Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol.02, No.01, Juli-2021
(E) ISSN : 2775-7161
http://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/maddika
1
POLIGAMI PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM KELUARGA
NEGARA MUSLIM
Suud Sarim Karimullah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email : suudsarimkarimullah@gmail.com
Abstract
The research of polygamy law focuses on the perspective of fiqh (Islamic Jurisprudence)
and family law which is only limited to four Muslim countries, namely Turkey, Tunisia, Indonesia and The Kingdom of Saudi Arabia because the four countries that have been mentioned are countries with a majority Muslim population and become a representation of the four famous jurisprudence school (Madhhabs). Not only that, the family law that exists in these four Muslim countries also has characteristics that are more responsive to all the problems of the family that exist today by being more progressive and giving a new color to Islamic law. Library research is a type of study in this article that collects data through sources of books, journals and various articles that are still relevant to this research with descriptive-qualitative analysis. This article concludes that the provisions of polygamy in fiqh in general have never been prohibited and even there are no sanctions for the perpetrators. This is different from family law regulations in Muslim countries where there are prohibitions and some even provide criminal threats or fines for the practice of polygamy and these regulations are more progressive than the existing legal provisions in fiqh.
Keywords: Polygamy, Fiqh, Family Law
Abstrak
Kajian hukum poligami dalam artikel ini berfokus pada perspektif fikih dan hukum keluarga negara muslim yang hanya terbatas pada empat negara Muslim, yaitu Turki, Tunisia, Indonesia dan Saudi Arabia karena empat negara yang disebutkan adalah negara-negara dengan berpenduduk mayoritas muslim dan menjadi representasi dari empat madzhab fikih yang terkenal.
Tidak hanya itu, hukum keluarga yang ada di keempat negara muslim ini juga memiliki karakteristik yang lebih tanggap terhadap segala permasalahan keluarga yang ada saat ini dengan lebih progresif dan memberi warna baru pada hukum Islam. Penelitian kepustakaan adalah jenis penelitian dalam artikel ini yang mengumpulkan data melalui sumber buku, jurnal dan berbagai artikel yang masih relevan dengan penelitian ini dengan analisis deskriptif-kualitatif. Artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan poligami dalam fiqh secara umum tidak pernah dilarang bahkan tidak ada sanksi bagi pelakunya. Hal ini berbeda dengan peraturan hukum keluarga di negara-negara muslim yang terdapat larangan bahkan ada yang memberikan ancaman pidana dan denda bagi para pelaku poligami dan peraturan tersebut lebih bersifat progresif dari ketentuan hukum yang ada dalam fikih.
Kata kunci: Poligami, Fikih, Hukum Keluarg
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
PENDAHULUAN
Sejak awal abad ke-20, fenomena upaya dalam mereformasi hukum keluarga di berbagai negara dengan penduduk muslim mayoritas sangat begitu antusias. Berbagai negara tersebut melakukan reformasi pada hukum keluarga dengan corak pembaharuan hukum Islam yang disebabkan oleh berbagai faktor,
yaitu sistem politik, sosial kultural, ekonomi, dan lain sebagainya. Mengenai +reformasi hukum Islam sebagaimana yang dikutip oleh Lathifatul dari pendapat Tahir Mahmood yang mengatakan bahwa ada empat pola dari reformasi dalam hukum keluarga di berbagai negara muslim dunia yang antara lain; intra doctrinalreform, extra doctrinal reform, regulatory reform, dan codification.1
Isu poligami tidak lepas dalam ketentuan hukum keluarga di negara-negara muslim terdapat berbagai variasi. Berbagai variasi tersebut, terdapat perbedaan dalam memberikan ketentuan terhadap praktik poligami. Pada dasar penetapan terhadap peraturan poligami sendiri masih dipengaruhi oleh sejarah, konsep, dan tujuan poligami. Para bangsa-bangsa arab sendiri ketika sebelum datangnya Islam
sudah terbiasa dengan praktik poligami yang tanpa batas terhadap perempuan untuk dijadikan istri. Sedangkan poligami dalam hukum Islam masih terdapat perbedaan pandangan diantara sarjana muslim dengan memberikan beberapa persyaratan dan ketentuan atas poligami, baik yang memperbolehkan atau yang melarangnya.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir mengenai perlindungan atas segala hak individu, maka penafsiran atas poligami mengalami penafsiran ulang dan pembaruan di berbagai negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tahir Mahmood menjelaskan bahwa terdapat 6
(enam) kontrol terhadap praktik poligami, antara lain;2 (1) penekanan untuk berlaku adil dalam keluarga sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur‘an, (2) memberikan hak kepada perempuan selaku istri untuk menolak terhadap segala praktik poligami dalam surat perjanjian perkawinan, (3) poligami harus memperoleh izin dari lembaga peradilan, (4) lembaga perkawinan memiliki hak untuk mengontrol terhadap pihak yang berkeinginan untuk berpoligami, (5) melarang poligami secara mutlak, dan (6) memberikan berbagai sanksi baik pidana atau denda terhadap pelaku poligami.
Hukum keluarga di dunia Islam secara umum cenderung untuk melakukan pembatasan tanpa harus melarang terhadap praktik poligami dengan berbagai macam cara yang dilakukan, seperti hukum keluarga di negara Maroko yang tidak melarang terhadap praktik poligami dengan menerapkan prinsip keadilan terhadap para istri dalam kehidupan keluarga melalui Undang-Undang Status Pribadi Tahun 1958. Hal demikian juga diberlakukan oleh negara Lebanon melalui hukum keluarga yang dimilikinya. Sedangkan di negara Pakistan kebolehan poligami hanya didapatkan setelah mendapatkan izin dan restu dari istri pertama dan apabila melakukan poligami tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
maka akan di penjara atau di denda.
1 Ismail Marzuki and Lathifah Munawaroh, ―Politik Hukum Keluarga Islam Di Tunisia,‖
Al-’Adl 12, no. 1 (2019): 76–93.
2 Tahir Mahmood, ―Family Law Reform in Islamic Countries History, Text and
Comparative Analysis,‖ New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, 272–75.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021 9
Pada kajian mengenai hukum keluarga negara muslim sebagaimana yang menjadi judul dari artikel ini hanya terbatas pembahasannya pada negara Turki, Tunisia, Indonesia, dan Saudi Arabia. Pengambilan fokus kajian yang hanya terbatas pada 4 (empat) negara muslim tersebut dikarenakan 4 (empat) negara
yang telah disebutkan merupakan negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim dan menjadi sebuah representasi dari 4 (empat) mazhab fikih terkenal.
Sebagaimana negara Turki yang mayoritas penduduknya menganut fikih Hanafi, Tunisia dengan fikih Maliki, Indonesia dengan fikih Syafi‘i, dan Saudi Arabia dengan fikih Hanbali. Tidak hanya itu saja, hukum keluarga yang ada pada 4 (empat) negara muslim tersebut juga memiliki karakteristik yang lebih responsif terhadap segala problematika keluarga yang ada pada masa kini dengan lebih progresif dan memberikan warna baru dalam hukum Islam.
PEMBAHASAN
Poligami Perspektif Fikih Poligami dalam istilah ilmu hukum disebut dengan double huwelijk yang
memiliki makna ikatan perkawinan yang salah satu pihak melakukan perkawinan dengan beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan dalam istilah fikih poligami dikenal dengan rojulun yatazaywaju aksyar min imraatin ila arba’ah niswah, yang memiliki arti seorang laki-laki melakukan perkawinan lebih dari seorang perempuan.
Para ahli fikih menyepakati atas hukum mengenai kebolehan poligami dalam hukum Islam dengan berlandaskan atas nash yang terdapat dalam surah an-Nisa‘ [4] ayat 3 dan juga poligami merupakan sebuah maslahah dalam kehidupan keluarga.3 Diperbolehkannya poligami bagi seorang laki-laki sebab terdapat hikmah dan manfaat yang ada di dalamnya, antara lain; pertama, menjamin kehormatan keluarga yang lebih baik sebab tidak adanya perselingkuhan yang disembunyikan. Kedua, sebagai solusi atas problem istri yang tidak bisa melayani suaminya dengan baik tanpa harus ada perceraian. Ketiga, menyelamatkan suami yang memiliki kelebihan dalam seks (hiperseks) sehingga menjauhkan dari praktik perzinahan dan seks bebas (free sex), Keempat, menyelamatkan kaum perempuan yang populasinya lebih banyak dibandingkan kaum laki-laki sehingga mereka lebih terhormat hidup dalam kehidupan keluarga. Kelima, meneruskan keturunan dengan cara yang terhormat.
Kebolehan atas poligami harus diikuti dengan rasa keadilan dalam kehidupan keluarga yang diberikan oleh seorang suami terhadap para istri dan anak-anaknya. Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah pada pembahasan mengenai pembagian nafkah dan bermalam dengan para istri, disebutkan bahwa imam mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali
menyepakati atas kebolehan terhadap poligami.4 Kitab al-Bayan wa al-Tashil yang merupakan kitab fikih dari mazhab Maliki menjelaskan mengenai al-Musawat, yaitu berperilaku adil terhadap para istri. Demikian juga, fikih Hanafi dalam kitab Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar menjelaskan mengenai adil terhadap para istri dalam satu bab. Jadi para ahli fikih tidak begitu mempersoalkan
mengenai poligami dengan syarat memenuhi berbagai peraturan yang telah ditentukan.5
3 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan Di Indonesia (Pustaka Bani Quraisy,
2005), 43.
Maddika : Journal of Islamic Family Law Vol. 02, No. 01,Juli-2021 10
Terdapat sebagian ulama yang memiliki penafsiran berbeda mengenai surah an-Nisa‘ [4] ayat 3, seperti As-Samarqandi dan Imam al-Baidhawi. Mereka menjelaskan bahwa maksud turunya dari surat an-Nisa‘ [4] ayat 3 sebagai peringatan terhadap kemungkinan untuk melakukan dosa akibat tidak adanya
keadilan yang diperoleh anak yatim dan ibunya yang dijadikan istri dalam ikatan perkawinan dengan poligami.6 Sedangkan menurut Taqiyuddin an-Nabhani yang dikutip oleh 7menjelaskan bahwa poligami tidak dijadikan sebuah kewajiban atas setiap umat muslim dalam Islam dan tidak juga sebagai perbuatan yang dianjurkan akan tetap poligami hanya sebagai perbuatan yang diperbolehkan jika ada yang
menghendakinya.
Menurut Ibnu Qudamah dari Mazhab Hambali yang dikutip oleh Mahibbuthabry menjelaskan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan melakukan perkawinan dengan maksimal 4 (empat) orang perempuan yang dijadikan istri.8
Sedangkan mazhab Syi‘ah memiliki penafsiran berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh ulama mazhab yang lainnya sebab mereka dalam menafsirkan surah an-Nisa‘ [4] ayat 3 dengan menggunakan metode tambahan dalam ilmu matematika, yaitu 2+3+4 sehingga jumlahnya menjadi 9 (sembilan) orang
perempuan yang boleh dijadikan istri atau di poligami.9
Ada juga yang berpendapat bahwa poligami adalah perbuatan yang haram dan tidak boleh dilakukan, pendapat ini dikatakan oleh Muhammad Abduh.
Abduh juga menjelaskan bahwa segala perbuatan yang hukumnya boleh seperti poligami dapat dilarang dan diharamkan jika mendatangkan merusakan (mudharat) di kehidupan sosial masyarakat.10 Bahkan menurut Abdullah Ahmed An-Naim mengatakan bahwa poligami merupakan bentuk diskriminasi hukum terhadap perempuan yang dimonopoli oleh laki-laki.11 Tidak hanya itu saja,
poligami juga dianggap sebagai bentuk perlakuan yang non Qur‘ani dan dianggap
sebagai pendukung atas nafsu laki-laki yang tak terkendalikan Sedangkan menurut
Sayyid Qutub menjelaskan bahwa poligami adalah perbuatan ruskhsah yang
hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat dan mendesak dengan ketentuan
syarat harus bisa berbuat adil atas para istri yang dimiliki.12
4 Abdul-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al Fiqh ’Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV (Beirut:
Darul Fikr, 1996), 206–17.
5 Muhammad Amin Ibn‗Abidin, Hashiyah Radd Al-Muhtar ‘ala Al-Dur Al-Mukhtar, vol.
Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 351.
6 A Q Faqihuddin, Memilih Monogami (Yogyakarta: LKis, 2005), 54–57.
7 Hosen Ibrahim, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003). 8 Muhibbuthabry Muhibbuthabry, ―Poligami Dan Sanksinya Menurut Perundang-
Undangan Negara-Negara Modern.,‖ AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 1 (2016): 9–20,
https://doi.org/10.15408/ajis.v16i1.2891.
9 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Cet-19 (Jakarta: Lentera, 2007),
332. 10 Ratih Lusiana Bancin, ―Hukum Keluarga Islam Di Tunisia,‖ Jurnal Penelitian Medan
Agama, 2018, 283–308.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
11
Mengenai syarat untuk berbuat adil dalam poligami, mayoritas para pakar
fikih menilai bahwa keadilan yang bersifat kualitatif dalam poligami adalah
sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan sebab berkaitan dengan perasaan
yang tidak ada ukurannya dan tidak bisa juga dikontrol. Jadi keadilan yang
dimaksud dalam poligami adalah keadilan yang mampu diwujudkan oleh manusia
dalam kehidupan keluarga, seperti nafkah, pendidikan, dan kebutuhan yang
lainnya. Apabila seorang laki-laki merasa bahwa dirinya tidak akan mampu untuk
berbuat adil terhadap para istri dan anak-anaknya, maka perkawinan dengan
monogami lebih menyelamatkan dirinya dari perbuatan yang menganiaya orang
lain.
Fikih mengatur persoalan poligami secara tegas dengan berdasarkan atas
surah an-Nisa‘ [4] ayat 3 dan sunah yang dijadikan rujukan dalam memberikan
putusan hukum dalam Islam. Akan tetapi, fikih tidak menjelaskan mengenai
prosedur dalam praktik poligami, seperti syarat alternatif dan izin dari pengadilan,
seperti hukum keluarga yang berlaku di negara-negara muslim. Terdapat beberapa
syarat poligami bagi seorang laki-laki yang menghendakinya dalam ketentuan
fikih, antara lain; Pertama, batas perkawinan yang diperbolehkan untuk seorang
laki-laki atas perempuan hanya terbatas maksimal empat orang perempuan yang
dijadikan istri dalam waktu yang bersamaan dan tidak boleh lebih dari itu. Kedua,
haram menyatukan atau melakukan perkawinan bersamaan atas para perempuan
yang masih ada ikatan darah atau bersaudara. Ketiga, seorang laki-laki yang
menghendaki atas poligami harus bisa memberikan keadilan pada setiap anggota
keluarga tanpa ada diskriminasi.
Peraturan Hukum Terhadap Praktik Poligami Di Negara Muslim
1. Turki
Kerajaan Turki mengeluarkan 2 (dua) dekrit untuk mereformasi hukum
yang berkaitan dengan persoalan perkawinan (matrilineal) dalam mazhab Hanafi
yang berkaitan dengan berbagai hak perempuan terhadap perceraian pada tahun
1915. Terdapat prinsip takhayyur pada dekrit tersebut yang sumbernya berasal
dari ajaran mazhab Hanafi dan Hanbali yang pada dekrit tersebut menjelaskan
bahwa seorang perempuan dapat diperbolehkan untuk melakukan perceraian
terhadap suaminya atas dasar ditinggal atau sebab penyakit yang dideritanya.13
11 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, Terj. Ahmad Suaedy Dan
Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKis, 1994), 338.
12 Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dhilali Al-Qur’an (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1961),
236. 13 M Atho Muzdhar and Khairuddin Nasution, ―Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fikih,‖ Hukum
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
12
Kemudian, negara muslim pertama yang melakukan reformasi pada peraturan hukum keluarga adalah Turki. Gagasan reformasi tersebut muncul pada tahun 1915 setelah melalui berbagai kajian yang kemudian di hasilkan The Ottoman Law of Family Rights atau disebut juga dengan Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Usmaniyyah yang secara resmi disahkan pada tahun 1917 14. Pada
peraturan ini terdiri dari 156 pasal yang minus pada pasal tentang kewarisan sebab
tidak dikodifikasi masalah waris tersebut, akan tetapi ini merupakan sebuah
terobosan baru dalam perkembangan hukum keluarga di negara muslim.
Tidak hanya itu saja, negara dengan penduduk muslim mayoritas pertama
di dunia yang memberlakukan mengenai pelarangan terhadap praktik poligami
adalah Turki dengan melalui peraturan civil Turki. Peraturan tersebut telah
berhasil menurunkan angka poligami dan akibatnya di Turki. Peraturan mengenai
pelarangan poligami secara jelas disebutkan dalam pasal 93, 112, dan 114 dalam
peraturan sipil Turki Tahun 1926 yang merupakan peraturan hukum dari hasil
adopsi Peraturan sipil Swiss Tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland 1912)
yang disesuaikan dengan kondisi negara Turki. Apabila terdapat seseorang yang
melanggar atau tidak patuh atas ketentuan tersebut, maka akan diberikan sanksi
dan hukuman.15Akan tetapi pada pasal 74 dalam The Ottoman Law of Family
Rights Tahun 1971 disebutkan bahwa seorang laki-laki yang berstatus sebagai
suami boleh untuk melakukan perkawinan poligami dengan syarat bisa
memberikan keadilan terhadap para istri dan anak-anaknya.
Pasca 1920, Turki mengalami kondisi sosial politik yang membuat terjadinya pergeseran sosial kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang, terutama tidak dapat diberlakukannya poligami sebab tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan sosial kehidupan saat itu. Peraturan perundang-undangan sipil 1926 yang dimiliki oleh Turki memberikan pengaruh pada pemisahan antara ajaran agama dan peraturan perundang-undangan. Pada pemisahan yang terjadi dilakukan oleh negara sangat mempengaruhi atas pemberlakukan Islam sebagai sebuah agama yang diterapkan di negara Turki. Meskipun Turki sudah memberlakukan dan mengatur kehidupan keluarga melalui peraturan sipilnya,
akan tetapi masih terdapat masyarakat yang masih taat atas teologi Islam. Maka dari itu, untuk melakukan adaptasi terhadap peraturan tersebut dengan tradisi Islam, maka dilakukanlah amandemen peraturan sipil Tahun 1926 sampai 6 (enam) kali, mulai tahun 1933 sampai 1965.16
Perumusan peraturan hukum keluarga yang ada di Turki sangat berbeda dengan aturan mazhab Hanafi yang menjadi aliran mayoritas masyarakat Turki.
Dalam ajaran mazhab Hanafi menjelaskan bahwa poligami boleh dilakukan atau dikerjakan sebab tidak ada larangan dalam nash, baik Al-Qur‘an atau sunah bahkan Rasulullah sendiri telah mempraktikannya. Sedangkan peraturan hukum keluarga yang ada di Turki melarang praktik perkawinan poligami sebab poligami sebagai bentuk kekerasan dan penghinaan terhadap kaum perempuan.
Keluarga Di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari
Kitab-Kitab Fikih, 2003, 39.
14 J N D Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern, Alih Bahasa Machnun Husein
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 272.
15 Tahir Mahmood, Personal Law Ini Islamic Countries, Academy of Law and Religion
(New Delhi, 1987), 273.
16 Mahmood, 267.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
13
Aturan mengenai larangan poligami terhadap perempuan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang masih berstatus suami sah dari seorang perempuan yang menjadi istrinya diatur dalam pasal 93 pada peraturan sipil tahun 1926.
Selanjutnya, pada pasal 112 (1) menjelaskan bahwa perkawinan yang kedua yang
dilakukan oleh seorang laki-laki yang masih menjadi suami sah dari perempuan
lain, maka perkawinan kedua tersebut dianggap tidak sah oleh pengadilan dan
tidak mendapatkan status hukum yang jelas.
Kebolehan yang dijelaskan dalam Al-Qur‘an mengenai poligami dengan
memenuhi syarat tertentu telah dilakukan perubahan hukum oleh para sarjana
muslim di Turki. Perubahan hukum tersebut dilakukan atas perubahan sosial
masyarakat Turki dan juga pada kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan
untuk dapat merealisasikan atas legalitas poligami dalam Al-Qur‘an. Asas
monogami mutlak adalah asas dalam hukum perkawinan yang diterapkan di Turki
sehingga dengan ini, maka Turki menutup secara rapat atas praktik poligami.
Maka dari itu, seluruh masyarakat Turki dilarang atau tidak diperbolehkan untuk
melakukan poligami. Dasar atas pelarangan tersebut, terdapat dalam pasal 130
Undang-Undang Sipil Turki Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa tidak dapat
dibenarkan seorang suami dari seorang perempuan yang sah menjadi istrinya,
melakukan perkawinan lagi tanpa adanya putusnya akad perkawinan sebelumnya.
2. Tunisia
Sistem sipil Prancis (French Civil Law) merupakan sistem hukum yang
diadopsi oleh negara Tunisia selain juga mengadopsi sistem hukum Islam.
Sehingga pada sistem hukum di Tunisia merupakan perpaduan antara sistem sipil
prancis dan sistem hukum Islam. Pada penerapan sistem Islam dapat dilihat pada
Pasal 1 dalam konstitusi negara Tunisia yang menjelaskan bahwa Islam
merupakan agama negara dan pada pasal 38 mengenai penetapan Presiden yang
mengharuskan dari seorang muslim. Meskipun Islam memiliki tempat yang
istimewa dalam konstitusi tersebut, akan tetapi pada penerapan hukum Islam
tidak secara seluruhnya diterapkan di negara Tunisia sebab hanya diterapkan pada
ranah hukum perdata, yaitu hukum keluarga (The Law of Personal Status).
Pengaruh mazhab Maliki menjadi dominan pada hukum keluarga di Tunisia meskipun juga terdapat pengaruh dari mazhab Hanafi sebab Tunisia menjadi salah satu daerah otonom dari dinasti Usmaniyah yang mengatur segala aktivitas masyarakat melalui prinsip dalam syariah Islam.17 Tunisia adalah negara
dengan penduduk muslim mayoritas yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga Islam dengan beberapa perubahan, antara lain; pertama, intra doctrinal reform dengan perumusan hukum yang berbasis pada pendapat mazhab Maliki dan Hanafi. Kedua, pada peraturan perkawinan tidak merujuk pada pendapat mazhab-mazhab sunni
17 Abdullahi An-Na‘im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource
Book, vol. 2 (Zed Books, 2002), 182.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
14. Ketiga, melakukan amandemen dan modifikasi peraturannya melalui regulatory reform, dan keempat, melakukan kodifikasi hukum Islam melalui codification atas Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyah lil Jumhuriyah al-Tunisiyyah. Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyah (Code of Personal Status) No. 66 Tahun 1956 merupakan hukum keluarga pertama yang berlaku secara resmi pada tanggal 1 Januari 1957 di Tunisia. Pada Hukum keluarga tersebut merupakan hasil kombinasi antara konsep fikih pada mazhab Hanafi dan Maliki yang oleh para ahli hukum dituangkan dalam kitab yang bernama Laihat
Majallat al-Ahkam al-Syakhshiyah.18
Hukum keluarga yang ada di Tunisia bukan hanya sebagai upaya kodifikasi atas fikih mazhab Maliki saja, akan tetapi sebagai salah satu langkah yang progresif dan revolusioner dalam upaya melakukan legalisasi dan regulatory dalam bidang keluarga. Meskipun hukum keluarga di Tunisia pada
perkembangannya mengalami 4 (empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1962, 1964, 1966, dan 1981 bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum keluarga di Tunisia telah mengalami 6 (enam) kali di amandemen.
Mengenai aturan poligami telah diatur dalam peraturan hukum keluarga di Tunisia yang terdapat pada undang-undang Status Perorangan Tunisia (The Code of Personal Status) pada tahun 1956 yang terdapat pada pasal 18. Pada pasal 18 dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan perkawinan sebelum perkawinan yang pertama benar-benar telah berakhir, maka akan mendapatkan sanksi berupa
kurungan selama 1 (satu) tahun atau denda 240.00 malim (24.00 Frances), atau dengan kedua-duanya, yaitu penjara dan denda sekaligus. Jadi seorang laki-laki yang masih berstatus sebagai suami dari istri yang sah dalam perkawinan yang melakukan perkawinan lagi, maka akan diancam dengan sanksi yang telah ditentukan dalam peraturan tersebut. Tidak hanya itu saja, meskipun mayoritas penduduk negara Tunisia menganut mazhab Maliki atau Hanafi akan tetapi pada asas hukum keluarga yang berlaku di Tunisia adalah monogami. Oleh sebab itu, Tunisia dalam hukum keluarganya sangat melarang terhadap praktik poligami.Pelarangan terhadap praktik poligami yang ada di negara Tunisia berdasarkan 2 (dua) alasan sebagai dikemukakan oleh John L. Esposito berikut;19
pertama, poligami dianggap sebagai perbuatan perbudakan terhadap perempuan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat secara umum. Kedua, perkawinan yang ideal dan diharapkan oleh Al-Qur‘an adalah perkawinan dengan asas monogami.
Jadi dalam persoalan poligami, peraturan hukum keluarga yang ada di Tunisia memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dengan cara mengangkat dan memelihara perempuan agar terhindar dari berbagai tindakan yang sewenang- wenang dilakukan oleh kaum laki-laki sebab poligami adalah sebuah bentuk pengkhianatan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam kehidupan keluarga.
18 Nasution Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim (Yogyakarta: Academia-Tazzafa, 2009), 172.
19 John L Esposito, Women in Muslim Family Law (Syracuse University Press, 2001), 92.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
15
Pelarangan terhadap praktik poligami secara mutlak yang diberlakukan dalam hukum keluarga di Tunisia adalah sebuah hasil dari ijtihad dengan melakukan interpretasi terhadap teks nash yang dalam istilah Tahir Mahmood disebut dengan extra doctrinal reform. Interpretasi terhadap berbagai teks nash
disesuaikan dengan segala kebutuhan sosial dan ekonomi dengan mengabaikan terhadap pandangan para imam mazhab. Pada pelarangan poligami sendiri merupakan sebuah hasil reinterpretasi dari penafsiran surah an-Nisa‘ [4] ayat 3 yang menyatakan bahwa keadilan dalam poligami bukan diukur dari besarnya
nafkah yang diberikan akan tetapi juga rasa kasih sayang yang diberikan kepada para istri dan anak-anaknya.
Peraturan hukum keluarga yang ada di Tunisia bukanlah hukum yang menyimpang terhadap prinsip-prinsip dasar dalam Islam, akan tetapi sebagai wujud kepedulian pemerintah untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kedamaian dan kemaslahatan masyarakat Tunisia tanpa ada diskriminasi dan
ketimpangan gender. Hukum keluarga Tunisia tersebut dinilai memunculkan kontroversi, seperti adanya pelarangan terhadap praktik poligami. Pelarangan poligami mendatangkan perdebatan di antara para ulama dan para sarjana pembaruan di Tunisia. Para sarjana pembaruan di Tunisia menjelaskan bahwa asas dari sebuah perkawinan adalah monogami dan bukan poligami. hal demikian berdasarkan atas fenomena praktik poligami yang selalu mendatangkan konflik dan menjadikan para istri dan anak-anaknya menjadi terlantar. Oleh sebab itu, pelarangan atas poligami yang ada di Tunisia sudah sangat tepat bahkan memberikan sanksi berupa kurungan dan denda bagi yang melanggarnya.20
3. Indonesia
Terbentuknya peraturan perkawinan di Indonesia tidak terlepas dari persoalan poligami sebab poligami merupakan bagian integral dari persoalan perkawinan yang tidak lepas dari pembahasan hukumnya. Para pembuat regulasi di Indonesia dalam memberikan ketentuan hukum terhadap prosedur poligami
dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin berpoligami.
Di Indonesia, bagi seorang laki-laki yang menghendaki untuk berpoligami maka diharuskan mendapatkan restu dan izin dari istrinya dan pengadilan (prior permission of the court). Pemberian izin poligami dari pengadilan jika ditemukan penyakit terhadap istri sehingga mencegah atau tidak bisa memberikan keturunan, adanya penyakit yang diderita oleh istri yang tidak dapat disembuhkan
(uncurable disease), dan istri tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sebagai istri dalam kehidupan keluarga. Ketentuan mengenai poligami di Indonesia terdapat dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dalam peraturan tersebut bukan semata-mata sebagai bentuk diskriminasi dan pelecehan terhadap para perempuan serta mengunggulkan terhadap para laki-
laki. Meskipun poligami diperbolehkan di Indonesia dengan memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan akan tetapi pada pasal 3 ayat 1 dalam Undang-Undang tersebut menyebut mengenai asas monogami.
20 Dedi Supriyadi and Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam
(Pustaka Al-Fikriis, 2009), 110.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
16
Menurut Muhibbuthabry, beliau menjelaskan bahwa peraturan perkawinan yang ada di Indonesia mengenai poligami berusaha untuk mengatur agar seorang laki-laki yang berkeinginan untuk poligami harus memenuhi 2 (dua) persyaratan, antara lain; pertama, memiliki kemampuan ekonomi yang lebih sehingga dapat memenuhi segala kebutuhan para istri dan anak-anaknya. Kedua, berperilaku adil
dalam menjalani kehidupan keluarga.21 Kemampuan suami untuk memberikan jaminan terhadap para istri dan anaknya dalam keluarga dapat dilihat dari surat penghasilan suami yang ditandatangani bendahara tempat bekerja atau surat keterangan yang lainnya yang dapat diterima oleh Pengadilan.
Peraturan poligami yang ada dalam hukum keluarga di Indonesia berusaha untuk mempersempit terhadap peluang terjadinya praktik poligami. hal tersebut dapat dilihat dari berbagai persyaratan yang ditentukan untuk dapat berpoligami, seperti izin dari istri dan pengadilan serta yang lainnya. Sedangkan hukum poligami sendiri di Indonesia berstatus sebagai hukum darurat (emergency law)
yang hanya bisa dilakukan jika memang keadaan yang mendesak dan dibutuhkan
(extra ordinary circumstance). Peraturan hukum keluarga yang ada di Indonesia tidak secara tegas melarang terhadap praktik poligami meskipun dalam peraturan tersebut menganut asas monogami. Jika seseorang menghendaki untuk melakukan poligami, maka harus melengkapi segala persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan hukum di Indonesia.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam dan bermazhab Syafi‘i walaupun dalam peraturan perkawinannya, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengadopsi pendapat para mazhab dan tidak hanya Syafi‘i saja. Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki tujuan untuk melakukan unifikasi terhadap hukum Islam yang diberlakukan bagi umat yang beragama Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia. Pada unifikasi terhadap hukum Islam dilakukan dengan cara mengkaji berbagai pendapat para pakarhukum Islam mengenai perlunya transformasi hukum Islam ke hukum positif sehingga menciptakan keragaman yang bisa diterima dikalangan umat Islam
dalam menjawab berbagai persoalan pada bidang muamalah.22 Sedangkan metode
pembaruan hukum yang digunakan oleh Indonesia adalah siyasah al-Syar’iyyah yang merupakan kebijakan penguasa (ulil amri).
Mengenai kebolehan poligami yang ada dalam peraturan perkawinan di Indonesia adalah sebagai jalan alternatif dalam menyelesaikan problematika kehidupan keluarga, seperti istri mandul dan yang lainnya. Pada peraturan perkawinan tersebut mengenai kebolehan poligami dengan mempersyaratkan
adanya persetujuan dari istri pertama dan menyanggupi untuk berlaku adil dalam kehidupan keluarga serta mengikuti berbagai prosedur yang lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perkawinan yang sedang berlaku tersebut.
21 Muhibbuthabry, ―Poligami Dan Sanksinya Menurut Perundang-Undangan Negara-
Negara Modern.,‖ 9–20.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021 17
Hukum perkawinan di Indonesia dalam memberikan izin atas praktik poligami yang dilakukan oleh masyarakatnya memberikan berbagai persyaratan secara garis besar, antara lain;
(1) kumulatif, (2) jalan alternatif, (3) tidak mengganggu terhadap tugas kedinasan bagi para PNS, dan (5) tidak ada pertentangan terhadap ajaran agama yang dipercaya dan diyakini. Tidak hanya persyaratan yang harus dilakukan akan tetapi harus juga melewati beberapa prosedur yang antara lain; (1) memperoleh restu dan izin dari istri pertama, (2) mendapatkan izin dari atasan bagi yang berstatus PNS, dan (3) mengajukan izin poligami kepada pengadilan. Berbagai persyaratan dan prosedur yang disebutkan
dalam peraturan perkawinan di Indonesia ini bertujuan untuk memberikan jaminan akan adanya kepastian hukum atas perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan hukum perkawinan di Indonesia, dan memberikan perlindungan terhadap para perempuan dan anak-anaknya atas praktik poligami yang dilakukan tanpa tanggung jawab.
Peraturan perkawinan yang ada di Indonesia memberikan tiga alasan mengenai kebolehan atas praktik poligami, antara lain; pertama, istri tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam keluarga. Kedua, adanya penyakit atau cacat yang diderita oleh istri sehingga tidak maksimal dalam memberikan
pelayanan atas suaminya. Ketiga, istri tidak dapat memberikan keturunan kepada suaminya. Kemudian mengenai persyaratan poligami yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki yang menghendaki poligami tersebut, antara lain; pertama, mendapatkan restu dan persetujuan dari istri pertamanya. Kedua, seorang laki-laki yang menghendaki poligami maka harus memberikan kepastian kepada para
istrinya akan jaminan finansial yang cukup. Ketiga. Tidak hanya pada jaminan akan sebuah finansial yang cukup dalam kebutuhan keluarga, akan tetapi juga harus bisa memberikan keadilan dalam keluarga. Selain itu dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menambahkan syarat atas putusan poligami dengan maksimal empat istri secara waktu yang bersamaan.
4. Saudi Arabia
Saudi Arabia menjadikan Islam sebagai dasar negara dan konstitusi negaranya (the Constitution) yang bersumber dari Al-Qur‘an dan Sunah sedangkan hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah atau pengadilan adalah syariah sedangkan ulama yang menjadi hakim dan penasehatnya 23. Ketika para hakim Mahkamah Syariah menangani sebuah kasus yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Qur‘an dan Sunah, maka diberikan kewenangan untuk berijtihad dalam menyelesaikan perkara tersebut dengan melihat dan melakukan kajian kembali terhadap segala putusan dari hakim-hakim sebelumnya.
Saudi Arabia masih belum dapat menerima sistem hukum lain dan sangat menghargai syariah sebagai sumber hukum dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika aturan hukum bertentangan dengan konsep Islam, maka secara teoritik juga bertentangan dengan hukum asasi Hijaz yang dinyatakan
berlaku oleh Raja Abd Aziz Ibn Sa‘ud sebab peraturan hukum tersebut menyatakan bahwa peraturan hukum di kerajaan Hijaz harus sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan Sunah serta perbuatan para
sahabat yang setia terhadap syariah.
23 Agustina Nurhayati, ―Politik Hukum (Legislasi) Hukum Keluarga Di Saudi Arabia,‖
Ijtimaiyya 7, no. 1 (2014): 67–81, https://doi.org/10.24042/ijpmi.v7i1.918.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021 18
24 Kemudian, aliran mazhab Hanbali terikat juga dalam peraturan di Saudi Arabia dan juga tidak menolak terhadap aliran mazhab sunni yang lainnya selama masih tidak bertentangan dengan kehidupan kerajaan.
Pemahaman dari mazhab Hanbali merupakan sumber utama hukum yang ada di Saudi Arabia dengan mengatur pada dasar pembentukan hukum (istinbath), dekrit yang mempunyai relevansi dengan kondisi sosial Arab Saudi serta berbagai teori dan praktiknya. Pada Pasal 1 dalam Konstitusi dasar negara menjelaskan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan konstitusinya bersumber dari al-Qur‘an dan Sunah. Sedangkan pada pasal 9 dari konstitusi tersebut mengatakan bahwa keluarga adalah dasar dari masyarakat Saudi Arabia, dan para anggotanya akan dibesarkan berdasarkan iman Islam. Kemudian, pada pasal 9 mengatakan bahwa sesuai dengan syariat Islam negara memberikan hak perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Persoalan poligami dalam hukum keluarga di Saudi Arabia merujuk pada kitab-kitab fikih klasik dan negara tidak ikut campur dalam ranah ini sebab diserahkan kepada pelaku yang hendak melakukan poligami dengan berdasar pada ketentuan dalam fikih dan tidak ada aturan khusus mengenai poligami ini.25
Praktik poligami sendiri yang ada di Saudi Arabia hanya memberikan syarat untuk berbuat adil dan maksimal 4 (empat) orang perempuan yang boleh dipoligami dalam waktu yang bersamaan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan Sunah.
PENUTUP
Kemunculan hukum keluarga di negara muslim, seperti Turki, Tunisia,
Indonesia, dan Saudi Arabia tidak lepas dari konteks sosio kultural serta ideologi
politik yang melatar belakanginya. Hukum tersebut tidak lahir secara kebetulan
dan tiba-tiba di ruang yang hampa akan budaya, akan tetapi munculnya
disebabkan adanya sebuah persoalan sosial yang membutuhkan sebuah jawaban
atas dinamika yang terjadi di masing-masing negara.
Ketentuan poligami dalam fikih secara umum tidak pernah dilarang bahkan tidak ada sanksi apapun bagi pelakunya. Hal ini berbeda dengan peraturan hukum keluarga di negara muslim yang terdapat larangan dan bahkan ada yang memberikan ancaman pidana atau denda terhadap praktik poligami. jika peraturan
hukum keluarga yang ada di negara muslim yang sudah disebutkan diatas dihadapkan dengan fikih maka peraturan tersebut merupakan peraturan yang baru yang lebih progresif dari ketentuan hukum yang ada di fikih yang melihat perubahan kehidupan sosial yang ada di setiap negara muslim. Sebagian dari
peraturan hukum keluarga yang ada di negara muslim masih ada yang memudahkan terhadap praktik poligami.
24 Amir Mu‘allim and Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII
Press, 2001), 8.
25 Janeko, ―Studi Eksplorasi Hukum Poligami Di Berbagai Negara Muslim,‖ 51–64.
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
19 hal ini berdasarkan pada konsep lama yang berbeda dengan situasi zaman yang mutakhir.
Larangan terhadap poligami yang berlaku pada hukum keluarga muslim dan ancaman pidana atau denda bagi setiap pelakunya dapat mengefektifkan kepada kemaslahatan bagi kaum perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Akan tetapi penutupan poligami secara total juga tidak dapat dibenarkan sebab
ada maslahah lain yang terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdul-Rahman. Kitab Al Fiqh ’Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. IV.
Beirut: Darul Fikr, 1996.
An-Na‘im, Abdullahi. Islamic Family Law in a Changing World: A Global
Resource Book. Vol. 2. Zed Books, 2002.
An-Naim, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syari’ah, Terj. Ahmad Suaedy Dan
Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKis, 1994.
Anderson, J N D. Hukum Islam Di Dunia Modern, Alih Bahasa Machnun Husein.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Bancin, Ratih Lusiana. ―Hukum Keluarga Islam Di Tunisia.‖ Jurnal Penelitian
Medan Agama, 2018.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. Syracuse University Press,
2001.
Faqihuddin, A Q. Memilih Monogami. Yogyakarta: LKis, 2005.
Ibn‗Abidin, Muhammad Amin. Hashiyah Radd Al-Muhtar ‘ala Al-Dur Al-
Mukhtar. Vol. Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Ibrahim, Hosen. Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Janeko. ―Studi Eksplorasi Hukum Poligami Di Berbagai Negara Muslim.‖ Jurnal
Ummul Qura X, no. 2 (2017): 51–64.
Khoiruddin, Nasution. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim. Yogyakarta:
Academia-Tazzafa, 2009.
Mahmood, Tahir. ―Family Law Reform in Islamic Countries History, Text and
Comparative Analysis.‖ New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
———. Personal Law Ini Islamic Countries. Academy of Law and Religion. New
Delhi, 1987.
Marzuki, Ismail, and Lathifah Munawaroh. ―POLITIK HUKUM KELUARGA
ISLAM DI TUNISIA.‖ Al-’Adl 12, no. 1 (2019): 76–93.
Mu‘allim, Amir, and Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:
UII Press, 2001.
Mubarok, Jaih. Modernisasi Hukum Perkawinan Di Indonesia. Pustaka Bani
Maddika : Journal of Islamic Family Law
Vol. 02, No. 01,Juli-2021
20
Quraisy, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab, Cet-19. Jakarta: Lentera,
2007.
Muhibbuthabry, Muhibbuthabry. ―Poligami Dan Sanksinya Menurut Perundang-
Undangan Negara-Negara Modern.‖ AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 1
(2016): 9–20. https://doi.org/10.15408/ajis.v16i1.2891.
Muzdhar, M Atho, and Khairuddin Nasution. ―Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-
Kitab Fikih.‖ Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan
Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fikih, 2003.
Nurhayati, Agustina. ―Politik Hukum (Legislasi) Hukum Keluarga Di Saudi
Arabia.‖ Ijtimaiyya 7, no. 1 (2014): 67–82.
https://doi.org/10.24042/ijpmi.v7i1.918.
Qutub, Sayyid. Tafsir Fi Dhilali Al-Qur’an. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah,
1961.
Supriyadi, Dedi, and Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam.
Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar