Taqwa dan Takut Kepada Alloh
Seri ke 1
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
Pendahuluan
Telah
dibahas dalam makalah-makalah sebelumnya bahwa taqwa berarti takut kepada
Alloh.
Menurut
Quraisy Shihab di dalam Ensiklopedia Alquran, kata taqwa juga sinonim dengan kata
khouf dan khosyyah yang berarti ‘takut’.
Perbedaan
Taqwa, Khouf dan Khosyah
Dalam QS. 24 (An-Nuur):52,
Taqwa dan Khosyah disebut bersama-sama sebagai berikut
:
:
52. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046]. (QS. 24 [An-Nuur]:52).
·øs Yakhsya takut terhadap barang yang kelihatan yaitu ciptaan-ciptaan
Alloh yang besar. Karena Alloh Swt. mampu menciptakan alam semesta yang sangat
besar tentu Alloh Swt. mampu juga menciptakan neraka yang jauh lebih kecil
daripadanya. Tentunya kita takut (·øs ) terhadap (siksa) neraka.
(#qà)¨? Taqwa takut
terhadap saat menghadap Tuhannya (barang
yang ghoib) karena dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Yaitu takut (#qà)¨?) akan
murka Alloh Swt.
Sedangkan Khouf (خَافَ) memang
merupakan sinonim dari taqwa (#qà)¨?) yaitu
dengan membandingkan (QS. Ar-Rohman [55]: 46-76) dan
(QS. Ad-Dukhon [44]: 51-56).
Secara logika, bila:
[Orang yang bertaqwa (uqø)s? )] (QS.
Ad-Dukhon [44]: 51-56) =>
akan mendapat surga
[Orang yang takut (خَافَ) terhadap saat menghadap Tuhannya] (QS. Ar-Rohman [55]: 46-76) =>
akan mendapat surga
Maka : [Orang yang bertaqwa (uqø)s? )] = [Orang yang takut (خَافَ) terhadap
saat menghadap Tuhannya]
Makalah-makalah
tentang takut (·øs ) kepada Alloh
Dari internet penulis menemukan beberapa makalah yang
membahas tentang takut kepada Alloh. Di antaranya adalah:
A. Takut kepada Alloh (1)
B. Takut kepada Alloh (2)
C. Ilmu adalah takut kepada
Alloh.
D. Ciri-ciri orang yamg
takut kepada Alloh.
E. Memupuk rasa takut kepada
Alloh.
A. TAKUT KEPADA ALLAH (1)
Salah satu sikap yang
harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah Swt. Takut kepada Allah adalah
takut kepada murka, siksa dan azab-Nya. Ada banyak ayat yang membicarakan
tentang takut kepada Allah dan perintah Allah kepada kita untuk memilih sifat
tersebut, satu di antaranya ayat itu adalah firman Allah:
Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan (QS. 33 [Al-Ahzab]:39).
Ini berarti takut kepada
selain Allah tidaklah bisa dibenarkan. Dengan memiliki rasa takut kepada Allah,
kita akan memperoleh keberuntungan yang besar, di antara dalilnya adalah firman Allah:
52. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046]. (QS. 24 [An-Nuur]:52).
Adanya rasa takut kepada Allah Swt, membuat
kita tidak berani melanggar segala ketentuan-Nya. Yang diperintah kita kerjakan
dan yang dilarang kita tinggalkan. Sementara kalau seseorang telah melakukan
kesalahan dan ada jenis hukuman dalam kesalahan itu, maka orang yang takut
kepada Allah tidak perlu ditangkap dan diperiksa, tapi dia akan membeberkan
sendiri kesalahannya itu lalu minta dihukum di dunia ini sebab dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada di
akhirat nanti yang lebih dahsyat. Takut kepada Allah memang membuat seseorang
akan memperbanyak amal sholehnya dalam hidup di dunia ini, Allah berfirman:
Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim dan
orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh
kesulitan (QS. 76
[Al-Insaan]:8-10).
1. Kiat Menumbuhkan Rasa Takut
Karena rasa takut kepada
Allah Swt merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia
ini, maka setiap kita harus menumbuhkannya ke dalam diri kita masing-masing. Untuk
itu di dalam Islam, ada petunjuk atau kiat yang bisa kita lakukan untuk
menumbuhkannya.
2. Mengkaji Ayat dan Hadits Tentang Murka Allah.
Ada banyak ayat dan hadits
yang menjelaskan tentang murka Allah Swt, baik yang ditimpahkan-Nya di dunia
maupun di akhirat kelak kepada siapa saja yang tidak taat kepada-Nya. Allah
berfirman tentang kemurkaan-Nya di dunia:
Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh
kepadanya. Karena mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). (QS. 43 [Az-Zukhruf] :54-55).ü
Adapun murka Allah dalam kehidupan
akhirat difirmankan:
Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (QS. 42 [Asy-Syu’aro]:16).
Di samping Al-Qur'an, hadits-hadits juga menerangkan
adanya azab, murka atau siksa Allah kepada orang-orang yang tidak takut
kepada-Nya, misalnya hadits nabi yang berbunyi:
Apabila perzinaan dan
riba telah melanda suatu negeri, maka mereka sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah (HR.
Thabrani dan Hakim).
3. Mengetahui akibat orang yang tidak takut kepada
Allah.
Untuk menumbuhkan rasa
takut kepada Allah Swt, kita juga perlu melakukannya dengan cara mempelajari
kehidupan orang-orang yang mengalami akibat dari tidak ada rasa takutnya kepada
Allah Swt dalam kehidupan ini sehingga mereka melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya. Di antara
contoh yang bisa kita sebutkan adalah umat Nabi Nuh yang karena mereka tidak
aat, akibatnya mereka dibinasakan dengan banjir yang besar, Allah berfirman:
Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu
dimasukkan ke dalam neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi
mereka selain dari Allah (QS. 71 [Nuh]:25).
Begitu juga dengan Qorun
yang ditenggelamkan ke dalam bumi berikut harta yang dimilikinya yang
menyebabkan manusia, Allah berfirman:
Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela dirinya (QS. 28 [Al-Qoshosh] :81).
Lebih tegas dapat kita
simpulkan bahwa siapapun yang tidak takut kepada Allah sehingga dengan berani
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, cepat atau lambat akan mengalami akibat
sebagaimana terlah terjadi pada generasi terdahulu seperti yang diceritakan
oleh Al-Qur'an, ayat yang menegaskan soal ini difirmankan Allah:
Maka masing-masing-masing (mereka itu) Kami siksa
disebabkan dosanya, maka di antara
mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan
di antara mereka ada yang Kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. 29
[Al-Ankabut] :40).
4. Memahami siksa Akhirat yang tak terbayangkan
Rasa takut juga bisa
tumbuh dalam jiwa manakala kita menyadari betapa siksa dan azab Allah di
akhirat tidak dapat kita bayangkan dahsyatnya sebagaimana kita juga tidak bisa
membayangkan nikmatnya Syurga, dalam salah satu hadits Qudsi Allah berfirman
yang disabdakan oleh Rasulullah Saw yang artinya:
Aku menyiapkan untuk
hamba-hamba-Ku yang sholeh apa-apa yang belum pernah dilihat oleh mata,
didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia (HR.
Bukhari Muslim).
Ini berarti, azab dan siksa
Allah dalam kehidupan akhirat merupakan sesuatu yang sangat dahsyat dan tidak
bisa dibayangkan sedikitpun, begitu juga sebenarnya kenikmatan yang diberikan
Allah kepada penghuni Syurga.
Salah satu gambaran yang
dikemukan Rasullah SAW dalam hadits tentang betapa dasyatnya siksa neraka
adalah perbandingan panasnya api dunia dengan api di akhirat, beliau bersabda:
Apimu yang kamu semua
menyalakannya di dunia ini adalah satu baguan dari tujuh puluh bagian dari
panasnya neraka jahannam. Para sahabat berkata: “demi Allah, api dunia ini saja
sudah amat panas ya Rasulullah”. Beliau lalu bersabda: “Memang, api neraka itu
masih lebih panas lagi dengan enam puluh sembilan kali bagian panasnya, setiap
bagian sama suhu panasnya dengan api di dunia ini (HR.
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
Di sisi lain, masalah siksa neraka yang tak terbayangkan
dahsyatnya adalah dari segi waktu yang berabad-abad lamanya, bahkan kekal
mereka di dalamnya, Allah berfiman:
Sesungguhnya neraka
jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi tempat kembali bagi
orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad
lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan dan (tidak pula) mendapat minuman,
selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal.
21. Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai[1547],
22. Lagi
menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas,
23. Mereka
tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya,
24.
Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat)
minuman,
25. Selain air
yang mendidih dan nanah,
26. Sebagai
pambalasan yang setimpal.
27.
Sesungguhnya mereka tidak berharap (takut)
kepada hisab,
28.
Dan mereka mendustakan ayat-ayat kami dengan sesungguh- sungguhnya.
29. Dan segala
sesuatu Telah kami catat dalam suatu kitab[1548].
30.
Karena itu rasakanlah. dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada
kamu selain daripada azab. (QS.
78 [An-Naba] 21-30)
[1547] Maksudnya: di neraka Jahannam ada suatu
tempat yang dari tempat itu para Penjaga neraka mengintai dan Mengawasi isi
neraka.
[1548] yang dimaksud dengan kitab di sini adalah
buku catatan amalan manusia.
Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dengan sesungguh-sungguhnya. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu
kitab. Karena itu rasakanlah. Dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu
kitab. Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada
kamu selain azab. (QS. 78 [An-Naba]:21-30).
Dengan demikian, takut kepada Allah Swt memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam kehidupan kita di dunia ini, karena itu setiap kita
harus menanamkannya ke dalam jiwa yang harus teraplikasi dalam kedisiplinan
hidup yang Islami agar akibat buruknya tidak terjadi pada diri kita
masing-masing sebagaimana yang sudah terjadi pada generasi terdahulu seperti
yang dikisahkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an.
Oleh :
Drs. H. Ahmad Yani
Drs. H. Ahmad Yani
B. TAKUT KEPADA ALLAH (2)
Tuesday, 29 October 2013, 20:12 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari
takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.
Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan
membutuhkan Tuhan, antara lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap
kekuatan gaib.
Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam
raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang,
tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa
aman dan keselamatan hidupnya.
Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan)
yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman
terhadap sesuatu yang tidak disukainya itu jika terjadi pada dirinya.
Takut bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai secara positif,
demikian pula sebaliknya.
Kata takut dalam al-Qur’an,
antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah.
Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah
menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).
Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis
yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya:
28. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. 35 [Fathir] : 28)
[1258] yang dimaksud dengan ulama dalam ayat Ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Takut dalam arti khasyyah
hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan
sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling
takut kepada Allah di antara kalian”.
Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan
lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah
merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan
akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara
positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan
meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa
cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan
amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area,
abu-abu, samar-samar status hukumnya).
Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti
Mukmin, yaitu,
pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan
kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban
kepada Allah SWT dan kepada sesama.
Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah
yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.
Keempat, takut dihadapkan kepada aneka
fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia.
Kelima, takut su’ul khatimah (akhir
kehidupan atau kematian yang buruk).
Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab
Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut
kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat
mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan
dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang
pendosa, pelaku maksiat.
Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin
merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan
bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.
Allah SWT berfirman:
Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Di atas semua itu, memaknai takut secara positif
dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu
ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim
dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada
atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.
TAGS #hikmah #takut
TAGS #hikmah #takut
Redaktur
: Damanhuri Zuhri
|
C. ILMU ADALAH TAKUT KEPADA ALLAH
Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari
“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di
antara para hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
I. Penjelasan
Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan.
Pembatasan dalam satu kalimat bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan).
Adapun istitsna’ dalam konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung
makna penetapan (itsbat). (Lihat
Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang
dimaksud adalah orang yang berilmu tentang syariat Allah subhaanahu
wata’aala, serta mengerti tentang hukum
halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara mutlak (tanpa
pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam. Ini
pula ilmu yang jika kita mempelajari dan mengamalkannya akan mendapat
keutamaan. Hal ini karena selain ilmu syariat, tidak ada perbedaan dalam
mengetahuinya antara seorang mukmin dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulloh
menjelaskan bahwa ilmu yang
bermanfaat adalah yang menunjukkan dua
perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah
subhaanahu wata’aala), Asmaul Husna yang
dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang
menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan,
pemuliaan, rasa takut kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha
dengan ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang dicintai dan
diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa berbagai
keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab
al-Hambali t, hlm. 73)
Syaikhul Islam berkata menjelaskan ayat
ini, “Mereka adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para
rasul. Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)
II. Tafsir Ayat
Ayat Allah subhaanahu wata’aala, yang mulia ini menjelaskan bahwa orang yang
takut kepada Allah subhaanahu wata’aala,
adalah seorang yang alim (berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak
memiliki rasa takut kepada Allah adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah
subhaanahu wata’aala, bertingkat-tingkat
sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid rahimahulloh berkata,
“Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah subhaanahu
wata'aala.”
Beliau rahimahulloh juga berkata, “Orang
yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu
anhu, bahwa beliau berkata, “Cukuplah
rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wata’aala, sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang
kepada-Nya sebagai kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
radiallohu anhu, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang
sebenar-benarnya adalah orang yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari
rahmat Allah subhaanahu wata’aala, tidak
memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat kepada-Nya, tidak memberi rasa
aman kepada mereka dari siksaan-Nya, serta tidak menyebabkan manusia
meninggalkan al-Qur’an dan mencari alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak
ada kebaikan dalam satu ibadah yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada
kebaikan pada satu ilmu yang tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan
dalam membaca al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam Tafsir Ibnu Katsir
tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam rahimahullohu berkata
ketika menjelaskan ayat ini, “Tidaklah seseorang takut kepada Allah subhaanahu
wata’aala, kecuali dia seorang alim.
Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, maka
dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama salaf dan kebanyakan para
ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia takut kepada Allah subhaanahu
wata’aala, sebagaimana ayat yang lain
juga menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu
wata’aala, berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Abul Aliyah rahimahulloh, ‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad
shallallohu 'alaihi wasallam tentang firman Allah subhaanahu wata’aala,
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah
hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.”
(QS. An-Nisa [4]: 17)
Mereka (para sahabat Nabi ) berkata
kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhaanahu wata’aala, maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh
Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan
yang setelahnya, rahimahumullah.” (Majmu
Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di rahimahulloh berkata, “Semakin
seseorang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, semakin besar pula rasa takut kepada-Nya.
Rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala, menyebabkannya meninggalkan kemaksiatan serta
mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil
yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada
Allah subhaanahu wata’aala. Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah
orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
Balasan
mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Rabbnya.” (QS. 98 [Al-Bayyinah] :
8)
(Tafsir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahulloh
mengatakan, “Sesungguhnya, yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, dengan
sebenar-benarnya adalah para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan)
tentang-Nya. Hal ini karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada
Yang Maha Agung, Maha Kuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat
kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna pengetahuan
seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya pun semakin
bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir
Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh
berkata menjelaskan ayat ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain
seorang alim. Sungguh, Allah Swt. telah mengabarkan bahwa setiap yang takut kepada
Allah subhaanahu wata’aala, berarti dia
adalah seorang alim, sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud
dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S 39 [Az-Zumar]: 9)
Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung
sifat berharap (raja’). Jika tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang
berputus asa (dari rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap
mengharuskan adanya rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan
seseorang merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa
takut dan berharap kepada Allah l adalah para ulama yang dipuji oleh Allah
rahimahulloh.” (Majmu’ Fatawa
Syaikhul Islam, 7/21)
III. Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang
hakiki, yang akan memberi manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan
rasa takut seorang hamba kepada Allah subhaanahu wata’aala. Semakin
bertambah ilmu yang bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar
pula rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata’aala. Oleh karena itu, para nabi, orang-orang
saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut kepada Allah
subhaanahu wata’aala, yang lebih daripada selain mereka yang tingkat
keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari
hadits Aisyah radiallohu anha yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka
dengan sesuatu yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami
tidak seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah subhaanahu
wata’aala, telah mengampuni apa yang
telah lalu dari dosamu dan yang akan datang.” Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam marah mendengar hal itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah
beliau shallallohu alaihi wasallam, lalu bersabda:
إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ
بِاللهِ أَنَا
“Sesungguhnya
orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah subhaanahu
wata’aala, adalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dengan
lafadz,
وَاللهِ إِنِّي
لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
“Demi
Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah
subhaanahu wata’aala, dan yang paling
berilmu dengan apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim rahimahulloh dari
hadits Ummu Salamah radiallohu anha,
أَمَا
وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya
aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut
kepada-Nya.” (HR. Muslim no. 1108)
Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam,
menggandengkan rasa takutnya kepada Allah subhaanahu wata'aala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahulloh
berkata, “Telah dimaklumi bahwa para nabi shallallohu alaihi wasallam, dan para
sahabatnya adalah orang yang berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, dan
paling mengetahui tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang
menjadi hak Allah subhaanahu wata’aala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi
hamba yang paling banyak ibadahnya kepada Allah subhaanahu wata’aala, dan yang paling takut serta berharap mendapat
rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)
IV. Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri
seorang hamba akan memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara
pengaruh tersebut adalah:
1. Ia akan semakin giat menjalankan
ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
2. Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik
di keramaian maupun saat sendirian.
3. Senantiasa mengingat Allah subhaanahu
wata’aala, dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
4. Tidak memasukkan ke dalam perutnya
sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wata’aala.
5. Merasa yakin dengan apa yang
dijanjikan oleh Allah subhaanahu wata’aala,
berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang
durhaka.
6. Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan
agama.
V. Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda
seorang yang berilmu adalah jika dia memiliki banyak hafalan dan riwayat.
Sebagian lagi ada yang menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia
memiliki gelar akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini
adalah pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang
disebutkan, namun ilmu yang dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada
Allah subhaanahu wata'aala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah
yang baik dalam kehidupannya-dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
pedoman hidupnya, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang dimilikinya
justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya. Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radiallohu
anhu, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan
hadits, namun ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik Ra. berkata,
“Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah
cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu wata’aala, pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu
ada tiga:
(1) seorang yang berilmu tentang Allah Swt. dan
tentang perintah Allah Swt.,
(2) seorang yang berilmu tentang Allah
subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah Swt., dan
(3) seorang yang berilmu tentang perintah
Allah subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu
wata’aala.
Yang berilmu tentang Allah subhaanahu
wata'aala, dan perintah-Nya, dialah yang takut kepada Allah subhaanahu
wata’aala, sekaligus mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan
apa-apa yang diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah
subhaanahu wata’aala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah subhaanahu
wata’aala, dia adalah orang yang takut kepada Allah subhaanahu wata’aala, namun
tidak mengerti tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang
diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang
perintah Allah subhaanahu wata’aala,
namun tidak berilmu tentang Allah subhaanahu wata’aala, adalah orang yang mengerti sunnah-Nya,
batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut
kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa
Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah mengingatkan para pelajar yang belajar agama di bangku
universitas, “Hal yang menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang
menjadi tolok ukur menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya
gelar, maka Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar
tersebut. Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai
pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar
setingkat sekolah menengah yang jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan.
Sekarang ini, ada orang yang bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu
sedikit pun. Bisa jadi, dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan
ilmu tersebut belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai
pegawai karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu
yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu kali daripada
doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak mengajar di perguruan
tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.
Bersambung ke Taqwa dan
Takut Kepada Alloh Seri 02. ........
Jember, 22 Desember 2014
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember