“Ukhuwah Wathaniyah”
Perspektif Kebangsaan
Oleh : Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA
UKHUWAH wathaniyah
(persaudaraan sesama warga bangsa) dan pengembangan komitment kebangsaan
akhir-akhir ini menjadi kian penting dipahami dan diwujudkan. Konsep yang
pernah dikonstuksi oleh K.H. Achmad Siddiq
(Mantan rois ‘Aam PBNU) menjadi bagian dari “tri ukhuwah” yakni tiga
konsep persaudaraan sebagai upaya memposisikan kita sebagai orang Islam,
sebagai warga negara dan sebagai sesama manusia, yang terkenal dengan: ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama
Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa), ukhuwah
basyariyah (persaudaraan berdasar kemanusiaan). Menurut K.H. Achmad Siddiq,
konsep tri ukhuwah terinspirasi oleh Piagam Madinah yang pernah digagas oleh
Nabi Muhammad Saw.
Secara historis, ketika Nabi
Muhammad Saw hijrah ke Yatstrib (Madinah), penduduk Yatstrib waktu itu terdiri
dari kaum Muhajirin dan Ansar, orang-orang Yahudi yang terdiri dari Bani
Qainuqa’ di sebelah dalam, Bani Quraidah di Fadak, Banu an-Nadhir tidak jauh
dari situ, dan Yahudi Khaibar di utara. Selain itu ada juga sisa-sisa kaum
Musyrik yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, perkembangan selanjutnya
setelah umat Islam menguat, muncul lagi kelompok baru yang belum dikenal di
Mekah, yaitu kelompok munafiqun yang merupakan musuh dalam selimut.
Nabi berkomitmen, bahwa tugas
dakwah harus berhasil. Salah satu kuncinya adalah adanya jaminan keamanan dan
kedamaian yang bisa dinikmati oleh semua pihak. Nabi Muhammad Saw merasa sangat
perlu menciptakan kerukunan dan kedamaian antar seluruh anggota masyarakat.
Dari sinilah dirumuskan naskah yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah”.
Memang ada yang menduga bahwa
piagam ini tidak pernah ada karena sumbernya hanya Ibnu Ishaq tanpa menyebutkan
sanad (rangkaian perawi-perawinya), tapi akhirnya dugaan itu terbantah
karena seperti hasil penelitian Karam Dhiya’ al Umari dalam Sirah-nya yang
berusaha menjelaskan riwayat sejarah berdasar metode kritik hadits, bahwa
riwayat tentang piagam itu ditemukan dalam sumber yang terpercaya selain Ibnu
Ishaq, dan ditemukan butir-butirnya secara terpisah pada kitab-kitab hadits
standard termasuk kitab Bukhari dan Muslim. Menurut Dr. Karam Dhiya’, bahwa
piagam yang populer ini terdiri dari dua piagam, satu berkaitan dengan
orang-orang Yahudi yang disusun sebelum peperangan Badar dan yang kedua yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban kaum Muslim, Muhajir dan Anshar yang disusun
setelah peperangan Badar. Selanjutnya para sejarawan menggabungkannya menjadi
satu. Namun demikian, kapanpun terjadinya, dan apakah dia satu piagam atau dua
yang disatukan, yang jelas ia terjadi pada masa-masa awal kehadiran Nabi
Muhammad Saw di Madinah al-Munawarah.
Piagam tersebut, antara lain
mengandung butir-butir sebagai berikut: (1) Kaum Muslim, baik yang dari Mekah maupun
yang bermukim di Yatstrib, serta yang mengikut dan menyusul mereka dalam
berjuang bersama adalah satu umat (kesatuan), (2) Kaum Muhajir dan kalangan
Quraisy tetap dapat melaksanakan adat kebiasaan mereka yang baik dan berlaku di
kalangan mereka, seperti bersama-sama menerima dan membayar tebusan darah di
antara mereka dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang Mukmin,
demikian juga Bani Auf menurut adat kebiasaan mereka yang baik, (3) Orang-orang
yang beriman harus membantu sesama Mukmin dalam memikul sesama beban utang yang
berat atau dalam membayar tebusan tawanan dan diyah, (4) Orang Mukmin harus
melawan orang yang melakukan kejahatan/permusuhan dan perusakan walau terhadap
anak-anak mereka, (5) Orang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin demi
kepentingan orang kafir, (6) Siapapun dari kalangan orang Yahudi yang bersedia
memihak kepada kelompok/mengikuti kaum Muslim, maka ia berhak mendapat
pertolongan dan persamaan, (7) Persetujuan damai orang-orang mukmin sifatnya
satu, sehingga tidak dibenarkan seorang Mukmin mengadakan perjanjian sendiri
dengan meninggalkan Mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Alah, (8)
Tidak dibenarkan melindungi harta dan jiwa kaum Quraisy (yang kafir) dan tidak
boleh juga merintangi orang beriman (dalam perjuangannya), (9) Bilamana terjadi
perselisihan antara para ”penanda tangan piagam ini’, maka keputusan
dikembalikan kepada Rasul Saw, (10) Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya
perang (pertahanan) selama masih dalam keadaan perang, (11) Masyarakat Yahudi
Bani ‘Auf adalah satu umat (kesatuan masyarakat) dengan orang-orang beriman.
Masyarakat Yahudi bebas melaksanakan agama mereka dan kaum Musliminpun
demikian, bahwa tidak ada seorangpun diantara mereka yang boleh keluar, kecuali
atas izin Muhammad Saw, (12) Seseorang tidak boleh dihalangi dalam menuntut
haknya. Barangsiapa yang diserang, maka ia bersama keluarganya harus menjaga
diri, kecuali yang berlaku aniaya, (13) Orang Yahudi menanggung nafkah sesama
mereka, orang-orang Mukminpun demikian. Tetapi mereka semua (Mukmin dan Yahudi)
harus saling membantu menghadapi pihak yang menentang piagam ini. Mereka semua
sama-sama berkewajiban, nasehat menasehati, bahu membahu dalam kebajikan, dan
menjauhoi dosa dan keburukan. (14) Seseorang tidak boleh melakukan keburukan
kepada sesamanya dan bahwa pertolongan /pembelaan harus diberikan kepada yang
teraniaya, (15) Kota Yatstrib adalah kota “Haram” (suci/terhormat) bagi para
penanda tangan piagam ini. Kota yang dihormati tidak boleh dihuni tanpa izin
penduduknya. (16) Siapapun yang keluar atau tinggal di kota Yatstrib, maka
keselamatannya terjamin, kecuali yang melakukan kedhaliman/kejahatan.
Dalam rumusan tersebut terlihat
pengertian umat yang disamping dapat mencakup umat yang memiliki
persamaan agama, juga dapat dicakup oleh mereka yang berbeda-beda agama, selama
mereka mempunya persamaan tujuan. Disisi lain, kendati mereka berbeda-beda,
tetapi sama dalam hak dan kewajibannya, penganiayaan harus dihindari, bahkan
dilenyapkan. Kepastian hukum harus ditegakkan walau terhadap anak kandungnya
sendiri.
Jika dicermati,
butir-butir Piagam Madinah adalah dokumen yang sangat strategis bagi pengembangan
komitment kebangsaan yang digagas oleh Nabi Muhammad Saw lebih seribu empat
ratus tahun yang lalu yang isinya jauh mendahului rumusan kebebasan beragama
dan hak-hak asasi yang dikenal saat ini. Dapat dipastikan bahwa para sahabat
Nabi ketika itu menerima dengan sepenuh hati dan pikiran dan melaksanakannya dalam
kehidupan keseharian mereka. Rasionya kita memangn perlu belajar dan mengambil
hikmah dari pesan-pesan piagam yang digagas Nabi Muhammad Saw sehingga pesan
bijaknya bisa dijadikan rujukan dalam menggagas perdamaian yang akhir-akhir ini
kioan dibutuhkan, atau setidaknya menjadi sumber inspirasi untuk mewujudkan
kehidupan yang harmoni “sepakat dalam persamaan atau perbedaan, sehingga kita
bisa “hidup bersama dalam persamaan, atau meski banyak perbedaan”. Ini berat
tapi harus dilatih dan terus diperjuangkan, karena membangun ukhuwah wathaniyah
berarti membangun komitmen kebangsaan dan sekaligus membangun peradaban bangsa.
Wallahu a’lam.
Prof. Dr. H.
Abd. Halim Soebahar, MA, adalah Guru Besar Pendidikan STAINJember dan
Ketua umum MUI Kabupaten Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar