BERTAQWALAH
(Takut Kepada Alloh Swt.)
JANGAN KORUPSI (GHULUL)
Oleh
: Dr. H.M. Nasim Fauzi
Definisi dan Pengertian
(Dikutip dari Wikipedia)
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalah-gunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepa-da mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalah-gunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepa-da mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Perbuatan melawan hukum,
2.
Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
3.
Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
4.
Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
5. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya,
namun bukan semuanya, adalah
a.
Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
b.
Penggelapan dalam jabatan,
c.
Pemerasan dalam jabatan,
d.
Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri / penyelenggara negara), dan
e. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri / penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keun-tungan pribadi. Semua
bentuk pemerintah | pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun
tidak ada sama sekali.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
1. Konsentrasi
kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2. Kurangnya
transparansi
di pengambilan keputusan pemerintah
3. Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
4. Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5. Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6. Lemahnya ketertiban
hukum.
7. Lemahnya profesi
hukum.
8. Kurangnya kebebasan berpendapat
atau kebebasan
media massa.
9.
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
Akibat dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung
(dipilih oleh rakyat).
1. Pendapat Ryaas
Rasyd
Ryaas Rasyd adalah Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan
yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Sedikitnya ada tiga dampak besar pemilihan
kepala daerah secara langsung yang membuat banyak pihak prihatin.
1.
Penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara
konstituen,
2.
Tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan
3.
Akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari
perilaku koruptif kepala daerah terpilih.
Dia
mencontohkan dampak besarnya biaya kampanye yang kemudian mengakibatkan kepala
daerah sulit lepas dari perilaku koruptif tergambar dalam data yang dilansir
Kementerian Dalam Negeri, bahwa ada 160 kepala daerah yang telah dan akan
dibawa ke pengadilan.
"Kesemuanya terkait dengan korupsi
APBD. Perlu dicatat bahwa semua kepala daerah yang bermasalah ini adalah hasil
dari pilkada langsung," katanya.
Baca di Lampiran
Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Sumber Petaka Bangsas (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A.)
2. Pendapat Gamawan Fauzi
Gam
2. Pendapat Gamawan Fauzi
Gam
3. Pendapat Pramono AnungDemokrasi di Indonesia Terlalu Mahal
Wakil
ketua DPR Pramono Anung mengatakan, mahalnya demokrasi di Indonesia dapat
dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan setiap kelompok.
Berdasarkan temuannya, politisi yang akrab disapa Mas Pram ini
menjelaskan, ada tingkatan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator
pada saat kampanye. “Dana minimal itu di bawah Rp 600 juta, dana standar antara
Rp 600 juta hingga satu miliar, dana besar di atas satu miliar. Untuk incumbent
saja ada yang mengeluarkan Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,5 miliar, bagaimana dengan
tokoh biasa?,” bebernya. Lebih lanjut Pramono Anung mengurai, ada hubungan
antara figur calon dan besarnya biaya kampanye. “Biaya paling rendah adalah
publik figur dan
paling tinggi itu pengusaha, kisarannya satu
sampai enam miliar,” pungkasnya,
Kondisi itu jauh berbeda dengan proses demokrasi
yang dijalankan di negara lain yang menerap-kan politik biaya murah dan
mengutamakan transpa-ransi dalam penggunaan dana. Perbandingan
tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari
jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia. Di
negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus meng-
umumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar
AS.
Sedangkan di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu
jika telah mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu
dolar AS untuk perusahaan.
Kondisi
itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang
menerapkan politik biaya murah dan mengutamakan transparansi dalam penggunaan
dana. Perbandingan
tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari
jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia. Di
negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus mengumumkan
secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar AS.
Sedangkan
di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah
mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS
untuk perusahaan.
"Itu
membuktikan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal," katanya, Kamis
(24/10)
Kondisi
itu menjadi semakin mahal karena proses demokrasi yang akan dilalui setiap
orang mencapai delapan jenis. "Dalam lima tahun bisa delapan kali. Mulai
dari presiden hingga kepala desa," kata politisi PDI Perjuangan itu.
Menurut
Pramono, fenomena mahalnya proses demokrasi di Indonesia tersebut cukup
mengkhawatirkan, karena dapat berdampak langsung pada perilaku korupsi.
Kondisi
itu menjadi tanggung jawab bersama agar proses demokrasi di Indonesia tidak
perlu mengeluarkan biaya mahal dan kembali ke jalur yang benar. Seluruh elemen bangsa harus dapat memanfaatkan proses demokrasi untuk memberikan kesejahteraan bagi
rakyat.
"Kesejahteraan
itu esensi dari demokrasi. Biaya mahal itu salah satu penyebab perilaku
korupsi, walau penyebab utamanya adalah faktor keserakahan," katanya.
Sumber : Antara
Dampak negatif korupsi
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius
terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang
tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa
korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang
baru moncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Di mana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,
korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat
yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau
aturan-aturan lain. Kasus di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang
sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang
sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih
memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,
ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts
memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187
triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya,
dalam artian pembangunan
(atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh
ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan
bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering
didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk
kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan
memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi dalam Islam
Oleh Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin
Hadis 01 Dari ‘Adiy
bin ‘Amirah Al Kindi Ra. berkata : Aku pernah mendengar Nabi Saw. bersabda “Barangsiapa di antara kalian yang kami
tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa
pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar
berdiri menghadap Nabi Saw., seolah-olah aku melihatnya, lalu dia
berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan. ”Nabi Saw. bertanya,”Ada
apa gerangan?” Dia menjawab ,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan
demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).” Beliau Saw. pun berkata,”Aku
katakan sekarang, (bahwa) barang-siapa di antara kalian yang kami tugaskan
untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya),
sedikit maupun banyak Kemudian, apa yang
diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang
maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
– Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
– Abu Dawud dalam Sunannya dalam kitab al Aqdhi-yah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
– Imam Ahmad dalam Musnadnya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Ra. di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
– Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
– Abu Dawud dalam Sunannya dalam kitab al Aqdhi-yah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
– Imam Ahmad dalam Musnadnya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Ra. di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RA
Beliau
merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah
bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit
meriwayatkan hadits Rasululllah Saw., di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah Ra.. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish
shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya ber-makna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya ber-makna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya ber-makna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya ber-makna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas,
secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara
khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa
seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang,
perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita
bahas ini.
MAKNA HADITS
Nabi Saw. menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Nabi Saw. menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar
oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara
para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw., serta merta dia merasa takut.
Dia meminta kepada Rasulullah Saw. untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Saw.
menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya
membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak
kepada beliau Saw.. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri
oleh beliau Saw. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang
ditahan oleh beliau Saw., maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda :“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”.[5]
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda :“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”.[5]
Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini
terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil
tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang
menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]
Dalam hadits tersebut maupun di atas,
Rasulullah Saw. menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang
dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi
(ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas
yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan
zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat
menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan
tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Saw. yang shahih.
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Saw. yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah
firman Allah Swt. “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta
rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang
itu) maka pada hari Kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [QS. Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Swt.
mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di
antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas Ra., ayat
ini di-turunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan
sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum
munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Saw. telah mengambilnya. Maka
Allah Swt. menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Saw. terbebas
dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam
ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Saw. dari segala bentuk
khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan
lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan
dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini,
dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika
Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang
itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu
…”
Ibnu Katsir mengatakan,”Di dalamnya
terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini
termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan
Allah Swt., sebagaimana dalam firmanNya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui” [QS. Al Baqarah [2}:188]
Juga firmanNya : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…”
[QS. An Nisaa` [4] : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi)
yang datang dari Nabi Saw., maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini
sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Ra. dan hadits
Buraidah Ra..
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Saw. menceritakan : “Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya: “Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya, tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”.
Nabi Saw. menceritakan : “Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya: “Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya, tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”.
Lalu nabi itu pun berperang dan ketika
sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia
berkata kepada matahari : “Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun
diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami,” maka tertahanlah
matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan
harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api
tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumya):
“Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan
perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah
bersumpah (berbai’at) kepadaku,” kemudian ada tangan seseorang menempel ke
tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara
kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah
(berbai’at) ke padaku,” kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel
ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara
kalian ada (yang berbuat) ghulul,” maka mereka datang membawa emas sebesar kepala
sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya.
Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah
melihat kelemahan kita.[9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan “Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan “Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”
Kemudian pada malam harinya selepas shalat
Isya’ Nabi Saw. berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada
khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Saw. mengatakan “(Maka)
Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari
kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor
unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi
itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu
pun) bersuara …” [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin
pemimpin atau yang menugaskannya. Dalam hal
ini, Nabi Saw. pernah bersabda : “Hadiah untuk para petugas adalah ghulul”.
[11]
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta,
seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga
baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat
buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang
telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu
sabda Rasulullah Saw., yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan
suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia
ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA PERBUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Di antaranya :
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Di antaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada
hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan
hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Ra. di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi
Ra., Rasulullah Saw. bersabda : “Demi
(Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu
daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya
di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika
(yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia
ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab
kehinaan dan siksa api
neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Ra., bahwa Nabi Saw. bersabda : (karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”. [14]
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Ra., bahwa Nabi Saw. bersabda : (karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”. [14]
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat
jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Saw. “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya
(mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga.
Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang”. [15]
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi),
sebagaimana dalam sabda Nabi Saw.
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima
dari harta ghulul (korupsi)”.[16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab
yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi
Saw. : “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang
baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa
yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,”Wahai para rasul,
makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah) juga berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu,”
kemudian beliau (Rasulullah) Saw. menceritakan seseorang yang lama bersafar,
berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a):
“Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya
akan dikabulkan?”. [17]
Demikian yang bisa tuliskan untuk para
pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari
segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini
bermanfaat.
Wallahu
a’lam bish Shawab.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Saw. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Saw. (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunannya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Saw. (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Saw., hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pad Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modala catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Ra. dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Ra.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
Hukuman bagi Koruptor
Wewenang hakim. Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim .
Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
Usulan Hukuman Mati. Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. ”MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini. ”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.
Masyarakat Menghendaki Hukuman mati. Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
Komitmen KPK. Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, Minggu (15/9).
Usulan penulis
untuk hukuman ta’zir
Selain mengembalikan harta korupsi
(dimiskinkan), juga dihukum sama dengan pencuri yaitu dipotong tangan.
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Lampiran |
Sejarah Pilkada Langsung
Dikutip dari Ari Barata - Kompasiana
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti perihal lahirnya Undang=undang yang mengatur tentang otonomi daeran terutama dalam hal pemilihan kepala daerah
Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada Undang-undang ini Pemilihan Kepala Daerah dimasukkan pada rezim pemilu. Maka kemudian masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan PEMILUKADA (Pemilihan Kepala Saerah secara langsung oleh rakyat).
Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Petaka Bangsa (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas Rasid, M.A.)
Dikutip dari Ibnu Dawam Azis
21 Maret 2014 23:24 Diperbaharui: 24 Juni 2015
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. sebagai anggota Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi harus bertanggung jawab atas berbagai akibat pemikiran otonomi daeran yang kini menjadi beban pembengkakan angka Koruppsi dan keamburadulan birokrasi.
Reformasi birokrasi pemikiran Ryaas Rasyid yang akhirnya berbuntut pada hilangnya profesionalisme birokrasi di daerah dan mahalnya politik Kekuasaan di aerah yang bermuara pada merebaknya korupsi sampai basis birokrasi paling bawah.
Salah satu contoh nyata adalah tidak adanya batas kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyusun Birokrasi di daerah. Walikota dan Gubernur mempunyai kebebasan untuk memenuhi hasratnya dalam menempatkan pejabat-pejabat teras. Tidak berdasarkan kompetensi akan tetapi berdasarkan kedekatan dan balas jasa semasa pencalonannya sebagai Bupati, Walikota atau Gubernur
. Pasca pemilihan Bupati / Walikota atau Gubernur nyaris tidak akan pernah lepas dari mutasi besar-besaran pada posisi Teras tiap-tiap Dinas. Maka jangan kaget bila Kepala Dinas Kehutanan di suatu daerah sama sekali tidak mengenal masalah hutan, karena diangkat dari seorang Camat. Bila Bupati, WaliKota dan Gubernur yang berbasis Politik Praktis tidak mengenal dan tidak menghargai pentingnya satu kompetensi dalam memegang satu jabatan kemudian hanya berfikir untuk balas budi, akan jadi apa Negeri ini ?
Banyaknya
kasus sengketa PILKADA yang juga karena alasan Politis semata diubah manjadi
PEMILUKADA sekedar untuk mendapat “perlindungan“ dari Mahkamah Konstitusi dan
jaringan KORUPSI / SUAP menuju Mahkamah Konstitusi, itu juga“ DOSA-RYAAS
RASYID”.Ryaas Rasyid pulalah, sebenarnya pencetak para koruptor / penyuap dalam
setiap laga Pemilu Kada.
Dari segi system pemisahan kekuasaan Pusat
dan Daerah, ada berapa Negara yang menganut faham yang diterapkan Ryaas
Rasyid? Di negara besar, sebuah Negara Federal sebesar Amerika Serikat pun
hanya memisahkan kekuasaan pada dua tingkat kewenangan, yaitu Kewenangan Negara
Bagian dan Kewenangan Federal.
Batas kewenangan antara Propinsi dengan
Kabupaten Kota yang tidak jelas, semakin menjauhkan Politik Kebijakan
Pusat dengan Daerah. Kewenangan Legislatif di Daerah akhirnya dalam praktek
kenyataannya overlapping dengan kewenangan Eksekutif. Hampir semua tender
dengan pelaksana Proyek yang terjadi di daerah tidak akan lepas dari campur
tangan langsung Legislatif. Hanya dengan adanya deal-deal pembagian kepentingan
antara Eksekutif dan Legislatif tender setiap proyek bisa berjalan. Ini Juga “Dosa“ Ryaas Rasyid.
Prof. Dr.
M. Ryaas Rasyid, M.A. memang bisa berkilah, bahwa otonomisasi yang berlaku saat
ini sudah bukan tanggung jawabnya lagi karena sudah menjadi amanat Undang
Undang Dasar. Otonomisasi adalah hasil Amandemen UUD 45. Akan tetapi justru
itulah dosanya semakin besar, memanfaatkan semangat reformasi yang hanya
bermodal kebencian terhadap Orde Baru, melontarkan ide Otonomisasi tanpa arah
untuk mengubah sebuah Undang Undang Dasar yang selain hanya untuk memberi
kepuasan diri dan kesempatan berekspresi bagi actor politisi daerah juga
berpotensi merobek-robek arti persatuan yang seharusnya dipertahankan.
Praktik Otonomi Daerah yang saat ini
justru “menjadi beban” bangsa Indonesia dengan menghabiskan anggaran dan
kekayaan Negara dan sarat dengan kepentingan Politik sesaat yang melambungkan
Tingkat Korupsi sampai ke puncak paling tinggi, adalah satu indikasi bahwa
Amandemen UUD 45 telah gagal dan perlu ditinjau kembali.
Bagaimana Otonomi Daerah yang Ideal
?
Tulisan ini tidak hanya mengkritik, akan
tetapi juga mencari sebuah Solusi.
Otonomi
Daerah dengan pemberian kekuasan yang lebih luas kepada daerah memang sangat di-perlukan,
akan tetapi pembagian kekuasaan antara Pusat dengan Daerah harus hanya terjadi
satu tingkat pembagian kewenangan dan tidak ada overlapping kewenangan,
sehingga pertanggung jawabannya menjadi jelas. Di mana
Pusat hanya terbatas mengurusi masalah HANKAMNAS, Politik Nasional dan
Hubungan Luar Negeri, system Ekonomi Nasional, System Kesejahteraan Nasional
serta Hukum dan Hak Azasi Warga Negara / Manusia. Sedangkan masalah Pembangunan
seutuhnya diserahkan kepada Daerah. Biarlah Daerah bersaing dengan kelebihan
dan kekurangannya untuk kemudian saling bekerja sama antar daerah dengan atau
tanpa mediasi kewenangan Pusat.
Akan tetapi yang paling penting “ TIDAK
LAGI ADA PEMBAGIAN KEWENANGAN BERTINGKAT-TINGKAT DENGAN OVERLAPPING KEWENANGAN ”Dimana hanya ada pembagian Kewenangan Pusat
dan Daerah dengan otonomi luas sampai dengan tingkat Propinsi. Sedangkan
Kabupaten dan Kota adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Otonomi Propinsi.Tidak ada
lagi Pemilu Kada Kabupaten – Kota , Tidak ada
lagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten / Kota. Bupati
dan Wali kota “TIDAK LAGI PERLU DIPILIH “ akan tetapi adalah merupakan Birokrasi
di bawah Pemerintahan Otonomi Propinsi. Konsekuensi dari hiiangnya Otonomi
Kabupaten / Kota, maka Propinsi dengan otonomi yang lebih luas di sebuah Negara
Besar seperti Indonesia ini, tidak akan cukup hanya dengan 34 Propinsi. Berapa
Propinsi ? Itu yang harus dikaji untuk munculnya sebuah Undang-undang.
Ibnu Dawam Azis
Ibnu Dawam Azis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar