakan tidak dapat dibaca seperti saat ini Tulungagung akan dikuasai
komunis. Sampai sekarang, P. Sulthon dan H. Syech oleh orang Tulungagung
dikenal sebagai pahlawan. Lalu meledak yang namanya pemberontakan PKI Madiun.
P. Sulthon dan H. Syech masih di sana.
Peristiwa
ini terjadi pada masa Kabinet Sukiman.
Kemudian
ada perintah untuk menangkap dan membunuh orang PKI, karena PKI telah membunuhi
kita.
UNtuk
menjalankan hal ini terdapat sembilan tokoh yang di bai‟at, antara lain:
a. KH.
Dzafir;
b. Kyai
Amiruddin;
c. H.
Durrahman;
d. Sulthon
Fajar;
e. Ustadz
Toyyib;
f. H.
Syech;
g. Kyai
Abdullah Shiddiq;
h. Mat
Rais.
Tentang Mat
Rais itu sendiri merupakan satu-satunya orang DI yang dapat masuk tentara,
dengan pangkat Letnan. Satu-satunya orang yang dapat menaklukkan H. Syech
adalah Mat Rais. Mat Rais menangkap H. Syech di Pring Tal (Mayang).
32 Hal tersebut dituturkan P. Sholeh
pada tanggal 12 Oktober 2006. P. Sholeh sendiri adalah seorang saksi sejarah
perjuangan kemerdekaan di Jember.
Untung ada
laporan kepada P. Sulthon, akhirnya yang rencana semula H. Syech akan dibunuh
jam 9 pagi, tidak jadi karena P. Sulthon dating sebagai komandan memerintahkan
untuk melepaskan H. Syech.
Peristiwa
penangkapan atas H. Syech itu sendiri terjadi karena terdapat perbedaan antara
H. Syech dengan Mat Rais. Mat Rais berkiblat ke Kyai, sedangkan H. Syech tidak
mau. Hal itu merupakan wujud perbedaan orientasi perjuangan. Saat itu, Mat Rais
dan Kyai Dzafir memakai janur kuning, tapi oleh H. Syech hal ini di hina; sehingga,
membuat Mat Rais tersinggung dan bermaksud membunuh H. Syech tersebut.
H. Syech
meninggal tahun 1976, dimakamkan di Gebang di Makam keluarga (di Cukik).
Menurut penuturan P. Sholeh, H. Syech tiga bulan lebih muda dari KH. Mahfudz
Sidiq33.
c. Rute
Perjuangan
Rute
gerilya H. Syech meliputi, antara lain:
a
Rembangan;
b.
Sumbersari;
c. Karang
Kedawung;
d. dan
jalur selatan (Gunung Semeru, Blitar, Tulungagung).
d.Sifat
Keteladanan
Sifat-sifat
beliau, antara lain:
a.
Konsisten,
b.Perikemanusiaan
(humanis);
c.
Nasionalisme tinggi;
33 Penuturan ini sebenarnya
disampaikan H. Syech kepada P. Sholeh, kurang lebih setengah tahun sebelum H.
Syech
meninggal
BAB VII
PROFIL
PEJUANG NON-ORGANISASI PERJUANGAN
A. KH. UMAR
Kyai Umar,
begitulah santri dan masyarakat memanggilnya. Ia lahir dengan nama kecil Abdul Mushowwir pada tahun
1904 di desa Suko Jember Kec. Jelbuk dari pasangan Kyai Achmad Ikram dengan Nyai Aminah.
Sejak kecil ia Pemberani dan senang mencari ilmu sehingga Pamannya mengajak
mondok pada KH. Abdul Hamid bin Itsbat di Banyuanyar, Pamekasan.
Kemudian
mondok lagi ke Kyai Sukri di Pondok Raudlotul Ulum, Sumberwringin Sukowono,
Kyai Ali Wafa di Pondok Al Wafa, Tempurejo (tahun 1925), ke KH Chozin di Pesantren
Ya‟kub Hamdani Siwalan Panji Sidoarjo.
Setelah beribadah hajji
Mushowwir mengganti nama KH Muhammad
Umar alias Kyai Umar menikah dengan Nyai Hj Shofiyah binti KH Sukri dan dikaruniai
5 anak yaitu Nyai Hj. Masturoh, KH. Khotib Umar, KH. Muzammil Umar, KH. Misbah
Umar dan KH. Lutfi Umar.
Saat KH.
Umar memimpin Pesantren Roudlotul Ulum, melanjutkan kepengasuhan setelah
mertuanya (KH Sukri) wafat, santri bertambah banyak. Pada masa Agres Militer
Belanda I tahun 1947, fungsi kamar pesantren tak hanya didiami santri saja
karena ada 250 pejuang TNI dari Batalyon 26 dari Brigade Damarwulan pimpinan
Major EC Magenda yang juga tinggal berbaur dengan santri.
Kyai Umar
mendidik ngaji para santri dan santri pejuang pada siang hari tetapi pada malam
hari, mereka bergerilya dengan sandi KANTRI (Pasukan Tentara Republik
Indonesia) termasuk sersan Bahrail bersama 150 personil tentara teman
diantaranya kapten Jedut Muhammad Yusuf (ajudan Major Magenda), Lettu Saleh Hasan
(Komandan Kompi VI, Letnan Soetarjo, Letnan Kabul Syamsul Arifin (Komandan
Kompi III), Sersan Wasis, Sersan Suwarno, Kopral S. Atmo (Komandan Sektor
Sumberwringin dan bagian propaganda) berbaur dengan santri di Pesantren. Bahkan
Letkol Imam Soekarto (Kepala Staf Brigade Damarwulan)-pun sekamar dan sepiring
dalam makan dengan Nachrowi. 34 Interaksi santri
dengan Pejuang menjadikan santri banyak yang ikut berjuang di antaranya adalah
Nachrowi yang pernah berjuang di Mujahidin.
Peralatan
perang digunakan secara bergantian karena jumlahnya yang minim bahkan ada yang
hanya bersenjata tajam saja. Namun semangat perangnya bergelora kuat sekali
karena selesai sholat berjamaah, KH Umar menyampaikan pengajian yang berkaitan dengan
perang. Selain itu ditekankan pada santrinya agar jangan mengambil harta yang ditinggal ngungsi
pemiliknya.
Selain itu
kiai juga mengajarkan bacaan do‟a yang dibaca santri pada saat akan menghadapi
musuh atau membaca amalan tersebut pada waktu sehabis sholat dan sebelum tidur.
Itu
terbukti belanda pernah masuk dan mencari para pejuang yang sembunyi di
Pesantren akan tetapi dengan taktik dan pertolongan Allah para pejuang selamat
dan Belanda pulang dengan tangan kosong .
34 Letkol Imam Soekarto lahir di
Sukowono dan pada tanggal 15 Februari 1950 memberikan kenangan
penghargaan
kepada KH Umar atas bantuannya kepada TNI.
KH
Nachrowi, adalah Pengasuh Pesantren Maqnaul Ulum Balet Baru Sukowono.
c.
Mempunyai sifat keteladanan tidak mau bergantung pada pemerintah. Hal itu
ditunjukkan beliau melarang anak buah yang sekitar 164 orang yang masih hidup (yang
sudah menjadi veteran) itu untuk minta dana pensiunan pada pemerintah. Kyai
Bakir sendiri yang akan memberikan dana pensiunan itu. Meskipun demikian,
terdapat empat anak buah beliau yang minta dana pensiunan pada pemerintah. Tapi
itu dilakukan setelah Kyai Bakir wafat. Selebihnya tetap tidak mau minta dana
pensiunan pada pemerintah. Beliau merupakan tokoh yang tidak primordial.
Meskipun,
Kyai Bakir banyak dikenal masyarakat sebagai tokoh SI, tapi beliau tidak SI
sentries. Dalam artian, beliau adalah sosok yang terbuka kepada siapapun. Sikap
ini diambil, karena beliau memandang
bahwa
organisasi itu hanyalah baju; karena baju, maka bukan segala-galanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdur
Rohman , Guru Ngaji,
Masyarakat dan Pemimpin
Yang Baik, Lisantara, 2007, BN Marbun.
1992.
Pemerintahan
Jepang di Indonesia. Jakarta
Soewito,
Irna H.N. Hadi. 1994.
Rakyat Jawa
Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian I. Jakarta:
Grasindo
------------------------------.
1994.
Rakyat Jawa
Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian II. Jakarta:
Grasindo
------------------------------.
1994.
Rakyat Jawa
Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian III. Jakarta:
Grasindo Kurasawa,
Aiko. 1993.
Mobilisasi
dan Kontrol. Jakarta: Rajawali
Press
Huda, Afton
Ilman. 2005.
Thariqah
Sang Kyai. Jember: UIJ-Alfattah
----------------------.
1997.
Biografi
Mbah Shiddiq. Jember:
Al-Fattah
Press
Nugroho
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro 1977.
Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nurhadi
Sasmita. 1987.
“Perlawanan
Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur Terhadap
Agresi
Militer Belanda II di Blitar Tahun 1948 - 1949”
Skripsi
Sarjana Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember.
Sardjono.
1985.
Perlawanan
Brigade Damarwulan Terhadap Agresi Militer Belanda II di Karesidenan
Besuki, Skripsi Sarjana Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember.
Perkembangan Pemerintahan di Daerah.Yogyakarta : Liberty. Soetojo. R. 1983.
Lintasan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah Jember, Sekilas Perjoangan
Rakyat di Daerah Jember dan Sejarah Kompi-1 Batalyon 25/509. Jakarta: Mars-26.
Suprapto, H.M. Bibit. 2003.
Buku Pintar Nahdlatul Ulama.Malang:NU
Hoeve, W.Van. 1950 . Ensiklopedi Indonesia. Bandung
Latief, KHM, Hasyim. 1995. Laskar Hizbullah.Jakarta:LTNNU
Mashoed.H.2004. Sejarah dan Budaya Bondowoso Surabaya: Papyrus
Gandhi, Leela.2001.
Teori Poskolonial. Yogyakarta:Qolam Piliang, Yasraf Amir. 2004.
Posrealiatas Kebudayaan. Bandung:JS
Halim Soebahar,d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar