PROPOSAL
Mengurangi
Kegagalan
Terapi
Penyakit Tuberculosis
Dengan
Corticosteroid
Oleh
: Dr. H. M. Nasim Fauzi
A. Pendahuluan
Organisasi Kesehatan Dunia WHO menggolongkan penyakit TBC sebagai penyakit endemik yang sulit dihilangkan. Riset WHO tahun lalu menunjukkan hampir sepertiga penduduk dunia mengidap TBC. Setiap tahun, lebih dari 1,7 juta orang meninggal dunia. Laju penyebaran penyakit ini sulit dibendung lantaran TBC mudah sekali menular.
Dalam perspektif
Indonesia, penyakit TBC
juga menjadi masalah serius. Indonesia merupakan negara kelima sebagai negara
yang paling banyak mengidap penyakit
TBC. Indonesia hanya kalah dari
Swaziland, Kamboja, Zambia dan Djibouti. Jumlah pengidap TBC saat ini 321 orang per 100 ribu penduduk. Dengan sekitar 65 ribu orang yang meninggal dunia.
Penyakit TBC di
Indonesia merupakan salah jenis penyakit penyebab kematian nomor 4 setelah penyakit stroke, penyakit diabetes, dan penyakit hipertensi /tekanan darah tinggi.
Kebanyakan kasus
terjadi di perkotaan. Dan berbeda dengan kasus yang terjadi di perkotaan, kasus
penyakit TBC yang terjadi di pedesaan merupakan salah satu penyebab kematian
nomor 2 setelah penyakit stroke.
Foto
sputum dengan kuman TBC yang dicat dengan Kinyoun
Penyebab dari penyakit TBC adalah kuman
Mycobaterium tuberkulosis dan biasanya kuman ini akan menyerang paru-paru. Selain
itu penyakit TBC bisa menyerang organ tubuh yang lain misalnya kelenjar getah
bening, usus serta ginjal, kandungan, tulang dan bisa juga menyerang selaput otak
Gambar paru dengan tubercle
Tuberkulosis
menyebabkan reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru, yaitu terjadinya penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag dan
pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa yang membentuk
tuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran bakteri
tuberkulosis yang lebih luas di
dalam paru-paru.
Pembentukan sel-sel raksasa Langhans / Giant cell
Pembentukan sel-sel raksasa Langhans / Giant cell
Kuman TBC yang dimakan
makrofag tidak mati. Kuman TBC yang berada di dalam makrofag tersebut
mensensitasi T cell sehingga terjadi keadaan imunitas atau hipersensitivitas.
Bila lymphokin yang diproduksi tidak banyak, terjadi reaksi imuntas. Lymphokin
yang mampu meningkatkan fagositosis dan meningkatkan bakterisidal. Bila
lymphokin yang diproduksi tidak banyak, terjadi hipersensitivitas di mana
terjadi khemotaksis monosit dan makrofag. T cell yang tersensitasi membuat
pagar, mengelilingi protoplasma makrofag yang berbentuk serupa epitel (sel
epiteloid). Akhirnya terbentuk granuloma yang khas. Granuloma tersebut akhirnya
mengalami nekrosis perkejuan di bagian sentralnya. Bila basil tbc dimasukkan ke
dalam jaringan, maka lekosit ramai-ramai tercurah di daerah itu.
Fase lekosit ini tidak berlangsung lama dan sel lekosit ini kemudian
diganti oleh sel makrofag yang sanggup memfagositosus lekosit yang mati dan
basil tbc. Akibatnya makrofag berubah menjadi sel epiteloid. Sel epiteloid ini
mengelompok/bersatu membentuk sel raksasa Langhans dengan inti-inti berderet
melingkar. Bila tuberkel ini bersifat avaskuler, maka terdapat lekosit dan
terjadi nekrosis kaseosa. Bila lekositnya banyak, terjadi keadaan supuratif.
Material granular dari nekrosis kaseosa dengan inti
mengalami degenerating dan fragmented.
B. Permasalahan 1
Bagaimanakah Interaksi antara macrofag dan Mycobacterium tuberculosa itu ?
I.
Macrofag
Gambar
leukocyte
Makrofag adalah sel
pada jaringan yang berasal dari sel darah putih yang disebut monosit. Monosit
dan makrofag merupakan fagosit, berfungsi baik pada pertahanan tidak spesifik
dan juga pada pertahanan spesifik vertebrata. Peran mereka adalah untuk
memfagositosis selular dan patogen baik sebagai sel tak berubah atau bergerak,
dan menstimulasi limfosit dan sel imun lainnya untuk merespon patogen. Makrofag
berasal dari monosit yang terdapat pada sirkulasi darah, yang menjadi dewasa
dan terdiferensiasi dan kemudian bermigrasi ke jaringan. Makrofag dapat
ditemukan dalam jumlah besar terutama pada saluran pencernaan, di dalam
paru-paru (di dalam cairan tubuh maupun alveoli), dan sepanjang pembuluh
darah tertentu di dalam hati seperti sel Kupffer, dan pada keseluruhan limpa
tempat sel darah yang rusak didaur keluar tubuh.
Migrasi macrophage
2. Fungsi Makrofag
Makrofag mampu
bermigrasi hingga keluar sistem vaskuler dengan melintasi membran sel dari pembuluh
kapiler dan memasuki area antar sel yang sedang diincar oleh patogen.
Makrofag adalah fagosit yang paling efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar
bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor permukaan
makrofag memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri melalui “serangan
respiratori“, menyebabkan pelepasan bahan oksigen reaktif. Patogen juga
menstimulasi makrofag untuk menghasilkan kemokina, yang bisa memanggil sel
fagosit lain di sekitar wilayah terinfeksi. Makrofag tidak teraktivasi oleh
stimulasi sejumlah sitokina seperti TNFα, IL-1β, IL-15 dan IL-8.
Makrofag adalah sel besar dengan kemampuan fagositosis, yang berarti “sel
makan” dapat disamakan dengan pinositosis yang berarti “sel minum”. Fagositosis
yaitu kemampuan untuk mengabsorbsi dan menghancurkan mikroorganisme (bakteri
atau benda asing). Cara makrofag untuk menghancurkan (memakan) bakteri atau
benda asing tersebut ialah dengan membentuk sitoplasma pada saat bakteri atau
benda asing melekat pada permukaan sel makrofag, lalu sitoplasma tersebut melekuk
ke dalam membungkus bakteri atau benda asing, tonjolan sitoplasma yang saling
bertemu akan melebur menjadi satu sehingga bakteri atau benda asing akan
tertangkap di dalam vakuola. Lisosom yang memiliki kemampuan untuk memecah
materi yang berasal dari dalam maupun dari luar akan menyatu dengan vakuola
sehingga bakteri atau benda asing tersebut akan musnah.
Gambar
proses phagocytosis
Selain memiliki fungsi atau peran utama untuk memakan partikel dan
mencernanya bersama-sama dengan lisosom yaitu berkaitan dengan fungsi
pertahanan dan perbaikan, fungsi lainnya adalah menghasilkan IL (Inter Leukin)
yang mengatur tugas sel-B dan sel-T dari limfosit dan memobilisasi sistem
pertahanan tubuh lainnya, makrofag juga merupakan sel sekretori yang dapat
menghasilkan faktor nekrosis tumor (TNF = Tumor Nekrosis Faktor) yang dapat
membunuh sel tumor, juga menghasilkan beberapa substansi penting termasuk enzim-enzim
(lisozim, elastase).
II. Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium Tuberculosis adalah
bakteri penyebab penyakit tuberkulosa. Penyebab penyakit TBC pertama kali
dideskripsikan pada 24 Maret 1882 oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman,
Robert Koch (1843-1910). Sejak saat itu, 24 Maret diperingati sebagai hari TBC sedunia.
Atas temuannya itu, Robert Koch dianugerahi hadiah Nobel dalam bidang fisiologi
dan pengobatan pada 1905.
1. Kuman Tuberkulosis
Kuman TBC dengan pengecaan acid fast
Gambar Mycobacterium Tuberculosis dengan Scanning electron micrograph
Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena
itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama
selama beberapa tahun.
2. Membelah Diri
Bakteri ini adalah jenis bakteri
obligat aerob, artinya bakteri ini dapat hidup jika di lingkungannya ada
oksigen. Tanpa oksigen, bakteri ini tak dapat hidup. Mycobacterium tuberculosis
berkembang biak secara membelah diri setiap 16 hingga 20 jam. Berbeda dengan
bakteri biasa yang membelah lebih cepat, bahkan dalam hitungan menit (contohnya
saja E. coli yang membelah kurang dari 20 menit). Bakteri ini ukurannya sangat
kecil, yaitu sepersepuluh juta hinga dua persepuluh juta meter atau 0,1-0,2
mikrometer. Bentuknya batang kecil dan kebal terhadap desinfektan. Bakteri ini
juga mampu bertahan hidup di tempat yang kering. Ia juga bersifat parasit
terhadap inangnya.Bakteri TBC mempunyai dinding sel tebal yang mengandung zat
lilin. Zat lilin ini berperan dalam terbentuknya fase atau formasi granoluma
atau bintil atau nodul yang terlihat pada hasil foto rontgen paru-paru
penderita TBC.
3. Cara Penularan:
Sumber penularan adalah penderita TB
BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara
dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB
masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
4. Kelangsungan hidup Kuman TBC di dalam makrofag
Kuman TBC adalah patogen yang sangat
berhasil. Kuman itu tidak mati di dalam makrofag. Bahkan kuman itu mampu
menggunakan makrofag itu sebagai sarana untuk berkembang biak. Sedang
kuman-kuman lainnya bisa dibunuh oleh makrofag.
Kuman tBC telah mengembangkan strategi
agar tetap hidup di dalam makrofag. Yaitu:
a. Menghalangi fusi
phagosome-lysosome.
b. Menghambat asidifikasi phagosome.
c. Mencegah tryptophan aspartat pada
selubung phagosome di lepas ke lysosome.
d. Menggandakan protein yang kaya akan
glycin.
Namun mekanisme bagaimana kumanTBC itu
bisa masuk ke dalam sel inang, mengatasi pertahanannya, kemudian menyebar ke
sel lain belum difahami betul. Pengertiannya yang lebih baik tentu sangat
berguna untuk mengatasi pandemi penyakit TBC.
C.
Diskusi 1
Kemampuan kuman TBC masuk ke dalam makrofage kemudian berkembang biak menjadikannya sebagai tempat bersembunyi dari serangan musuh-musuhnya, bahkan makrofag itu digunakannya sebagai kendaraan untuk berpindah dan menyebar ke bagian lain dari tubuh.
========================================================
Keberadaan sel-sel makrofag di sekitar kuman TBC ternyata bisa merugikan terapi
penyakit TBC.
========================================================
Sebaiknya kita usahakan agar makrofag
tidak berada di sekitar kuman TBC dengan menggunakan corticosteroid.
1. Corticosteroid
Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi
perubahan lingkungan dan infeksi.
Hormon kortikosteroid terdiri dari 2
sub-jenis yaitu hormon jenis glukokortikoid dan hormon jenis mineralokortikoid. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat luas, seperti
berpengaruh pada perubahan lintasan metabolisme karbohidrat, protein dan lipid, serta modulasi
keseimbangan antara air dan cairan elektrolit tubuh; serta
berdampak pada seluruh sistem tubuh seperti sistem kardiovaskular, muskuloskeletal, saraf, kekebalan, dan fetal termasuk
mempengaruhi perkembangan dan kematangan paru pada
masa janin.
Penggunaan kortikosteroid pada
penyakit tuberkulosa hingga saat ini masih kontroversial. Pada penelitian
terdahulu disebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada tuberkulosa
menyebabkan progresifitas penyakit, sehingga penggunaannya merupakan
kontraindikasi. Sesuai dengan data-data terbaru menunjukkan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid yang digabung dengan kemoterapi yang sesuai mempunyai
manfaat pada keadaan tertentu pada tuberkulosa,
Pengaruh
Corticosteroid terhadap makrophage
Menurunkan
jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena
terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke dalam limpa,
kelenjar limfe, ductus thoracicus dan sumsum tulang.
Menghambat
respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan
differensiasinya menjadi makrofag. Menghambat fungsi fagositik
dan sitotoksik makrofag.
Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka,
apalagi gerakan makrofag ke daerah keradangan juga menurun pada pemberian
steroid yang lama sehingga akan mempersulit penyembuhan luka
2. PENGGUNAAN
KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA
Dari
pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi
tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana
kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya sebagai berikut:
a. Penderita tuberkulosa paru dengan
keadaan penyakit berat dan tanda toksik.
Dikatakan bahwa pemberian
kortikosteroid mempercepat perbaikan klinis dan radiologis, tetapi kesembuhan
tetap terantung obat anti tuberkulosa dan penggunaan kortikosteroid tidak
dilakukan secara rutin, kecuali dalam keadaan berat yang memerlukan pengobatan
suportif sampai obat anti tuberkulosa bekerja secara efektif.
b.
Tuberkulosa Milier
Dikatakan bahwa angka kematian bisa mencapai 100% bila tidak diberikan pengobatan adekwat dan hal ini terjadi dalam 4-12 minggu dimulai timbulnya gejala klinis, kebanyakan disebabkan oleh karena penyebaran kuman ke susunan saraf pusat dan yang sering terjadi adalah meningitis tuberkulosa.
Dikatakan bahwa angka kematian bisa mencapai 100% bila tidak diberikan pengobatan adekwat dan hal ini terjadi dalam 4-12 minggu dimulai timbulnya gejala klinis, kebanyakan disebabkan oleh karena penyebaran kuman ke susunan saraf pusat dan yang sering terjadi adalah meningitis tuberkulosa.
Ada
pendapat lain yang tidak menyetujui pemberian kortikosteroid oleh karena
sebagian besar penderita tuberkulosa milier bila telah sembuh maka tidak
meninggalkan gejala sisa, sehingga penggunaan kortikosteroid tidak dilakukan
secara rutin.
c. Efusi pleura
Dikatakan
bahwa terapi pada pleuritis tuberkulosa bermanfaat mencegah terjadinya efusi
pleura, memperpendek gejala klinis yang timbul dan mencegah kerusakan pleura,
dimana penebalan pleura dan penurunan fungsi paru merupakan gejala sisa dari
efusi pleura. Dikatakan bahwa terutama pada anak, bila terjadi komplikasi, maka
fungsi parunya akan turun dan kortikosteroid tidak akan memperbaruhi fungsi
parunya.
Sejak
pertengahan abad dilaporkan tentang manfaat pemberian kortikosteroid per oral
dan intra pleura, khususnya dalam mempercepat penyerapan cairan pleura.
d. Perikarditis tuberkulosa
Perikarditis
tuberkulosa merupakan hal yang jarang terjadi, dilaporkan terdapat 44 kasus
3002 penderita tuberkulosa di inggris dalam penelitian selama 6 bulan.
e. Meningitis tuberkulosa
Meskipun
ada beberapa tuberkulosa SSP, namun meningitis tuberkulosa insidenya menduduki
tempat tertinggi dengan angka kematian (20-50%).
Pada
penelitian awal sekitar tahun 1976 dikatakan bahwa kortikosteroid secara
“parenteral “dan “intrakekal” memberi manfaat, dimana efeknya mengurangi
peradangan, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi odema otak, menghambat
terbentuknya jaringan fibrous, mempercepat perbaikan konsentrasi protein serta
jumlah sel darah putih pada cairan cerebro spinal.
3.
GOLONGAN KORTIKOSTEROID YANG DIPAKAI
Kortikosteroid yang cukup banyak dipakai
adalah golongan Prednison,
namun dapat pula dipakai preparat lain dengan dosis ekuivalen 1 mg/Kg bb/hari.
Pada umumnya prednison
yang diberikan sebesar 40-60 mg/hari selama 4-7 hari, dilanjutkan dengan dosis
30-50mg/hari selama 4-7 hari, kemudian diberikan dosis 10-30mg/hari selama 5-8
minggu yang diturunkan terus sampai habis.
Dosis
ekuivalen beberapa preparat kortikosteroid
adalah sebagai berikut:
-
kortisol (hidrokortisol) : 20mg
-
metilprednisolon : 4mg
-
kortison : 20mg
-
triamsinolon : 4mg
-
prednison : 5mg
-
betametason : 0,60 mg
-
dexametason : 0,75m
D.
Pengalaman Penulis Menggunakan Corticosteroid Sebagai Ajuvant Kemoterapi
Dalam Pengobatan Penyakit Tuberculosa
Mula-mula
penulis menggunakan tablet prednison dosis tinggi selama 6 bulan.
Dosisnya
adalah sebagai berikut :
Bulan I : 3x2 tablet, bulan
II : 2-2-1 tablet, bulan III : 2-1-1, bulan IV : 3x1 tablet, bulan V : 2x1
tablet dan bulan VI : 1x1 tablet.
Kasus I :
Seorang penderita laki-laki
dewasa yang menderita Tuberculosa paru dengan pleural effusion. Penulis terapi
dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan.
Ditambah prednison dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik, namun
masih terjadi sisa perlekatan pleura. Penulis suruh lari-lari setiap hari.
Akhirnya perlekatan pleura terlepas.
Kasus II:
Seorang penderita perempuan
dewasa yang menderita KP duplex yang sangat berat, serta pleural effusin.
Kondisinya sangat kurus dan sangat lemah.
Penulis terapi dengan triple
drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison
dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik. Kondisinya pulih seperti
semula.
Kasus III :
Seorang
penderita perempuan dewasa yang menderita KP duplex yang sangat berat.
Kondisinya sangat kurus dan sangat lemah.
Penulis
terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan.
Ditambah prednison dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik.
Kondisinya pulih seperti semula.
Beberapa
kasus lainnya penulis terapi dengan cara yang sama, tetapi tidak kembali untuk
kontrol (drop out). Kemungkinannya adalah karena terlalu ruwetnya macam dan
jumlah obat, atau terjadi efek samping obat.
Maka selanjutnya penulis
meninggalkan cara ini dan menggantinya dengan prednison dosis rendah.
Penggunaan
prednison dosis rendah.
Penggunaan
prednison dosis rendah ini dianjurkan oleh Prof. Askandar Tjokroprawiro yaitu
menggunakan tablet prednison 2 tablet sekali sehari sebelum jam 9 pagi (jam 8
pagi).
Digunakannya
prednison karena durasinya yang sedang /intermediate (12-36 jam) sehingga efek
sampingnya rendah.
Tabel
perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid15
Kortikosteroid
|
Potensi
|
Lama kerja
|
Dosis ekuivalen (mg)*
|
|
Mineralokortikoid
|
Glukokortikoid
|
|||
Glukokortikoid
|
||||
Kortisol
(hidrokortison)
|
1
|
1
|
S
|
20
|
Kortison
|
0,8
|
0,8
|
S
|
25
|
6-α-metilprednisolon
|
0,5
|
5
|
I
|
4
|
Prednisone
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Prednisolon
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Triamsinolon
|
0
|
5
|
I
|
4
|
Parametason
|
0
|
10
|
L
|
2
|
Betametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Deksametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Mineralokortikoid
|
||||
Aldosteron
|
300
|
0.3
|
S
|
-
|
Fluorokortison
|
150
|
15.0
|
I
|
2.0
|
Desoksikortikosteron asetat
|
20
|
0.0
|
-
|
-
|
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral
atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12
jam)
I = intermediate, kerja sedang
(t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pemakaian
prednison berpengaruh terhadap kerja cortisol tubuh. Agar pengaruhnya terhadap
cortisol sekecil-kecilnya maka tablet prednison diberikan sewaktu kadar
cortisol paling tinggi yaitu sekitar jam 8 pagi sebanyak 2 tablet. Lihat profile
cortisol di dalam serum pada gambar di bawah.
Terapi ajuvant prednison 2 kasus
Lymfadenitis Tuberculosa yang telah gagal diterapi dengan Tuberculostatica
Kasus I
Seorang penderita perempuan
dewasa yang menderita Lymphadenitis tuberculosa dengan luka caseus terbuka 2.5
cm di leher kanan. Telah diterapi dengan tuberculostatika tetapi tidak sembuh.
Penulis terapi dengan triple
drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison 2
tablet setiap jam 8 pagi. Hasilnya sangat baik, sembuh dengan sicatrix.
Kasus II
Seorang penderita laki-laki
dewasa yang menderita Lymphadenitis tuberculosa 1 cm tertutup di leher kanan.
Telah diterapi dengan tuberculostatika tetapi tidak sembuh.
Penulis terapi dengan triple
drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison 2
tablet setiap jam 8 pagi. Hasilnya sangat baik, kelenjar limfe mengecil,
tinggal 0,5 cm.
E. Permasalahan 2
Bagaimanakah mekanisme kerja
corticosteroid dalam penyembuhan penyakit TBC itu ?
F. Diskusi 2
Corticosteroid berpengaruh terhadap
keberadaan dan fungsi makrofag di dalam jaringan. Menurunkan
jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam. Menghambat respon
proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan differensiasinya
menjadi makrofag. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag.
Jumlah makrofag di dalam
jaringan berkurang. Tubercle dan giant cel pecah. Maka kuman-kuman TBC itu
tidak mendapatkan tempat lagi untuk bersembunyi.
