Merokok Itu (Tidak) Haram?
Oleh : Ayu Sutarto*
DARI akhir Januari hingga awal Februari ini, saya terlibat dalam sebuah kegiatan peluncuran buku yang berjudul Siapa Bilang Merokok Harom? karya dr HM.Nasim Fauzi. Sebuah judul buku yang sangat sensitif dan provokatif. Keterlibatan saya dalam peluncuran buku itu bukan hanya satu kali, tetapi beberapa kali.
Prof. Dr. Ayu Sutarto, MA.
Judul buku tersebut memang bisa membuat gatal telinga orang yang tidak menyukai rokok atau yang mengharamkan rokok. Simak saja judulnya, Siapa Bilang Merokok Harom? Nada melawan dan rasa jengkel senyatanya tercermin dalam buku itu. Bahkan subjudulnya seperti pernyataan orang yang sedang nggerundel atau bersungut-sungut : Minyak Kedelai dan Minyak Kacang sebagai Penyebab Penyakit Jantung; Rokok yang dijadikan Kambing Hitam! Dalam buku itu, Pak dr Nasim, sang penulis, melihat rokok dari tiga aspek, yakni aspek kesehatan, aspek ekonomi, dan aspek agama. Dari aspek kesehatan Pak Nasim menegaskan bahwa rokok yang didiskreditkan sebagai penyebab impotensi, penyakit jantung, atau merusak janin adalah omong kosong. Bahwa rokok bisa menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis, memang telah terbukti. Begitu Pak Nasim. Jadi, angka kematian yang besar itu jelas bukan karena rokok! Begitu tandas Pak Nasim.
Pak Nasim yang tumbuh di kalangan santri juga sangat yakin bahwa rokok tidak haram. Beliau mengutip beberapa ayat dan hadis yang beliau jadikan rujukan. Pernyataan beliau digaris-bawahi oleh beberapa kiai dan ulama yang hadir dalam peluncuran buku itu. Menurut Pak Nasim, kampanye anti rokok tersebut lebih merupakan bagian dari gebrakan imperialisme medis (medical imperialism) yang dinakhodai oleh negara-negara Barat. Kita sebaiknya tidak selalu mengamini apa yang dikatakan Barat karena telah terbukti bahwa Barat tidak selalu benar. Menurut Pak Nasim, rokok juga memiliki manfaat nonekonomis yang positif, seperti menghilangkan stres, misalnya. Kalau Sampeyan mau tahu manfaat nonekonomisnya yang positif, baca saja buku ini. Kalau manfaat ekonomisnya jelas kelihatan. Tanya saja sama petani tembakau di Jember, Pamekasan, atau Sumenep.
Pada awalnya saya ragu untuk hadir dan membahas buku ini. Saya bukan perokok, dan saya tidak anti atau mendukung rokok. Mau merokok, ya merokok saja, asalkan tahu tempat. Begitu sikapku. Apalagi kalau nanti saya harus berbenturan dengan saudara-saudara saya dari Muhammadiyah dan MUI, atau dengan para dokter ahli jantung yang jelas-jelas tidak menyukai rokok. Gak usyah ya! Untuk apa menambah angka konflik di Indonesia? Tetapi kemudian saya memutuskan untuk hadir dengan niat baik. Buku dr Nasim ini sangat menarik dan tembakau atawa rokok sangat terkait dengan mata pencaharian orang banyak. Jadi, kalau saya hadir dan ikut bersuara, saya bisa memberi sumbang pikir untuk masalah yang membelit negeri saya meski hanya sebesar debu.
Mungkin Sampeyan kepengin tahu siapa sang penulis buku itu. Penulisnva adalah seorang dokter dan bukan perokok. Dr HM. Nasim Fauzi, lahir di Malang. 24 Maret 1945. Sejak SD hingga SMA, beliau tinggal di lingkungan Pondok Pesantren KHM. Siddiq, Kidul Pasar Jember. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Unair pada tahun 1974, beliau bekerja sebagai dokter Depkes RI di Gresik dan Jember, dan pensiun tahun 2000. Kini beliau bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Jember dan menyalurkan hobi menulisnya, baik melalui dunia cetak maupun dunia siber (cyber). Pak Nasim adalah orang kedua yang berani melawan arus melalui buku, setelah sebelumnya Wanda Hamilton menulis buku yang berjudul Nicotine War, tentang perang nikotin dan para pedagang obat.
Pak Nasim yang kiai terpanggil untuk menulis buku ini konon karena beliau melihat akan banyak orang Indonesia yang menjadi "korban" dari gerakan mengharamkan rokok apabila nanti negara sangat-sangat membatasi peredaran rokok. Mereka yang akan menjadi korban adalah petani tembakau, buruh tani, pengusaha tembakau, buruh pabrik rokok dan juga pengusaha rokok. Jumlah mereka banyak, sekitar 30 juta. Begitu menurut perkiraan Prof Kabul Santosa, mantan rektor UNEJ yang hadir sebagai pembahas dalam peluncuran itu. Prof Kabul dikenal sebagai pakar tembakau, bukan hanya di Jawa Timur, tetapi juga di Indonesia. Dulu Prof Kabul merokok, tetapi sekarang tidak. Menurut beliau, rokok memberi sumbangan yang tidak kecil bagi keuangan negara.
Alhamdulilah, meski terkadang terjadi benturan pendapat, dalam peluncuran buku itu tidak ada peserta, pendengar, atau pemirsa yang tampil emosional. Kelompok yang tidak suka rokok tetap bersikukuh bahwa rokok lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat. Sebaliknya, kelompok yang pro rokok sangat menggebu-gebu dan mendukung pernyataan ulama vang berbunyi bahwa hukum merokok adalah makruh atau mubah (boleh).
Diskusi selalu hangat, tetapi tak sampai panas dan meledak-ledak. Tentu saja, nama Muhammadiyah dan MUI juga dibawa-bawa dalam peluncuran buku itu karena kedua nama tersebut pernah mengeluarkan fatwa bahwa merokok itu haram. Diskusi berjalan lancar, dan tercermin sikap saling menghargai antara yang pro dan yang kontra.
Ketika saya dimintai pendapat saya berbicara dari perspektif budaya. Rokok sudah dikenal selama berabad-abad di negeri ini. Rokok telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial-budaya. Simak saja, dalam berbagai perhelatan, baik yang bernuansa adat maupun reiigi, masyarakat pedesaan selalu menghadirkan rokok sebagai bagian penting. Dalam ranah sosial, rokok telah menjadi instrumen untuk memperkuat kohesi sosial. Bagi sebagian orang, seperti juga telah ditulis Pak Nasim, rokok dapat mendorong pikiran dan bicara menjadi cair dan mengalir. Sebagai seorang peneliti masalah sosial-budaya, saya mengamati juga peran dan fungsi rokok dalam masyarakat. Orang Tengger, misalnya, laki-laki, perempuan, dan anak-anak merokok semua.
Mereka adalah petani tradisional yang bekerja di ladang hingga sore hari. Tubuh mereka kuat dan rata-rata usia mereka juga panjang. Sebagian orang Using menyuruh anak-anak kecil merokok agar mereka tidak step. Kalau begitu, benarkah merokok itu (tidak) haram?
Dikutip dari RADAR JEMBER, Rabu 9 Februari 2011
*) Prof. Dr. Ayu Sutarto adalah Budayawan dan Pengamat Sosial.
|
Saya setuju dengan artikel ini..........orang yg merokok belum tentu berpenyakitan dan berumur pendek......Orang tua di Jawa banyak yg merokok tapi umurnya kok bisa panjang...........? rata-rata umurny bisa mencapai 90Th!
BalasHapus