Negara Tanpa Penjara
Seri 03
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
....... Lanjutan dari Negara Tanpa Penjara 02
sebagai salah satu sistem Restorative Justice.
Dari
uraian di atas disimpulkan
bahwa sistem pidana modern yang bertumpu pada sistem pemenjaraan terbukti telah
gagal dalam menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat. Para ahli hukum
kemudian berpaling kepada sistem hukum kuno sebagai penggantinya. Bahkan Marc Levin menyatakan bahwa
pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai usang, kuno dan tradisional kini justru
dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif. Sistem hukum kuno yang dipelajari di antaranya adalah hukum Hammurabi,
Sumeria dan Romawi. Sedang di Indonesia para ahli hukum mempelajari hukum kuno
di Majapahit dan Aceh yang oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan hukum adat.
Sayangnya para ahli hukum jarang membahas tentang hukum pidana Islam sebagai
salah satu sistem restorative justice.
Jika kita
mencoba mencari informasi tentang hukum pidana Islam atau Islamic Criminal Law
lewat internet (misalnya melalui situs pencari Google) maka paling tidak kita
akan disuguhi informasi sebanyak lebih dari 1.360.000 item. Hal ini sedikit
memberi gambaran bahwa hukum pidana Islam menjadi pembahasan luas di seluruh
dunia.
Persoalan pidana Islam sering dipersempit hanya persoalan Rajam atau Qisas saja, dan tidak membicarakan seluruh cakupan dari hukum ini. Hukum Pidana Islam merupakan satu bidang kajian Hukum Islam yang paling sedikit diajarkan dalam studi hukum di perguruan tinggi (dibanding hukum perdata Islam seperti perkawinan, kewarisan, perjanjian, dan sebagainya).
Persoalan pidana Islam sering dipersempit hanya persoalan Rajam atau Qisas saja, dan tidak membicarakan seluruh cakupan dari hukum ini. Hukum Pidana Islam merupakan satu bidang kajian Hukum Islam yang paling sedikit diajarkan dalam studi hukum di perguruan tinggi (dibanding hukum perdata Islam seperti perkawinan, kewarisan, perjanjian, dan sebagainya).
Dewasa ini
barulah kuliah pidana Islam semakin banyak menjadi mata kuliah di fakultas
hukum atau syariah. Dewasa ini
semakin banyak yang menulis skripsi, tesis, dan disertasi tentang pidana Islam.
Khusus dalam
kuliah Perbandingan Hukum Pidana / Perbandingan Sistem Peradilan Pidana,
pembahasan Hukum Pidana Islam tidak hanya dilakukan di universitas-universitas
di Indonesia saja. Berbagai fakultas hukum di negara-negara Barat juga telah
mengajarkan materi Hukum Pidana Islam / Sistem Peradilan Pidana Islam ini dalam
kurikulumnya
A. Sejarah
Hukum Pidana Islam
Dikutib dari tulisan Nidia Zuraya di
REPUBLIKA.CO.ID
Sebagai agama yang sempurna, ajaran
Islam mengatur secara jelas berbagai aspek kehidupan manusia. Penegakan hukum
dan keadilan merupakan bagian kehidupan yang juga diatur dan mendapat perhatian
dalam ajaran Islam. Termasuk di antaranya masalah hukum pidana yang diatur melalui
Al-Ahkam al-Jinayah (hukum pidana Islam).
Hukum pidana Islam tumbuh lebih cepat
dibanding hukum pidana konvensional. Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri
al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, hukum pidana
konvensional tak ubahnya seperti bayi yang baru lahir, tumbuh dari kecil dan
lemah lalu tumbuh besar dan bertambah kuat sedikit demi sedikit.
‘’Sedangkan hukum pidana Islam tidak
dilahirkan laksana anak kecil yang kemudian tumbuh dan berkembang, tetapi
dilahirkan langsung laksana pemuda, yang diturunkan langsung dari Allah SWT
kepada Rasulullah SAW secara sempurna dan komprehensif,’’ ujar Audah.
Mustafa Zarqa, seperti dikutip dalam Ensiklopedi
Islam, membagi pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam ke dalam tujuh
periode.
Pertama, periode risalah, yakni
selama hidup Rasulullah SAW.
Kedua, periode al-Khulafa
ar-Rasyidun (empat khalifah utama) sampai pertengahan abad pertama Hijriyah.
Ketiga, dari pertengahan abad
pertama Hijriyah sampai permulaan abad kedua Hijiriyah.
Keempat, dari awal abad kedua
Hijriyah sampai pertengahan abad keempat Hijiriyah.
Kelima, dari pertengahan abad
keempat Hijriyah sampai jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ketujuh
Hijriyah.
Keenam, dari pertengahanan abad
ketujuh Hijriyah sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah (Kodifikasi
Hukum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani.
Ketujuh, sejak munculnya kodifikasi
hingga era modern.
Menurut Audah, hukum Islam,
termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dalam masa yang pendek, yakni dimulai sejak masa kerasulan Nabi Muhammad
SAW dan berakhir dengan kewafatannya atau berakhir ketika Allah SWT menurunkan
firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬اۚ
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.
" (QS Al-Maidah [5]: 3)
‘’Hukum Islam diturunkan bukan untuk
suatu golongan atau sebagian kaum ataupun sebagian negara, melainkan untuk
seluruh manusia, baik orang Arab maupun orang dari etnis lainnya, baik di Barat
maupun di Timur,’’ papar Audah.
Hukum Islam diperuntukkan bagi seluruh
manusia yang berbeda-beda kecendrungannya, berlainan kebiasaan, tradisi, dan
sejarahnya. Singkatnya, hukum Islam adalah hukum bagi seluruh keluarga,
kabilah, masyarakat, dan negara.
Sedangkan hukum konvensional
diciptakan oleh suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan dalam mengatur
kehidupan antar mereka. Dengan demikian, hukum konvensional dapat berkembang
dengan cepat manakala tatanan masyarakatnya juga berkembang dan maju dengan
cepat.
Para ahli hukum sepakat bahwa awal
mula berkembangnya hukum konvensional berawal dari sebuah keluarga dan kabilah.
Seperti hukum keluarga yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga, hukum
kabilah dipimpin oleh seorang kepala suku atau kabilah.
Hukum ini terus berkembang hingga
akhirnya membentuk sebuah negara yang merupakan penyatuan antara hukum-hukum
keluarga dan kabilah, di mana hukum antar kabilah atau hukum antar keluarga
berbeda satu sama lain. Di sinilah peran negara untuk menetapkan suatu hukum
yang harus dipatuhi oleh seluruh individu, keluarga, dan kabilah yang masuk ke
dalam wilayah suatu negara hukum meskipun hukum tiap negara biasanya berbeda.
Perbedaan antar hukum negara terus
berlangsung hingga akhir abad ke-18 M (Revolusi Perancis) ketika munculnya
teori filsafat, ilmu pengetahuan dan sosial. Sejak itu -- sampai kini -- hukum
konvensional mengalami perkembangan besar, di antaranya berdiri di atas dasar
yang tidak dimiliki oleh hukum-hukum konvensional sebelumnya.
Menurut Audah, berbeda dengan hukum
konvensional, hukum Islam lahir dengan sempurna, tidak ada kekurangan di
dalamnya; bersifat komprehensif, yakni menghukumi setiap keadaan dan tidak ada
keadaan yang luput dari hukumnya; mencakup segala perkara individu, masyarakat,
dan negara.
Hukum Islam mengatur hukum keluarga,
hubungan antar individu, menyusun hukum, administrasi, politik, dan segala hal
yang berkaitan dengan masyarakat. Hukum Islam juga mengatur hubungan antar negara
dalam keadaan perang dan damai.
Hukum Islam dibuat untuk tidak terpengaruh
oleh perkembangan dan perubahan waktu, yang tidak menuntut adanya pengubahan
kaidah-kaidah umumnya dan teori-teori dasarnya. Karena itu, seluruh kaidah
dasarnya terdiri atas nas-nas yang bersifat umum dan fleksibel yang dapat
menghukumi setiap kondisi dan kasus yang baru meskipun kesempatan terjadinya
tidak dimungkinkan.
B. PENGERTIAN HUKUMAN
B. PENGERTIAN HUKUMAN
Hukuman
atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal
yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah
al-Jaza’ atau hudud.
A.
Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang
yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Hukuman
dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata
عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ
وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam
pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz
tersebut bisa diambil dari lafaz عَاقَبَ
yang sinonimnya جَزَاهُ سَوَاءً بِماَ فَعَلَ
artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari
pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia
mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang
telah dilakukannya.
Menurut
Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut:
اَلْعُقُوْ بَةُ هِىَ الْجَزَاءُ الْمُقَرَّرُ لِمَصْلَحَةِالْجَمَاعةِ
عَلى عِصْيَانِ اَمْرِ الشَّارِعِ
Hukuman
adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat,
karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.
C. TUJUAN
HUKUMAN
Tujuan dari penetapan dan
penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:
1.
Pencegahan الرّدْعُ وَالزّجْرُ
Pengertian pencegahan
adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan
jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti
mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah,
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan
dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam
fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan
(preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2.
Perbaikan dan Pendidikanالاِصْلاحُ
والتّهْذِ يْبُ
Tujuan yang kedua dari
penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang
baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at
Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul
dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut
akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah
serta dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.
3.
Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada
orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan
sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa
hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai
cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu,
sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas
kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Menurut Andi Hamzah dan A.
Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam
empat bagian, yakni:
1.
Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah
menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib
menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2.
Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini
berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3.
Menjerakan (detern).
4.
Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal).
Pidana ini diterapkan
sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi
kejahatannya.
Abdul Qadir Awdah
mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua
prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan
pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala
bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk
memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan
untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman
bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan
dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.
D.
SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUMAN
1. Hukuman
Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap
mempunyai dasar (syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’
seperti: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman
ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman
tersebut menjadi batal.
Perbuatan dianggap salah
jika ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang dalam bahasa hukum disebut dengan
istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara substansial
sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
- Surat Al-Isra’ ayat 15:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نبْعَثَ رَسُوْﻻً…
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نبْعَثَ رَسُوْﻻً…
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
- Surat Al-Baqarah ayat
286:
ﻻََيُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِﻻَّوُسْعَهاَ
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”.
ﻻََيُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِﻻَّوُسْعَهاَ
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”.
Berikut ini kaidah yang
dirumuskan oleh para ahli hukum yang diambil dari sunstansi ayat-ayat tersebut:
ﻻَجَرِيْمَةَ وَﻻَعُقُوْبَةَ اِﻻَّ بِالنَّصِّ
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.
ﻻَجَرِيْمَةَ وَﻻَعُقُوْبَةَ اِﻻَّ بِالنَّصِّ
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.
2. Hukuman
Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung
arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana
dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah
satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah
dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.
3. Hukuman
Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum
Ini berarti
hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik
pangkat, jabatan, status, atau kedudukannya.
Di dalam hukum
pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan
hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum
dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan
persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir adalah persamaan dalam aspek dampak
hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan memperbaikinya. Sebagian
pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara,
dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus
dikenakan hukuman mati.
E.
MACAM-MACAM HUKUMAN
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman
dengan hukuman yang lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang
ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti
hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk
jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan
karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman
qishash.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan
menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan
syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya
mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.
2. Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan
berat ringannya hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas
tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had
(80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana
hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut,
seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3. Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang
telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus
melaksakannya tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang
lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan
keadaan pembuat dari perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4. Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang
diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.
F.
PEMBERLAKUAN HUKUMAN
Dalam perkembangannya,
pemberlakuan sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan, yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
Kalangan ini beranggapan
bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Kalangan Modernis.
Kalangan ini beranggapan
bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung bagaimana metode
pelaksanannya.
3. Kalangan Reformatif.
Kalangan ini mencoba
menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya kalangan
ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode
nash.
Akibat dari pemecahan 3 kalangan tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, perbedaannya adalah:
Akibat dari pemecahan 3 kalangan tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, perbedaannya adalah:
1. Sanksi pidana dan
sanksi tindakan. Dimana masing-masing mempunyai prinsip dan tujuan dengan teori
serta filosofis yang dipahaminya.
2. Sanksi pidana
bersumber pada ide dasar-dasar “mengapa diadakan pemidanaan”?
3. Sanksi tindakan
bertolak pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan”?
G.
Hukuman Hudud
1. Hukuman
Zina
Zina secara harfiah berarti
fahisyah, yaitu perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin antara
seorang lelaki dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan
dosa paling besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Beliau
bersabda:
قال عليه الصلاة
والسلام مامررس يعد السرل اعظم مرعيرالله مريطعه ومعها رحل فى رحم لايعل له
“Nabi SAW telah bersabda:
Tak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah selain dari seorang
lelaki yang mencurahkan maninya di tempat/kandungan yang tidak halal baginya”.
عن أبوهديرة رفي الله
عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال ان الله كتب على ابن ادم حظّه من الزناأدرك
ذلك لامحالة فذناالعينين النطروزنااللسان النّطق والنفس تمو وتشتهي والفرج يصدّ ق
ذلك اويكذبه
“Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra bahwasanya: Nabi SAW bersabda: Allah SWT telah menentukan bahwa
anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat
dielakkan, yaitu melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam
bentuk penuturan, zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya.
Namun, kemaluanlah yang menentukan dalam bentuk zina atau tidak”.
عن أبي هريرة رفي
الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذازنت أمة أحدكم فتبين
زناهافليجلد هاالحدولايثرب عليها ثم إن زنت فليجلد هاالحدولايثرب ثم إن رنت
الثالثة فتبين زناهافيبعهاولوبحبل من شعر
“Diriwayakan dari Abu
Hurairah ra, katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila
seorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan zina dan
telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah kamu
memaksanya. Dan jika dia mengulanginya lagi dua kali ketiganya dan
terbukti,maka jualah dia walaupun dengan harga sehelai rambut”.
Hukuman zina ditetapkan
tiga hukuman, yaitu dera, pengasingan dan rajam. Hukuman dera dan pengasingan
ditetapkan untuk pembuat zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada
terhadap zina muhshan. Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka
keduanya dijilid atau diasingkan. Akan tetapi keduanya muhshan keduanya
dijatuhi hukuman rajam.
a. Hukuman
Jilid
Hukuman jilid seratus kali
diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang tidak muhshan.
Hukuman jilid dijatuhkan untuk mengimbangi faktor psikologis yang mendorong
diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan. Faktor
psikologis penentangnya yang menyebabkan seorang meninggalkan kenangan tersebut
ialah ancaman sengsara yaitu yang ditimbulkan oleh seratus jilid. Kalau faktor
pendorong zina lebih kuat daripada faktor penghalaunya maka derita hukuman yang
dijatuhkan cukup melupakan kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa
mendorongnya untuk memikirkannya kembali.
b. Hukuman
pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan
hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid.
c. Hukuman
rajam
Hukuman rajam ialah hukuman
mati dengan jalan dilempari batu dan yang dikenakan adalah pembuat zina
muhshan, baik lelaki maupun perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam
Al-Qur’an, oleh karena itu fuqaha-fuqaha khawarij tidak memakai hukuman rajam.
Menurut jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik pelaku muhshan
atau belum.
Orang yang sudah muhshan
mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman rajam karena biasanya keihshanan
seseorang cukup menjauhkannya dari pemikiran tentang perbuatan zina. Akan
tetapi kalau ia masih juga memikirkannya maka hal ini menunjukkan kekuatan
birahi dan keinginan akan kelezatan, dan oleh karena itu maka harus dijatuhi
hukuman yang berat, sehingga ketika ia menginginkan jarimah tersebut terbayang
pula derita dan sengsara yang akan menimpa dirinya.
Akan tetapi apabila sudah
kawin maka sudah tidak ada jalan bagi jarimah zina, sebab tali perkawinan itu
sendiri bukanlah perkara abadi yang tidak boleh putus, sehingga oleh karena itu
apabila perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, maka suami bisa menceraikan
istri.
2. Hukuman
Qadzaf
Salah satu delik pidana
dalam hukum pidana Islam, yaitu al Qadzfu. Qadzf secara harfiah berarti
melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap
seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.
Qadzaf atau fitnah
merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan bohong menuduh
seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang
besar dalam Islam dan yang melakukan disebut pelanggar yang berdosa oleh
Al-Qur’an. QS. 24/An-Nur: 4. Sanksi bagi yang menuduh orang banyak melakukan
zina dengan berulang kali ucapan adalah hadd yang berulang kali pula sesuai
dengan jumlah pengulangan ucapan yang ia lakukan, akan tetapi apakah sanksi
bagi yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu
satu kali hadd atau berulang kali sesuai dengan jumlah orang yang dituduh.
Dalam Qawl Qadim, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak (melakukan zina)
dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan satu kali hadd: karena perbuatannya
sepadan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan).
Sedangkan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan).
Sedangkan dalam Qawl Jadid Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh
orang banyak (melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan
berulang kali hadd sesuai dengan jumlah orang dengan dituduh, menuduh orang
banyak dengan satu kali ucapan sepadan dengan menuduh orang banyak dengan
berulang kali ucapan.
Jarimah qadzaf dikenakan
hukuman pokok, yaitu jilid delapan puluh kali, dan hukuman tambahan, yaitu
tidak menerima persaksian pembuatnya. Hukuman tersebut dijatuhkan apabila
berisi kebohongan. Apabila berisi kebenaran maka tidak ada jarimah qadzaf.
Banyak faktor yang
menimbulkan jarimah qadzaf, antara lain iri hati, dengki, balas dendam dan
persaingan. Akan tetapi kesemuanya bertujuan satu, yakni menghina korban dan
melukai hatinya. Dengan jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan kejiwaan
dan oleh karena itu maka harus diimbangi pula dengan derita badan yang
ditanggung oleh pembuat jarimah, disamping derita kejiwaan pula yang harus
diterimanya dari masyarakat, yakni dinyatakan hapus keadilannya dan oleh karena
itu maka ia tidak bisa menjadi saksi, serta mendapatkan cap abadi orang fasik.
3. Hukum
Minum Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras
dijatuhi hukuman delapan puluh jilid. Menurut Imam Syafi’I hukuman jarimah
tersebut adalah empat puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh jilid
lainnya tidak termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya
sebagai hukuman yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong
seseorang untuk minum khamer ialah keinginannya untuk melupakan penderita
jiwanya dan kenyataan hidupnya untuk menuju mendapatkan kebahagian khayalan
yang ditimbulkan oleh lezatnya khamer. Faktor pendorong ialah yang diperangi
oleh syariat dengan hukuman jilid yang selain menimbulkan derita kejiwaan juga
menimbulkan derita badan.
4. Hukuman
Pencurian
Pencurian adalah orang yang
mengambil benda atau barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah Swt.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah Swt.
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah [5] : 38)
Di kalangan fuqaha sudah
sepakat bahwa didalam pengertian kata-kata “tangan” (yad) termasuk juga kaki.
Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan
kanannya yang dipotong, dan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki
kirinya yang dipotong.
Seseorang yang mencuri
ketika meniatkan perbuatannya maka sebenarnya ia menginginkan agar usahanya
(kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan
usaha-usaha halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri,
melainkan mengharapkan usaha orang lain, agar dengan demikian ia bertambah daya
nafkahnya atau tidak bersusah-susah bekerja atau dapat terjamin hari depannya.
Dengan perkataan lain tambahnya usaha atau kekayaan itulah yang menjadi factor
pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari factor tersebut Syariat Islam
menetapkan hukuman potong tangan (dan kaki) karena terpotongnya tangan dan kaki
sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama yang mengurangi usaha dan
kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.
5. Hukuman
Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan
(hirabah) dikenakan empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati
dengan salib, hukuman dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
Hukuman Mati §
Hukuman ini dijatuhkan atas
pengganggu keamanan (pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan.
Hukuman tersebut hukuman had dan bukan hukuman qisas. Oleh karna itu maka
hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan. Naluri keinginan hidup sendiri
merupakan pendorong bagi pembuat untuk melakukan jarimahnya itu. Kalau ia
menyadari bahwa ketika ia membunuh orang lain, sebenarnya ia membunuh dirinya
sendiri pula pada galibnya ia tidak akan meneruskan perbuatannya. Jadi faktor
kejiwaan disini dilawan pula dengan factor kejiwaan agar ia menghindari
jarimah.
Hukuman Mati Disalib §
Hukuman ini dijatuhkan
apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan serta merampas harta benda.
Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta
bersama-sama. Dimana pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan
pencurian harta. Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa
dimaafkan.
Penjatuhan hukuman tidak
beda dengan dasar penjatuhan hukuman mati. Akan tetapi karena harta benda
disini menjadi pendorong bagi perbuatan jarimahnya maka hukuman harus
diberatkan, sehingga apabila ia meniatkan jarimah-jarimah tersebut beserta
hukumannya yang berat, maka ia akan mengurungkan niatnya.
Pemotongan Anggota Badan §
Pemotongan tangan kanan
pembuat dan kaki kirinya sekaligus, yakni tangan dan kaki berseling-seling.
Jatuhan hukuman tersebut sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi
jarimah ini biasanya dikerjakan di jalan-jalan umum yang jauh dari keramaian,
maka pengganggu keamanan pada galibnya yakin akan berhasilnya perbuatan yang
dilakukannya dan akan keamanan dirinya. Keadaan demikian itulah yang menjadi
penguat faktor kejiwaan yang menjauhkannya. Oleh karena itu hukuman harus
diperberat agar kedua faktor tersebut dapat seimbang.
Hukuman gangguan keamanan
disini sama dengan hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan disini adalah
adil, karena bahaya gangguan keamanan tidak kalah dengan bahayanya pencurian
biasa dan karena kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada
kesempatan dalam pencurian biasa.
Pengasingan §
Hukuman ini dijatuhkan
apabila pengganggu keamanan hanya menakut-nakuti orang yang berlalu lintas,
tetapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Boleh jadi perbuatannya
ia maksudkan mencari ketenaran nama diri oleh karna itu maka ia harus
diasingkan, sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketenarannya. Boleh jadi
dengan perbuatannya tersebut pengganggu keamanan bermaksud meniadakan keamanan
di jalan-jalan umum sebagai bagian dari negri, dan oleh karena itu maka ia akan
dihukum dengan meniadakan keamanan dirinya dari semua bagian negeri. Baik
alasan itu tepat atau tidak, namun yang jelas ialah bahwa faktor kejiwaan
ditandingi pula dengan faktor kejiwaan yang lain.
6. Hukuman
Jarimah Murtad dan Pemberontakan
Perbuatan murtad diancam
dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok dan dirampas harta
bendanya sebagai hukuman tambahan.
Hukuman Mati §
Syariat Islam menghukum perbuatan
murtad, karena perbuatan tersebut ditujukan terhadap agama Islam sebagai system
social bagi masyarakat Islam. Ketidak-tegasan dalam menghukum jarimah tersebut
akan berakibat goncangnya system tersebut. Dan oleh karena itu pembuatnya perlu
ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dan sitem kehidupannya, dan
agar menjadi alat pencegahan umum. Sudah barang tentu hanya hukuman mati saja
yang bisa mencapai tujuan tersebut.
Kebanyakan Negara-negara di
dunia pada masa sekarang dalam melindungi system masyarakatnya memakai hukuman
berat yaitu hukuman mati. Yang dijatuhkan terhadap orang yang menyeleweng dari
system tersebut atau berusaha merobohkannya.
Perampasan Harta §
Perampasan harta merupakan
hukuman tambahan, menurut Imam-imam Malik dan Syafi’I dan pendapat yang kuat
dalam madzhab Hambali, semua harta orang dirampas. Menurut imam Abu Hanifah dan
pendapat yang tidak kuat dalam madzhab Hambali, hanya harta yang diperolehnya
sesudah murtad itu saja yang dirampas, sedang harta yang diperoleh sebelum
murtad diberikan kepada keluarga ahli waris yang beragama Islam.
Hukuman Pemberontakan§
Hukuman pemberontakan ialah
hukuman mati. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan,
karena apabila tidak demikian maka akan timbul fitnah, kekacauan serta
ketidak-tenangan dan pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan masyarakat dan
kemundurannya. Tindakan keras tersebut tidak lain adalah hukuman mati. Pada
masa sekarang hampir seluruh dunia menjatuhkan hukuman mati terhadap
pemberontakan.
H. Hukuman Jarimah Qishash-Diyat v
Qisas-diyat ada lima yaitu
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja,
penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Hukum-hukum yang
diancamkan terhadap jarimah-jarimah tersebut ialah qisas, diyat, kifarat,
hilangnya hak mewaris, dan hak hilangnya menerima wasiat. Hukuman-hukuman
tersebut akan dibicarakan satu-persatu.
1. Qishash
Pengertian qisas adalah
agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya, jadi
dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaaya kalau ia menganiaaya. Hukuman qisas
dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiaayan sengaja.
Qisas pada Hukum Positif §
Hukum positif juga mengenal
hukuman qisas. Akan tetapi hanya ditetapkan untuk jarimah pembunuhan saja yang
dihukum dengan hukuman mati, sedang terhadap jarimah penganiayaan tidak
dijatuhi hukuman qisas, melainkan dicukupkan dengan hukuman denda dan hukuman
kawalan atau dengan salah satu hukuman tersebut.
Pengampunan si Korban §
Korban atau walinya diberi
wewenang untuk mengampuni qisas, baik dengan imbangan diyat atau tidak memakai
imbangan sama sekali. Akan tetapi untuk hapusnya hukuman qisas penguasa masih
mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai.
2. Diyat
Diyat adalah hukuman pokok
bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. Meskipun
bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban,
bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip dengan
ganti kerugian apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian
material yang terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap
jarimah.
Antara Pembunuhan Sengaja dengan
Pembunuhan Semi-Sengaja §
Syariat Islam mengadakan
pemisahan antara hukuman pembunuhan sengaja dengan hukuman pembunuhan semi
sengaja, dimana untuk perbuatan pertama dikenakan hukuman qisas dan untuk
perbuatan kedua dikenakan hukuman diyat berat. Perbedaan ini disebabkan karena
pada pembunuhan sengaja pembuat meniatkan matinya korban sedang pada pembunuhan
semi sengaja ia meniatkan demikian.
Antara Jarimah-jarimah Sengaja dengan
Jarimah-jarimah Tidak Sengaja §
Pada Jarimah-jarimah
sengaja, pembuat mensengajakan dan melaksanakannya, agar dengan demikian ia
bisa mewujudkan kepentingan-kepentingan moral atau material bagi dirinya
sendiri atau bagi orang lain. Akan tetapi pada jarimah-jarimah tidak sengaja
pembuat tidak menyegajakan jarimah atau memikirkannya serta tidak ada factor
yang mendorong untuk memperbuatnya.
Siapa Yang Menanggung Diyat §
Pada umumnya para fuqaha
sudah sepakat pendapatnya untuk mengikut-sertakan keluarga pembuat yang disebut
“Aqilah” dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud dengan keluarga adalah
sanak-saudara yang datang dari pihak ayah. Keluaga yang jauh dikutsertakan
karena mereka jugavbisa menjadi ahli waris kalu keluarga yang dekat tidak ada,
tanpa disyaratkan menjadi ahli waris yang nyata.
Alasan Kelurga Menanggung Diyat §
Kalau kita hanya memegangi
prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”. Maka akibatnya ialah
bahwa sesuatu hukuman hanya dapat dikenakan terhadap pembuat jarimah yang kaya
saja, sedang jumlah mereka lebih sedikit, dan tidak bisa dikenakan terhadap
pembuat jarimah yang miskin, sedang jumlah mereka lebih besar.
Meskipun diyat merupakan
hukuman namun ia menjadi hak kebendaan bagi korban atau walinya. Kalau pembuat
saja yang membyarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak akan dapat
menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah
diyat, yaitu 100 unta.
Keluarga hanya menanggung
diyat dalam jarimah-jarimah tidak sengaja dan dalam jarimah semi sengaja yang
dapat dipersamakan dengan jarimah tidak sengaja. Kehidupan keluarga dan
masyarakat menurut tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong dan kerja
sama.ü
Keharusan memelihara jiwa
seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakan, sedang diyat ditetapkan sebagai
pengganti dan memelihara jiwa.ü
System Keluarga Pada Masa Sekarang §
System pembayaran diyat
oleh keluarga, meskipun dapat menjamin terwujudnya keadilan dan persamaan
antara pembuat-pembuat jarimah dan korban-korbannya, namun system tersebut
adalah adanya keluarga. Sudah barang tentu keluarga dalam arti tersebut hampir
tidak terdapat lagi pada masa sekarang.
3.
Pencabutan Hak-mewaris
Pencabutan hak mewaris
merupakan hukuman tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain hukuman pokok yaitu
hukuman mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan
keluarga.
4.
Pencabutan Hak Menerima wasiat
Pencabutan hak menerima
wasiat merupakan hukuman tambahan, disamping hukumannya yang pokok.
Hukuman Kifaratv
Hukuman Kifaratv
Adalah membebaskan
seseorang hamba mu’min, merupakan hukuman pokok. Kalau tidak bisa mendapatkan
hamba tersebut atau tidak bisa memperoleh uang harganya, maka orang wajib
berkifarat diwajibkan berpuasa dua bulan, berturut-turut jadi puasa merupakan
hukuman pengganti yang tidak akan terdapat kecuali apabila hukuman pokok tidak
bisa dijalankan.
I.
Hukum Ta’zir v
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
9) Hukuman-hukuman
lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir,
di antara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan,
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk
melakukan jarimah, penayangan gambar penjahat di muka umum, dan lain-lain.
J. ALAT-ALAT BUKTI
DALAM PERKARA PIDANA ISLAM
Di dalam upaya penegakkan hukum, pembuktian merupakan aspek yang sangat penting. Sebab kepada akurasi atau kecermatan upaya pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan melalui penegakkan hukum sangat bergantung. Pembuktian yang akurat adalah jalan menuju tegaknya keadilan. Sebaliknya, dari pembuktian yang tidak akurat akan lahir ketidakadilan. Untuk melaksanakan perintah mewujudkan keadilah tersebut diperlukan pembuktian yang akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu dengan menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis bersalah atau tidak bersalah yang dijatuhkan kepada pihak yang sedang diadili benar-benar memenuhi kualifikasi adil.
Pada dasarnya alat-alat bukti yang
dipergunakan dalam perkara pidana Islam adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan
Pengakuan (الاقرار) menurut arti bahasa adalah penetapan.
Sedangkan menurut syara’, pengakuan didefinisikan sebagai berikut:
الاقرار شرعا هو الاخبار عن حق اوالاعتراف به
Pengakuan
menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu
kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.
Dasar hukum
tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Adapun sumber dari Al-Qur’an tercantum dalam surat An-Nisa ayat 135 :
“ Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu…”
Sumber hukum dari
sunnah terdapat di dalam hadits Ma’iz yang datang kepada Nabi mengakui
perbuatannya, dan hadits tentang kisah Al-‘Asif. Dalam hadits Al-‘Asif, Nabi
bersabda:
واغديا انيس لرجل من اسلم الى امراة هدا فان اعترفت فارجمها
Artinya:
“…Dan pergilah kamu hai Unais yang memeriksa istrinya
laki-laki ini, apabila ia mengaku (berzina) maka rajamlah ia.“(Muttafaq
alaih)
Di samping
Al-Qur’an dan sunnah, para ulama bahkan semua umat Islam telah sepakat tentang
keabsahan pengakuan, karena pengakuan merupakan suatu pernyataan yang dapat
menghilangkan keraguan dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut. Alasan
lain adalah bahwa seorang yang berakal sehat tidak akan melakukan kebohongan
yang akibatnya dapat merugikan dirinya. Karena itu, pengakuan lebih kuat
daripada persaksian, dan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk semua jenis
tindak pidana.
Pengakuan yang
dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang jelas, terperinci, dan
pasti, sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. Berbagai aspek yang berkaitan
dengan tindak pidana pembunuhan misalnya, seperti caranya, alatnya, motifnya,
tempat, dan waktunya harus diungkapkan secara jelas oleh orang yang mengaku
melakukan perbuatan tersebut.
Di samping itu,
syarat yang lain untuk sahnya pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan
tidak dipaksa (terpaksa). Pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang
berakal dan mempunyai kebebasan (pilihan). Dengan demikian, pengakuan yang
datang dari orang gila atau hilang akalnya dan yang dipaksa, hukumnya tidak sah
dan tidak dapat diterima.
Dalam perkara
zina, syarat-syarat dari pembuktian dengan pengakuan antara lain :
a. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat
kali, dengan mengqiyaskannnya kepada empat orang saksi dan beralasan dengan
hadits Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali di
hadapan Rasulullah saw. bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Akan tetapi, Imam
Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengakuan itu cukup satu kali saja
tanpa diulang-ulang. Alasannya adalah bahwa pengakuan ini merupakan suatu
pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan cara
diulang-ulang.
b. Pengakuan
harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat
menghilangkan syubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina tersebut.
c. Pengakuan
harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang
berakal dan mempunyai kebebasan. Dengan perkataan lain, orang yang memberikan
pengakuan haruslah orang yang berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak
gila, dan tidak dipaksa.
d. Imam
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang
pengadilan. Apabila dilakukan di luar sidang pengadilan maka pengakuan tersebut
tidak diterima.
Dalam jarimah
pencurian dan hirabah, menurut Zahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali
dan tidak perlu diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syi’ah
Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
2. Persaksian
Pengertian persaksian (الشهادة), sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah
Zuhaili adalah sebagai berikut:
وهى اخبار صادق لإثبا
ت حق بلفظ السها دة فى مجلس القضاء
Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan)
yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan
pengadilan.
Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti terdapat dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
ٱسۡتَشۡہِدُواْ شَہِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِڪُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ۬ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ ٱلشُّہَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَٮٰهُمَا فَتُذَڪِّرَ إِحۡدَٮٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
“…Dan persaksikanlah dengan dau orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.”
“…Dan persaksikanlah dengan dau orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.”
Sumber dari
sunnah antara lain tercantum dari hadits Amr ibn Syu’aib:
“ Dari
‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya Muhaishah yang
paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka Rasulullah saw.,
bersabda: “ Ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti saya
berikan kepadamu tambang untuk mengqishasnya..(HR. Nasa’i)
Untuk jarimah
yang hukumannya qishas, menurut jumhur fuqaha, pembuktiannya harus dengan dua
orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua
perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban.
Pada jarimah
zina, ulama telah sepakat bahwa pembuktiannya harus dengan empat orang saksi.
Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat
diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi semata-mata dan
tidak ada bukti-bukti yang lain.
Akan tetapi tidak setiap orang bisa diterima
untuk menjadi saksi. Mereka yang diterima sebagai saksi adalah orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Baligh (dewasa)
Setiap
saksi dalam setiap jarimah harus baligh. Apabila belum baligh maka
persaksiannya tidak dapat diterima.
b. Berakal
Seorang
saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah orang yang
mengetahui kewajiban pokok dan yang bukan, yang mungkin dan tidak mungkin,
serta mudarat dan manfaat. Dengan demikian, persaksian orang yang gila dan
kurang sempurna akalnya tidak dapat diterima.
c. Kuat
ingatan
Seorang
saksi harus mampu mengingat apa yang disaksikannya dan memahami serta
menganalisis apa yang dilihatnya, disamping dapat dipercaya apa yang
dikatakannya. Dengan demikian, apabila pelupa, persaksiannya tidak dapat
diterima. Alasan tidak dapat diterimanya persaksian dari orang yang pelupa
adalah karena orang yang pelupa itu, apa yang dikatakannya tidak bisa dipercaya
sehingga kemungkinan terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam persaksiannya.
d. Dapat
berbicara
Apabila
ia bisu, status persaksiannya diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab
Maliki, persaksian orang yang bisu dapat diterima apabila isyaratnya dapat
dipahami. Menurut mazhab Hanbali, orang yang bisu persaksiannya tidak bisa
diterima, walaupun isyaratnya dapat dipahami kecuali apabila ia dapat menulis.
Sebagian ulama syafi’iyah dapat menerima persaksian orang yang bisu, karena
isyaratnya sama seperti ucapan, sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah
dan talak. Akan tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa persaksian orang yang
bisu tidak dapat diterima, karena isyarat yang menggantikan ucapan itu hanya
berlaku dalam keadaan darurat.
e. Dapat melihat
Apabila saksi tersebut
orang yang buta maka para ulama berselisih pendapat tentang diterimanya
persaksian tersebut. Menurut kelompok Hanafiyah, persaksian orang yang buta
tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat melaksanakan persaksian, saksi
harus dapat menunjukkan objek yang disaksikannya. Disamping itu, orang yang
buta hanya dapat membedakan sesuatu dengan pendengarannya.
Golongan
Malikiyah menerima persaksian orang yang buta dalam masalah yang berkaitan
dengan ucapan yang dapat diketahui dengan pendengaran, asal ia tidak ragu-ragu
dan ia menyakini objek yang disaksikannya. Apabila ragu maka persaksiannya
tidak sah. Adapun dalam masalah-masalah yang harus dilihat dengan mata maka
persaksian orang yang buta tidak dapat diterima. Pendapat Malikiyah ini pada
umumnya sama dengan pendapat Syafi’iyah.
f. Adil
Pengertian
adil menurut Malikiyah adalah selalu memelihara agama dengan jalan menjauhi
dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan amanat dan
bermuamalah dengan baik. Ini tidak berarti tidak melakukan maksiat sama sekali,
karena hal itu tidak mungkin bagi manusia biasa. Hanafiyah berpendapat bahwa adil
itu adalah konsisten melaksanakan ajaran agama (Islam), mendahulukan
pertimbangan akal daripada hawa nafsu.
g. Islam
Dengan
demikian, persaksian orang yang bukan Islam tidak dapat diterima, baik untuk
perkara orang muslim maupun perkara non muslim. Hal ini merupakan prinsip yang
diterima semua fuqaha. Akan tetapi, terhadap prinsip yang sudah disepakati ini
terdapat dua pengecualian sebagai berikut.
1) Persaksian orang bukan
Islam terhadap perkara orang bukan Islam
Golongan Hanafiyah
berpendapat bahwa persaksian orang kafir dzimmi atas perkara sesamanya dan
orang kafir harbi atas perkara sesamanya dapat diterima. Hal ini didasarkan
kepada tindakan Rasulullah saw. yang memperkenankan persaksian orang Nasrani
atas perkara sesama mereka. Akan tetapi, Malikiyah dan Syafi’iyah menolak sama
sekali persaksian orang yang bukan Islam secara mutlak, baik perkara orang
Islam maupun perkara bukan Islam.
2) Persaksian non muslim atas
perkara muslim dalam hal wasiat di perjalanan
Golongan Hanabilah
berpendapat bahwa apabila golongan seorang muslim yang sedang berpergian
meninggal dan berwasiat dengan disaksikan oleh orang-orang bukan muslim maka
persaksian mereka dapat diterima, apabila tidak ada orang lain yang beragama
Islam.
Pendapat
Zhahiriyah dalam hal ini sama dengan pendapat Hanabilah. Akan tetapi Malikiyah,
Hanafiyah, dan Syafi’iyah, serta Zaidiyah tidak menerima persaksian orang non
muslim dalam kasus ini, karena orang fasik saja tidak diterima, apalagi orang
kafir.
3. Qarinah
Pengertian
qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
القرينة هى كل أمارة تقارن شيئا خفيا فتدل عليه
Qarinah adalah setiap
tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda
tersebut menunjukkan kepadanya.
Qarinah atau
tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya
kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui
suaminya. Sebenarnya kehamilan semata-mata bukan merupakan qarinah yang pasti
atas terjadinya perbuatan zina, karena mungkin saja kehamilan tersebut terjadi
akibat perkosaan. Oleh karena itu, apabila terdapat syubhat dalam terjadinya
zina tersebut maka hukuman had menjadi gugur.
Menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, apabila tidak ada bukti lain untuk
jarimah zina selain kehamilan maka apabila wanita itu mengaku bahwa ia dipaksa,
atau persetubuhan terjadi karena syubhat maka tidak ada hukuman had baginya.
Demikian pula apabila tidak mengaku dipaksa atau tidak pula mengaku terjadi
syubhat dalam persetubuhannya maka ia tidak juga dikenai hukuman had, selama ia
tidak mengaku berbuat zina, karena hukuman had itu harus dibuktikan dengan
saksi atau pengakuan.
Pada jarimah
Syurbul Khamr, pembuktian qarinah dapat dilihat dari bau minuman dari mulut
orang yang meminum khamr, mabuk, dan muntah.
4. Data Forensik
Dalam
imu kedokteran dikenal adanya Kedokteran Forensik yaitu cabang ilmu kedokteran
yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum;
atau ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang
ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan.
Melalui
ilmu kedokteran forensik dapat diketahui telah telah terjadi kejahatan atau
tidak, misalnya jarimah perzinaan. Penemuan itu dapat berupa diketahuinya:
selaput dara yang robek, atau tanda memar pada alat kelamin, diketahuinya
golongan darah si pelaku, diketahuinya jenis kromosom atau genetik,
diperolehnya bukti kehamilan sampai diketahuinya dan didapatkannya bukti DNA
yaitu inti sel yang terdapat pada sel darah putih yang spesifik pada setiap
orang.
Jadi
pembuktian melalui ilmu kedoktran forensik dapat dikatakan sama kuatnya dengan
bukti melalui penglihatan mata telanjang secara tradisional. Dalam laporan visum
et repertum (keterangan atau keterangan ahli) dokter yang melakukan
pemeriksaan forensik melaporakan hasil penglihatannya atas barang bukti yang
diperiksa secara lengkap dengan ciri-ciri hasil pemeriksaannya.
Oleh
karena itu, kualitas hasil penelitian ilmu pengetahuan Kedokteran Forensik
dapat dipertimbangkan menjadi alat bantu pembuktian perkara pidana Islam.
Perbandingan antara hukum pidana positif (KUHP) dengan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
Perbandingan antara hukum pidana positif (KUHP) dengan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
Telah dibahas
sebelumnya bahwa pada zaman modern ini kasus kejahatan semakin meningkat
terutama kasus narkotika. Dalam menangani kasus-kasus itu menggunakan sistem
hukum positif (KUHP) yang terdiri dari hukum denda dan hukum penjara telah
terjadi overcrowding ruangan penjara. Sehingga sistem penjara tidak mampu lagi
melakukan tugasnya dalam merehabilitasi narapidana sehingga mengalami kegagalan.
Penyebab utamanya karena terjadinya fenomena prisonisasi.
Untuk
mengatasinya maka dicarilah sistem penggantinya yang menggunakan sistem restorative
justice. Di antaranya adalah sistem hukum adat dan hukum-hukum kuno. Selain itu
penulis mengusulkan penggunaan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Sistem-sistem
hukum ini tidak menggunakan sistem hukuman penjara. Sedang di dalam Hukum
Pidana Islam masih ada kemungkinan hukuman kurungan pada hukuman ta’zir yang diputuskan oleh penguasa (hakim) tetapi
jumlahnya sedikit.
Mungkinkah Hukum
Pidana Islam (Fiqh Jinayah) menggantikan hukum positif yang telah gagal itu ?
Untuk mengujinya
marilah kita bandingkan kedua sistem itu dalam menangani kasus-kasus kejahatan
yang paling sering terjadi pada zaman sekarang.
Kasus pidana yang
banyak terjadi di Indonesia dan di luar negeri adalah :
1. Kejahatan kekerasan yaitu
pembunuhan, penyerangan dan perampokan.
2. Kejahatan properti yaitu
pencurian dan penipuan.
3. Kasus narkoba.
4. Kejahatan pada
anak di bawah umur 18 tahun yang berkaitan dengan kesusilaan yaitu tindak
pidana pencabulan, perkosaan, percobaan perkosaan dan pornografi
Kasus ke-1: Pembunuhan.
Dalam KUHP pasal 338 : Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana paling lama lima belas tahun.
Dalam KUHP pasal 340 : Barangsiapa
sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Dasar Hukum Sanksi Pembunuhan di dalam Al-Quran
a. Surat Al-Baqoroh [2] :179
Artinya:”Dan dalam qishash itu ada jaminan
kelangsungan}idup bagimu,hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”[5]
b.
Surat An-Nisa' [4] : 93
Artinya:”Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”[6]
Dasar
Hukum Sanksi Pembunuhan di dalam Al-Hadits
1. Diriwayatkan dari
Abdullah Bin Mas’ud ra. katanya: Rossulullah SAW bersabda: Setiap pembunuhan
secara dzalim maka putra nabi Adam yang pertama itu akan mendapat bahagian
darahnya,{mendapat dosa] karena dialah yang melakukan pembunuhan.[7]
2. Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. katanya: Sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda: Hari Kiamat itu
akan berlaku setelah banyaknya peristiwa Harj. Mereka bertanya: Wahai Rosululllah,
apakah Harj itu? Baginda bersabda: Pembunuhan, pembunuhan.[8]
G. Sangsi Hukum Bagi
Pembunuh
Berdasarkan
ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits yang dikutip di atas dapat dipahami bahwa
sanksi hukum atas delik pembunuhan adalah sbb:
A. Pelaku pembunuhan yang
disengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga
pilihan,yaitu
1) Qishos, yaitu hukuman pembalasan
setimpal dengan penderitaan korbannya (sang pembunuh dihukum mati, pen.),
2) Diyat, yaitu pembunuh harus
membayar denda sejumlah 100 ekor unta, 200 ekor sapi atau 1000 ekor kambing, atau
bentuk lain seperti uang senilai harganya. Diyat tersebut di serahkan kepada
pihak keluarga korban,
3) Pihak keluarga memaafkannya
apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat.
B. Pelaku pembunuhan yang tidak
disengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu:
1) Pelaku membayar diyat (lihat nomor 2 di atas)
2) Membayar kifarah (memerdekakan
budak mukmin, tidak dapat dilaksanakan pada zaman sekarang),
3) Jika tidak mampu maka pelakunya
diberi hukuman moral, yaitu berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar
penulis
Sesuai dengan judul makalah,
hukuman dengan sistem positif berakibat penuhnya penjara yang biayanya mahal. Sedang
dengan sistem hukum Islam biayanya jauh lebih murah, lagi pula tanpa penjara. Bisa
memuaskan rasa keadilan keluarga yang
dibunuh. Serta bisa menimbulkan efek jera.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-2: Penyerangan (penganiayaan).
Mengenai ketentuan terkait penganiayaan, Anda dapat
melihat pada Pasal 351 – Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”). Mengenai yang dimaksud penganiayaan, tidak
dijelaskan dalam KUHP. Pasal
351 KUHP hanya menyebutkan
mengenai hukuman yang diberikan pada tindak pidana tersebut:
Pasal 351 KUHP:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dipidana.
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R.
Soesilo dalam
bukunya yang berjudul Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang
diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan
dengan “penganiayaan”
yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau
luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan
ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.
R.
Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud
dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:
1. “perasaan
tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh
orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2. “rasa
sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
3. “luka”
misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4. “merusak
kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya,
sehingga orang itu masuk angin.
Menurut
R. Soesilo, tindakan-tindakan di atas, harus dilakukan dengan sengaja dan
tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.
Umpamanya seorang dokter gigi mencabut gigi dari pasiennya. Sebenarnya ia
sengaja menimbulkan rasa sakit, akan tetapi perbuatannya itu bukan
penganiayaan, karena ada maksud baik (mengobati). Seorang bapa dengan tangan
memukul anaknya di arah pantat, karena anak itu nakal. Inipun sebenarnya
sengaja menyebabkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan itu tidak masuk
penganiayaan, karena ada maksud baik (mengajar anak). Meskipun demikian, maka
kedua peristiwa itu apabila dilakukan dengan “melewati batas-batas yang
diizinkan”, misalnya dokter gigi tadi mencabut gigi sambil bersenda gurau
dengan isterinya, atau seorang bapa mengajar anaknya dengan memukul memakai
sepotong besi dan dikenakan di kepalanya maka perbuatan ini dianggap pula
sebagai penganiayaan.
Berdasarkan
uraian di atas, jika perbuatan isteri menggosok cabe di wajah pacar suami
dilakukan dengan sengaja, dan menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit, atau luka bagi orang lain (dalam hal ini, pacar
suami), maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai tindak pidana
penganiayaan.
Hukum Penganiayaan dalam Islam
Hukum Penganiayaan dalam Islam
Hukum
Qishas / Retribusi untuk
penganiayaan (dengan sengaja)
1. Retribusi
atau balas dendam telah ditakdirkan
Semua tindak kriminal dan kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan tubuh terluka atau kematian, berada di bawah hukum retribusi.
Segera setelah darah tercurah, perbuatan dihukum dengan cara yang berbeda dari
hukuman-hukuman terhadap kejahatan biasa. Disini pemikiran Semitis kuno mulai
muncul, yaitu bahwa jiwa seorang manusia ada dalam darahnya, yang menjerit ke
surga memohon pembalasan ketika ia telah dicurahkan. Jawaban Qur’an terhadap
hal ini sangatlah jelas:
2.
Mata ganti mata, gigi ganti gigi (hukuman qishas / retribusi).
Qur’an memerintahkan retribusi yang setimpal dengan kerugian
yang dialami seseorang atau suatu kelompok. Rasa sakit dan penderitaan tidak
boleh lebih besar dalam tindakan balas dendam dibandingkan dengan luka atau
pembunuhan yang telah dilakukan, dan juga tidak boleh lebih ringan dari
kecelakaan atau bunuh diri. Hukum retribusi yang mendasar adalah: “Tepat dan
setara” (= setimpal) dengan kejahatan yang telah dilakukan! Retribusi harus
dilakukan sekali, tidak setengah-setengah:
Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang
patut dihormati, berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang
kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa
(QS Al-Baqoroh [2] : 194).
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS An-Nahl [16] : 126).
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS Ash-Shuro [42] : 40).
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan
Allah akan membalas tipuan mereka (Sura 4:142).
Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa mengembangkan suatu
kode kehormatan untuk hukum retribusi dalam Islam. Tidak seorangpun boleh
menghukum orang lain dengan lebih berat, lebih kejam atau lebih memalukan
daripada apa yang telah dialaminya, klannya atau bangsanya. Namun dalam
realita, karena didominasi emosi, seringkali berbeda. Kekejaman dalam segala
bentuk dipraktekkan oleh orang Muslim, seperti yang dilakukan orang lain,
segera setelah darah mereka mendidih. Hukum menghimbau mereka untuk tetap
waras, menahan diri dan hanya menggunakan tingkatan kekerasan yang sama dengan
yang telah mereka derita – dan tidak kurang dari itu!
6. Membayar uang darah (Diyat)
Diyat ialah denda pengganti jiwa yang
tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman bunuh.
a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang
membunuh dari pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak
sengaja
c. Pembunuh yang tidak ada
unsur membunuh.
Macam-macam diyat
Diyat ada dua macam :
a. Diyat Mughalazhah,
yakni denda berat
Diyat Mughalazhah ialah denda yang
diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa
serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak
ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta
pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan. Ada pun
jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3
tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang
sedang hamil).
Diyat Mughallazah ialah :
· Pembunuhan sengaja yaitu
ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.
· Pembunuhan tidak sengaja /
serupa
· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah,
Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
· Pembunuhan di kota haram
atau Mekkah.
· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan
kekeluargaan seperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.
· Pembunuhan tersalahdengan
tongkat, cambuk dsb.
· Pemotongan atau membuat
cacat angota badan tertentu.
b. Diyat Mukhaffafah,
yakni denda ringan.
Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas
pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta
beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2
tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.
Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang
atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :
· Pembunuhan yang tersalah.
· Pembunuhan karena
kesalahan obat bagi dokter.
· Pemotongan atau membuat
cacat serta melukai anggota badan.
Ketentuan-ketentuan lain
mengenai diat :
a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja
dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena
tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.
b. Diyat wanita separo laki-laki.
c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid
separo diat muslimin.
d. Diyat Yahudi dan Nasrani
sepertiga diat orang Islam.
e. Diyat hamba separo diat
orang merdeka.
f. Diyat janin, sepersepuluh
diat ibunya, 5 ekor unta.
Diyat anggota badan :
Pemotongan, menghilangkan
fungsi, membuat cacad atau melukai anggota badan dikenakan diyat berikut :
Pertama : Diyat 100 (seratus)
ekor unta.
Diat ini untuk anggota badan berikut :
a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan
kanan) jika keduan-duanya potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua
tangan, kedua kaki, kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah zakar.
b. Bagi anggota badan yang
tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..
c. Bagi tulang sulbi ( tulang
tempat keluar air mani laki-laki)
Kedua : Diyat 50 ekor unta. Diyat ini untuk anggota badan
yang berpasangan, jika salah satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.
Ketiga : Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna).
Diyat ini terhadap :
a. Luka kepala sampai otak
b. Luka badan sampai perut
c. Sebelah tangan yang sakit kusta
d. Gigi-gigi yang hitam
Gigi satu bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang
meruntuhkan satu gigi orang lain harus membayar dengan 5 ekor unta. Kalau
meruntuhkan 2, harus membayar 10 ekor. Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan
semua gigiorang lain, apakah harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi
tersebut ? Ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat : cukup membayar diyat
60 ekor unta (dewasa). Ulama lain berpendapat harus membayar 5 ekor unta kali
jumlah gigi.a. Luka kepala sampai otak
b. Luka badan sampai perut
c. Sebelah tangan yang sakit kusta
d. Gigi-gigi yang hitam
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Penulis
Sesuai dengan judul makalah,
hukuman dengan sistem positif berakibat penuhnya penjara yang biayanya mahal.
Sedang dengan sistem hukum Islam biayanya jauh lebih murah, lagi pula tanpa
penjara. Bisa memuaskan rasa keadilan
keluarga yang dianiaya. Serta bisa menimbulkan efek jera.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-3: Perampokan.
Perampokan menurut KUHP adalah pencurian dengan
kekerasan.
Pasal 365
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,
atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada
waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di
jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan
kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat.
(3) Jika
perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tuhun.
(4)
Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat
atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Hukum perampokan dalam Islam
Sanksi Bagi Perampok
Posted by Farid Ma'ruf pada 26 Januari 2007
Soal :
Angka kriminalitas di Indonesia semakin meningkat. Salah satu yang sering
terjadi adalah perampokan. Bagaimana hukum Islam dalam masalah ini ?
Jawab :
Sanksi Bagi Perompak (Hirabah)
Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy
Publikasi 12/06/2004
hayatulislam.net – Hirabah adalah keluarnya
sekelompok bersenjata di daerah Islam dan melakukan kekacauan, penumpahan
darah, perampasan harta, merusak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra
agama, akhlaq, dan ketertiban umum, baik dari kalangan muslim, maupun kafir
(dzimmiy maupun harbiy). (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab Hirabah).
Termasuk
dalam hirabah, adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh sindikat, mafia,
triad,dan lain-lain. Misalnya, sindikat pencurian anak, mafia perampok bank dan
rumah-rumah, sindikat para pembunuh pembayaran, tawuran massal, dan lain-lain.
Hirabah
berasal dari kata ‘harb’ (peperangan). Para ‘ulama sepakat bahwa tindakan
hirabah termasuk dosa besar yang layak dikenai sanksi hadd.
Hukum
hirabah dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan,
atau dibuang dari negerinya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat
kerusakan di muka bumi, tidak lain mereka itu dibunuh, atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya); yang demikian itu adalah sebagai suatu penghinaan
untuk mereka di dunia. Dan di akherat mereka memperoleh siksaan yang berat.”
(QS. Al-Maa’idah [5]: 33).
Ayat
ini turun berkenaan dengan hirabah, baik yang dilakukan oleh orang-orang muslim
maupun kafir. Sebab, ayat itu berbentuk umum. Tidak ada dalil yang
mengkhususkan bahwa hukuman itu khusus hanya untuk kaum muslimin. Lanjutan ayat
tersebut adalah sebagai berikut:
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 34).
Lanjutan
ayat ini tidak menunjukkan kekhususan hukum hirabah bagi kaum muslimin. Sebab,
‘taubat’ dalam ayat ini maksudnya adalah taubat dari hirabah, baik yang
dilakukan oleh kaum muslimin maupun orang-orang kafir. Hal ini diperkuat dengan
sebab turun ayat; yakni apa yang dilakukan oleh kaum Urniyyin. Mereka murtad
dari Islam, kemudian membunuh penggembala onta, dan merampok onta-ontanya, lalu
melarikan diri. Setelah mereka tertangkap —sebelum bertaubat—, Rasulullah Saw
memerintah untuk memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, dan
membiarkan mereka di pinggiran Harrah, sampai mereka mati. Selanjutnya,
—menurut Anas—, turunlah ayat ini. (lihat. ‘Abdurrahman Maliki, Nidzam
al-‘Uqubaat, hal.75-76).
Imam
Abu Daud dan Nasaiy juga mengetengahkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Sekumpulan
orang merampas onta Rasulullah Saw, kemudian mereka murtad dari Islam, membunuh
penggembala onta Rasulullah Saw yang mukmin, kemudian beliau mengutus untuk
mengikuti jejak mereka. Akhirnya mereka tertangkap, kemudian tangan dan kaki
mereka dipotong, dan biji matanya dicongkel.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Lalu
turunlah ayat ini (Qs. al-Maa’idah [5]: 33).”
Riwayat-riwayat
ini menunjukkan bahwa Qs. al-Maa’idah [5]: 33 itu bersifat umum, mencakup kaum
muslim maupun orang-orang kafir.
Hukum Hirabah
Dan Cara Menjatuhkan Sanksi Hirabah
Hukum
hirabah dan tata cara menjatuhkannya telah disebut di dalam al-Qur’an al-karim.
Allah Swr. berfirman:
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat
kerusakan di muka bumi, tidak lain mereka itu dibunuh, atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya); yang demikian itu adalah sebagai suatu penghinaan untuk mereka di
dunia. Dan di akherat mereka memperoleh siksaan yang berat.” (QS. Al-Maa’idah
[5]: 33).
Atas
dasar itu, hukuman bagi orang yang melakukan tindak hirabah adalah (1) dibunuh,
(2) disalib, (3) dipotong tangan dan kakinya bersilangan, (4) dibuang dari
negeri tempat kediamannya (deportasi). ‘Ulama berbeda pendapat mengenai
mengenai pengertian lafadz ‘au’ (atau) pada ayat itu. Apakah kata ‘au’ pada
ayat di atas bermakna takhyiir (pilihan), atau tanwi’ (perincian). Pendapat
yang menyatakan, bahwa “au” pada ayat tersebut adalah takhyiir, didasarkan pada
argumentasi, “Bahwa secara bahasa huruf au (pada ayat tersebut) berfaedah pada
takhyiir, sebab, mereka tidak menjumpai nash-nash lain yang merincinya.”
Pendapat ini diikuti oleh Abu Tsaur, Malik, Said bin Musayyab, ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz, Muhajid, al-Dlahak, dan Nakha’iy. Berdasarkan penafsiran ini, seorang
hakim bisa memilih salah sanksi, dari empat sanksi itu bagi muharibiin.
Pendapat
kedua menyatakan, bahwa, lafadz ‘au’ pada ayat tersebut berfaedah kepada tanwi’
al-hukum (perincian hukum). Mereka mengetengahkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang
terdapat dalam musnad Syafi’iy, mengenai muharibiin, “Jika mereka membunuh dan
merampas harta benda, maka dibunuh dan disalib; jika mereka membunuh namun
tidak merampas harta, mereka dibunuh dan tidak disalib; jika mereka merampas
harta namun tidak membunuh, maka, tangan dan kakinya dipotong bersilangan; jika
mereka melakukan teror dan tidak merampas harta, dibuang dari negerinya.”
Pendapat
kedua adalah pendapat yang lebih tepat. Pendapat ini dipegang oleh Imam
Syaifi’iy, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam satu riwayat. Perompak dan
penyamun di jalan sering melakukan dua atau lebih tindak kejahatan. Tindakan
atas dua kejahatan atau lebih tidak bisa dijatuhi sanksi dengan jalan memilih
(takhyiir) salah satu dari sanksi hirabah, namun harus dirinci sesuai dengan
tindak kejahatan yang mereka lakukan. Allah SWT telah berfirman:
“Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syuura
[42]: 40).
Walhasil,
cara menjatuhkan sanksi bagi muharibiin adalah dengan merinci terlebih dahulu
tindak kejahatan mereka, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas; yakni, “Jika
mereka membunuh dan merampas harta benda, maka dibunuh dan disalib; jika mereka
membunuh namun tidak merampas harta, mereka dibunuh dan tidak disalib; jika
mereka merampas harta namun tidak membunuh, maka, tangan dan kakinya dipotong
bersilangan; jika mereka melakukan teror dan tidak merampas harta, dibuang dari
negerinya.”
Penyaliban
bagi muharibiin dilakukan setelah dilakukan pembunuhan. Artinya, setelah mereka
dibunuh baru disalib, agar masyarakat mengetahui bahwa ia telah mati.
Inilah
sanksi bagi muharibiin. Mereka dijatuhi sanksi sesuai dengan kejahatan yang
mereka lakukan. Kejahatan yang menyebabkan mereka dikenai hukuman had, bagi
muharibiin, terbatas pada tiga hal, yakni membunuh, merampas harta, dan membuat
teror di jalan. Jika mereka tidak melakukan tiga pelanggaran di atas, mereka
tidak dikenai sanksi had —yakni dibunuh, dipotong tangan dan kakinya
bersilangan disalib, dan dibuang. Sebab, sanksi had telah ditetapkan secara
sharih oleh nash. Oleh karena itu, bila mereka tidak melakukan tiga pelanggaran
di atas (membunuh, merampas harta, dan membuat teror di jalan), maka mereka
tidak dikenai sanksi dari empat sanksi had di atas. Akan tetapi, mereka akan
dikenai sanksi jika melakukan penganiayaan terhadap jiwa, dimana hal ini masuk
dalam bab jinayat.
Realitas Hirabah
Sanksi
had bagi muharibiin akan dijatuhkan bila tindakan mereka telah mencerminkan
realitas hirabah. Adapun syarat-syarat yang bisa menetapkan, bahwa suatu
tindakan disebut tindakan hirabah ada tiga syarat.
Pertama,
lokasi hirabah yang dilakukan oleh pelakunya harus di tempat yang jauh dari
tempat keramaian. Semisal di padang rumput yang jauh, di gunung, atau tempat
yang sangat jauh dari lokasi penduduk. Jika tindakan itu dilakukan di tempat keramaian,
maka namanya bukan tindak hirabah, akan tetapi perampasan biasa. Sebab yang
disebut dengan hirabah adalah penyamunan, atau perampokan yang dilakukan di
jalan-jalan. Akan tetapi, bila mereka melakukan tindakan pembunuhan, perampasan
harta, dan teror di tempat-tempat keramaian, maka tindakan mereka dianggap
sebagai hirabah dan berhak dijatuhi sanksi had. Ini adalah pendapat mayoritas
‘ulama Fiqh, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan lain-lain.
Kedua,
pelaku membawa senjata yang dapat digunakan untuk membunuh, semisal, pedang,
senapan, golok, dan lain-lain. Jika mereka tidak membawa senjata, atau
bersenjatakan alat-alat yang —pada ghalibnya— tidak bisa digunakan untuk
membunuh, seperti, tongkat, cambuk, dan lain-lain, maka tindakan mereka tidak
disebut dengan hirabah.
Ketiga,
dilakukan dengan terang-terangan. Mereka merampas harta dengan paksa dan
terang-terangan, dan memiliki markas. Jika mereka mengambil harta dengan cara
sembunyi-sembunyi mereka disebut suraaq (pencuri-pencuri). Jika mereka merampas
kemudian melarikan diri, mereka disebut penjambret.
Jika
tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka tindakan itu tidak disebut sebagai
hirabah.
Apabila pelaku hirabah (muharibiin) bertaubat sebelum mereka tertangkap, taubat
mereka diterima. Mereka juga tidak dikenai sanksi had. Akan tetapi, ia harus
menunaikan hak-hak orang yang mereka dzalimi, atau hak-hak anak Adam (huquq
al-adamiyyin). Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 34).
Jika
mereka bertaubat setelah tertangkap, maka mereka tetap dikenai sanksi
--------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Penulis
Sesuai dengan judul makalah,
hukuman dengan sistem positif berakibat penuhnya penjara yang biayanya mahal.
Sedang dengan sistem hukum Islam biayanya jauh lebih murah, lagi pula tanpa
penjara. Bisa memuaskan rasa keadilan
keluarga korban. Serta bisa menimbulkan efek jera.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-4: Pencurian.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-4: Pencurian.
Pengertian Pencurian menurut hukum
beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP yaitu: "Barang
siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan
ratus rupiah".
Pasal 363 KUHP
(1) Diancam dengan Pidana paling lama tujuh tahun:
1. Pencurian Ternak;
2.
Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal tedampar, kecelakaan kereta api,
huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3.
Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau
tanpa dikehendaki oleh yang berhak;
4.
Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5.
Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk dapat
mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong
atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu.
(2) Bila
pencurian tersebut dalam nomor 3 disertai dengan salah satu hal dalam nomor 4
dan 5, maka perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Hukuman
Pencurian dalam Islam
Islam menanggulangi kasus
pencurian dengan cara mendidik dan membersihkan jiwa
manusia dengan akhlak yang luhur, agar jangan berkeinginan memiliki hak orang
lain. di samping itu, Islam mengajak kaum muslimin agar giat bekerja mencari
penghidupan; membenci pengangguran dan mencela sifat kikir atau terlalu
mengejar keduniaan.
Islam juga
menjamin penghidupan orang-orang yang invalid dan kaum fakir
miskin dari harta orang-orang kaya di antara kaum muslimin. Kemudian, uang
tersebut dikelola oleh pemerintah untuk diteruskan kepada yang berhak. Harta
tersebut dinamakan harta zakat. Dengan demikian, maka Islam telah mencanangkan
suatu sistem yang mampu menjamin kesejahteraan sosial bagi individu dan
masyarakat. Setelah itu, kiranya tidak perlu seseorang melanggar hak-hak orang
lain. dan barang siapa yang masih tetap membangkang dan tidak mau menuruti
peraturan ini, atau masih mau mencuri, maka patut ia mendapat hukuman yang
setimpal.
Berikut ini penjelasan
Allah mengenai hukuman pencuri :
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al-Ma'idah 5 : 38).
Kejahatan mencuri
takkan dapat dipunahkan kecuali menerapkan syariat Islam, yaitu memotong tangan
pelakunya. Apabila meninjau keadaan masyarakat kita sekarang, maka akan
terlihat berbagai macam kasus pencurian yang sebagian besar telah sampai ke
tangan kehakiman untuk diusut perkaranya. Tentu saja hal ini akan memakan waktu
yang banyak bagi para hakim, sehingga mereka tidak sempat menangani kasus-kasus
lainnya. Dan jika sempat menangani, terpaksa harus menunggu beberapa tahun
lamanya.
Sesudah itu,
siapakah yang bertanggungjawab terhadap masalah ini? Tentu saja yang
bertanggungjawab adalah undang-undang itu sendiri. Seorang pencuri berani
melakukan pencurian, karena dirinya merasa tenang. Paling berat, apabila ia
tertangkap polisi, ia hanya akan dihukum beberapa bulan atau beberapa tahun.
Dan masa yang ia habiskan dalam penjara terlalu sedikit dibandingkan dengan
hasil yang diperolehnya. Hasil yang diperolehnya akan bisa menjamin
penghidupannya sampai ia mati. Apabila ia keluar dari penjara, terkadang hasil
pencuriannya itu bisa membuatnya kaya mendadak.
Bukti-bukti telah
menunjukkan bahwa kebanyakan pencuri apabila kembali kepada masyarakat setelah
menjalani hukumannya, mereka melakukan pencurian lagi. Sehingga keamanan
masyarakat tetap terganggu. Sekarang, para pembaca kami akan ajak untuk membaca
kutipan yang kami ambil dari harian ‘An-Nahar’ tertanggal 2-5-1974 :
“Polisi keamanan,
kemarin telah menangkap seorang buronan bernama … umur 39 tahun. Setelah
ditangkap ia mengaku telah melakukan pencurian sebanyak tujuh belas kali dengan
cara menerobos dan mencongkel. Pencurian itu dilakukan di rumah
penduduk di kota Beirut dan sekitarnya. Jumlah barang yang berhasil diambil
diperkirakan lebih dari 300.000 lire Libanon. Berupa
perhiasan, televisi dan barang-barang elektronik lainnya. Hasil penjualan
barang curian tersebut ia belanjakan untuk bermain judi,
melacur dan berfoya-foya. Setelah diadakan penyelidikan terhadap terdakwa,
ternyata ia baru saja sebulan keluar dari penjara; ia termasuk salah seorang
residivist”.
Kisah-kisah
semacam ini selalu dimuat oleh beberapa harian, karena tiap hari selalu terjadi
peristiwa pencurian.
Pelaksanaan hukum
potong tangan akan membuat para pencuri menjadi jera,
dan mereka tidak akan mau lagi melakukan pekerjaan mencuri mengingat hukuman
yang amat keras itu. Dengan demikian, masyarakat akan merasa aman dari gangguan
mereka. Sedang di negara-negara lain yang tidak menerapkan hukuman ini,
kejahatan mencuri masih tetap mengganggu kestabilan keamanan mereka.
Apalagi, para
pencuri sekarang sudah memiliki komplotan-komplotan yang berakibat mengancam
keamanan. Undang-undang buatan manusia sekarang tidak sanggup lagi mengatasi
pencurian yang telah tersebar di mana-mana. Nah, sekarang marilah kita mencoba
menerpakan syari’at Islam, karena hanya syariat Islam yang dapat menangkal dan
membasmi penyakit yang saat ini melanda masyarakat di zaman modern ini.
Ada beberapa
negara Islam yang telah menetapkan undang-undang ini, dan ternyata hasilnya
amatlah memuaskan. Segala bentuk kejahatan telah terbasmi sampai ke
akar-akarnya.
Dalam menerapkan
hukuman bagi para pencuri, Islam memandang para pelaku sebagai terpidana. Siapa
saja yang terbukti melakukan pencurian, maka tangannya harus dipotong tanpa
mempedulikan derajat pencuri tersebut. Berikut ini kami kemukakan sebuah kasus
pencurian di zaman Rasulullah SAW, yang dapat dijadikan teladan bagi kita semua
:
“Diceritakan
bahwa di zaman Nabi SAW, seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri.
Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian, Rasulullah SAW
memerintahkan agar ia segera dihukum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum
terkejut mendengar berita memalukan yang akan menimpa salah seorang wanita
keturunan terhormat mereka karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka
menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang menjadi
kesayangan Nabi, agar ia mau memintakan grasi dari Rasulullah terhadap wanita
kabilahnya. Kemudian Utsamah memohon grasi untuk wanita
tersebut, dan ternyata jawaban beliau : “Apakah kamu meminta grasi terhadap
salah satu hukuman had Allah?”. Kemudian Nabi memanggil semua kaum muslimin
lalu beliau berpidato : “Wahai umat manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian telah hancur, karena mereka menerapkan hukuman had terhadap orang yang
lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja. Demi Dzat yang diriku berada
dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fathimah (anak Nabi) mencuri, maka pasti akan
kupotong tangannya”( Hadits riwayat Bukhari).
Dalam menerapkan
hukuman mencuri, Islam telah mengatur terlaksananya hukuman tersebut. Beberapa
syarat berikut ini sebagai ganti cara hati-hati dan adil :
- Barang yang dicuri adalah berharga. Sedangkan kadar barang yang dicuri tersebut, pada zaman Nabi diperkirakan seperempat dinar atau lebih. Ada suatu hadits yang mengatakan :
تقطع اليد فى ربع دينار فصاعدا
“Tangan
harus dipotong karena mencuri seperempat dinar dan selebihnya”.
- Barang yang dicuri tersebut tersimpan pada tempatnya. Adapun barang yang hilang atau tertinggal di jalan umum tanpa ada yang menjaga, dalam hal ini tidak dilakukan hukuman potong tangan. Dan buah yang masih menempel di pohon tanpa ada tembok yang mengitarinya atau binatang ternak yang dilepaskan tanpa penggembala, dalam keadaan seperti ini hukuman potong tangan tidak diberlakukan. Tetapi sebagai penggantinya ialah hukuman ta’zir (penjara), di samping harus mengembalikan barang yang dicuri dan membayar harga barang yang dicuri. Demikian pula dengan pencurian yang dilakukan menggunakan mulut, atau dengan kata lain, dimakan ketika mencuri, seperti mencuri buah-buahan di pohon, namun ia tidak membawanya. Barang siapa membawa buah-buahan tersebut selain dari apa yang telah dimakannya, maka ia harus membayar dua kali lipat harga yang dicuri beserta hukuman ta’zir.
- Bagi yang mempunyai barang diperbolehkan memberi maaf kepada pencuri setelah ia menangkapnya, dengan syarat kasusnya belum sampai ke tangan hakim. Tetapi apabila kasusnya sudah sampai ke tangan hakim maka tiada maaf bagi pencuri.
- Tidak boleh dilaksanakan hukuman mencuri baik berupa had, atau ta’zir atau dendaan, apabila yang melakukan pencurian terdorong oleh lapar. Karena khalifah Umar RA tidak melaksanakan hukuman had terhadap para pencuri di kala negara sedang dilanda kelaparan.
Apabila para ahli fiqih berbicara
tentang masalah pencurian, maka yang dimaksud ialah pencurian kecil-kecilan,
yang pada hakekatnya barang yang diambil tersebut, dicuri secara diam-diam
tanpa melalui kekerasan.
Adapun mengenai pencurian besar-besaran, seperti melakukan
pendorongan di rumah atau di gudang dan di jalan, serta merampas uang,
barang-barang, kendaraan dengan cara paksa dan kekerasan sehingga korban tidak
sempat meminta tolong, maka hal ini termasuk dalam bab hirabah (menimbulkan
kerusakan). Hukumannya berbeda dengan hukuman mencuri biasa, dan hukuman yang
diterimanya lebih berat. Perbuatan seperti ini amat membahayakan keamanan
masyarakat.
HUKUM POTONG TANGAN, KEJAM ?
Posted on 19 Mei 2008 by susiyanto
PENGANTAR
Tidak
semua teman muslim saya mau menempatkan diri sebagai hamba yang baik dengan
menerima perintah Allah sebagai bentuk bakti yang tulus. Termasuk dalam sebuah
obrolan yang terjadi, seorang kawan sempat melontarkan ucapan sumbang bahwa Islam
merupakan agama yang tidak menghormati Human Rights dan syariat Islam
merupakan peraturan hidup yang primitive. Untuk mendukung argumentasinya,
beliau mengemukakan contoh penerapan hadd berupa pemberlakuan potong
tangan terhadap pencuri, yang dianggapnya, tidak sesuai dengan sifat
kemanusiaan. Pemahaman demikian kita sadari telah berkembang sebagai salah satu
argumentasi dalam penolakan terhadap penerapan hukum Islam. Bisa dilacak sampai
kepada pemikiran orientalis dalam memandang dan menempatkan Islam.1
Tentang bagaimana pandangan tersebut merasuk ke dalam framework
berfikir muslim, saya menilai penyebabnya lebih banyak dikarenakan minus
pemahaman umat, terutama terhadap sifat integral dan komprehensif dalam worldview
Islam.
Penjelasan
terhadap kesalahpahaman tersebut diperlukan untuk meminimalkan berlarutnya
pemahaman yang kurang pada tempatnya. Harapannya, anda bersedia mencermati
setiap bagian yang tulisan ini tanpa melewatkannya agar mendapatkan gambaran
menyeluruh dari pembahasan ini dan tidak terjadi kesalahpahaman pada tataran
selanjutnya. Namun jika anda tidak cukup memiliki waktu maka silakan langsung
merujuk pada bagian kesimpulan akhir.
Adapun
makalah ini akan saya bahas dengan urutan sebagai berikut :
1.
Sifat Integralistik Tauhid dalam
ajaran Islam
2.
Mengapa Barat menganggap hukum
potong tangan menakutkan ?
3.
Pada saat mana hukum potong tangan
dilaksanakan ?
SIFAT
INTEGRALISTIK TAUHID
Harus digarisbawahi, konsep tauhid tidak sama dengan monotheisme. Pembahasan monothesime berkutat pada pemahaman tentang sifat ketuhanan yang tunggal. Dalam monotheisme ketuhanan yang tunggal tersebut dalam jauharnya bisa saja menjadi tiga, empat, atau bahkan tidak terhitung.2 Sedangkan tauhid memiliki obyek kajian yang tidak hanya terbatas membahas konsep ketuhanan namun menjiwai hampir seluruh kajian keislaman. Tauhid adalah ajaran pokok dalam Islam,3 yang kemudian dijabarkan sebagai semangat ajaran Islam yang bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang utuh tidak terpisahkan dalam worldview Islam.
DR. Hamid
Fahmy Zarkasyi memberikan rumusan worldview Islam dibandingkan dengan worldview
Barat sebagai berikut :4
WORLDVIEW
ISLAM
|
WORLDVIEW
BARAT
|
|
1
|
Prinsip: Tawhidi | Prinsip: dichotomic |
2
|
Asas: wahyu, hadits, akal, pengalaman, intuisi. | Asas: rasio, spekulasi filosofis. |
3
|
Sifat: otentisitas dan finalitas | Sifat: rasionalitas, terbuka, dan selalu berubah. |
4
|
Makna realitas: berdasarkan kajian metafisis | Makna realitas: pandangan social, cultural, empiris |
5
|
Obyek kajian: visible dan invisible | Obyek kajian: tata nilai masyarakat. |
Secara sederhana, ajaran dalam Islam
memiliki keterkaitan dan kesinambungan antara satu dengan lainnya (prinsip tawhidiy).
Ajaran Islam menolak sekulerisme karena tidak sesuai dengan semangat Tauhid.
Oleh karena itulah maka agama dan pemerintahan, dunia dan akhirat, tidak dapat
dipisahkan.
MENGAPA
BARAT MENGANGGAP HUKUM POTONG TANGAN MENAKUTKAN ?
Seringkali kajian orientalis menempatkan kajian terhadap sebuah objek ajaran Islam dengan memisahkannya dari obyek ajaran lainnya. Akibatnya, jelas kepahaman menyeluruh sukar dihasilkan akibat upaya memahami secara parsial tersebut. Kajian dalam kesarjanaan Barat seringkali terjebak menyamakan konsep tauhid dan monoteheisme sacara sejajar. Sehingga pembahasan tentang sifat tauhid biasanya hanya berkutat pada masalah ketuhanan dan bukan pada semangat islam yang ajarannya bersifat integralistik dan komprehensif.
Berkaitan
dengan hukum potong tangan, biasanya kajian Barat lebih difokuskan kepada material
source berupa kitab fikih sedangkan kitab-kitab yang tidak bertema
demikian cenderung diabaikan. Pembahasan dalam kitab fikih klasik biasanya
bersifat tematik dimana setiap pembahasan dikelompokkan berdasarkan tema kajian
tertentu. Model kajian yang tersentral pada tema-tema yang terpilih biasanya
bersifat mandiri dan kelemahannya keterkaitan dengan kajian lainnya kurang
mendapat perhatian. Hukum potong tangan dalam kitab fikih umumnya dibahas
sebagai hukum positif dan logika agama yang membangun sanksi hukum tersebut
nyaris kurang ditampilkan.
Bagi
muslim hal demikian cenderung tidak bermasalah sebab kalangan muslim secara
umum terbiasa pula dengan kajian-kajian aqidah, akhlak, tafsir, dan lain
sebagainya serta pengamalan Islam secara kaffah sehingga mengantarkan kepada
pemahaman yang utuh. Namun bagi pengkaji Barat yang hanya berkonsentrasi
terhadap satu bidang kajian maka akan mempengaruhi daya tangkap terhadap sebuah
persoalan. Barat berusaha memahami Islam dengan memilih bentuk spesialisasi
kajian dengan kelemahan tersebut, sehingga wajar dalam menilai hukum potong
tangan lebih memusatkan kepada aspek kajian yang parsial dan melepaskannya dari
logika keagamaan yang seharusnya mengemuka sebagai landasan rasionalitas kajian
tersebut.
Tidak
heran jika kemudian sarjana barat kemudian justru menghasilkan karya
problematik, kurang komperehensif, dan bersifat destruktif terhadap paham yang
hidup dalam pemikiran muslim sendiri.
PADA
SAAT MANA HUKUM POTONG TANGAN DILAKSANAKAN ?
Pelaksanaan hukum potong tangan hanya diberlakukan dalam sebuah sistem pemerintahan yang menganut Syariat Islam. Dengan berlakunya syariat Islam tidak serta merta hukum hadd tersebut dilaksanakan. Ada norma, nilai, dan logika keagamaan yang harus dipahami dalam pemerintahan Islam.
Dalam
Islam, kekuasaan berbasis syariat (baca : khilafah) memiliki dua fungsi yaitu :5
1.
Fungsi pertama, memfasilitasi umat
melaksanakan petunjuk Allah, termasuk di dalamnya mengatur agar manusia sebagai
khalifah fil ardhi mampu memakmurkan bumi.
2.
Fungsi kedua, menegakkan keadilan
berdasarkan petunjuk Allah
Hukum
potong tangan bisa dilaksanakan apabila sebuah Negara Islam telah mengalami
kemakmuran dan keadilan tegak. Oleh karena itu pemimpin Negara Islam harus
berusaha penuh menjalankan tugasnya guna melaksanakan kedua tujuan pokok
tersebut, termasuk mengatur distribusi keuangan.6
Jika pemimpin belum dapat menjalankan tugas tersebut maka bukan saja hukum
potong tangan belum diterapkan namun terjadi mekanisme penggantian
kepemimpinan.
Kisah Umar
mengenai penundaan hukuman potong tangan bisa menjadi gambaran tentang hal ini.
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab mengadili seorang yang mencuri di
rumah tetangganya yang kaya. Setelah melalui prosesi pengadilan diketahui bahwa
tindak kriminal tersebut terpaksa dilakukan guna mencukupi kebutuhan pokok
paling mendesak berupa bahan makanan. Sang pencuri tidak dihukum potong tangan.
Justru orang kaya yang melaporkan sang pencuri mendapatkan hukuman setimpal,
sebab dia memiliki kelebihan harta sementara tetangganya dibiarkan miskin
sehingga terpaksa mencuri. Kaum miskin memiliki hak atas sebagian harta
golongan hartawan dalam sistem distribusi kekayaan dalam Islam.7
Tindakan
Umar di atas bukan merupakan peningkaran terhadap syariat potong tangan
sebagaimana disebutkan oleh sebagian kalangan. Namun merupakan pengamalan
perkataan Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat
dilaksanakan dalam kondisi negara yang rakyatnya mengalami kelaparan yang
memaksa.8
Ibnu Qayyim al Jauziyyah menjelaskan bahwa tindakan Umar tersebut lebih
didorong oleh adanya syubhat (ketidakjelasan) atas perkara hukum
berupa kebutuhan pokok pelaku akan makanan, sehingga menyebabkan hukum potong
tangan tidak dilaksanakan.9
Sedangkan Rasulullah menyatakan bahwa “ Al hudud yasquthu bi asy
syubuhat ” (sanksi hudud terputus oleh adanya syubhat-syubhat).10
Kejadian
pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab di atas setidaknya telah menjelaskan
bahwa dengan berlakunya syariat Islam tidak dengan serta merta hukum potong
tangan berlaku. Ada pun dalam sebuah negara yang makmur dengan rakyat
berkecukupan, fungsi Baitul mal yang melayani masyarakat miskin dapat berjalan,
tunjangan negara diberlakukan, dan pekerjaan mudah didapatkan maka hukum potong
tangan bisa berlaku bagi bagi tindakan pencurian sesuai dengan kriteria hadd,
yaitu minimal satu nishab,11
pencuri telah dewasa, sehat secara mental, barang yang dicuri memang telah
tersimpan dengan baik12
sehingga jelas diketahui kepemilikannya, pencuri tidak memiliki alasan bahwa
dia berhak atas barang yang dicurinya,13
dan pelaku tetap harus mengembalikan harta yang diambilnya tanpa hak
berdasarkan keputusan pengadilan. Selain itu orang yang dipaksa melakukan
tindak pencurian tidak dikenakan hukuman potong tangan.
Secara mudahnya
dalam negara yang telah makmur dan kebutuhan individu yang mendasar telah
tercukupi namun terdapat oknum yang mencuri maka tentu keinginan mencuri itu
lebih didorong oleh kelainan jiwanya (nafsu) atau mentalitas yang kurang baik
dan bukan dipicu kebutuhannya. Saya kira ahli jiwa pun akan sepakat jika oknum
tersebut melakukan kejahatan lebih dikarenakan kelainan mental. Maka hukum
potong tangan tersebut diberlakukan dengan fungsi sebagai shock therapy, edukasi,
dan tindakan preventif terhadap meluasnya kejahatan.
KESIMPULAN
Hukum potong tangan dilaksanakan dalam sebuah pemerintahan Islam yang telah menjamin kemakmuran rakyatnya. Termasuk hal tersebut berlakunya sistem distribusi kekayaan seperti zakat, shodaqoh, dan lain-lain. Dalam sebuah kondisi masyarakat demikian, maka aksi pencurian terhadap harta orang lain jelas tidak beralasan. Ahli kejiwaan pun akan sepakat bahwa pencurian pada masa kemakmuran dan mudahnya mencari pekerjaan halal, lebih banyak didukung oleh nafsu dan kelainan mental daripada kebutuhan hidup. Maka dalam kondisi demikian hukum potong ditetapkan sebagai shock therapy yang berfungsi sebagai edukasi, sanksi, tindakan preventif, dan menjamin keamanan secara meluas. Sedangkan persyaratan pelaksanaannya pun diatur dengan berbagi syarat dan diharuskan berdasarkan penyidikan dan penyelidikan yang memadai.
1 Hukum
Islam dalam pandangan Barat sering digambarkan sebagai hukum liar produk budaya
sebuah bangsa biadab dari abad ke 7. Misalnya lihat Ali Dashti. 23 Years :
A Study of Prophetic Career of Muhammad. (George Allen and Unwin, London,
1985). Hal. 56. Robert Morrey, dalam karyanya yang kontroversial dan penuh
manipulasi terhadap data hsitoris dan penafsiran sumber pokok ajaran Islam, The
Islamic Invasion, menggambarkan Islam sebagai ajaran yang dipenuhi
kekerasan dan intoleransi. Robert Morrey. The Islamic Invasion :
Confronting The World’s Fastest Growing Religion. (Christian Scholar Press,
Las Vegas, 1992). Hal. 17-20. Juga kemunculan film bertajuk “Fitna” merupakan
sebuah bukti Islamophobia terhadap perkembangan ajaran Islam disebabkan oleh
framework cara pandang Barat terhadap Islam di dunia Barat secara bias selama
berabad-abad.
2
Dalam hal ini sifat monotheisme bisa dijelaskan sebagai konsep penyederhanaan
dan perkembangan lebih lanjut dari politheisme. Misalnya konsep Trinitas dikonstruk
oleh ajaran pagan sebelumnya. Sebagai contoh pengaruh ajaran Mesir kuno yang
mempertuhan Osisris, Horus, dan Typhon. Di Skandinavia Kuno dengan Odin, Thor,
dan Frey. Masyarakat Persia Kuno mengenal Orosmasde, Mthra, dan Arimanus.
Masyarakat Romawi sendiri, pada saat menjadi penyelenggara Konsili Nicea yang
menetapkan Yesus sebagai Tuhan pada tahun 325 M, mengenal Zeus, Hercules, dan
Hera. Masyarakat Yunani mengenal Orphic Phanes, Ericapeus, dan Metis. Sedangkan
konsep Trimurti didasarkan kepada pengalaman bangsa India yang memiliki banyak
dewa kemudian pada perkembangan selanjutnya memusatkan pilihan kepada 3 Dewa
utama yaitu Brahma (Pencipta), Wisnu (Pemelihara), dan Syiwa (Perusak).
4 DR.
Hamid Fahmy Zarkasyi. Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam. Dalam
Majalah ISLAMIA Thn. II, 2005. Hal. 13
5 Selengkapnya
lihat KH. Moenawar Khalil. Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Al
Quran dan Sunnah. Cet. II. (Ramadhani, Surakarta,1968). Hal. 30
6 Qs.
59 : 7 yang menyatakan bahwa harta hendaknya tidak hanya beredar pada kalangan
tertentu. Ayat ini sebenarnya berhubungan dengan distribusi rampasan perang.
Sedangkan ayat lain, Qs. 70 :25 menyatakan perintah tentang distribusi kekayaan
terhadap yang membutuhkan.
7 Dalam
Islam, distribusi kekayaan berpusat kepada kepemilikan Allah, sehingga Allah
lebih berhak membagi kekayaan berdasarkan ketentuan-Nya termasuk kepada
kalangan fakir dan miskin. Dengan demikian partisipasi dalam proses produksi
bukan satu-satunya sumber adanya hak atas kekayaan. Hal ini berbeda dengan
sistem ekonomi kapitalis yang memandang bahwa hak atas kekayaan didasarkan
partisipasi atas proses produksi saja. Jadi dalam Islam hak atas kekayaan
dibagi menjadi dua. Pertama mereka yang memiliki hak utama yaitu kalangan yang
berpartisipasi langsung terhadap proses produksi. Misalnya pengusaha, pekerja,
pemilik factor produksi, dan lain-lain. Kedua mereka yang memiliki hak turunan
yaitu kalngan yang tidak ikut berpartisipasi dalam factor produksi. Dalam hal
ini, sebuah Negara muslim, kalangan hartawan menanggung biaya penyelenggaran
negara. Sementara Negara kapitalis membebankan biaya penyelenggaraan Negara
dengan pajak yang tinggi terhadap kalangan bawah dan prosentase pajak rendah
bagi kalangan atas. Selengkapnya lihat Mufti Muhammad Shafi. Distribusi
Kekayaan dalam Islam. (terjemah dari Distribution of wealth of Islam).
(Ramadhani, Surakarta, 1986). Hal. 14-22
8 Diriwayatkan
dari Makhul ra bahwa Rasulullah menyatakan La qath’a fi maja
‘ah mudhthar (Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa).
Hadits ini merupakan takhsis dari ketentuan umum potong tangan dalam Al Quran
Surat 5 : 38. Lihat Abdurrahman al Maliki. Nidham al ‘Uqubat. (Dar al
Bayariq, Beirut, 1990). Hal. 68
9 Penjelasan
selengkapnya baca Busthami Muhammad Said. Pembaruan antara Modernisme dan
Tajdiduddin. (terjemah Ibnu Marjan dan Ibaddurrahman dalam Mafhum
Tajdid ad Din). (PT. Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, 1995). Hal. 306-307
10
Jalaluddin As Suyuthi. Al Asybah wa an Nadha’ir fi al Furu’. (Maktabah
wa Mathba’ah Usaha Keluarga, Semarang, tt). Hal. 84
11
Satu nishab sekurangnya sama atau seharga dengan 93, 6 gram emas. Jadi jika
harga 1 gram emas adalah Rp 100.000,00 maka potong tangan bisa dilaksanakan
jika pencuri telah mengambil harta tanpa hak senilai kurang lebih Rp
9.360.000,00. Selanjutnya lihat Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (Sinar
Baru, Bandung,1990). Hal. 406-407
12
Misalnya berada di dalam rumah atau berada di dalam almari atau berada dalam
kebun yang dipagari sehingga secara dhahir diketahui bahwa barang tersebut
merupakan hak milik sah seseorang dan telah disimpan secara wajar.
13
Anak yang mencuri harta orang tuanya atau istri mengambil milik suaminya tidak
dikenai hadd potong tangan
Kasus ke-5 : Penipuan.
Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Penggelapan dan
Penipuan
Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang
berbeda dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk
penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau
seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi
penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh
pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku
terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan
dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya
yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
Sementara itu penipuan
diatur dalam pasal 378 KUHP.
Yaitu dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Dilihat dari obyek dan
tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada
barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun
menghapus piutang.
Dalam perkara-perkara
tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata.
Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B
menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A
menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
Dalam kasus seperti ini,
peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan
penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat
untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut.
Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk
melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan
membawa kabur mobil A.
Di bawah ini kami kutipkan pengaturan penggelapan dan
penipuan dalam KUHP.
Boks: Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
Perbuatan
|
KUHP
|
Rumusan
|
Penggelapan
|
pasal 372
|
Barang siapa dengan sengaja
dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
|
Penipuan
|
pasal 378
|
Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
|
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek
Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
Hukum Penipuan dalam Islam
Di antara penipuan itu adalah perbuatan Korupsi.
Hukum Perbuatan Korupsi dalam Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan
manusia.
Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan
pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak
milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan
sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak
sah.
Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya
kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena
pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan
yang dituju dengan tidak tercapai.
Ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan
korupsi adalah haram dan dilarang. Karena bertentangan dengan maqasid
asy-syariah. Keharaman perbuatan korupsi dapat ditinjau dari berbagai segi,
antara lain sebagai berikut.
a. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat).
a. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat).
Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan
itu dihindari, seperti pada firman-Nya,
"Tidak mungkin seorang Nabi
berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam
urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya.” (QS. Ali Imran [3] : 161).
Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu peraturan bahwa
setiap kembali dari peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil maupun
yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan pimpinan
perang kemudian Rasulullah SAW membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5
dari harta rampasan itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang
miskin, dan ibnu sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka
yang berperang. (QS. Al-Anfal: 41).
Dalam
Islam, permasalahan korupsi termasuk bagian yang dibahas panjang lebar. Dalam
istilah fikih, korupsi diistilahkan dengan al-ghulul. Imam Nawawi berkata,
al-ghulul asalnya bermakna pengkhianatan terhadap harta umat. Namun, istilah
ghulul lebih melekat pada pengkhianatan harta rampasan perang. Tidak salah,
sebab harta rampasan adalah harta umat.
Namun
tidak berarti ghulul hanya terbatas pada penggelapan harta rampasan. Syaikh
Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dosen di Universitas Islam Madinah
menyebutkan dalam makalahnya Attahdzir Minal Ghulul, di antara bentuk ghulul
yaitu seorang pegawai publik mengambil hadiah (gratifikasi) disebabkan posisi
dan pekerjaannya. Dalam sebuah Hadits, “Nabi pernah mengangkat seorang pekerja
(pegawai), ketika pekerja ini telah menuntaskan pekerjaannya ia menemui
Rasulullah lalu berkata kepada beliau ‘ini bagian engkau (Rasulullah) sedangkan
ini dihadiahkan untukku.’ Nabi berkata, Mengapa engkau tidak berdiam diri di
rumah ibumu atau bapakmu lalu kamu memperhatikan apakah kamu dapat hadiah atau
tidak.” Kemudian pada kesempatan lain Rasulullah berdiri setelah shalat dan
bersabda terkait sikap orang tadi, “Demi jiwaku yang ada ditangan-Nya,
sesungguhnya tidaklah seorang melakuakn ghulul kecuali ia akan memikul di atas
lehernya harta yang telah dikorupsi (di akhirat).”(Riwayat Bukhari).
Nabi juga
bersabda, “Siapa di antara kalian yang diamanahi sebagai pejabat publik
kemudian ia menyembunyikan jarum atau yang lebih dari itu untuk dimiliki maka
ini adalah ghulul yang di hari Kiamat ia akan datang bersama barang yang
digelapkannya.” (Riwayat Muslim)
Untuk
kasus korupsi ghanimah para ulama menyebutkan beberapa bentuk hukuman. Ada yang
membakar harta yang digelapkannya kecuali kendaraan dan mushaf. Ada juga yang
diarak dan ada pula yang dipukul. Abu Daud meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan
Umar membakar harta rampasan. Ibnu Qayyim dalam Majallahtul Buhuts Islamiya, yang
diterbitkan oleh Idaratul Buhuts al-Ilmiah wal Ifta menyatakan, “Dan yang benar
bahwa ini adalah bagian dari ta’zir dan kadar hukuman berdasarkan ijtihad para
ulama.”
Yang pasti
pertimbangan utama dalam memberikan ta’zir (sanksi hukum) tidak didasari oleh
dendam dan amarah. Ta’zir diberikan untuk memberikan efek jera kepada pelaku
dan menjadi pelajaran kepada yang lain agar tidak berbuat yang seperti itu.
Dr Raghib
Assirjani, cendekiawan asal Mesir dalam makalahnya Diwanunndzar Fil Mazhalim
menuliskan, untuk mengantisispasi kesemena-menaan penguasa atau orang-orang
terpandang, Khalilfah Bani Umayyah membentuk mahkamah khusus. Namanya mahkamah
mazhalim. Mahkamah ini khusus menangani kasus-kasus yang melibatkan orang-orang
penting. Mahkamah mazhalim tugasnya sangat banyak di antaranya, menangani
tindakan zalim yang dilakukan oleh pejabat, kecurangan yang mereka lakukan
dengan mengambil harta yang bukan haknya, dan lainnya.
Hukum Mati bagi Koruptor
Apakah
boleh seorang koruptor dihukum mati? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat
apakah hukum ta’zir bisa sampai tingkat membunuh. Sebagian ada yang membolehkan
dibunuh dengan catatan kejahatan yang dilakukannya sangat berat dan dampaknya
sangat berbahaya bagi publik.
Dr
Muhammad Bakar Ismail, seorang pengajar di Universitas al-Azhar Mesir berkata,
“…Adapun jika dia telah mengkorup harta yang banyak yang berdampak
terabaikannya hak-hak publik dan hal itu dilakukan secara berulang-ulang maka
orang seperti ini sudah masuk dalam kategori mufsid fil ardh (melakukan kerusakan
di muka bumi) dan hukumannya salah satu di antara hukuman yang disebutkan di
dalam al-Qur`an surat al-Maidah ayat 33 yaitu, “Hukuman bagi orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dibumi hanyalah dibunuh
atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara menyilang atau diasingkan
dari tempat kediamannya…” * SUARA HIDAYATULLAH AGUSTUS 2012
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Penulis
Sesuai dengan judul makalah,
hukuman dengan sistem positif berakibat penuhnya penjara yang biayanya mahal.
Sedang dengan sistem hukum Islam biayanya jauh lebih murah, karena tanpa
penjara. Serta bisa menimbulkan efek jera.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-6: Mengkonsumsi Narkoba
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus ke-6: Mengkonsumsi Narkoba
Hukuman dalam Hukum Positif
Dalam Undang-Undang Psikotropika telah diatur secara
khusus ketentuan pidana sebagaimana ditetapkan pada BAB XIV pasal 59 sampai
dengan Pasal 72, seluruhnya merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang
psikotropika, antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi
dan/atau mengedarkan secara gelap, maupun menyalahgunakan psikotropika merupakan
perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.
Di antara ketentuan pidana yang diatur dalam UU
Psikotropika terdapat ancaman pidana yang dibatasii maksimal dan minimalnya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1), yaitu minimal pidana penjara 4 tahun
dan maksimal 15 Tahun, serta pidana denda minimal Rp.10 juta dan maksimal
Rp.750 juta. Sementara dalam pasal 59 ayat (2) dan (3), yaitu maksimal pidana
mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp. 5 milyar.
Untuk tindak pidana, dalam Undang-Undang Narkotika diatur
pada pasal 78 sampai dengan pasal 100 yang merupakan ketentuan khusus. Semua
ketentuan pidana tersebut jumlahnya 23 pasal, sedangkan ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Psikotropika berjumlah 24 pasal, semua tindak pidana di dalam
Undang-Undang Narkotika merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya
untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan
di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan karena
besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat
berbahaya bagi jiwa manusia.
Dalam Undang-Undang Narkotika juga dikenal ancaman pidana
minimal, namun ancaman pidana minimal ini dimaksudkan untuk pemberatan hukuman
saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidana minimal hanya
dapat dikenakan apabila tindak pidananya didahului dengan permufakatan jahat.
Pasal 82 ayat (2) huruf a, yaitu minimal penjara 4 tahun dan maksimal
hukuman mati dan denda paling sedikit Rp.200 juta dan paling banyak Rp.2
milyar.
Apabila dilakukan secara terorganisasi sebagaimana diatur
pada pasal 82 ayat (3) huruf a, yaitu minimal penjara 5 tahun dan
maksimal hukuman mati dan denda paling sedikit Rp.500 juta dan paling banyak
Rp.5 milyar serta apabila dilakukan oleh korporasi seperti pasal 82 ayat (4)
huruf a, b dan c didenda paling banyak Rp.7 milyar; Rp.4 milyar
dan Rp.3 milyar. Dengan demikian, dalam Undang-Undang Narkotika terdapat 3
alasan sebagai dasar untuk memberatkan hukuman, yaitu karena perbuatannya
didahului dengan permufakatan jahat, karena dilakukan secara terorganisasi,
karena dilakukan oleh korporasi dan karena pelakunya residivis.
Hukuman
Pengguna Narkoba dalam Islam
Dikutib dari Ahmad Syafii
STAIN Datokarama Palu, Jl.
Diponegoro No. 23 Palu
e-mail: ahmsy45@yahoo.co.id
Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.2,
Agustus 2009:219-232
Narkoba secara alami, baik
sintesis maupun semi sintesis memang tidak disebutkan hukumnya secara khusus di
dalam Alquran maupun hadis nabi. Bertolak dari efek khamar yang memabukkan,
sebagian ulama menganalogikan bahan-bahan psikoaktif (narkoba) dengan khamar
karena ilat yang sama, yaitu memabukkan. Narkoba adalah sesuatu yang memabukkan
dengan beragam jenis, yaitu heroin atau putaw, ganja atau marijuana, kokain dan
jenis psikotropika; ekstasi, methamphetamine/sabu-sabu dan obat-obat penenang;
pil koplo, BK, nipam dsb. Sesuatu yang memabukkan dalam Alquran disebut khamar,
artinya sesuatu yang dapat menghilangkan akal. Meskipun bentuknya berbeda namun
cara kerja khamar dan narkoba sama saja. Keduanya memabukkan, merusak fungsi
akal manusia.
Dalam Islam, pelarangan
mengkomsumsi khamar (narkoba) dilakukan secara bertahap. Pertama memberi
informasi bahwa narkoba memang bermanfaat tetapi bahayanya lebih besar. Firman
Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya
lebih besar dari manfaatnya. (Q.S Al-Baqarah [2]:219);
kedua, penekanan bahwa
narkoba yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan emosi dan
pikiran. Allah melarang seseorang salat dalam keadaan mabuk.
Firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. (Q.S Al-Nisâ‟[4]:43); dan
ketiga, penegasan bhwa narkoba sesuatu yang menjijikkan, bagian dari kebiasaan
setan yang haram dikonsumsi. Firman Allah, “Hai orangorang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S
Al-Mâ‟idah [5]:90).
Dalam hadis riwayat „Abd
Allâh ibn Umar, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamar
dan setiap khamar adalah haram”(HR. Muslim, 1993:270). Dalam hadis lain, nabi
menjelaskan bahwa: “Segala sesuatu yang memabukkan bila diminum dalam kadar
yang banyak, kadarnya yang sedikit pun haram”(HR. Al-Nasâ‟î: t.th:700). Imam
Bukhârî meriwayatkan bahwa Umar b.
Khattâb pernah berpidato: “Sesungguhnya telah diturunkan hukum yang
mengaharamkan khamar dan ia terbuat dari salah satu dari lima unsur: anggur,
kurma, madu, jagung, dan gandum.
Khamar adalah sesuatu yang
merusak akal (HR. Bukhârî, 1993:232).
Kemudian riwayat dari „Abd
Allâh ibn Umar ra., barsabda Rasulullah saw., “Allah melaknat khamar,
peminumnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, yang menyuruh memeras,
pembawanya dan penerimanya”(HR. Abû Dâwud, 1994:187).
Seiring dengan
perkembangan zaman, minuman atau zat/obat yang memabukkan pun bervariasi.
Meskipun demikian tetap saja hukumnya haram. Hadis dari Aisyah, nabi saw.
bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan adalah haram” (HR. Bukhârî,
1993:242).
Keharaman narkoba tidak
terbatas banyak atau sedikit, jika banyak memabukkan maka sedikit pun tetap
haram meskipun yang sedikit itu tidak memabukkan. Begitu pula para pelaku
penyalahgunaan narkoba yang terdiri dari pemakai, penjual, pembeli, produsen,
pengedar dan penerima narkoba adalah haram.
Islam secara jelas dan
tegas telah mengatur bentuk-bentuk hukuman untuk setiap pelanggaran atas
larangan Allah, baik berupa had maupun ta’zîr. Bagi peminum khamar hukumannya
40 kali dera di muka umum. Rasulullah saw. bersabda: “Bahwasanya nabi saw. telah
mendera orang yang meminum khamar dengan dua pelepah tamar 40 kali dera. Abû
Bakr juga dengan 40 dera dan Umar b. Khattâb dengan menghukum 80 dera (HR.
Muslim, 1993:116).
Menurut ulama Malikiyah,
Hanafiyah, Hanabilah dan ijmak sahabat, sanksi peminum khamar adalah 80 kali
dera. Sedangkan menurut Syafi‟iyah, sanksi hukum bagi peminum khamar adalah 40
kali dera, tetapi ia kemudian menambahkan bahwa imam boleh menambah menjadi 80
kali dera. Jadi, yang 40 kali dera adalah had, dan 40 kali lainnya sebagai
ta’zîr (Al-Jazîrî, t.th:10-12).
Dalam perkembangan dunia
Islam, khamar kemudian bermetamorfosa dalam bentuk yang semakin canggih yang
lazim disebut narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Oleh karena itu, ulama
berbeda pendapat dalam menentukan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkoba.
Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa sanksi hukum bagi pelaku penyalahgunaan narkoba adalah had, seperti
halnya sanksi peminum khamar. Orang yang menyalahgunakannya, sebagaimana
dijatuhkan had bagi peminum khamar (Ibnu Taimiyah, 1978:35). Sebagian ulama
tidak menganalogikan narkoba dengan khamar. Misalnya, (Zuhaylî, t.th:39)
mengemukakan bahwa sanksi bagi pelaku penyalahgunaan narkoba adalah ta’zîr,
mereka beragumentasi karena narkoba tidak ada pada masa Nabi Muhammad saw.,
narkoba tidak ada di dalam Alquran maupun sunah, narkoba lebih berbahaya
dibandingkan bahaya khamar. Sedangkan menurut (Al-Hasârî, t.th:39):
“Sesungguhnya mengkonsumsi ganja itu haram dan tidak dijatuhkan sanksi had
kepada pelakunya, wajib atas orang yang mengkonsumsinya dikenai sanksi ta’zîr
bukan had”. Selanjutnya, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (t.th:55),
sanksi bagi pelaku penyalahgunaan narkoba adalah ta’zîr karena narkoba lebih
berbahaya dibandingkan bahaya khamar. Ta’zîr adalah hukuman yang mendidik yang
dijatuhkan hakim terhadap perbuatan kejahatan atau maksiat yang belum
ditentukan hukumnya oleh syariat”.
Dengan demikian, berdasar
tindakan Rasulullah saw., penegakan hukum sesuai dengan syariat menjadi harga mati
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk mencegah kejahatan narkoba agar tidak
semakin meluas dan meresahkan masyarakat. Namun demikian, penegakan hukum
adalah otoritas mutlak sebuah negara, bukan kewenangan seseorang atau
sekelompok masyarakat.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat dipahami bahwa sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkoba adalah had yang telah ditentukan oleh syariat.
Sedangkan sanksi ta’zîr merupakan otoritas hakim untuk menentukan berat atau
ringannya hukuman, walaupun ia harus mempertimbangkan keadaan pelakunya,
jarimahnya, korban kejahatannya, waktu dan tempat kegiatan sehingga putusan
hakim besifat preventif, refresif, edukatif, dan kuratif.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Penulis
Sesuai dengan judul makalah,
pengguna Narkoba yang jumlahnya cenderung makin banyak, hukuman dengan sistem
positif berakibat penuhnya penjara yang biayanya mahal. Sedang dengan sistem
hukum Islam biayanya jauh lebih murah, karena tanpa penjara. Kecuali bila
digunakan hukum ta’zir. Serta bisa menimbulkan efek jera.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kasus
ke-7: Kejahatan kesusilaan, pencabulan, perkosaan, dan pornografi
Hukuman Perkosaan dalam KUHP
Pasal 285 : Barang siapa dengan
kekerasan atai ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama 12 tahun.
Dengan Pasal 291 ayat 2 KUHP,
ancaman pidananya menjadi 15 tahun jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan
korbannya mati.
Persetubuhan di luar perkawinan
terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana
penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 286 KUHP).
Persetubuhan di luar perkawinan
terhadap wanita yang umurnya belum 15 tahun, diancam dengan pidana penjara
paling lama 9 tahgun (vide Pasal 287 ayat 1 KUHP).
Jika persetubuhan mengakibatkan
wanitanya luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun
(Pasal 291 ayat 1 KUHP.
Jika persetubuhan mengakibatkan
wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 291 ayat
2 KUHP).
Barang siapa dalam perkawinan
bersetubuh dengan seorang wanita nyang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam
tindak pidana perzinaan
A. Kedudukan Perzinaan Dalam Pasal 284 KUHP
Delik perzinahan diatur dalam
Pasal 284 KUHP yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delik-delik
kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang
merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang
termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:
a. yang berhubungan
dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang
berhubungan dengan benda- benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau
bersifat porno (Pasal 281 – 283);
b. zina dan sebagainya yang berhubungan
dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
c. perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. yang berhubungan dengan pengobatan
untuk menggugurkan kandungan (Pasal 299);
e. memabukkan (Pasal 300);
f. menyerahkan anak untuk pengemisan dan
sebagainya (Pasal 301);
g. penganiayaan hewan (Pasal 302);
h. perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).
Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan
sebagai berikut :
a. mengungkapkan
atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
b. yang
berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
c. yang
berhubungan dengan perbuatan tidak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan
544);
d. meramal
nasib atau mimpi (Pasal 545);
e. menjual dan sebagainya
jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546);
f. memakai
jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547).
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur
dalam Bab XIV mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan ini sengaja
dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk melindungi orang-orang dari tindakan-tindakan asusila dan perilaku-perilaku
baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang menyinggung rasa susila karena
bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang
seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat maupun dari segi
kebiasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan
yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang
manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan semestinya hanya
perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang
tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan
2. Akan tetapi menurut Roeslan Saleh,
pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam
bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam
penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.
3 Sedangkan permasalahan-permasalahan dari persetubuhan yang tidak merupakan
tindak pidana menurut KUHP,
yaitu :
1. dua orang
yang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun
a. Perbupatan
itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu perasaan moral masyarakat;
b. Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu
muslihat atau janji akan menikahi, tetapi diingkari;
c. Berakibat hamilnya wanita itu dan
lai-laki yang menghamilinya tidak bersedia menikahinya atau ada halangan untuk
nikah menurut undang-undang;
2. Seorang laki-laki
telah bersuami menghamili seorang gadis (berarti telah melakukan perzinahan)
tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk menuntut;
3. Seorang melakukan
hidup bersama dengan orang lain sebagai suami isteri di luar perkawinan padahal
perbuatan itu tercela dan bertentangan atau mengganggu perasaan
kesusilaan/moral masyarakat setempat
B. Kebijakan
Hukum Pidana Bagi Perzinaan
Dalam RUU
KUHP (Konsep KUHP) mungkin akan membawa
perubahan besar. Hakim tidak harus selalu berpegang erat pada undang-undang
lagi. Hukum adat
bisa diadopsi sebagai pidana pokok dalam putusan. Walaupun dalam konsep KUHP
kita masih berpegang teguh pada asas legalitas yang tertuang pada pasal 1
ayat 1 “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan” tetapi dalam
ayat 3 menyebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan” yang kemudian diterangkan dalam ayat (4)
sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan / atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat dunia.
Dari penjelasan diatas bisa kita tarik
pernyataan bahwa perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan tapi
bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat (nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat) bisa saja dijerat pidana. Salah satunya adalah berhubungan intim di
luar ikatan perkawinan yang sah atau zina.
Zina pada hakekatnya adalah melakukan
hubungan badan di luar nikah. sayangnya dalam pasal 284 KUHP yang berlaku sekarang
mengalami penyempitan makna menjadi zina hanya dilakukan oleh orang yang salah
satunya terikat perkawinan dengan orang lain. Tetapi seperti kita tahu bahwa
pasal tersebut masih kurang pas dalam penerapannya di masyarakat Indonesia karena
dalam pasal tersebut masih amat sempit pengertian dan pemahamannya tentang
zina. Menurut hukum yang hidup di masyarakat adalah hubungan badan di luar
nikah, baik yang salah satunya terikat tali perkawinan atau keduanya belum
teriakat.
Dalam pemikiran masyarakat pada umumnya zina
yang diterangkan dalam KUHP kita hanya menjerat orang melakukan zina jika salah
satunya terikat tali perkawinan, berarti jika orang yang melakukan zina yang
keduanya belum memiliki tali perkawinan maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Lagipula, pasal 284 KUHP adalah delik aduan yang tidak memungkinkan perbuatan
itu dipidana Jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan (suami
atau istri yang dikhianati pasangannya).
Pandangan inilah yang seharusnya diubah
dalam kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana zina, Walaupun konsep KUHP
belum rampung diketok oleh badan legislatif dan legalitas formal kita pun belum
diatur secara jelas, toh kita bisa menggunakan asas legalitas materiil yang
memungkinkan seorang hakim hanya mendasarkan hukum yang tertulis saja tetapi
hukum yang hidup di masyarakatpun bisa dipakai menjadi dasar.
Melalui pemikiran ahli hukum yang
progresif bukan tidak mungkin asas legalitas materiil di Indonesia berubah
menjadi hukum yang diakui Negara dan diundang-undangkan sebagai hukum positif.
Perlu adanya ketegasan dari aparat penegak hukum untuk tercapainya tujuan ini
dan menjadikan hukum pidana Indonesia sebagai alat penanggulangan
kejahatan termasuk zina. Kita tidak melulu memandang
KUHP adalah aturan yang absolute bagi hukum pidana, karena penggunaan hukum
pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”.
Zina bisa dijadikan tindak pidana dan
dalam arti melakukan hubungan badan di luar nikah. Yang mengacu pada hukum yang
hidup di masyarakat dan dilakukan dengan legalitas materiil.
sumber gambar
: tsabil.blogspot.com
HUKUM ORANG BERBUAT ZINA
HUKUM ORANG BERBUAT ZINA
Soal:
Di daerah tempat saya tinggal, ada orang (Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat perzinaan, namun waktu disidang di tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin bertobat dan sekarang ia rajin sekali ibadah di masjid. Namun ternyata perzinaan itu diulang lagi, konon menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang itu tidak mengakui perbuatannya, sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi sang korban (familinya sendiri yang sejak kecil dinafkahi si pelaku) bersaksi dan membeberkan bukti visum dokter. Saat ini orang tersebut dianggap cukup meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi oleh warga dikucilkan bahkan hampir diusir.
Di daerah tempat saya tinggal, ada orang (Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat perzinaan, namun waktu disidang di tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin bertobat dan sekarang ia rajin sekali ibadah di masjid. Namun ternyata perzinaan itu diulang lagi, konon menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang itu tidak mengakui perbuatannya, sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi sang korban (familinya sendiri yang sejak kecil dinafkahi si pelaku) bersaksi dan membeberkan bukti visum dokter. Saat ini orang tersebut dianggap cukup meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi oleh warga dikucilkan bahkan hampir diusir.
1) Bagaimana solusi Islami
terhadap kasus ini?
2) Bagaimana
menghukumi seorang pezina di zaman sekarang yang tidak ada Kholifah (Daulah
Islam yang berwenang)?
3) Bagaimana kaifiyat menghakimi
pezina dalam peradilan Islam?
4) Bagaimana bila saksi tidak ada
atau kurang dari 4 orang, tapi ada pengakuan korban?
5) Bagaimana
menurut Syariah, kalau warga masyarakat memberikan hukuman dengan mengucilkan
(tidak ditanya / tidak dilibatkan di masyarakat) atau mengusirnya?
6) Bagaimana hukumnya kalau
pelaku zina kemudian dinikahkan?
Jawab:
1. Dalam pandangan Islam, zina merupakan
perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni
sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT,
sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik
oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2,
pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk)
sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah
menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
2. Yang memiliki hak untuk menerapkan
hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah)
atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang
dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan
Daulah Khilafah terlebih dahulu.
3. Yang berhak memutuskan perkara-perkara
pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam
memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada
ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan
pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam
Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2)
sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus
perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang
dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.
Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan
beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan
seorang wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya
mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10,
ada hukum khusus bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan
ayat tersebut seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak
dapat mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai
buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa
dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa
lanat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah
itu dapat mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika
isterinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya
termasuk orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa
bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang
benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi,
keduanya dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah
selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.
4. Karena syaratnya harus ada empat orang
saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak
tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang
masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia,
Rasulullah menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu
tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum
wanitanya. Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk
menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam
(lihat Bulugh al-Maram bab Hudud).
Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina.
Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.
5. Tuduhan perzinaan harus dapat
dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan
zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.
6. Berzina termasuk perbuatan kriminal
yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi
pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan
setelah menjalani hukuman. Al-Qur’an dalam Qs.
an-Nuur [24]: 3 memberikan
kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda
dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk
menikah bisa dikatakan hampir tidak ada. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam
(TKAHI).
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
Bahaya zina
Seorang perempuan yang dihukum cambuk karena berzina.
Dalam zina terkumpul
bermacam-macam dosa
dan keburukan, yakni berkurangnya agama si pezina, hilangnya sikap menjaga diri
dari dosa, kepribadian buruk, dan hilangnya rasa cemburu.
Zina membunuh rasa malu, padahal
dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan perhiasan
yang sangat indah dimiliki perempuan.
Menjadikan wajah pelakunya muram
dan gelap.
Membuat hati menjadi gelap dan
mematikan sinarnya.
Menjadikan pelakunya selalu dalam
kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah merasa cukup dengan apa
yang diterimanya.
Akan menghilangkan kehormatan
pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
Tumbuhnya sifat liar di hati
pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
Pezina akan dipandang oleh manusia
dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
Zina mengeluarkan bau busuk yang
mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih melalui mulut
atau badannya.
Kesempitan hati dan dada selalu dirasakan
para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan adalah kebalikan dari apa
yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari kenikmatan hidup dengan cara
yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan memberikan yang sebaliknya dari
apa yang dia inginkan, dan Allah tidak menjadikan larangannya sebagai jalan
untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
Perzinaan menjadikan terputusnya
hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua, pekerjaan haram, berbuat
zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan. Bahkan dapat terciptanya
pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang lain. Zina biasanya
berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga pelakunya akan melakukan
dosa-dosa yang lainnya.
Zina menghilangkan harga diri
pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga membebani kehinaan yang
berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh keluarganya.
Kehinaan yang melekat kepada
pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran. Kafir yang memeluk
Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan benar-benar membekas
dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan membersihkan diri, pezina
masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukannya.
Jika wanita hamil dari hasil
perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya. Selain telah
berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika pezina adalah
seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan perselingkuhan
sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah memasukkan
orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak itu mendapat
hak warisan
mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
Perzinaan akan melahirkan generasi
yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan darah (nasab). Di
mata masyarakat mereka tidak memiliki status
sosial yang jelas.
Pezina laki-laki bermakna bahwa
telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
Zina dapat menimbulkan permusuhan
dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina
dengan wanita dari keluarga tersebut.
Perzinaan sangat mempengaruhi jiwa
keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata masyarakat, sehingga
mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan orang lain.
Perzinaan menyebabkan menularnya
penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifilis, kencing nanah, dan penyakit-penyakit lainnya yang
ditularkan melalui hubungan seksual.
Perzinaan adalah penyebab bencana
kepada manusia, mereka semua akan dimusnahkan oleh Allah akibat dosa zina yang
menjadi tradisi
dan dilakukan secara terang-terangan.
Zina menurut pandangan agama
Islam
Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah.Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki/perempuan yang telah menikah dengan lelaki/perempuan yang bukan suami/istri sahnya, termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.
Tentang perzinaan di dalam Al-Quran disebutkan di dalam ayat-ayat berikut; Al Israa' 17:32, Al A'raaf 7:33, An Nuur 24:26. Dalam hukum Islam, zina akan dikenakan hukum rajam.
Hukumnya menurut agama Islam untuk para pezina adalah sebagai berikut:
Jika pelakunya sudah menikah
melakukannya secara sukarela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), mereka dicambuk
100 kali, kemudian dirajam, ini berdasarkan hukuman yang diterapkan Ali bin Abi Thalib. Mereka cukup dirajam tanpa
didera dan ini lebih baik, sebagaimana hukum yang diterapkan oleh Muhammad, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar
bin Khatthab.
Jika pelakunya belum menikah, maka
mereka didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.[2]
Perzinaan di beberapa negara
Setiap negara yang penduduknya memiliki agama dan penganut suatu kepercayaan secara nyata. Perzinaan adalah ilegal dan diberikan sanksi terhadap pelakunya. Negara yang menerapkan hukum Islam sebagai pedoman hukum negaranya adalah negara yang paling tegas memberi sanksi terhadap pelaku zina.Indonesia
Perbuatan zina, seperti hubungan seksual di luar nikah, ternyata tidak diatur secara eksplisit dalam aturan hukum di Indonesia. Pelaku perzinaan tidak dianggap melanggar hukum selama tidak ada yang merasa dirugikan.[3] Bagi penganut agama Islam yang memang memahami ilmu agamanya dan norma hukum yang berlaku di Indonesia, mereka merasa dirugikan karena kepercayaan demi menjaga kehormatan manusia dilanggar.Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, hukum yang berlaku berbeda-beda tergantung perundang-undangan yang berlaku pada setiap negara bagian. Di Pennsylvania, seorang pelaku zina, dapat dijatuhi hukuman selama 2 tahun atau 18 bulan perawatan mental. Di Maryland, perzinaan dikenakan denda sebesar $10. Tetapi walaupun begitu, sekarang perzinaan tidak dianggap ilegal bagi orang-orang yang tidak menjaga kehormatan di Amerika Serikat.Kanada
Hukum di Kanada menggolongkan perzinaan ke dalam Divorce Act of Canada.India
Berdasarkan hukum di India, berzina berarti hubungan seksual antara seorang pria dan wanita tanpa sepengetahuan dan izin dari suaminya. Si lelaki dapat dijatuhi hukuman selama 5 tahun (walaupun jika dirinya masih bujang), sedangkan si wanita tidak dapat dipenjarakan/dihukum.Pakistan
Di Pakistan, juga di beberapa negara Islam lainnya, berzina adalah melanggar hukum, dan dapat dijatuhi hukuman mati.Uni Eropa
Di beberapa negara di Uni Eropa seperti; Austria, Belanda, Belgia, Finlandia atau Swedia tidak menghukum orang yang melakukan zina.Terlepas dari hukum formal, para pezina tak akan bisa lepas dari penolakan oleh masyarakat terhadap mereka. Perilaku dan pandangan masyarakat sendiri berbeda-beda tergantung dari kebiasaan, agama, dan nilai-nilai yang mereka anut.
Referensi
2. Kitab At-Ta’liqat
Ar-Radhiyyah Ala Ar-Raudhah An-Nadiyyah 3/270, karya Syaikh Al-Albani, tahqiq
Syaikh Ali bin Hasan. Juga kitab Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz
2/431-433.
Hukum Islam Bagi
Pemerkosa
Tanya:
Ustadz saya mau tanya, apa hukuman bagi pemerkosa menurut
syariat? ketika seorang ingin divonis berzina, harus ada 4 saksi, sedangkan
orang yang memperkosa itu jarang sekali yang menyaksikannya. Kalau pun ada,
tidak sampai 4 orang jumlahnya, lantas dalil apa yang bisa mengantarkan si
pemerkosa agar bisa dihukum? Dan sekali lagi apa hukumannya kalo terbukti? Jazakallahu khairon.
dinan [dinanregana@yahoo.co.id]
dinan [dinanregana@yahoo.co.id]
Jawab:
Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua:
Pertama: Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Pertama: Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum
sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya
berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta
diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk
memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.
Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang
orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika
wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib
memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah
budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak
wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada
pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama
sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)
Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang
diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang
sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi
hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam
Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, ‘Dia berhak
mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.’”
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).
Kedua: Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.
Orang yang
memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana
perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam
firman-Nya,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ
يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ
يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي
الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan
yang besar.” (QS.
Al-Maidah: 33)
Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk
perampok:
1. Dibunuh.
1. Dibunuh.
2. Disalib.
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang.
Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
4. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa diganti
dengan penjara.
Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dia anggap paling
sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa
terwujud keamanan dan ketenteraman di masyarakat.
Harus ada bukti atau pengakuan pelaku
Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang
yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat
bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku
mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka
dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban,
tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh
pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.”
(Al-Istidzkar, 7:146)
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk
keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan
dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada
empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain hukuman had),
yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.”
(Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh
Munajid, fatwa no. 72338).
[sumber:
http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan]
---------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Komentar Penulis
Sesuai dengan judul makalah,
hukuman bagi perzinahan, dengan hukum positif berakibat penuhnya penjara yang
biayanya mahal. Sedang dengan sistem hukum Islam biayanya jauh lebih murah,
karena tanpa penjara. Serta bisa menimbulkan efek jera.
Sedang hukum pemerkosaan dalam
Islam sebaiknya tidak digunakan hukum penjara karena biayanya mahal.
----------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------
Ilustrasi Hukuman Tanpa penjara
1.) Rajam, yaitu hukuman mati dengan dilempari
batu hingga meninggal, hukuman untuk zina mukhson.
Hukuman Hudud / Jarimah Hudud,
adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau
Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah semata.
a.
Hukum rajam di Arab Saudi
b. Hukum rajam di Somalia
2. Hukum potong tangan bagi pencuri
3. Hukuman mati selain termasuk jarimah hudud, sebagian hukuman qishas
juga berupa hukuman mati.
a.
Dipancung
b.
Digantung
c.
Ditembak
3. Hukuman cambuk untuk
zina ghoiru mukhson dan peminum khomr
Hukuman cambuk di
Aceh
Macam-macam alat cambuk
4. Hukuman salib
Terhadap gangguan keamanan
(hirabah) dikenakan empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati
dengan salib, hukuman dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
Pada hukum sebelum Islam :
penjahat disalib sampai mati yang memakan waktu selama berhari-hari.
Pada
hukum Islam : penjahat dihukum mati dulu, kemudian mayatnya disalib untuk menunjukkan
kepada masyarakat bahwa penjahat itu betul-betul telah dihukum mati
Kesimpulan / Penutup
Setiap kejahatan harus dihukum.
Dalam menghukum kejahatan di Indonesia dan sebagian besar negara di dunia digunakan sistem kepenjaraan. Dalam perkembangannya hukuman mati cenderung
diubah menjadi hukuman seumur hidup. Pada zaman modern ini kejahatan cenderung
makin bertambah banyak. Kemudian sejak tahun 90-an kejahatan narkoba sangat
meningkat. Karena kejahatan jenis ini dianggap sebagai kejahatan berat maka maka
para pelakunya mendapat hukuman yang lama.
Hal-hal ini menjadikan isi penjara di dunia cepat penuh
dan terjadilah over capacity penjara.
Tujuan
pengurungan adalah melindungi masyarakat, mencegah kejahatan, sebagai balasan terhadap
kejahatan, dan rehabilitasi narapidana.
Situasi
penjara yang overload menjadikan tujuan pemenjaraan tidak tercapai karena
terjadi proses prisonisasi, yaitu penyerapan tatacara kehidupan penjara oleh setiap penghuninya. Serta
menjadikan situasi di penjara tidak aman.
Hal-hal ini menunjukkan bahwa sistem penjara telah gagal dalam
menanggulangi kejahatan di dunia.
Untuk mengatasinya telah dilakukan beberapa usaha di antaranya: mengurangi
jumlah narapidana yang masuk penjara dan menambah jumlah narapidana yang keluar
dari penjara. Namun cara-cara ini tidak berhasil.
Dalam
era tahun 1960-an diketengahkan pemikiran
“Restorative Justice”, yaitu suatu model pendekatan yang muncul dalam upaya
penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem
peradilan pidana konvensional, di mana korban
merasa tersisihkan. Pada pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi
langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Pemikiran ini sangat
didukung PBB.
Umumnya
yang dirujuk adalah hukum-hukum kuno dan hukum adat. Dalam makalah ini penulis
menawarkan penggunaan hukum pidana Islam untuk menggantikan sistem penjara.
Sistem ini terbukti telah berhasil mengatasi masalah kejahatan dalam era
kejayaan pemerintahan Islam di masa yang lalu, karena bisa menimbulkan efek
jera.
Kalangan
yang anti hukum Islam menuduh bahwa hukum pidana Islam itu kejam dan melanggar Hak Asasi Manusia (para penjahat).
Tetapi sebenarnya hukum ini lebih mementingkan kemaslahatan ummat daripada
kepentingan para penjahat.
Mudah-mudahan dapat diterima oleh masyarakat hukum.
Kami yakin tulisan ini tidak sempurna, bagi pembaca
yang menemukan kekurangannya dan kesalahannya sudilah memberitahukan kepada
kami untuk diadakan perbaikan seperlunya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih.
Wal ‘lloohu ‘lmuwaffiq ilaa aqwamith thorieq
Jember, 15 April 2013
Dr. H.M.
Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember, Jawa Timur.
Kepustakaan:
01. Jamie
Uis, The Gods Must Be Crazy, 20th
Century Fox, 1984.
02. Ahmad
Hanafi, MA, Asas-asas Hukum Pidana Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1967.
03. A. Josias
Simon R, Budaya Penjara, Karya Putra
Darwati, Bandung 2012.
04. Dr. Indah
Sri Utari, SH Mhum, Aliran dan Teori Dalam
Kriminologi, Thafa Media, Yogyakarta, 2012.
05. Dr.
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
06. Drs. H.
Dahlan Tamrin, M. Ag., Filsafat Hukum
Islam, UIN Malang Press, 2007.
07. Drs. H.
Rahmat Hakim, M Ag, Hukum Pidana Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 2010.
08. Dr. Said
Sampara, SH MH, Pengantar Ilmu Hukum,
Total Media, Yogyakarta, 2011.
09. Fauzan Al
Anshari, Hukuman Bagi Pencuri,
Khairul bayan, Jakarta, 2002.
10. E.
Koeswara, Agresi Manusia, PT Eresco,
Bandung, 1988.
11. Ie
Swe Ching, Seri Tokoh Dunia, Sidharta
Gautama, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 1994.
12. Louann Brizendine, Female Brain, Ufuk Press, Jakarta, 2007.
13. Laouann Brizendine, Male Brain, Ufuk Press, Jakarta, 2010.
14. Microsoft
Encarta Premium DVD 2006,
15. Mr.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Prajna
Paramita, Jakarta, 2004.
16. Prof. Dr.
Tubagus Ronny Baskoro, Ketika Kejahatan
Berdaulat, Peradaban, 2001.
Laman
01. Abd al Masih,
Penghukuman-Penghukuman Yang Berat Dalam Islam.
Dikutip dari: http://www.answering-islam.org/indonesian/isu-isu-terkini/penghukuman-berat-dalam-islam.htm
02. Ahmad Syafii,
Penyalahgunaan Narkoba Dalam Hukum Islam, Palu, Agustus 2009. Dikutip dari: http://hunafa.stain-palu.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/7-Ahmad-Syafii.pdf
03. Ajaran Islam,
Hukuman Pencuri/Mencuri Dalam Islam. Dikutip dari: http://islamiwiki.blogspot.com/2012/03/hukuman-pencurimencuri-dalam-islam.html
04. Akbar, Korupsi dalam
Perspektif Islam, 18 September 2012. Dikutip dari: http://majalah.hidayatullah.com/?p=3624.
05. A 4Mei 2012. Dikutip dari : http://aliranim.blogspot.com/2012/05/tujuan-penjatuhan-pidana-menurut-hukum.html
, Tujuan
Penjatuhan Pidana Menurut Hukum Islam dsan Hukum Positif,
06. Eva
Achjani Zulfa, Restorative Justice Di Indonesia. Dikutip dari: http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-indonesia.html
07. Fajar Romy Gumilar, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Perzinahan. Dikutip dari: http://penalstudyclub.wordpress.com/2009/03/27/kebijakan-hukum-pidana-dalam-tindak-pidana-perzinahan/
08. Farid
Ma'ruf, Sanksi
Bagi Perampok, 26 Januari 2007. Dikutip dari: http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/sanksi-bagi-perampok/
09. Handar Remahid, Pengertian Kejahatan dan Penjahat , Oktober
29, 2012, Dikutip dari: http://handarsubhandi.blogspot.com/2012/10/pengertian-kejahatan-dan-penjahat.html
10. Hukum Online,
Penggelapan Dan Penipuan. Dikutip dari: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ceb3048897ea/penggelapan-dan-penipuan
11. Hukum online,
Perbuatan-perbuatan Yang Termasuk Penganiayaan. Dikutip dari: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt515867216deba/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-penganiayaan
12. Ibrahimstwo,
Pembunuhan Menurut Hukum Islam. Dikutip dari: http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/makalah-pembunuhan-menurut-hukum-islam.html
13. Ilham Sardi,
Sejarah Pembentukan KUHP, 9 Mei 2012. Dikutip dari: http://ilhamsardi05.blogspot.com/2012/05/sejarah-pembentukan-kuhp.html03.
Wikipedia, Crucifiion. Dikutip ndari : http://en.wikipedia.org/wiki/Crucifixion
14. Kemendagri
online, PP No. 99 Tahun 2012. Dikutip dari: http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2012/12/13/p/p/pp_no.99-2012.pdf
15. Nyssafreecs, Alat-Alat Bukti dalam Pidana Islam, 24
September 2012. Dikutip dari : http://adelesmagicbox.wordpress.com/2011/09/24/hukum-acara-pidana-islam/
16. Republika
online, Hukum Perbuatan Korupsi dalam Islam. Dikutip dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/10/08/mbkrwk-inilah-ancaman-islam-bagi-koruptor-2
17. Republika
online, Mengenal Sejarah Hukum Pidana Islam. Dikutip dari; http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/23/ly83mw-mengenal-sejarah-hukum-pidana-islam
18. Ruyati binti
Sapubi, Foto2 Hukuman Hudud. Dikutip dari: http://inijalanku.wordpress.com/parti2/foto2-hukuman-hudud/
19. Suara Merdeka
Online, Jumlah Napi Membludak Pemerintah Kewalahan. Dikutip dari; http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/02/25/110639/Jumlah-Napi-Membludak-Pemerintah-Kewalahanhttp://tempointeraktif.com/khusus/selusur/penjara.wanita/page08.php
20. Sistem Pakar,
Tindak Pidana Terhadap Kekayaan. Dikutip dari: http://pakarhukum.site90.net/pencurian.php
21. Susiyanto,
Hukum Potong Tangan Kejam ?. Dikutip dari: https://www.google.co.id/interstitial?url=http://susiyanto.wordpress.com/2008/05/19/hukum-potong-tangan-kejam/
22. Wikipedia,
Lembaga Pemasyarakatan, 12
November 2012. Dikutip dari: .http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan
23. Wikipedia,
Zina, 6 April 2013. Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Zina
24. Zenyqq, Hukum
Perzinahan Menurut Pandangan Islam. Dikutip dari: http://zenyqq.wordpress.com/2012/12/28/hukum-perzinahan-menurut-pandangan-islam/