Sewaktu
kuman TBC berada di dalam sel-sel makrofag, tubercle dan giant cell, kemoterapi
sangat sukar menjangkau kuman-kuman TBC yang berada di dalam sel-sel itu
sehingga efektifitasnya sangat berkurang.
Setelah
kuman-kuman itu berada di luar sel maka obat-obatan itu bisa langsung
menjangkau kuman-kuman itu untuk membunuhnya.
==============================================================
TEORI
Mungkin
yang terjadi bukanlah kekebalan kuman TBC terhadap obat, tetapi karena
obat-obatan itu tidak bisa menjangkau kuman-kuman TBC yang bersembunyi di dalam
sel makrofag.
==============================================================
==============================================================
Bila ini yang terjadi, maka kita bisa
meningkatkan efektifitas kemoterapi dan mengurangi kegagalan tyerapi penyakit TBC
dengan menggunakan corticosteroid dosis rendah, misalnya prednisan 2 tablet
setiap jam 8 pagi.
Karena samplenya hanya sedikit maka
secara statistik teori ini belum terbukti.
Kebenaran teori ini bisa dibuktikan
dengan melakukan trial dengan sample yang cukup banyak terhadap penderita
penyakit TBC di instansi-instansi pemerintah dan swasta di antaranya adalah di
Rumah Sakit Paru di Jember.
Dananya dapat diminta pada instansi
kesehatan pusat atau daerah.
E. Kesimpulan dan penutup
Telah dibahas teori tentang pengaruh pemakaian corticosteroid terhadap interaksi antara sel makrofag dan kuman TBC.
Sel makrofag bertugas
membunuh sel-sel patogen yang berada di dalam jaringan tubuh manusia dengan
cara memakannya kemudian membunuhnya dengan lysosome.
Sebagian besar
sel-sel patrogen itu mati. Tetapi kuman TBC telah mengembangkan kemampuan bertahan
terhadap lysosome. Malahan tetap bisa berkembang biak di dalam sel makrofag itu.
Maka kuman-kuman TBC telah menjadikan sel-sel makrofag itu sebagai tempat
bersembunyi dan sebagai kendaraan untuk berpindah tempat.
Kemungkinan kemoterapi
TBC tidak bisa membunuh kuman TBC yang berada di dalam sel makrofag, sehingga
terjadi kegagalan terapi penyakit TBC.
Di dalam literatur
telah dibahas indikasi pemakaian corticosteroid sebagai ajuvant dalam terapi
penyakit TBC yaitu :
a.
Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik.
b.
Tuberkulosa Milier
c.
Efusi pleura
d. Perikarditis tuberkulosa
e. Meningitis tuberkulosa
Penulis telah
mengetengahkan pengalaman mengobati beberapa orang penderita TBC dengan pemakaian
corticosteroid sebagai ajuvant selain kemoterapi.
Karena jumlah samplenyanya
sangat sedikit maka secra statistik tidak dapat dipakai sebagai dasar terapi obyek
yang lebih luas.
Penulis mengusulkan
untuk melibatkan instansi pemerintah dan swasta untuk melaksanakan trial dengan
obyek yang lebih banyak.
Keberhasilan trial
itu akan sangat membantu dalam mengurangi kegagalan terapi penyakit TbC di
masyarakat yang lebih luas.
Semoga makalah ini
berguna bagi kita semua, amin.
Jember, 5 April 2015
DR. H.M. NASIM FAUZI
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Kepustakaan
01. Abdul Latief Azis Penggunaan kortikosteroid
di
02. old.pediatrik.com/buletin/20060220-uk51j3-buletin.doc
03. Ciri-ciri (Gejala) Penyebab Penyakit TBC Paru-paru dan engobatannya
.https://www.facebook.com/p.ireine.a.d.kaunang/posts/745159995549818:0
04. Imunologi Dasar : Makrofag dan Proses Fagositosis
allergycliniconline.com/2013/11/02/imunologi-dasar-makrofag/
05. Kortikosteroid
http://koasku.blogspot.com/2010/01/kortikosteroid.html
06. Obat Kortikosteroid BIOSINTESIS DAN KIMIA http://catatankuliahopik.blogspot.com/
07.
Penyakit-tbc-paru-paru http://penyakittbc.org/penyakit-tbc-paru-paru/
08. PENGGUNAAN%20KORTIKOSTEROID
elib.fk.uwks.ac.id/.../PENGGUNAAN%20KORTIKOSTEROID%20PAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar