DEMOKRASI
TIDAK
UNTUK RAKYAT
Oleh : Eko Prasetyo
RESIST BOOK
Perpustakaan Nasional, Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
144 halaman, I - viii, 19 X 24
cm ISBN 979-3723-10-6
Cetakan Pertama, Februari 2005
Rancang Sampul: Sebikom
Setting: wwn
Diterbitkan oleh: Resist Book
JI. Magelang km 5 Gg. Bima
No.39 Kutu Dukuh Yogyakarta 55284
TelpiFaks. 0274-580 439, 7422
761
E-mail: resistbook@gmail.com
Didistribusikan oleh: CV.
Langit Aksara
JI. Magelang km 5 Gg. Bima
No.39 Kutu Dukuh Yogyakarta 55284
TelpiFaks. 0274-580 439, 7422
761 E-mail: ippibook@yahoo.com
Pencetak: Nailil Prlntika TelpiFaks.
0274-580 439,7422 761
E-mail: nailil~gmail.com
Isi di luar tanggung jawab
percetakan.
Daftar
Isi
Memang Bukan Buku Politik 0 1
Bab I Imajinasi Paham
Demokrasi 0 7
Sebut saja Teori Demokrasi! 0 8
Demokrasi yang dikutuk! 017
Bab 2 Demokrasi di Tangan
Gerombolan Bandit 035
Mengapa Bandit bisa
Berkuasa? 041
Aksi Bandit Menjarah Uang &
Kedaulatan Rakyat 049
Akhirnya 055
Bab 3 Oposisi yang Loyo 061
Hancurnya Kekuatan Oposisi 065
Diktatorisme& Sindikat
Modal 080
Oposisi, dimana akan
berakhir? 083
Bab 4 Demokrasi disini
Membuang Kedaulatan Rakyat 091
Kemana Demoicrasi kemudian
berpihak? 0105
Bab 5 Rebut Dcmokrasi dan
Tangan Bandit 0109
Epilog Untuk Teman-teman
Aktivis
yang ada di Semua Sisi 0133
Sumber Ilham 0142
1
Memang
Bukan Buku Politik.......
Demokrasi mengambil alih pemilihan umum yang
digelar oleh orang-orang tak becus karena mereka ditunjuk para koruptor (George
Bernard Shaw)
Buku ini bermula dari kekecewaan. Kecewa
karena perubahan politik yang berada di bawah bendera demokrasi telah gagal
memenuhi janjinya.
Pertama-tama janji akan keberpihakan yang
kian susah dicapai.
Rakyat yang menjadi pemegang kedaulatan
dalam paham demokrasi secara berangsur-angsur kian terpinggirkan.
Dari kebijakan pemotongan subsidi hingga
penggusuran terhadap pemukiman rakyat miskin, menjadi pola kebijakan umum
pemerintahan saat ini.
Secara ringkas rakyat, kian tidak
diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan dan ini makin mengasingkan kedudukan
dan posisi rakyat.
Kekecewaan kedua menyangkut pranata hukum
yang makin buruk kinerjanya. Berkali-kali korupsi yang melibatkan para pejabat
tinggi lepas dari jerat pengadilan.
Pelanggaran berat HAM yang membuat banyak
pejabat militer berlumuran darah juga makin susah untuk diusut. Hukum kian lama
kian menjauh dari prinsip keadilan.
Padahal Demokrasi bermula dari bagaimana
penciptaan prosedur yang bisa memenuhi tuntutan keadilan rakyat.
Di banyak kasus terbukti betapa mahal dan
birokratisnya dunia hukum di Indonesia. Bahkan yang mengecewakan beberapa kasus hukum
secara ajaib selalu mengalahkan tuntutan rakyat dan memenangkan kuasa modal.
Hukum yang diperjual-belikan telah
membikin peradilan serupa dengan rumah bordil. Petugas hukum seperti seorang
pelacur yang menjajakan keadilan dengan harga yang makin sulit dinalar.
Sedikit melakukan kritik tidak saja
berhadapan dengan kekuasaan represif melainkan kuasa yuridis yang bisa menguras
harta benda habis-habisan.
Di balik retorika demokrasi, kita
menyaksikan kian dijauhinya rakyat dan prinsip keadilan. Pengkhianatan atas
suara rakyat yang terus dikerjakan oleh instrumen hukum inilah yang memaneing
buku ini untuk bersuara lebih lantang.
2
Demokrasl
Tidak
untuk Rakyat
Kekecewaan yang ketiga menyangkut tentang
kredibilitas sektor swasta yang juga tidak terlalu mengagumkan.
Saat pemerintah disebut-sebut sebagai
pihak yang suka melakukan korupsi, gemar melanggar HAM dan diktator, kemudian
muncul gagasan agar urusan publik diserahkan pada sektor swasta.
Malahan
yang menghebohkan sejumlah urusan publik, kini lewat perundang-undangan,
dikelola mengikuti hukum pasar.
Diawali dari sektor pendidikan hingga
merembet ke air, beberapa pelayanan publik tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah.
Padahal, untuk sektor keuangan misalnya,
terbukti sektor swasta juga melakukan korupsi.
Rasa kecewa yang keempat berasal dari
aktivis pro demokrasi yang mengkomersilkan program demokrasi. Komersialisasi
ini membuat aktor pro demokrasi bukan sensitif pada kebutuhan rakyat tapi
peduli pada kebutuhannya sendiri.
Mobilisasi dana besar-besaran yang
dikerahkan untuk mendanai program demokrasi hanya memposisikan rakyat sebagai
objek.
Jika mau disebut masih ada banyak
kekecewaan lainnya. Buku ini merupakan pelampiasan dari kerja buruk demokrasi,
yang kini bukan dari rakyat untuk rakyat melainkan dari penguasa untuk
pengusaha.
Demokrasi hanya menghasilkan laba untuk
segelintir orang tapi menghadirkan musibah untuk mayoritas rakyat.
Kalau buku ini hanya ledakan rasa kecewa,
apa yang kemudian dijadikan menu dari buku ini. Di awal bab buku ini secara
antusias akan membakar pembaca dengan janji-janji ideal Demokrasi. Riwayat
demokrasi yang berbalut perdebatan dan darah penting untuk disuguhkan pada
pembaca. Karena sebagai paham yang memiliki pengikut dan pemikir yang
cemerlang, Demokrasi penting untuk diketahui cacat maupun kelebihannya.
Dengan bab awal yang bertutur tentang
sejarah ini, diharapkan buku ini akan menyajikan gambaran memadai kalau sebagai
paham,
Demokrasi tentu punya kontroversi dalam
penerapan maupun gagasan. Nyatanya ada banyak perspektif dalam mendekati paham
demokrasi, karenanya, demokrasi lagi-lagi bukan konsep yang tidak dapat
'ditawar'.
3
Memang Bukan
Buku Politik
Di bab
berikutnya buku ini kemudian akan melukiskan bagaimana demokrasi coba
diterapkan di negeri ini. Masa buram pemerintahan Orde Baru yang telah banyak
diulas, hanya diberikan gambaran ringkas. Soalnya simpel, masa kekuasaan
Soeharto sudah banyak dikecam, lewat tulisan, gambar dan lebih banyak lagi,
memakai spanduk demonstran. Kami hanya menyimpulkan kalau Soeharto memang
gagal, bukan dalam menerapkan demokrasi, tapi terlalu taat pada kekuatan
global. Kekuatan yang memanfaatkan sentimen demokrasi untuk mengipas-ngipasi
Soeharto agar secara konsisten melakukan tindakan sadis. Tidak ada tindakan
Soeharto yang berada di luar campur tangan kekuasaan asing, terutama saat
menjelang keruntuhannya. Dinasti kekuasaan yang bergantung pada bantuan asing
ini kian lama membenarkan dalil yang klasik: kalau kekuasaan, selama tidak
memiliki kemandirian, hanya akan dijadikan umpan negara-negara raksasa.
Indonesia adalah contoh terbaik bagaimana demokrasi berakhir
di tangan para bandit.
Apa kondisi ini tidak melahirkan
perlawanan?
Ya bab berikutnya akan menampilkan
gerombolan yang mencoba menghiasi ornamen demokrasi. Kalangan aktivis yang
meneriakkan perlawanan, kemudian terjatuh juga dalam pelukan lembaga donor.
Demokrasi kian menjadi jargon dan tampil
dalam kemasan proyek. Rangkaian program demokrasi didanai dengan anggaran
menakjubkan melalui pengerahan sumber daya dari mana-mana.
Rakyat yang kecapekan melihat perubahan,
diiming-imingi dengan janji perubahan yang hasilnya, mengembalikan rakyat
sebagai 'sasaran' program.
Yang menyakitkan lagi deretan aktivis yang
dulu menjadi pelopor terdepan melawan rezim lama, tiba-tiba ikut 'menumpang' dalam
partai politik yang mereka kecam. Tapi perlawanan tetap dikerjakan, bukan saja
lewat gerakan pro demokrasi tapi ikut terlibat dalam partai politik. Partai
Politik bagai gerbong kereta yang mengangkut penumpang dengan macam-macam
motif.
Ikhtiar yang dapat diibaratkan menegakkan
benang basah, karena medan laga hampir dipenuhi oleh mekanisme dan sistem yang
busuk.
Masa depan perlawanan kemudian menjadi
tanda tanya besar. Apa benar kekuasaan otoriter bisa tumbang hanya dengan
senjata 'program' demokrasi?
Buku ini ditutup dengan nasib buram yang
menemani rakyat miskin. Mereka memang bukan dilayani oleh demokrasi, tetapi
hanya menjadi pelayan demokrasi. Rakyat kemudian jadi barisan kata, yang
menjadi berarti, ketika ada pesta demokrasi. Sisa-sisa perlawanan yang ada
terus digulung oleh kebijakan yang menindas. Rakyat yang disingkirkan, kemudian
berada di pojok perubahan. Partai-partai politik yang menjamur, hanya siap
untuk menarik untung ketimbang mengusulkan perubahan yang radikal. Tak bisa
disembunyikan bagaimana partai akan selalu memasang-masang kata demokrasi,
sebagai upaya untuk menarik untung.
Di sisi yang lain rakyat mulai dijaring
dengan semua produk UU, ada yang terjerat sebagai tersangka teroris hingga
pencemaran nama baik. Beberapa yang lain karena dianggap mengganggu kebersihan kota harus disapu bersih tempat penghidupannya. Negara
dan pemodal besar kemudian bergandeng tangan, didukung oleh sejumlah
cendekiawan, untuk memerosotkan kehidupan rakyat.
Bab inilah yang akan dipenuhi dengan
gambar visual untuk mengilustrasikan buruknya nasib yang dialami oleh rakyat.
4
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Buku ini adalah kerja keroyokan sejumlah anak-anak
muda, Eko Prasetyo menuliskan naskah, Ismail, Windhu dan Andy membuat gambar
yang tajam serta Wawan menyusun lay out sekaligus memberi masukan pada naskah.
Bagai pasukan yang tergabung dalam film Band of Brothers karya Steven
Spielberg, kami ingin menghantam keyakinan yang sudah pasti tentang demokrasi.
Penentangan ini hanya punya motif tunggal,
agar kita tak terlalu percaya sebuah gagasan yang pada dasarnya juga ikut
'menghapus' mandat rakyat.
Bersama kami dalam bekerja adalah
kawan-kawan muda Resist Book, Nur, Aan, Fitria, Totok, Rahmat, Unun, Desi,
Handa, E'tha, Sulis yang memberikan banyak ide. Juga kerja logistik yang luar
biasa dari mas Pinno, mas Radi dan Karino. Juga teman-teman yang menjadi
saudara, diantaranya Rozikin, Irfan, Sary, Dian, Laode, Irfan, Mulyadi dll.
Kami semua memang punya keyakinan politik yang berbeda, tapi itu tak membuat
kami tidak bisa bekerja bersama.
Pada akhirnya pembaca yang akan menilai
kualitas dan isi buku ini. Memang bukan tatanan teori yang sistematis yang
hendak ditularkan oleh buku ini. Lebih tepat jika buku ini, membincangkan
polemik mengenai konsep demokrasi, bagaimana gagasan ini diuji di tingkatan
praksis dan bagaimana operasional kerja struktur-strukturnya.
Indonesia menjadi sampel, untuk memberikan gambaran memadai
bagaimana 'gagalnya' organ, konsep dan budaya demokrasi ditumbuh-kembangkan.
Selama kekuasaan buas bisa bertahan hanya dengan slogan demokrasi, maka selama
itu pula, rakyat tidak akan memegang kedaulatan.
Buku ini hanya memiliki tujuan tunggal,
bagaimana anda semuanya perlu meragukan, mempertanyakan, menyangsikan bahkan
jika perlu menentang serangkaian konsep yang seolah-olah pasti akurasinya.
Rasanya tak berlebihan, jika kami -yang semuanya bukan jebolan sekolah politik-
merasa beruntung bisa memiliki kesempatan bertemu dengan konsep demokrasi dalam
kehidupan praksis sehari-hari.
Yogyakarta
5
Bab I
Imajinasi
Paham Demokrasi
Sebut saja Teori Demokrasi!
Para penguasa tetah berhenti memerintah, tetapi kaum budak tetap menjadi
budak (Lutz Niethammer)
Musuh paling berbahaya bagi kebenaran
& kebebasan adalah mayoritas yang kompak (Henrik Ibsen)
Tidak ada kalimat yang banyak disebut,
kalau berbicara politik, selain 'Demokrasi'. Dalam studi-studi humaniora kata
demokrasi menyimpan pesona serta keyakinan bulat diantara banyak pengikutnya.
Demokrasi adalah kalimat yang kini telah membawa banyak ilmuwan, aktivis hingga
pejabat harus menyebutnya; kalau tidak ingin disebut ketinggalan. Menyemburkan
kalimat demokrasi, saat Soeharto jatuh sama rutinnya dengan menggunakan kata
makan dan minum. Lebih-lebih menjelang ambruknya kekuasaan Soeharto, kata
Demokrasi menjadi mantra yang ampuh. Untuk menurunkan pejabat, membuat program
yang hasilnya uang, menggaet posisi politik yang penting dan dimanfaatkan guna
mendirikan partai.
Tapi mungkin ini sinyalemen yang
keterlaluan, karena kata Demokrasi, memiliki arti yang baik. Semua orang dengan
gampang akan bilang, Demokrasi secara etimologi berasal dan gabungan dua kata
Yunani, yakni demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Atau dalam bahasa ringkasnya
'pemerintahan oleh rakyat' Mengapa rakyat? Karena 'Vox Dei Vox Populi' yang
berarti suara rakyat suara Tuhan. Hebat bukan?
Tapi ketika definisi ini yang dipakai,
muncul hujan pertanyaan: siapa yang dimaksud dengan rakyat? Bagaimana wadah
pemerintahan oleh rakyat? Mekanisme apa yang diciptakan untuk terselenggaranya
pemerintahan oleh rakyat?
Kiranya Athena, salah satu kota di Yunani, tempat pertama tercetusnya ide sistem
politik Demokrasi. Adalah Plato yang mengusulkan terbentuknya pemerintahan yang
dikemudikan oleh orang bijak. Kalau mengamalkan arti demokrasi dalam artian
'pemerintahan oleh rakyat', Plato cemas nantinya akan meledak anarki.
Aristoteles muridnya kemudian mengembangkan pendapat Plato yang tetap
memberikan ruang bagi pendapat rakyat. Aristoteles yang kemudian, berusaha
mengkombinasikan antara sistem pemerintahan monarkhi dengan demokrasi. Malahan
Polybius melebarkan ide mengenai Demokrasi, bahwa sebuah pemerintahan yang
stabil adalah hasil kombinasi dari elemen monarkhi, aristokrasi dan demokrasi.
Sayang Athena tidak berkembang menjadi pemerintahan yang demokratis, tapi
feodal dan kekuasaan turun-temurun menurut dinasti.
___________________
1 Lih. Goenawan Mohamad,
"Musuh", Catatan Pinggir, Tempo 28 September 2003
6
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Lalu paham Demokrasi ini berkembang lagi pada masa
Renaissance. Salah satu di antarannya adalah Maehiaveli yang menyusun karya
dengan judul Discorsi (Politik Kerakyatan) 2.
Dalam buku ini dilukiskan adanya tiga pola
kekuasaan yang mampu menjunjung kepentingan rakyat, yakni: kerajaan
(principato), kedua dewan perwakilan kalangan atas atau aristokrasi (ottimati)
dan ketiga partisipasi seluruh rakyat atau demokrasi (popolare)
Memang Maehiaveli tidak secara khusus
membahas demokrasi, bahkan baginya Demokrasi bisa menghapus kekuasaan rakyat
jika menjadi anarki. Kapan timbul anarki? Menurut Machiavelli itu sangat
tergantung pada ada-tidaknya peluang. Machiavelli sendiri menginginkan ramuan
dari berbagai bentuk pemerintahan yang kemudian dinamainya dengan Republik.
Pembentukan pandangan demokrasi saat itu
memang berkaitan dengan bagaimana cara mempertahankan dan membatasi kekuasaan.
Dalam kaitan ini ada kebutuhan agar rakyat memiliki 'wakil' yang bisa melakukan
kontrol, pembatasan sekaligus pendelegasian atas kepentingan-kepentingannya.
Pandangan ini kemudian dirumuskan secara
menarik oleh John Locke, yang menyatakan kalau rakyat mendelegasikan
kepentingannya melalui penciptaan pranata politik yang mempunyai tugas berbeda-beda.
Locke memisahkan aspek legislatif (pembuatan undang-undang dan pelaksanaan
hukum) dan yudikatif (pelaksanaan dari undang-undang dan hukum). Karena itu
sistem pemerintahan yang baik, menurut Locke, adalah seorang raja yang memiliki
kekuasaan eksekufif dan sebuah parlemen yang memiliki kekuasaan untuk membikin
hukum serta undang-undang. Gagasan Locke ini kemudian diperluas oleh Montesquie
yang memisahkan tiga aspek kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan
yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Ajaran yang kemudian dinamai dengan sistem
tria politica ini kemudian menjadi kaidah dalam penerapan sistem politik
modern.
Pemikiran ini memang berangkat dari
bagaimana 'kekuasaan' berjalan tidak semena-mena dan cara rakyat dalam
mendelegasikan kepentingan sekali-gus mengawasi jalannya pemerintahan.
Secara berangsur-angsur paham Demokrasi
kemudian bukan sekedar mekanisme untuk membatasi kekuasaan melainkan juga
bersangkut-paut dengan bagaimana pembangunan
masyarakat-industrial-kapitalis-modern.
___________
2 Lih. Niccolo Machiavelli,
Politik Kerakyatan, KPG, 1996
7
Imajinasi
Paham
Demokrasi
Pendekatan ini sangat menyolok terutama menjelang
abad 19 dimana pertumbuhan gagasan demokrasi berhubungan erat dengan
pengurangan monopoli kekuasaan negara.
Industrialisasi tumbuh demikian pesat yang
ini memerlukan 'lebih sedikit' campur tangan negara. Dengan meminimalisir
campur tangan negara, perdebatan mengenai Demokrasi tidak lagi beranjak pada
model klasik-normatif melainkan lebih menitik-beratkan pada konteks empirik.
Demokrasi tidak lagi diukur dari kriteria
elemen-elemen normatif, yang mutlak harus ada melainkan juga bagaimana praktik
minimalis yang bisa dilakukan.
Joseph Schmumpeter 3 adalah ilmuwan yang
meninggalkan pendekatan klasik demokrasi, dengan mulai meninggalkan semua
kosa-kata demokrasi yang dianggapnya hanya utopis. Baginya Demokrasi hanya
'metode politik' yang digunakan untuk memilih pemimpin melalui penggunaan
mekanisme yang kompetitif. Walaupun banyak ilmuwan menyebut Schumpeter memakai
Demokrasi secara empirik, demokratis dan prosedural tapi tak dapat diingkari,
pendekatanya persis seperti hukum pasar. Aspek yang dominan disini adalah
liberalisasi, partisipasi dan inklusivitas. Seperti definisi Schumpeter untuk methode
demokratis yang dimaknai sebagai 'prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan
melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat
4. Individu ini di antaranya adalah
politisi yang berkompetisi lewat Pemilu. Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour
Martin menindak-lanjuti dengan menyusun kriteria untuk sistem Politik yang
demokratis 5, di antaranya
(1) kompetisi yang
sungguh-sungguh dan meluas diantara individu-individu dan kelompok masyarakat
(2) partisipasi politik yang
melibatkan semua warga dan (3) tingkat kebebasan sipil dan politik yang
memadai. Pendekatan demokrasi semacam ini memang menawarkan janji yang
menakjubkan, karenanya banyak pendekatan kemudian melihat dampak dari penegakan
demokrasi secara total.
________________
3 Lih. Georg Sorensen,
Demokrasi & Demokratisasi, Pustaka Pelajar & CCSS, 2003
4 Lih. Samuel P Huntington,
Gelombang Demokrahsasi Ketiga, Grafiti 1995
5 Lih. Sutoro Eko, Transisi
Demokrasi Indonesia, APMD Press, 2003
8
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Lebih maju dari pendahulunya, David Held
mendifinisikan Demokrasi sampai dalam artian penegakan prinsip dasar otonomi
individu. Bagi David Held orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan
kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan karena
itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan
membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka
pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain.
Definisi ini merupakan perluasan dari
konsep demokrasi dalam artian Politik, dengan menitik-beratkan pada
liberalisasi dan partisipasi yang lebih besar. Melalui pandangan semacam ini
maka konsep demokrasi kemudian meluaskan definisinya. David Held memang
menguji-cobakan konsep Demokrasi yang bisa meyentuh aspek di luar politik.
Pergerakan definisi Demokrasi yang makin meluas ini yang kemudian mendorong
sejumlah kalangan untuk mencoba memberikan rumusan aplikatif Demokrasi.
Pelebaran makna demokrasi ini ditunjang oleh bergeraknya kekuatan-kekuatan
masyarakat sipil yang melakukan tuntutan bagi kemandirian individu sebagai
warga negara, jaminan atas hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat.
Gelombang perlawanan masyarakat sipil ini
terutama berlangsung di sejumlah negara yang penguasanya diktator. Demokrasi
sebagai paham mengalami pasang-surut seiring dengan lemah dan kuatnya tuntutan
akan kemandirian politik rakyat.
Adalah Samuel Huntington
yang mencoba mengenali gelombang demokratisasi melalui periodisasi waktu.
Huntington mulai mengusut sejumlah faktor yang menimbulkan
naik-turunya sistem politik demokrasi. Gelombang pertama demokratisasi ada pada
periode revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yakni perluasan hak untuk
memilih, yang kini mungkin bisa disebut sebagai kriteria minimalis Demokrasi
(1828-1926).
Disusul gelombang balik saat kekuasaan
fasis dan komunis bangkit untuk meruntuhkan rezim demokrasi yang korup dan otoriter.
Kemudian gelombang demokratisasi kedua
(1943-1962) muncul pada PD II yang, menurut Huntington, bangkit karena pendudukan Sekutu yang mendorong
terbentuknya pranata-pranata baru.
Gelombang balik kedua (1958-1975) muncul
ketika terjadi kudeta yang dikerjakan oleh pihak militer dan ini terjadi di
beberapa negara, di antaranya Amerika Latin dan kawasan Asia.
Disusul gelombang ketiga demokrasi (1974-)
yang ditandai dengan kian banyaknya negara yang memilih sistem politik
demokrasi.
9
Imajinasi Paham Demokrasi
Jika ukuran gelombang ini yang dipakai, maka saat ini
Indonesia berada dalam putaran keempat gelombang demokrasi.
Dikatakan keempat karena pada tahun 1974, gelombang demokrasi menyapa Indonesia dengan kepiawaian Soeharto menerapkan teori
pembangunan.
Tapi apa sebenarnya indikator yang dipakai
untuk memastikan suatu negara menganut sistem demokrasi? Salah satu lembaga
yang termasyhur dalam pengukuran demokrasi, yakni Freedom House index
menggunakan satu dimensi pengukuran yakni kompetisi dan partisipasi.
Untuk masing-masing dimensi digunakan
skala tujuh, sehingga negara dengan peringkat teratas (yaitu, negara-negara
dengan derajad demokrasi tertinggi) adalah satu-satu (1-1 dan yang terendah
adalah tujuh-tujuh (7-7).
Sedangkan pada standar yang lain, ukuran
demokrasi kerapkali disandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Asumsi yang hendak
diletakkan melalui pendekatan ini, jika suatu negara makin makmur maka itu
artinya negara tersebut menerapkan sistem demokrasi. Tingkat pertumbuhan
ekonomi ini biasanya dirujuk pada pendekatan yang selama ini digunakan oleh
UNDP. Argumen demokrasi akan memberi sumbangan besar bagi pertumbuhan ekonomi,
dilandasi oleh alasan utama: demokrasi akan menyediakan lingkungan politik yang
stabil dan basis bagi pluralisme ekonomi. Tapi apa memang demikian yang
terjadi?
Di titik ini ada sosok ilmuwan terhormat
yang bernama Amartya Sein. Dalam paparannya Amartya percaya, bahwa kemiskinan
bukan karena mereka (orang miskin) tidak memiliki barang melainkan ruang
kapabilitas mereka yang kecil 6. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena
mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki
sesuatu. Itu sebabnya kebebasan menjadi sangat berarti, karena kebebasan adalah
syarat utama supaya sebuah tindakan untuk memiliki sesuatu menjadi mungkin.
Amartya memberikan saham besar bagi
filsafat politik demokrasi, karena kepercayaannya yang besar, terhadap
terbukanya akses bagi setiap orang terhadap sumber-sumber ekonominya. Fokus
utamanya ada pada bagaimana kapabilitas merupakan kunci utama bagi peningkatan
kesejahteraan. Kapabilitas dalam artian, bagaimana upaya dan kebebasan untuk
memperoleh hidup yang layak dapat berlaku bagi semua orang.
Di titik ini singgungan atas paham
demokrasi menjadi mungkin, karena absensi institusi politik yang demokratis
dapat 'memperburuk' kondisi ekonomi suatu bangsa. Institusi yang demokratis
akan memberikan ruang serta kesempatan yang luas bagi warganya untuk mengakses
kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
________________
6 Lih. Muhammad Chatib
Basri, Amartya Sen: Pilihan & Kemiskinan, Jurnal Kalam, 19, 2002
10
Demokrasi
Tidak untuk Rakyat
Argumentasi kalau sistem politik demokrasi akan
menguntungkan bagi proses pertumbuhan ekonomi juga coba dibuktikan melalui
fakta 'pertumbuhan'. Adalah Milton Friedman, ahli ekonomi pemenang nobel, yang
berpendapat kalau kebebasan politik berhubungan erat dengan kebebasan ekonomi.
Demokrasi menurutnya, adalah hasil dari perkembangan pasar bebas yang dijalankan
oleh sistem kapitalis. Dengan demikian, dalam kesimpulan Friedman, jika hendak
menerapkan sistem politik yang demokratis, syarat yang harus dipenuhi adalah
pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berwatak kapitalis 7. Sumber daya
ekonomi yang besar menjadi bahan bakar yang mutlak harus dimiliki oleh kandidat
untuk dapat memperoleh dukungan. Artinya tampilnya kelas borjuasi menjadi
penting bagi sebuah sistem politik demokrasi yang menerapkan ekonomi kapitalis.
Ini menyolok ketika terjadi pemilu dimana calon anggota parlemen (wakil rakyat)
harus memiliki modal yang mencukupi untuk bisa terpilih. Pada tahun 1978
misalnya, setidaknya 19 dan 100 orang senator Amerika Serikat adalah para
milyuner.
Tesis ini diperkuat oleh pendapat Seymour
M. Lipset, sosiolog asal Amerika Serikat, yang juga percaya kalau negara makmur
sajalah yang mampu menerapkan sistem politik demokrasi. Lipset melakukan
pemetaan pada sejumlah negara di kawasan Eropa dan Amerika Latin 9. Melalui klasifikasinya
terbukti bahwa negara-negara yang tergolong demokratis pada umumnya ada pada
negara-negara yang makmur. Apa arti kemakmuran? Lipset memilih empat indikator,
yakni kekayaan, industrialisasi, pendidikan dan urbanisasi. Dalam soal kekayaan
diperlihatkan oleh Lipset bahwa negara Eropa yang demokratis mempunyai
pendapatan per kapita rata-rata US$695 sementara pemerintahan Amerika Latin
dengan pemerintahan diktatorial yang tidak kontinyu, pendapatan per kapitanya
rata-rata hanya US$171. Korelasi antara demokrasi dan kekayaan ini tampak dalam
pemakaian fasilitas seperti koran, telephon, kendaraan pribadi dan radio.
Semakin tinggi demokrasinya semakin banyak fasilitas-fasilitas ini bisa
dinikmati oleh masyarakat. Hal yang sama juga pada dunia industri. Lipset
menyatakan semakin sedikit orang yang bekerja di sektor pertanian, penggarapan
sawah dan makin bertambahnya orang yang giat di sektor industri, maka negara
itu makin demokratis. Secara ringkas Lipset katakan, 'semakin makmur suatu
bangsa, semakin besar kesempatannya untuk mempertahankan demokrasi'.
_______________
7 Lih. Arief Budiman, Teori
Negara, Gramedia, 1996
8 Lih. John Markoff,
Gelombang Demokrasi Dunia, Pustaka Pelajar & CCSS, 2002
9 Lih. "Tesis Lipset
tentang Demokrasi", Basis, Juli-Agustus 1998
11
Imajinasi
Paham Demokrasi
Di titik
ini Demokrasi sebenarnya menghadapi dilema. Sebab memang ada kontradiksi antara
hukum bagi akumulasi modal dan hukum bagi terselenggaranya demokrasi. Bagi
hukum akumulasi modal, masyarakat dipilih berdasarkan kepemilikan modal yang
dimilikinya.
Berbeda dengan sistem pemerintahan
demokrasi, yang mencoba menerapkan prinsip setiap orang memiliki hak yang sama,
problem yang muncul apa memang 'hak' yang sama juga berlaku bagi kompetisi
politik dalam pemilu? Persaingan politik yang dijalankan tentu memakan ongkos
yang tidak kecil dan negara mau tidak mau juga harus mengikuti prinsip
akumulasi modal bagi proses pertumbuhan ekonominya.
Negara memang tidak akan mampu menjaga
'netralitas' bahkan bisa berubah fungsi menjadi kekuatan 'perantara' yang lebih
mengutamakan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pemilik modal ketimbang mayoritas
rakyat yang terlantar secara ekonomi.
Kasus di Indonesia membuktikan bagaimana
'rumitnya' prosedur demokrasi yang ujung-ujungnya memang akan memenangkan 'wakil'
kepentingan modal ketimbang 'suara' rakyat pinggiran.
Tapi sebelum menginjak pada kasus yang ada
di Indonesia, dalam paham Demokrasi memang kunci utamanya ada
pada bagaimana mekanisme dan prosedur untuk mengatasi berbagai konflik.
Dalam kerangka struktural, sistem politik
demokrasi 'dijanjikan' menyediakan, mengatur sekali-gus menyalurkan konflik
sehingga mengkristal dalam bentuk kesepakatan (konsensus).
Kenapa bisa seperti itu? Karena Demokrasi
memiliki kelebihan-kelebihan. Para penyokong paham demokrasi, menguraikan berbagai
kelebihan sistem ini. Pertama-tama janji persamaan kesempatan politik bagi tiap
individu yang dijamin oleh hukum. Bukan saja kesempatan politik melainkan juga
kesempatan ekonomi. Apa jaminannya? Kelebihan Demokrasi adalah mempersatukan
masyarakat dalam perbedaan, karena rakyat bisa bersatu sebab mempunyai dasar
serta tujuan yang sama. Dasar dan tujuan yang sama ini diatur melalui pola
kekuasaan yang distributif dan partisipatif. Demokrasi memperkenankan bahkan
menganjurkan adanya kompetisi politik yang terbuka, karena dari sana ada mekanisme kontrol.
12
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Kontrol dari mana? Kelebihan lanjutan dari
sistem demokrasi tak lain adalah legitimasi yang berpangkal prosedural dan
diatur dalam konstitusi. Artinya kekuasaan dipilih berdasarkan pada pilihan
rakyat yang diatur secara konstitusional. Rakyat dalam prinsip demokrasi bukan
kumpulan massa anonim melainkan kekuatan sosial yang terhimpun
dalam berbagai organ. Demokrasi karenanya bukan semata-mata prinsip politik
melainkan juga dasar ideologi yang kerapkali dijadikan alat perjuangan berbagai
gerakan rakyat. Kemandirian politik rakyat menjadi tujuan utama bagi penerapan
sistem demokrasi.
Dalam konteks inilah Demokrasi memerlukan
civil society. Civil Society ini dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan
(voluntary) keswasembadaan (selfregenerating) dan keswadayaan (self supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Gagasan civil society ini
terangkat ke permukaan oleh maraknya tuntutan demokratisasi yang digulirkan
oleh berbagai kelompok masyarakat.
Jika tuntutan demokrasi di awal mula lebih
bersifat politis, yakni keluar dari belenggu penindasan politik maka demokrasi
yang dituntut oleh organ civil society, berorientasi pada kemandirian politik
dan ekonomi.
Kondisi ini muncul terutama karena
meningkatnya kelas menengah berpendidikan dan peran dan kerja 'teknokratik'
sejumlah orang di birokrasi publik maupun instansi swasta.
Negara yang otoriter tidak saja dipaksa
untuk melakukan pemilu secara demokratis akan tetapi juga dituntut untuk
memberikan pelayanan yang 'bersih' pada rakyat. Terutama ketika negara menjadi
bagian penting dari jaringan kapital international, dimana kemakmuran dan
kelimpahan ekonomi hanya berpusat pada segelintir orang.
Disini mulai muncul serangkaian tuntutan
partisipasi, yang jika diatasi dengan cara-cara kekerasan dapat menimbulkan
gelombang perlawanan yang jauh lebih progresif.
Negara yang didukung oleh jaringan
birokrasi, kekuatan borjuasi dan pasukan militer tidak bisa mempertahankan
aliansi karena memang lama-kelamaan memiliki kepentingan yang saling
berbenturan.
Konflik kepentingan yang sejak awal memang
telah dikuatirkan, menjadi persoalan utama di beberapa negara yang mulai
beranjak menuju sistem demokrasi.
Apalagi jika ini berkait dengan hadirnya
kelas menengah yang kuat, memiliki orientasi politik liberal dan keyakinan
sekuler. Kecenderungan mereka untuk memperbesar pengaruh diperantarai oleh
tumbuh-pesatnya media yang tidak lagi bisa dikontrol kekuasaan. Gagasan, paham
politik maupun keyakinan yang saling berkomunikasi lama-kelamaan membentuk
jaringan yang sulit untuk dibatasi.
Lebih-lebih di saat kemajuan tekhnologi
komunikasi yang makin tidak mengenal batas geografis. Persoalan yang biasanya
didesakkan terlebih dulu adalah bagaimana pendelegasian otoritas yang
melibatkan banyak kalangan, tidak hanya dimonopoli oleh negara.
Keputusan-keputusan politik tidak bisa
hanya berpusat pada segelintir kelompok tapi juga melibatkan berbagai kelompok.
Pada titik inilah muncul apa yang populer dinamai dengan redemokratisasi,
proses pemulihan demokrasi dimana berbagai pihak mulai mendefinisikan aturan
maupun prosedur yang akan menentukan siapa yang berkuasa kelak.
13
Imajinasi
Paham Demokrasi
Redemokratisasi ini memang bukan bermaksud
melawan kuasa negara yang kejam melainkan 'mengurangi' penetrasi negara yang
berlebihan pada sektor publik.
Disini masuk konsep yang dinamai dengan
'pasca-totaliterisme', yang digunakan untuk membedakan dengan totaliterisme di
bawah Stalin, fasisme Hitler dan Mussolini. Pada dekade pasca-totaliterisme,
kekejaman politik tidak lagi menyolok, walaupun tidak berarti hilang, melainkan
diganti dengan upaya ideologis dan kultural yang secara sistematis melakukan
penetrasi ke dalam masyarakat dengan tujuan menundukkannya di bawah dominasi
negara 10. Kontrol negara mulai mengalami gugatan, sehingga benih kekuatan
masyarakat yang mulai melanjutkan perlawanan kembali digalang. Upaya
redemokratisasi ini menyolok terutama pada dekade pasca 1989, yang ditandai
dengan kekalahan rezim komunis di berbagai negara Eropa Timur termasuk Rusia.
Paham demokrasi yang menyebar cepat ke seluruh dunia ini kemudian menempatkan
masyarakat sipil sebagai perantara relasi antara pasar dengan negara.
Strategi penguatan civil society ini
ditujukan pada terbentuknya masyarakat politik yang demokratis, partisipatif
dan reflektif. Strategi yang hendak dirumuskan kerapkali dari pengupayaan ruang
publik yang terbuka dimana semua potensi masyarakat bisa terlibat secara aktif.
Strategi ini biasanya menggunakan organ-organ cendekiawan, kalangan NGO mau-pun
kelompok budayawan sebagai agen pelopornya. Menariknya kekuatan civil society
ini memang tidak diarahkan untuk melawan kekuasaan negara tetapi menjadi
kekuatan penyeimbang sekaligus kontrol bagi dominasi kekuasaan. Aktivitas yang
kerapkali dilakukan adalah advokasi, pendidikan publik untuk penguatan politik
serta pemantauan institusi parlemen maupun lembaga yudisial. Strategi penguatan
civil society ini pada hakikatnya mencoba untuk menanam kultur demokrasi pada
semua lini sosial dan mensosialisasikannya lewat jalur pendidikan. Diharapkan
dengan penyemaian kultur civil society akan muncul individu-individu demokratik
serta pranata yang berwatak demokratis.
________________
10. Lih. Muhammad AS Hikam,
Democracy & Civil Society, LP3ES, 1999
14
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Apakah strategi ini memang akan menghasilkan jawaban
yang tepat bagi kebuntuan partisipasi politik rakyat? Ada yang menyimpulkan ini cara yang jitu, karena
menguntungkan dalam jangka panjang sekaligus dapat menampung partisipasi rakyat
secara menyeluruh. Methode ini tepat karena penyadaran politiknya lebih ke arah
revitalisasi kesadaran diri serta pengembangan kemandirian politik masyarakat.
Maknanya jelas, bahwa penguatan civil society ini memberikan kewenangan serta
kekuasaan yang bertumpu pada kebutuhan rakyat. Kasus yang dirujuk keberhasilan
civil society ini adalah gerakan demokratisasi yang berlangsung di Eropa Timur.
Dimana berbagai kelompok bercampur-baur, kalangan cendekiawan bersama kaum
buruh serta diikuti oleh kelas profesional bergandeng tangan melakukan kontrol
atas kekuasaan represif negara. Disana ada pemberdayaan politik yang nyata,
karena masyarakat mengalami proses penanaman kesadaran demokrasi. Pertanyaannya
lagi-lagi, semudah itukah kesadaran demokrasi itu terbentuk dan partisipasi
politik dapat direalisir? Kesangsian ini kemudian memunculkan pertanyaan
mendalam, tentang kesahihan konsep demokrasi itu sendiri.
15
Demokrasi
yang
dikutuk!
Suatu Demokrasi sempurna
Adalah hal yang paling
memalukan di dunia (Edmund Burke)
Sebagai sebuah konsep politik, demokrasi bukan tidak
mengandung cacat. Ada banyak ilmuwan yang melakukan kritik pada konsep
yang satu ini. Keberatan mereka atas Demokrasi, diawali dari kandungan
kedaulatan individu hingga keperkasaan Parlemen. Sebagian kekecewaan ini
bermula dari, bagaimana cara kerja Demokrasi yang mementaskan pertarungan modal
hingga persekutuan najis sejumlah kelompok kepentingan. Dua-duanya melakukan
pengkhianatan atas kedaulatan rakyat dan keduanya hanya menempatkan rakyat
seperti secarik kertas suara. Ada banyak contoh kemudian diangkat untuk menampilkan
prestasi buruk sistem politik Demokrasi. Gugatan atas sistem Demokrasi ini tak
mengurangi kredibilitas dan kesahihan sistem politik Demokrasi.
16
Imajinasi
Paham
Demokrasi
Adalah Carl Schmitt yang melakukan kritik atas
diterapkannya Demokrasi Liberal, suatu konsep politik yang bertolak dari fakta
bahwa politik telah diciutkan pengertiannya menjadi sekedar suatu kegiatan
instrumental untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi yang hanya
mementingkan diri-sendiri. Carl melihat, Demokrasi Liberal telah menihilkan
politik dan semua makna hakikinya. Demokrasi Liberal menjadi konsep yang buta
terhadap hubungan-hubungan kekuasaan, yang sesungguhnya memiliki konflik.
Demokrasi kemudian percaya bahwa setiap kelompok kepentingan yang berbeda bisa
secara perlahan-lahan dirangkul dalam kepentingan kolektif. Padahal pemenuhan
atas hak-hak tertentu akan mengakibatkan pengucilan atau pengurangan atas
hak-hak lainnya. Disini Demokrasi kemudian jadi konsep yang utopis, karena
mengabaikan konflik kepentingan dan memandang kekuasaan secara netral.
Disini Demokrasi kemudian mendapat
gugatan, terutama tidak adanya garis batas antara kita dan mereka. Lintas batas
kekuasaan masing-masing kelompok hanya dikompetisikan melalui partai politik
dan pemilu. Itu sebabnya contoh penerapan ideal konsep demokrasi selalu merujuk
pada negara-negara maju. Karena disana prosedur demokratis yang memfasilitasi
keberadaan lembaga-lembaga formal serta bagaimana perumusan metode pengambilan
keputusan yang lebih diutamakan. Makna hakiki kedaulatan rakyat dipandang
utopis sehingga yang diandalkan dan konsep demokrasi memang sekedar jaminan
partisipasi meluas yang ditampung dalam struktur kelembagaan. Karakter
demokrasi semacam inilah yang kemudian mengundang perdebatan di berbagai
kalangan.
17
Demokrasl
Tidak
untuk Rakyat
Karena partisipasi secara sama dalam pengambilan
keputusan sebenarnya tidak ada! Mengapa? Geoff Mulgan11 mengisyaratkan beberapa
gejala: pertama, ide demokrasi yang mengurangi peran negara bukan kemudian
mendorong keaktifan rakyat melainkan tampilnya kelas 'profesional' politik yang
akan menggantikan posisi rakyat. Politik menjadi diprofesionalkan, karena
'orang kebanyakan' digantikan oleh politikus karier yang berbuat karena aturan
yang ditetapkan oleh komplotan oligarkhi. Kedua desakan untuk keterbukaan,
ironisnya dimanfaatkan untuk kiprah kekuatan pasar sehingga hukum demokrasi,
bukan dari rakyat untuk rakyat tapi dari penguasa untuk pengusaha. Yang ketiga,
pesatnya perkembangan media telah mengurangi banyak kekuatan potensial para
pemilih, karena pengumpulan opini, sifatnya hanya mendaur ulang proses
legitimasi. Daur ulang yang secara sukses sudah menghabisi potensi kedaulatan
bahkan pengawasan rakyat. Tampilnya kelas profesional politik ini telah
meruntuhkan mithos partisipasi yang selama ini didengung-dengungkan.
Dimana kiprah para profesional politik
ini? Partai politik menjadi kendaraan karir mereka. Mandat partai sebagai
medium pendidikan, rekrutmen hingga penempatan perwakilan sudah tidak berlaku
lagi. Yang ada dalam dunia partai, kecurangan pada sejumlah pemilih,
sentralisasi pengurus melebihi suara rakyat bahkan mencuri platform partai lain
untuk meningkatkan perfoma. Kontrol pemilih atas yang dipilihnya sangat rendah.
Untuk menyebut suatu contoh, ketika 70% masyarakat Amerika mendukung ide
penundaan semua uji coba nuklir, mereka dihadapkan pada kenyataan harus memilih
hanya dua calon yang justru keduanya menentang ide penangguhan tersebut.
Partai-partai kemudian enggan untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan rakyat,
karena sangat kuatir akan reaksi para penyumbang dana yang telah memberikan
uang untuk kampanye mereka. Kegiatan pemilu sarat dengan pertaruhan dana
besar-besaran dan itu sebabnya 'suara rakyat' hanya dihitung sebatas kertas
suara, yang itupun bisa dibeli.
_________
11. Lih. Geoff Mulgan,
Politik dalam Sebuah Era-Anti Politik, YOI, 1995
18
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Saksikan bagaimana mesin perang antar kandidat
berjalan di negara yang selama ini berkampanye tentang demokrasi, Amerika
Serikat. George Soros yang tidak menyukai kepemimpinan George Bush, mulai
menggelontorkan uang US$ 15,5 juta. Untuk apa uang itu? Sebesar US$ l0 juta
diberikan ke America Coming Together (ACT) sebuah organisasi liberal. Kemudian
sebesar US$ 3 juta diberikan ke lembaga analisis milik Clinton, The Centre for America Progress untuk melawan neo
konservatif di Wahington. Dan US$ 2,5 juta dialirkan ke Moveon.org, sebuah
lembaga lobi yang ia dirikan untuk membela Clinton dari serangan partai Republik pada masa pemerintahannya.
Soros lewat Lembaga Open Society sudah mcndonasikan sekitar US$5 milliar
(setara Rp 40 triliun) untuk menumbangan rezim-rezim yang menurutnya anti
Demokrasi. George Bush sendiri bukan tidak punya pendukung yang memiliki
pundi-pundi besar. Diantaranya Rupert Murdoch, keluarga maha-konglomerat media,
yang memberi kontribusi maksimum US$ 2.000. Jumlah ini adalah batas maksimum
yang diizinkan Undang-Undang Dana Kampanye Calon Presiden) dalam kampanye
Bush-Cheney Juni lalu12. Senjata Bush untuk melawan Soros juga dengan
memanfaatkan kekuatan Konglomerat. Pemilu kemudian menjadi pertarungan pasar dengan
pasar. Dimana suara rakyat kemudian? Miniatur berikut ini menunjukkan bagaimana
kedaulatan rakyat dibajak oleh sistem demokrasi
______________
12 Tempo 8 Februari 2004
19
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Absolutisme kekuasaan yang dulu ditentang
habis-habisan oleh pendukung demokrasi kini telah digantikan oleh absolutisme
pasar. Pasar dengan sistem demokrasi menjadi kian diuntungkan, apalagi dengan
munculnya berbagai lembaga-lembaga keuangan international yang memiliki
kekuasaan 'mewah'. Dinyatakan oleh Gill, perubahan ekonomi international
semakin mendekati suatu bentuk 'konstitusionalisme baru' yang menunjuk pada
upaya memperlakukan pasar sebagai tatanan konstutisional dengan segala pranata,
tata-cara dan lembaga-lembaganya sendiri yang bekerja demi melindungi pasar dan
campur tangan politik. Kekuasaan mewah ini telah menempatkan pasar sebagai
satu-satunya lembaga yang memiliki taraf otonomi yang tinggi bahkan berada di
luar jangkauan mayoritas massa
politik bahkan pemegang sah kekuasaan politik. Pasar semula diupayakan untuk
'kebal' dari campur tangan politik tetapi lama kelamaan, menjadi kekuatan yang
mengintervensi semua pengambilan putusan maupun penetapan kebijakan politik.
20
Imajinasi
Paham
Demokrasi
Itu sebabnya Williams dan Young berpendapat bahwa
kepemerintahan yang efektif dirasuki oleh suatu pemahaman liberal tentang
kebutuhan untuk merubah masyarakat dan politik demi menjadikan pasar berfungsi
secara lebih efisien. Itulah kredo pemerintahan demokrasi yang baru, yakni bukan
semata mengurangi peran negara melainkan mengatur ulang fungsi pemerintahan
dengan menggeser batas antara sektor publik dengan sektor swasta, sehingga
memperlebar ruang sektor swasta, dengan peran pemerintah yang berubah dari
penyediaan langsung ke pengaturan. Mode pemerintahan demokrasi semacam ini
bertumpu pada: pertama, regulasi ekonomi yang dijalankan secara progresif
dengan keterlibatan parlemen untuk mengesahkan berbagai peraturan hukum. Aturan
ini bersandar pada mekanisme perdagangan dalam negeri yang dipola mengikuti
hukum perdagangan international, kedua ada kebutuhan untuk mendirikan
lembaga-lembaga ekonomi baru yang terbebas dari tekanan sosial politik dalam
negeri dan yang ketiga mendorong berfungsinya lembaga-lembaga pengatur ekonomi
terpisah dari struktur pertanggung jawaban publik.
Tiadanya unsur pertanggungjawaban publik
ini nampak dan bagaimana persekutuan najis antara berbagai kekuatan perusahaan
multinasional dengan negara. Selingkuh ini telah menoreh wajah akumulasi
kekayaan besar-besaran di tengah kemiskinan. Contoh yang dapat dikutip adalah
Equatorial Guiena, sekitar 90% dari pendapatan tahunan minyak yang berjumlah
US$300 juta-US$ 500 juta mengalir ke rekening presiden seumur hidup Teodoro
Obiang Ngume Mbagoso. Hal yang sama dilakukan oleh perusahaan raksasa BP, yang
pada tahun 2001, mengungkapkan sumbangannya pada pemerintahan Angola. Kondisi serupa terjadi pada kasus besarAmerika,
yakni hancurnya Enron dan World Com di di Amerika. Situasi yang sama menimpa Indonesia, ketika meledak kasus BNI. Dibobol transaksi L/C
fiktif senilai Rp 1,7 triliun, Bank dengan delapan juta nasabah ini mengalami
kerugian raksasa. Para aktor yang bekerja melakukan pencurian ini, selain
aparatur negara juga kelas profesional lain, seperti akuntan publik, pengacara,
pekerja dalam sendiri. Rakyat dalam persoalan itu semua, tak mampu melakukan
kontrol apapun, malahan hanya menjadi penonton pasif dari berbagai tragedi
besar.
21
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Oleh Erich Fromm13 Demokrasi yang bertumpu pada suara
terbanyak sesungguhnya sudah dieurigai sejak dini. Keputusan mayoritas diambil
sebagai alasan untuk pembenaran, adalah kebodohan yang keterlaluan. Erich Fromm
lagi-lagi katakan, sebab bila kita belajar dari pengalaman sejarah, semua
gagasan politis "yang benar" dari jenis, seperti juga gagasan
filosofis, agama atau ilmu pengetahuan, mula-mula berasal dari kalangan
minoritas. Jika keputusan tentang nilai didasarkan pada jumlah orang yang
mendukungnya, maka kita rupa-rupanya masih tinggal di gua-gua zaman batu. Ada
yang luput dari demokrasi berdasar suara mayoritas ini, pertama, harus disadari
kalau keputusan yang benar tak dapat dibuat berdasarkan hasil suara massa yang
terbanyak, kedua tekanan suara terbanyak membuat seorang pemilih tak mampu
mengontrol lagi wakilnya dan sekaligus tidak memiliki pengaruh yang langsung
dan ketiga fakta-fakta penting yang diperoleh oleh pemilih maupun dikatakan
oleh wakil pada hakekatnya sulit untuk diseleksi tingkat kebenarannya. Karena
kontrak demokrasi dibatasi, seumpama di Indonesia, 5 tahun sekali. Itu sebabnya jika demokrasi mau
bermutu, harus, maju beberapa langkah untuk menambal kelemahan-kelemahan
teoritis yang menyelimutinya.
Lagi-lagi dimana posisi
rakyat? Mereka menjadi lapisan sosial yang perlu dicerahkan. Pencerahan inilah
yang menjadi mandat berbagai kelompok yang disebut-sebut sebagai bagian civil
society. Bekerja untuk mendorong proses perubahan agar makin demokratis dan
memenuhi kepentingan-kepentingan pasar. Terutama sejak perubahan kebijakan di
tingkatan Internasional, dimana World Bank memberikan partisipasi yang lebih
besar pada NGO dalam sejumlah program. World Bank melaporkan bahwa partisipasi
NGO dalam proyek-proyek yang didanainya meningkat dari 6 persen pada tahun
1973-1998 menjadi 30 persen pada awal 1990-an dan 50 % dari keseluruhan
proyeknya pada akhir 1990-an. Di samping itu, tentu pemerintahan AS menjadi
negara yang memiliki saham besar bagi perluasan dan pengembangan isu-isu
Demokrasi. Kemasan program ini sudah tentu harus sesuai dengan ideologi liberal
yang menjadi karakteristik pemerintahan AS. Kelompok AS yang mendanai bantuan itu diantaranya USAID, Asia
Foundation, Eurasia Fondation, NDI (National Democratic Institute).
____________
13 Lih Erich Fromm,
Masyarakat yang Sehat, Yayasan Obor Indonesia, 1995
22
Imajinasi
Paham Demokrasi
Biasanya program demokrasi itu wujudnya adalah
bantuan untuk kegiatan advokasi, bantuan pendidikan untuk masyarakat sipil dan
asistensi media. Ketiganya dipilih, karena mewakili isu ketidak-berpihakan sekaligus
kepercayaan akan jalannya perubahan, yang tidak menempuh jalan radikal. Proyek
demokrasi yang dijalankan oleh kalangan NGO ini pada hakikatnya akan terbentur
oleh banyak persoalan. Diantaranya kultur dan kelas sosial menengah atas yang
bekerja di dalamnya membikin NGO tidak memiliki konstituen yang riil. Dampak
dari keadaan ini di antaranya adalah banyaknya bantuan yang bocor dan dikorup
oleh lingkungan internal NGO. Kedua partisipasi yang memang teramat minim di
komunitas rakyat karena memang NGO bukan merupakan organ politik yang memiliki
basis massa teramat kuat di bawah. Persoalan ketiga yang
menyengat adalah rendahnya akuntabilitas dan transparansi NGO pada publik, yang
kadang-kala menjadi subyek perubahannya. Maknanya jelas, program demokrasi yang
dimotori oleh NGO harus berhadapan dengan budaya maupun etos internal yang sama
sekali tidak mendukung.
Perbincangan mengenai NGO
akan diulas lebih dalam pada bab berikutnya. Yang pasti aktor demokrasi di
samping NGO juga kelompok-kelompok kepentingan. Di antaranya memang kelas
menengah profesional yang selalu diidam-idamkan sebagai kekuatan pendukung
demokrasi. Tapi seperti yang tampak, kelompok ini kerapkali menjadi kelas
sosial yang meraup laba dengan cara-cara yang licik. Sebut saja para pengacara,
yang lebih memilih untuk membela kelompok industriawan ketimbang rakyat yang
tersingkir. Juga bagaimana kerasnya pengambil kebijakan untuk tetap tidak
bergeming ketika mengambil putusan, meski suara mayoritas menghendaki lain.
Sebut saja Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mestinya dijalankan atas
prinsip satu negara satu suara, tetapi semua kesepakatan agendanya ditentukan
oleh sekelompok kecil negara. Artinya Demokrasi yang menyatakan sebagai
kebebasan berpendapat, ternyata tidak memberikan pengaruh bagi kebijakan yang
dirumuskan oleh sebuah pemerintahan. Misalnya kebijakan George W Bush untuk
menyerang Irak, meski ditentang oleh ribuan penduduk di semua negara, bahkan
melalui internet, televisi, tapi semua protes itu sia-sia saja karena serangan
tetap dilakukan.
23
Demokrasl
Tidak untuk Rakyat
Demokrasi yang diidam-idamkan sebagai
suara mayoritas, pada hakekatnya -mengutip istilah Kaushik Basu- hanya
meletakkan rakyat sebagai anak bawang. Strategi anak bawang ini berangkat dari
premis: biarkan orang meyakini bahwa pendapat mereka diperhitungkan, bahwa
mereka ikut serta dalam pengambilan putusan bangsa, tetapi mereka sebenarnya
tidak terlibat dalam permainan yang sesungguhnya. Opini dimainkan dengan mahir
oleh media yang sebenarnya menjadi pilar demokrasi, tetapi kini berjalan
sebagai wakil kelompok usahawan. Media telah menjadi industri baru yang bekerja
mengikuti hukum pasar, yakni memelintir opini mayoritas untuk kepentingan
segelintir kelompok kepentingan. Lihat saja bagaimana media mementaskan
publikasi tentang terorisme yang menghabisi karakter Usama bin Laden serta
kelompok Mujahidin lain, tanpa melakukan investigasi mendalam mengenai
bagaimana kiprah kelompok ini dalam menyelesaikan perang saudara di sana. Hal yang sama juga dilakukan oleh media, mengenai
pentingnya mengadopsi ekonomi pasar bebas dalam melanjutkan pembangunan.
Konsep Demokrasi kini mulai disangsikan
karena jika dimaknai secara 'prosedur' ada banyak aktor kepentingan yang
bermain di dalamnya.
Menjatuhkan rezim diktator kemudian
melakukan pemungutan suara, memang pekerjaan sulit, tapi jauh lebih sulit
mempertahankan partisipasi yang menyeluruh. Disini Demokrasi berhadapan dengan
sejumlah konflik laten yang harus dihadapi dan tidak bisa diselesaikan hanya
dengan mekanisme prosedural.
Pertama-tama akumulasi modal yang
mengantarkan sejumlah orang memiliki kekayaan melimpah. Uang mengambil peran
penting, apalagi jika kekayaan tidak bersumber pada kerja melainkan akumulasi
modal serta 'pencurian' nilai lebih para pekerja.
Kelompok-kelompok politik yang bermodalkan
uang ini, yang dalam kategori kelas sosial inamakan golongan borjuasi, menjadi
kekuatan utama yang menyokong prinsip demokrasi. Dengan mengumumkan prinsip
kedaulatan rakyat, borjuasi mulai melancarkan agresi untuk mengurangi kekuasaan
kalangan feodal dan aristokrat. Prinsip kedaulatan rakyat dan persamaan hukum
pada semua manusia, merupakan janji 'utopis' paham demokrasi.
24
Imajinasi
Paham Demokrasi
Bermain Demokrasi
Kebebasan berpendapat ternyata tidak mempengaruhi
atau mengontrol pemerintah. Misalnya Amerika Serikat, orang menyatakan
pendapatnya dengan bebas -melalui surat kabar, televisi, ruang chatting di Internet- tentang
rencana George W Bush menyerang Irak. Meskipun penentangan besar-besaran
dilakukan tapi Amerika tetap saja menyerang Irak. Situasi serupa dilakukan oleh
lnggris dan Australia. Mereka menerapkan strategi anak bawang: biarkan
orang menyakini bahwa pendapat mereka diperhitungkan, bahwa mereka ikut serta
dalam pengambilan keputusan bangsa, padahal mereka tidak termasuk dalam
permainan sesungguhnya. Sementara masyarakat belajar untuk berpartisipasi,
pemerintah demokratis belajar mencapai jalan mereka tanpa partisipasi
masyarakat (Kaushik Basu, Prof Ekonomi Cornell University, Tempo 30 November
2003)
25
Demokrasi
Tidak
untuk Rakyat
Dalam proses pemilihan umum legislatif 5 April 2004
ada sekitar 34,5 juta orang yang tidak ikut pemilu. Jumlah lain menyebutkan ada
40-50 juta orang yang tidak ikut pemilu 2004. Yang jelas 34,5 juta melebihi
suara partai Golkar dan PDI-P yang menjadi pemenang Pemilu. Sepertinya mereka
memang mulai kurang percaya pada kemampuan wakilnya dalam memenuhi aspirasi.
Iwan Gardono dari Fisip UI berdasar data tahun 2003 menyatakan hanya 29% wakil
rakyat mendatangi konstituen setelah terpilih dalam Pemilu 1999. Lebih sedikit
lag wakil rakyat yang membuat laporan pertanggung-jawaban atau melakukan
konsultasi dengan konstituen (sumber Kompas 8 Mei 2004)
26
Imajinasi
Paham
Demokrasi
PDIP memiliki perolehan dana kampanye paling besar Rp
111 milliar. Di antara penyumbang dana kampanye PDIP PT Ruhaak Phala Industri,
Roy BB Janis, Sabam Sirait, Aris Munandar yang masing-masing menyetor Rp 100
juta. Perolehan dana kampanye Golkar Rp 754,7 juta berasal dan 27 badan usaha
dan 658 perorangan. Dana kampanye PAN Rp 15,5 milliar terdiri dari dana Partai
Rp 503,7 juta serta sumbangan lima badan usaha dan perorangan. Dana Partai Damai
Sejahtera Rp 1,6 milliar dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia Rp 525 juta
(Sumber Tempo 16 Mei 2004)
Hanya dua anggota DPR Pilihan Rakyat.
Ternyata dari 550 orang anggota DPR-RI hasil Pemilu 2004, hanya dua orang saja
yang benar-benar terpilih karena melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Hal
ini dipengaruhi oleh, pertama orientasi elit sendiri yang ingin berkuasa,
misalnya dengan mendorong rakyat untuk coblos tanda gambar dan yang kedua
pendidikan parpol yang nyaris tak tersentuh gerakan reformasi. Peryataan ini
dikemukakan oleh Riswandha Imawan dalam lokakarya masalah kebangsaan di Gedung
Merdeka, Bandung (Sumber Bernas 13 Mei 2004)
27
Imajinasi
Paham
Demokrasi
Parpol dan
DPR Dinilal lembaga paling korup
Korupsi di Indonesia paling
banyak berlangsung di kalangan Partai dan DPR. Itulah hasil survai versi Tranparency
International Indonesia (TI) Menurut sekjen TI, Emmy Hafild menyebut beberapa
praktek korupsi yang terjadi dalam parpol dan parlemen, antara lain, rekrutmen
kader yang didudukkan sebagai calon anggota parlemen, serta sumbangan dana dari
pihak lain.
Sumbangan yang dimaksud termasuk saat
kampanye dalam pemilu. Sementara itu praktek korupsi di DPR antara lain berupa
lobi-lobi di bawah meja dengan pihak-pihak tertentu.
Berikut tabel barometer korupsi Indonesia
2004
Barometer Korupsi
Indonesia
2004
Partai Politik 4,4
Bea Cukai 4,3
Peradilan/Polisi 4,2
Pajak 4
Bisnis/swasta 3,7
Pelayanan Perijinan 3,7
Militer
3,3
Sistem Pendidikan 3,2
Pekerjaan umum 3,1
Pelayanan Kesehatan
3
Media 2,6
LSM 2,4
Badan Keagamaan 1,8
Jember, 10 Oktober 2015
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar