SEJARAH “HITAM” KAUM WAHABI 02
Oleh: Dr. H.M.
Nasim Fauzi
I. Pendahuluan:
Pada makalah sebelumnya telah disebutkan
bahwa kaum Wahabi adalah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut
Muhamad ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah
pengikut Ahmad ibnu Hambal. Ibnu Abdul Wahab sendiri lahir pada tahun 1703
M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan timur kerajaan
Saudi Arabia sekarang. Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh
paham keagamaan yang mengacu bunyi harfiyah teks al-Qur-an maupun al-Hadits.
Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti tradisi, menolak tahlil, maulid
Nabi Saw., barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi
pada akhirnya mengeksklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai
orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi, merasa dirinya sebagai
orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga
paling selamat.
Selanjutnya Muhamad Abdul Wahab bersekutu
dengan Ibnu Sa’ud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah
seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi
untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Koalisi pun dibangun secara
permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan,
Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan
orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul
Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka.
Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu
Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda
pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak
sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak
sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan wajib
diperangi. Tahun 1902 M/1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas
penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak
dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805
M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun
menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun
setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian
demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran
terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain
al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mauidzoh
hasanah sebelum khutbah Jum’at, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan
sempat mengharomkan kopi.
Peta Saudi Arabia 1932
Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu
menggunakan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya dalam
penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920 M-an, lebih dari 400 ribu umat Islam
telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita.
Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para
ulama Madzhab Syafii, mekipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. Di
samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi
acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.
II. Permasalahan
Tentu timbul pertanyaan pada benak kita
mengapa tiba-tiba timbul seorang radikal yang bernama Muhamad Abdul Wahab
dengan pemikiran ekstrim yang berseberangan dengan pemikiran para ulama waktu
itu. Siapakah gurunya ? Atau kitab-kitab apa yang telah dibaca dan menjadi
pedomannya ?
Maka kita perlu mempelajari situasi Timur
Tengah pada abad 18 – 19 M. yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Islam Turki
Utsmaniyah yang berfaham Sunni dan Kerajaan Safawi di Persia yang berfaham
Syiah.
Sifat dan adat bangsa Turki berbeda
dengan bangsa Arab serta bangsa-bangsa lain yang mendiami wilayah Timur Tengah
karena mereka (bangsa Turki) bukan penduduk asli wilayah tersebut. Bersama
dengan bangsa Mongol, nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah dan
pegunungan Mongolia di sebelah utara Cina. Maka kita perlu mempelajari sejarah
mereka.
Kemudian penulis uraikan usaha Inggris
Raya menguasai wilayah Turki Utsmaniyah di Timur Tengah.
Berikutnya diuraikan tentang Kerajaan
Safawi di Persia kutipan dari internet.
III. Uraian
Situasi Timur Tengah Sebelum Kedatangan Bangsa Turki dan Mongol.
Timur Tengah adalah tempat Agama Islam
dilahirkan. Agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. kemudian
disebarkan oleh beliau ke seluruh jaziroh Arabia pada abad ke -7 Masehi.
Setelah beliau wafat kemudian pimpinan pemerintahaan Islam yang beribukota di
Madinah dipegang oleh para sohabat utama Nabi yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali (khulafa’ur rosyidin) yang menyebarkan Agama Islam keluar dari jaziroh
Arob.
Karena masyarakat dunia waktu itu tidak
terbiasa dengan system otokrasi maka selanjutnya pemerintahan Islam dilanjutkan
dengan sistem Monarchi / Kerajaan yaitu Kerajaan Bani Umaiyyah (abad ke-7 dan 8
M.) yang menyebarkan agama Islam jauh ke Timur yaitu di bekas wilayah kerajaan
Byzantium (Romawi Timur) di Asia Kecil, dan bekas wilayah kerajaan Babilonia
dan Persia di sebagian Asia Selatan dan Asia Tengah. Wilayah Kerajaan Islam
juga jauh menyebar ke Barat sampai ke Afrika Utara, menyeberang selat Jibraltar
/ Jabal Toriq ke semenanjung Iberia yang termasuk wilayah Eropah (Spanyol dan Portugis
sekarang). Ibukota Kerajaan Islam lalu dipindahkan dari Madinah ke Damaskus (di
Syam atau Syria) dan Kordoba di Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada
Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari kholifah pertama Bani Umayyah,
yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Selanjutnya pemerintahan Islam diteruskan
oleh Kerajaan Bani Abbasiyah (abad ke-8 – 13 M.). Sedang di Jaziroh Iberia
tetap di kuasai oleh Bani Umaiyah yang beribukota di Kordoba sampai akhirnya jatuh
ke tangan Ratu Isabela yang beragama Katolik pada abad ke-15 M. sampai
sekarang. Kerajaan Islam Bani Abbassiyah didirikan oleh Abdullah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Al-Abbas di sini adalah Abbas bin Abdul
Mutholib bin Hasyim pamanda Rosululloh, Muhammad bin Abdulloh bin Abdul
Mutholib bin Hasyim. Di antara para Bani Hasyim berpendapat bahwa merekalah
yang berhak menjadi Kholifah. Pada mulanya ibu kota negara ada di kota
al-Hasyimiyah, dekat Kufah, di Iraq sekarang. Lalu Kholifah al-Manshur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, tahun 762
M. Sehingga ibukota Kerajaan Islam beralih dari Damaskus di Siria ke Baghdad di
Iraq. Pada zaman Kerajaan Bani Abbasiyah inilah kebudayaan Islam mengalami
zaman keemasannya. Namun karena posisi ibukota ada di bekas pusat Kerajaan
Persia yang mewah maka pengaruh kemewahan ini menjangkiti para raja dan
bangsawan. Sehingga semangat perjuangan para bangsawan berbangsa Arab menurun.
Peran mereka digantikan oleh tentara bayaran non Arab. Penyebaran wilayah
Kerajaan Islam pada zaman Bani Abbasiyah menurun. Wilayahnya terpecah belah dan
dikuasai oleh para Amir yang berbangsa non Arab. Pada tahun 565 H/1258 M, tentara
Mongol yang berkekuatan sekitar
200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim,
penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243
- 1258 M.), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung
"topan" tentara Hulagu Khan. Maka berakhirlah Kerajaan Islam Bani
Abbasiyah.
Wilayah Islam Di Bawah Pengaruh Bangsa
Turki dan Mongol
Pada zaman Nabi Muhamad s.a.w., agama
Islam terutama dianut oleh bangsa Arab yang termasuk ras Semit. Sebagian
ber-ras Negro (Habsyi) yang menjadi budak bangsa Arab. Setelah menyebar ke luar
jaziroh Arob banyak bangsa di luar ras Semit yang masuk Islam yaitu ras Indo
German di antaranya adalah bangsa Persia, Afghanistan, India dan bangsa-bangsa
Eropah. Waktu itu tidak ada bangsa Turki dan Mongol di Timur Tengah.
Asal-Usul
Bangsa Turki
dan Mongol
dan Mongol
Bangsa Turki adalah campuran antara bangsa Mongol di pegunungan
Mongolia di sebelah utara Cina dengan bangsa-bangsa di Asia Tengah. Kebanyakan
dari mereka mendiami padang stepa yang membentang di antara pegunungan Ural
sampai pegunungan Altai di Asia Tengah, dan mendiami hutan Siberia dan Mongol
di sekitar Danau Baikal.
Dalam rentang
waktu yang relatif panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana mereka
tinggal di perkemahan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain,
menggembala kambing dan berburu. Mereka hidup dari hasil perdagangan
tradisional yaitu mempertukarkan dagangan bangsa Turki dan Cina yang menjadi
tetangga mereka. Kesehariannya, sebagaimana dipredikatkan pada sifat nomad,
mereka mempunyai sifat kasar, suka berperang, berani mati dalam mewujudkan
keinginan dan ambisi politiknya. Namun, mereka sangat patuh dan taat pada
pimpinannya dalam satu bingkai agama Syamaniyah, yaitu kepercayaan yang
menyembah bintang-bintang dan matahari terbit.
Wilayah Kekuasaan Mongol
dan Dinasti Ilkhan
dan Dinasti Ilkhan
Perpaduan antara watak nomad dengan ketangkasannya menunggang
kuda, serta keberaniannya melawan musuh mengantarkan Bangsa Mongol menjadi
bangsa penakluk. Terbukti banyak negara-negara di Dunia yang telah mereka
taklukkan meliputi kawasan Cina dan negeri-negeri Islam, khususnya ketika
Mongol dipimpin oleh Jengis Khan. Cina bagian Barat, Tibet, mereka taklukkan
sekitar tahun 1213 M., dan Beijing tahun 1215 M.
Tiga tahun berikutnya ia dapat menguasai kota Turkistan yang
berbatasan dengan Khawarizm Syah yang menjadi wilayah Kerajaan Islam Bani Abbasiyah.
Selanjunya, secara berturut-turut Turkistan yang juga merupakan wilayah
Khawarizm, Bukhara di Samarkhand dan Balkh, serta kota-kota lain yang memiliki
peradaban Islam yang tinggi di Asia Tengah tidak luput dari kehancuran dari
serangan bangsa Mongol. Jengis Khan juga mengutus anak-anaknya yaitu Tuli untuk
menaklukkan Khurasan dan Juchi dan Changhatai untuk menaklukkan wilayah Sri
Darya bawah dan Khawarizm.
Sebelum Jengis Khan meninggal dunia tahun 1227 M, ia membagikan
wilayah yang begitu luas kepada keempat anaknya. Dari keempat anaknya yang
penting bagi kita adalah anak ke-4 yaitu Tuli. Ia menerima daerah Mongolia.
Bersama dengan anak-anaknya Mongke dan Qubilay Khan. Mongke tetap bertahan di
Mongolia sebagai Khan Agung dengan ibukota Qaraqarum dan Qubilay Khan
memerintah di Cina yang terkenal dengan Dinasti Yuan sampai abad XIV. Kemudian
digantikan oleh Dinasti Ming yang beragama Budha yang berpusat di Beijing
kemudian mereka bertikai dengan ke-Khan-an Islam di Barat dan Rusia. Hulagu
Khan saudara Qubilay Khan menyerang daerah-daerah Islam sampai Baghdad.
Setelah Hulagu menaklukkan Baghdad ia mendirikan kerajaan
Ilkhaniyah di Persia atas nama pemerintahan Khan Agung di Mongolia dan Cina
dengan gelar Ilkhan dan membunuh Khalifah terakhir Abbasiyah al-Mu’tasim (13
Februari 1258). Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya
diperintah oleh Dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada
Hulagu. Umat Islam dengan demikian dipimpin oleh Hulagu Khan, seorang raja yang
beragama Syamanism.
Selanjutnya daerah-daerah yang berkultur Islam di kawasan Arab
yaitu Irak, Syiria dan Persia Barat telah ditaklukkan Mongol, tetapi Mongol
sendiri telah mengikuti atau terserap dengan budaya Islam. Kemudian mereka
masuk ke Mesir pada tahun 1260 M. Mereka berhasil menduduki Hablur dan Gaza.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Ghazan, yakni raja yang ketujuh Dinasti
Ilkhan, ia mulai memperhatikan perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung
ilmu pengetahuan dan sastra. Oleh karena itu ia membangun semacam biara untuk
para Darwis, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah
perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnya.
Kerajaan
Turki Utsmani
(1300-1900 M.).
Sejak mundur dan berakhirnya era
Abbasiyah, keadaan politik umat Islam mengalami kemajuan kembali oleh tiga
kerajaan besar: Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Dari
ketiganya, Turki Utsmani adalah yang terbesar dan terlama. Turki Utsmani runtuh
dan berubah menjadi Republik Turki pada tahun 1924 M.
Pendiri Kerajaan Turki Utsmani adalah
bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara
negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira 3 abad, mereka pindah ke Turkistan
kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 M,
ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol
pada abad ke13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat
pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk,
di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka
mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang
berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat
kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia
Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah
barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M.
Kepemimpinan dilanjutkan oleh puteranya, Osman. Putera Ertoghrul inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Osman memerintah antara tahun 1290
dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II
dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan
dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M., bangsa Mongol menyerang kerajaan
Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian
terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Osman pun menyatakan kemerdekaan
dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Utsmani
dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Osman yang sering disebut juga
Osman I.
Setelah Osman I mengumumkan dirinya sebagai
Padisyah Al Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 699 H. (1300 M.) setapak
demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran
Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh
yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama
dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas
keberaniannya, Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan
lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di
Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih
harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang
dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan
untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan
Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya
pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah
selama 4 abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal
dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة),
yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka
sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II
melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan
keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453
pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah.
Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika,
Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
Mehmed II menaklukkan kota Konstantinopel
yang menjadi ibukota baru kesultanan tahun 1453 M.
Perkembangan
Kerajaan
(1453–1683 M.)
(1453–1683 M.)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa:
Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun
1566 M.); dan masa stagnasi militer dan politik
Perluasan
Wilayah
dan Puncak Kekuasaan
(1453–1566 M.)
dan Puncak Kekuasaan
(1453–1566 M.)
Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 M. adalah
perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal perang,
menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah.
Penaklukkan Konstantinopel oleh
Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut
sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini
Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah,
memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan,
angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang
kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah
jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya
di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520 M.) secara dramatis memperluas batas
wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail
I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan
menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-1566 M.) melanjutkan
ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521 M., Suleiman menaklukkan Kerajaan
Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan
ke Kota Wina tahun 1529 M., namun
gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa
pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil
menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535 M.,
mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Suleiman yang Agung (1520-1566 M.)
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman,
angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol
sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi
penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi
dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan
penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543M. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama
Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin
Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan
Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di
selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini.
Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan
Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang
dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah
dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis,
Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Pemberontakan
dan kebangkitan kembali
(1560-1683. M.)
dan kebangkitan kembali
(1560-1683. M.)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa
wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan
Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan
perekonomian Kesultanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi
warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan di bawah pemerintahan Sultan yang
lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang
besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 M. yang menandakan
berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha
mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah
dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua
baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan
mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap
semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar
kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan
Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di
Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah
mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 M. mengakhiri supremasi kesultanan di
Mediterania. Pada akhir abad ke-16 M.,
masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah
secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana
inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang
oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di
Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan.
Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan
relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan
militer lainnya Murad IV
(1612-1640 M. ), yang menaklukkan Yereva tahun
1635 M. dan Baghdad tahun
1639 M. dari kesultanan
Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan
politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang
memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610 M. )
dan Pemberontakan Yenisaris (1622 M.)
mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad
ke-16 dan awal abad ke-17 M. ,
dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 M. bukan hanya masa stagnasi dan
kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan
strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru,
internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660 M.) adalah periode di mana pengaruh
politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda
mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat
dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea
Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. Masa ini berakhir
sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana
persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651 M. Berakhirnya
periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703 M.), yang mana kesultanan pada masa
ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian
oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
Ottoman Empire 1359-1856
Keadaan
Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama
politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya;
mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus
urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua
ini dilaksanakan dengan tatacara Islam. Arti kedua adalah politik luar negeri,
Politik dalam
negeri
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
Pertama, buruknya pemahaman Islam.
Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa
diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi
kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki
al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu
merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni
mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis
Ibrohimul Halabi (1549 M.)
sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara
menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab,
jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1
mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan
emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya
UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa
dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan
Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa
I (1617 M.), Osman II (1617-1621 M.), Murad IV (1622-1640 M.), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648 M.), Mehmed IV (1648-1687 M.), Suleiman II (1687-1690 M.), Ahmed II (1690-1694 M.), Mustafa II (1694-1703 M.), Ahmed III (1703-1730 M.), Mahmud I (1730-1754 M.), Osman III (1754-1787M.), Mustafa
III (1757-1773 M.), dan Abdul
Hamid I (1773-1788 M.) . Inilah
yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu
memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826 M.),
sehingga mereka dibubarkan (1785 M.).
Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa
berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan
kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17 M., sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17 M., sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16 M., terjadilah krisis moneter saat
emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat
kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; inflasi hebat. Mata
uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 M. tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu
keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17 M. Inilah yang membuat pasukan
Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16 M. Akibat
adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar
negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban
ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini
terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh
al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya
atas Rusia (1788 M.). Sultanpun
meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab
membaca kitab itu tiap hari.
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15 M., Eropa-Kristen melihatnya sebagai
awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 M. saat penaklukan Balkan, seperti
Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V
(1566-1572 M.) menyatukan Eropa
yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik.
Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667 M.). Saat itu, penaklukan khilafah
terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto
(1571 M.), khilafah hanya
mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul
khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699 M.),
wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan
sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah
harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19 M.), dan tambah tragis setelah
Perjanjian San Stefano (1878 M.)
dan Berlin (1887 M.).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah
telah melakukan reformasi (abad ke-17 M.,
dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu
khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat
munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal
sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke
tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap
demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk
Dewan Tanzimat (1839 M.) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya
beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840 M.),
dan UU Dagang (1850 M.), tambah
rumusan Konstitusi 1876 M. oleh
Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Runtuhnya
Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha
menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai
Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat
negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya
mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan
kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal
Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di
Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau
kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan
khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan
khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang
diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua
parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan
republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29
November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia
dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha
mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal
Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang
menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia
melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah
digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan
.
.
Mustafa Kemal Attaturk (1881 - 1938)
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa
Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M,
ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam
dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal
Pasha.
Respons atas
runtuhnya
Turki Utsmani
Turki Utsmani
di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan
khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924
diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari
Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas
undangan kongres khilafah di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan
menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27
Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat
(hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari
10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari
seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan
diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap
sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini
memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari
Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan
tradisi.
Karena ada perbedaan pendapat kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3
penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya,
Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk
Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat
yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada
Ibnu Sa'ud, penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar
dapat diteruskan. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama
pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap
menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.
Pada tahun yang sama diselenggarakan
Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam
Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam
Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi. Pada tanggal 13-19 Mei
1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H.
Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan
Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni
Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah).
Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27
Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung
Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di
Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres
Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).
Kolonisasi Inggris di Wilayah
Kesultanan Turki Utsmaniyah
Kesultanan Turki Utsmaniyah
Sasaran paling utama bagi penjajahan
Inggris di akhir abad ke-19 adalah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di masa itu, imperium Utsmaniyyah
memerintah wilayah sangat luas yang terbentang dari Yaman hingga
Bosnia-Herzegovina. Namun hingga saat itu, wilayah yang sebelumnya damai,
tentram dan stabil tersebut menjadi sulit untuk diatur. Penduduk Kristen yang
berjumlah sedikit mulai melakukan pemberontakan dengan dalih ingin merdeka, dan
kekuatan militer raksasa seperti Rusia mulai mengancam kedaulatan Kekhalifahan
Utsmaniyyah.
Di seperempat terakhir abad ke-19 M., Inggris dan Prancis bersekutu dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di bagian selatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani pada tahun 1878 M., adalah wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah wilayah Utsmaniyyah. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882 M., Inggris menduduki Mesir, yang masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris mulai melancarkan siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah di Timur Tengah di kemudian hari.
Seperti biasanya, Inggris mendasarkan politik penjajahan ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris dengan sengaja berusaha menampilkan bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa "terbelakang".
Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili bagian dari umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban mereka, mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari Anatolia.
Di seperempat terakhir abad ke-19 M., Inggris dan Prancis bersekutu dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di bagian selatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani pada tahun 1878 M., adalah wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah wilayah Utsmaniyyah. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882 M., Inggris menduduki Mesir, yang masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris mulai melancarkan siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah di Timur Tengah di kemudian hari.
Seperti biasanya, Inggris mendasarkan politik penjajahan ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris dengan sengaja berusaha menampilkan bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa "terbelakang".
Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili bagian dari umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban mereka, mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari Anatolia.
Perkataan ini, dan semisalnya, digunakan
selama puluhan tahun oleh pemerintah Inggris sebagai alat propaganda melawan
bangsa Utsmaniyyah. Inggris berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa
terbelakang yang harus tunduk kepada ras-ras Eropa yang lebih maju.
Yang menjadi "landasan ilmiah"
bagi propaganda ini adalah Charles Darwin!
Sejumlah pernyataan Darwin tentang bangsa
Turki muncul dalam buku berjudul The Life and Letters of Charles Darwin yang
terbit pada tahun 1888 M.. Darwin
mengemukakan bahwa dengan menghapuskan "ras-ras terbelakang" seleksi
alam akan mampu berperan dalam pembangunan peradaban, dan kemudian menuturkan
perkataan yang sama persis sebagaimana berikut ini tentang bangsa Turki:
Saya dapat menunjukkan bahwa peperangan
dalam rangka seleksi alam telah dan masih lebih memberikan manfaat bagi
kemajuan peradaban daripada yang tampaknya cenderung anda akui. Ingatlah bahaya
yang harus dialami bangsa-bangsa Eropa, tak sampai berabad-abad yang lalu,
karena dikalahkan oleh orang-orang Turki, dan betapa bodohnya jika pandangan
seperti ini sekarang masih ada! Ras-ras 'Kaukasia' yang lebih beradab telah
mengalahkan bangsa Turki hingga tak berdaya dalam peperangan untuk mempertahankan
hidup.
Pernyataan Darwin yang tidak masuk akal
ini adalah alat propaganda tertulis untuk mendukung politik Inggris yang ingin
menghancurkan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Dan alat propaganda ini ternyata cukup
ampuh. Perkataan Darwin yang pada intinya berarti "Bangsa Turki akan
segera musnah, ini adalah hukum evolusi" memberi semacam 'pembenaran
ilmiah' bagi propaganda Inggris dengan tujuan menciptakan kebencian terhadap
orang-orang Turki.
Keinginan Inggris untuk mewujudkan
ramalan Darwin pada intinya terpenuhi dalam Perang Dunia Pertama. Perang besar
ini, yang dimulai pada tahun 1914 M.,
terjadi akibat perang kepentingan antara Jerman dan Austria-Hongaria di satu
pihak, dan persekutuan antara Inggris, Prancis, dan Rusia di pihak lain. Namun
satu hal terpenting dalam perang ini adalah tujuan untuk menghancurkan dan
memecah belah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris menyerang Kekhalifahan
Utsmaniyyah dari dua arah yang terpisah. Yang pertama adalah melalui arah
terusan Suez di Mesir, Palestina, dan Irak, yang akan dibuka dengan maksud
merebut wilayah Utsmaniyyah di Timur Tengah. Yang kedua adalah melalui
Gallipoli, salah satu medan pertempuran paling berdarah pada Perang Dunia
Pertama. Pasukan Turki di Çanakkale bertempur dengan gagah berani dan
kehilangan 250.000 tentaranya saat melawan kekuatan musuh yang dihimpun
Inggris. Sedangkan Inggris, daripada mengerahkan pasukannya sendiri, lebih suka
mengirimkan tambahan pasukan India dan kesatuan Anzac yang mereka himpun dari
daerah jajahannya seperti Australia dan Selandia Baru, yang mereka pandang
sebagai "ras terbelakang", untuk memerangi tentara Turki.
Permusuhan Darwin terhadap rakyat Turki
terus berlanjut hingga setelah Perang Dunia Pertama. Kelompok-kelompok Neo-Nazi
Eropa yang menyerang warga Turki di Eropa masih saja mengambil pembenaran dari
pernyataan Darwin yang tidak masuk akal tentang bangsa Turki. Ucapan Darwin
tentang bangsa Turki masih dapat ditemukan di situs-situs internet yang
dikelola para rasis yang memusuhi orang Turki tersebut.
Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
Posting by : Ongki sang jagoan blog on Jumat, 12 Februari 2010
Kerajaan Safawi di Persia berdiri ketika
kerajaan Utsmani sudah mencapai puncak kemajuannya, Kerajaan ini berkembang
sangat cepat. Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (Utsmani dan
Mughal), Kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai madzhab Negara. Karena itu,
kerajaan ini dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya Negara Iran
dewasa ini. Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di
Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah.
Nama Safawiyah di ambil dari nama pendirinya Safi al-Din (1252-1334 M.), dan
nama Safawi itu terus dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik.
Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang
berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syiah
yang keenam Musa al-Khozim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrohim Zahidi
(1216-1301 M.) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani.
Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah
setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M.
Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan
tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi
golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid'ah. Setelah ia mengubah bentuk tarekat
itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan
yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar
Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya.
Wakil itu diberi gelar kholifah.
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik
biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk
berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah
menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap
orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu
mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M.),
dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambah kegiatan keagamaan.
Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara
Koyunlu (domba hitam). Ia tinggal di istana Uzun Hasan yang ketika itu
menguasai sebagian besar Persia.
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal
diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara
politik dengan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M. Juneid mencoba merebut Ardabil
tetapi gagal. Pada tahun 1460 M. ia mencoba merebut Sircasia tetapi pasukan
yang dipimpinnya di hadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam
pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juned Haidar masih kecil dan
dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa
diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan
Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun
Hasan. Dari perkawinan ini lahir Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri
kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK Konyulu tahun 1476 M. terhadap
Kara Koyunlu membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang
sebagai rival politik oleh AK Konyulu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. AK
Konyulu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi.
Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK
Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar
kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M.). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustan berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M.).
Ali putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M.). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustan berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M.).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada
di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun
Ismail beserta pasukanya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan
mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia.
Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M.,
pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Shahrur, dekat
Nakhchivan. Ismail berkuasa selama lebih kurang 23 tahun, yaitu antara tahun
1501 dan 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1510
M.), menguasai Propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M.), Diyar
Bakr, (1505-1507 M.) Baghdad dan daerah barat daya Persia, (1508 M.), Sirwan
(1509 M.), dan Khurasan (1510 M.). Hanya dalam waktu itu wilayah kekuasaannya
sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile
Crescent).
Tidak sampai disitu, ambisi politik
mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainya,
seperti ke Turki Usmani. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada tahun 1514
M. di Chaldiran, dekat Tabriz. Dalam peperangan ini Ismail I mengalami
kekalahan, malah Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki
Tabriz. Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail
ke Turki I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura
dan berburu.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus
berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangn antara dua kerajaan besar
Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman penerintahan Tahmasp I (1524-1576
M.), Ismail II (1576-1577 M.), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M.). Pada
masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi dalam keadaan lemah.
Kondisi memprihatinkan ini baru dapat diatasi
setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588
sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang di tempuh oleh Abbas I: Pertama,
berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan
cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal
dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, Sircassia yang telah ada sejak raja
Tahmasp I. Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk
mewujudkan perjanjian ini Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah
Azerbaizan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan.
Usaha–usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Pada tahun 1598 M. ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaanya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Pada tahun 1602 M., di saat Turki Utsmani berada dibawah Sultan Muhammad III, Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Bagdad. Selanjutnya, pada tahun 1622 M. pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.
Usaha–usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Pada tahun 1598 M. ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaanya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Pada tahun 1602 M., di saat Turki Utsmani berada dibawah Sultan Muhammad III, Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Bagdad. Selanjutnya, pada tahun 1622 M. pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.
Masa Kekuasaan Abbas I merupakan puncak
kejayaan kerajaan Safawi. Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya
terbatas di bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami
banyak kemajuan. Kemajuan–kemajuan itu antara lain adalah sebagai berikut :
1. Bidang
Perekonomian
Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa
Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih
setelah kepulauan Hurnuz dikuasai dan pelabuhan Gunrun diubah nenjadi Bandar
Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara
Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis
sepenuhnya menjadi miliik kerajaan Safawi.
Di samping itu sektor perdagangan, kerajaan
Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah Bulan
Sabit Subur (Fertile Crescent).
2. Bidang Ilmu
Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal
sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana, yaitu Baha
al-Din al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi,
filosof, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog
dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
3. Bidang Pengembangan Fisik dan
Seni
Para
penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan,
menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan
besar lagi indah seperti mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah,
jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chilhil Sutun. Kota Isfahan juga
diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 173
pemandian umum.
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail pada tahun 1522 M. membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhab.
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail pada tahun 1522 M. membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhab.
Kemunduran
kerajaan Safawi adalah sepeninggal Abbas I, berturut-turut di perintah oleh
enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M.), Abbas II (1642-1667 M.), Sulaiman
(1667-1694 M.), Husain (1694-1722 M.), Tahmasp II (1722-1732 M.), dan Abbas III
(1733-1736 M.). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan tidak menunjukkan
grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang
akhirnya membawa kepada kehancuran.
Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani. Bagi Kerajaan Utsmani berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaan. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun tidak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi kedamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani. Bagi Kerajaan Utsmani berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaan. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun tidak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi kedamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
Penyebab
lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan
Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di
samping itu pecandu berat narkotika, juga menyenangi kehidupan malam beserta
harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani
pemerintahan. Begitu juga Sultan Husein.
Penyebab
penting lainnya adalah karena pasukan ghulam(budak-budak) yang dibentuk oleh
Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini
disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak
melalui proses yang dialami Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang
baru ternyata tidak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan anggota
Qizilbash sebelumnya.
Tidak
kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
III. Kesimpulan
Demikian telah dibahas situasi Timur Tengah
semasa timbulnya Faham Wahabi pada abad 18 -19 Masehi.
Di antaranya adalah tentang asal-usul Bangsa Turki dari Asia Tengah dan Asia Timur yang mengendalikan Kerajaan Turki Utsmani yang sifatnya berbeda dengan bangsa-bangsa asli Timur Tengah.
Kemudian peran kolonialis Inggris Raya yang sangat ahli dalam politik "Divide et Impera" yang berakhir dengan sukses memecah belah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniyah di Timur Tengah dan Balkan.
Dalam episode berikutnya kita akan melihat betapa besar pengaruh mata-mata Inggris dalam membentuk fikiran ekstrim Muhammad ibnu Abdul Wahab, sang pendiri faham Wahabi itu.
Jember, 31 Juli 2011
Di antaranya adalah tentang asal-usul Bangsa Turki dari Asia Tengah dan Asia Timur yang mengendalikan Kerajaan Turki Utsmani yang sifatnya berbeda dengan bangsa-bangsa asli Timur Tengah.
Kemudian peran kolonialis Inggris Raya yang sangat ahli dalam politik "Divide et Impera" yang berakhir dengan sukses memecah belah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniyah di Timur Tengah dan Balkan.
Dalam episode berikutnya kita akan melihat betapa besar pengaruh mata-mata Inggris dalam membentuk fikiran ekstrim Muhammad ibnu Abdul Wahab, sang pendiri faham Wahabi itu.
Jember, 31 Juli 2011
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tlp. (0331) 481127 Jember
Sangat menarik, Dok. Bisakah disertakan rujukan / referensi dari pemaparan di atas?
BalasHapusMohon maaf, saya sedang dalam proses belajar. Dan saya diajari untuk merunut referensi paling tidak 3 step ke atas.
Salam.