Penentuan Hari Raya
(dan Awal Puasa)
Analisa Pandangan :
Bila Terjadi Perbedaan Pendapat Umat Islam
Seharusnya Taat Pada Putusan Pemerintah
(Ulil Amri)
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
I. Latar Belakang Masalah
Penentuan hari raya Idul Fitri di Indonesia
tahun ini sangat berkesan bagi penulis. Karena di TV, koran dan di internet
penuh dengan berita pendapat para ahli tentang perbedaan system yang dipakai
yaitu Rukyat dan Hisab. Perbedaan ini berakibat terjadinya perbedaan hari raya
tahun ini yaitu Muhammadiyah berhari raya pada tanggal 30 Agustus 2011 sedang
Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 2011.
Kemudian hari Minggu tanggal 29 Agustus
2011 di TV ditayangkan sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama
yang mengundang seluruh organisasi Islam termasuk Muhammadiyah dan Badan yang
terkait di antaranya adalah dari LAPAN (Lembaga Antarikasa dan Penerbangan
Nasional) yang diketuai Dr. Thomas Djamaludin, untuk di mintai pendapatnya
tentang penentuan awal bulan Syawal / hari raya tahun 1432 H.
Pada sidang itu terlihat bahwa dasar yang
dipakai dalam penentuan hari Raya masing-masing organisasi Islam tidak sama.
Berikut penulis kutip hasil Sidang Isbath
tersebut yang diunduh dari VOA-Islam.
Keputusan diambil setelah Menteri Agama
Suryadharma Ali yang memimpin sidang mendengarkan 12 pandangan ormas Islam yang
hadir dalam sidang yang digelar di Kementerian Agama, Jl Lapangan Banteng, Senin (29/8/2011 ).
"Bahwa 1 Syawal jatuh pada Rabu 31
Agustus 2011. Bisa disetujui?" tanya Suryadharma.
"Setuju," sambut mayoritas
peserta sidang sembari bertepuk tangan. Suryadharma pun mengetuk palu tanda
disetujuinya keputusan.
Suryadharma sebelumnya mempertimbangkan 4 intisari masukan 12 ormas yang telah disampaikan kepadanya. Intisari itu antara lain:
Suryadharma sebelumnya mempertimbangkan 4 intisari masukan 12 ormas yang telah disampaikan kepadanya. Intisari itu antara lain:
Pertama, meminta agar kriteria disatukan, dan agar Kemenag
lebih kuat lagi untuk memusyawarahkan kriteria penentuan Ramadan, Syawal dan
Dzulhijjah.
Kedua, perbedaan penentuan Romadhon, Syawal dan Dzulhijjah
masih berpeluang terjadi. Namun sebaiknya pengumuman dilakukan pada saat yang
sama.
Ketiga, kesimpulan lain yang menjurus untuk diambil
keputusan. Pemberi saran, laporan dari berbagai titik yang melakukan rukyah,
dan memperhatikan fatwa dan pandangan Majelis Ulama yang menyetujui secara
mayoritas, bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
Keempat, dari Muhammadiyah yang menghargai dan menghormati
pandangan Lebaran jatuh pada Rabu 31 Agustus. Namun, Muhammadiyah meminta izin
untuk melaksanakan Lebaran esok harinya, Selasa 30 Agustus 2011 dengan catatan
saling menghormati perbedaan sehingga persatuan dan kesatuan umat dan bangsa
tetap utuh.
Dengan demikian dari ormas-ormas yang hadir
hanya Muhammadiyah yang menyatakan 1 Syawal jatuh pada Selasa 30 Agustus 2011.
[taz/ant, dtk]
II. Permasalahan
Seluruh hadirin dalam sidang isbath itu
tidak mengetahui atau tidak menyampaikan dalam sidang bahwa dalam hukum Islam
terdapat ketentuan bahwa :
Bila
terjadi perbedaan pendapat, Umat Islam seharusnya taat pada putusan pemerintah
sebagai Ulil Amri.
III. Pemecahan Masalah
Tulisan tentang pandangan ini penulis
peroleh dari 3 sumber.
A. Tanya jawab soal agama oleh Dr. Quraisy Shihab di
Internet.
B. Majalah As-Sunnah Surakarta yang memuat pendapat
Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tentang Al-Jama’ah.
C. Tafsir tentang Ulil Amri di kitab-kitab tafsir Al
Qur-an.
A. Tanya
jawab soal agama oleh Dr. Quraisy Shihab di Internet, khususnya pendapat kedua.
Sewaktu menjawab pertanyaan tentang
penentuan awal Romadon dan Hari Raya, Dr. Quraisy Shihab menjawab bahwa ada 2
pendapat yang bila dipakai bisa menyatukan pendapat umat Islam yaitu :
1. Kelompok ulama di bawah koordinasi
Organisasi Konferensi-Konferensi Islam menetapkan, bahwa di mana saja bulan
dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas
seluruh ummat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di wilayah
yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan
malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dengan kawasan lain belum
mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan
siang di kawasan lain, maka dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi
semua. Selisih waktu antara Jakarta dengan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam.
2. Salah satu rumus yang dikemukakan oleh
pakar-pakar hukum Islam adalah: “Ketetapan pemerintah, menyingkirkan
perbedaan,” dalam arti jika dalam masyarakat terdapat perbedaan pendapat,
maka adalah wajar jika pemerintah menetapkan putusan, dan putusan tersebut
mestinya diikuti oleh seluruh masyarakat, kendati ada yang tidak sependapat.
Komentar Penulis.
Penulis tidak setuju dengan pendapat OKI (Organisasi
Konferensi-Konferensi Islam) bahwa di seluruh Dunia Islam hanya ada satu Hari
Raya. Karena bila umat Islam yang ada di sebelah timur misalnya Indonesia,
belum melihat hilal, maka seluruh umat Islam di Indonesia harus bergadang pada
malam itu untuk mengamati negara-negara yang ada di sebelah baratnya, misalnya
Arab Saudi apakah di sana hilal sudah terlihat apa belum. Bila sudah terlihat
maka besok paginya adalah Hari Raya (atau sebaliknya). Ini adalah suatu problem
komunikasi yang sangat besar. Bila tidak ditangani dengan baik bisa terjadi
perbedaan pendapat dan perpecahan di dalam masyarakat Islam.
Penulis sangat setuju pada pendapat ke dua
yaitu : “Ketetapan pemerintah, menyingkirkan perbedaan”, yang akan
diuraikan berikut.
B. Majalah
As-Sunnah Surakarta yang memuat pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tentang
Al-Jama’ah.
Bila hilal telah terlihat di suatu negeri,
apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri
harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu
negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya
masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama
berselisih pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama. Jika hilal telah terlihat di satu negeri,
maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain (di seluruh
dunia, sesuai dengan pendapat OKI, pen.) untuk berpuasa.
Hadits ke-1: Sabda Rosululloh s.a.w. Berpuasalah karena melihat
hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. (Hadits riwayat
Al Bukhori dan Muslim, dari Abu Huroiroh r.a.).
Juga berdalil dengan hadits Abu Huroiroh
r.a. bahwa Rosululloh s.a.w. bersabda:
Hadits ke-2: Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa.
Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin berbuka. Dan hari 'Idul Adha adalah
hari kaum muslimin menyembelih kurban.
Pendapat Kedua. Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi'iyyah.
Pendapat Ketiga. Hampir sama dengan pendapat yang kedua,
yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat
masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Pendapat Keempat. Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan
dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan
berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.
-------------------------------------------------------
Dalil mereka adalah hadits Abu Huroiroh yang kami
sebutkan di depan (hadits ke-2):
Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin
berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari
'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".
------------------------------------------------------
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya
sebagai berikut:
Beliau ditanya -semoga Allah menyucikan ruh
beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia
benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau
berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?
Beliau menjawab: "Alhamdulillah, jika
ia melihat hilal Romadhon seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah
ia harus berpuasa karena ru'yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya
dengan ru'yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali
bersama orang banyak?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama,
dan merupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.
Pertama, ia harus berpuasa dan berhari raya
sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi'i.
Kedua, ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya,
kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab
Ahmad Malik dan Abu Hanifah.
Pendapat ketiga, ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang
banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat.
Berdasarkan sabda Nabi s.a.w. :
Hadits ke-3: Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa.
Hari 'Idul Fithri adalah hari kaun muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha
adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban.
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi,
dan ia berkata, "Hasan ghorib. "Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan
Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha
saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdulloh bin Ja'far dari Utsman bin
Muhammad dari Al Maqbur dan Abu Huroiroh r.a., bahwa Rosululloh s.a.w.
bersabda:
Hadits ke-4: Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak.
Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul flthri. Dan hari 'Idul
Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha.
At Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan
gharib. Kemudian ia berkata,"Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini.
Mereka mengatakan maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama'ah dan
orang banyak."
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang
lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia
berkata: Hamma telah menceritakan kepada kami dan Ayyub dan Muhammad bin Al
Munkadir dan Abu Huroiroh r.a., ia menyebutkan bahwa Rosululloh s.a.w.
bersabda:
Hadits ke-5: Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua
ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber'idul adha.
Dan seluruh wilayah Arpfah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah
tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat
penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat
bermalam (mabit).
Komentar penulis
Hadits-hadits tadi adalah dasar pegangan
hukum yang berpendapat: Bila terjadi perbedaan pendapat, umat Islam seharusnya
taat pada putusan pemerintah sebagai ulil amri, serta berpuasa dan berhari raya
bersama jama'ah dan orang banyak.
Selanjutnya pendapat bahwa penguasa adalah
ulil amri yang harus ditaati oleh umat Islam diuraikan berikut ini.
C. Tafsir tentang ulil amri pada beberapa
kitab tafsir Al Qur-an.
Tafsir-tafsir Al Qur-an
kitab kuning.
1. Tafsir Jalalain.
Di dalam kitab Tafsir Jalalain, ulil amri
ditafsirkan sebagai penguasa.
2. Tafsir Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir menafsirkan ulil amri sebagai
pemimpin, yang harus ditaati perintahnya.
Hadits ke-6: Abu Dawud meriwayatkan dari Abdulloh bin Umar r.a
, bahwa Rosululloh saw. bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang
Muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika
diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.”
(HR. Al-Bukhori dan Muslim dari hadits Qorththon).
Hadits ke-7: Dari Anas ra. bahwa Rosululloh saw. bersabda: “Dengarkanlah
dan taatilah oleh kalian. Sekalipun yang dijadikan penguasa untuk kalian adalah
seorang budak Habasyah (Ethiopia ) yang kepalanya (rambutnya) seakan-akan
buah kismis.” (HR.
Al-Bukhori).
Tafsir-tafsir Al Qur-an
Kitab Putih.
1. Kitab Tafsir Al-Misbah karangan Dr.
Quraisy Shihab
Al Qur-an Surat An-Nisa ayat 59.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Maka, jika kamu
tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh
(al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Altoh
dan Hari kemudian. Yang demikian itu baik dan lebih baik akibatnya.”
Kalau diamati ayat-ayat al-Qur'an yang
memerintahkan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, ditemukan dua redaksi yang
berbeda.
Sekali taat kepada Alloh dirangkaikan
dengan taat kepada Rosul, tanpa mengulangi kata "taatilah" seperti
pada QS. Ali 'Imron [3]:35, dan di kali lain -ssperti pada ayat suroh an-Nisa'
[4]: 59- kata taatilah diulangi, masing-masing sekali ketika memerintahkan taat
kepada Alloh dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rosul saw.
Perhatikanlah firman-Nya: "Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rosul serta ulil amri di
antara kamu.”
Apabila perintah taat kepada Alloh dan
Rosul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat, hal itu
mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan
Alloh swt., baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an maupun
perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rosul melalui hadits-hadits beliau. Perintah
taat kepada Rosul saw. di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari AIloh
swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung.
Adapun bila perintah taat diulangi seperti
pada QS. an-Nisa, [4]:59 di atas, di situ Rosul saw. memiliki wewenang serta
hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur’an.
Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri
tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk
ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Alloh
swt. atau Rosul saw.
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna
kata uli al amr. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk jamak dari waliy yang
berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai.
Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan
bahwa mereka itu banyak, sedang kata al amr adalah perintah atau urusan. Dengan
demikian, uli al-amr adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum
muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para
penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka ulama' dan pendapar
ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai
kelompok dan profesinya.
Dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas
masyarakat untuk taat kepada ulil amri, walaupun –sekali lagi--harus
digarisbawahi penegasan Rosul saw. bahwa: la tho'ata li makhluqin fi ma'shiyati
al-kholiq/tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiyatan
kepada kholiq. Tetapi bila ketaatan kepada ulil amri tidak mengandung atau
mengakibatkan kedurhakaan, mereka wajib ditaati, walaupun perintah itu tidak
berkenan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda,
Hadits ke-8: ”Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat
menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka arau tidak suka.
Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhori dan Muslim melalui
Ibn Umar).
2. Tafsir Al-Azhar karangan Prof. Dr. HAMKA.
Kemudian diikuti thoat kepada “Ulil Amri
minkum” orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di
antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara
kamu, Kedua dari pada kamu. Maksudnya satu, yaitu mereka yang berkuasa itu
adalah dari pada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya,
sebagai satu kenyataan.
3. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur
karangan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
Taati pula ulil amri, yaitu: ahlul halli
wal ‘aqdi (orang-orang yang menguasai bidangnya dan diserahi kepercayaan)
mengendalikan kekuasaan negara atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Mereka terdiri para hakim, pejabat pemerintahan (eksekutif), wakil rakyat
(legislatif, parlemen), ulama dan tokoh masyarakat.
Taatilah mereka, bila mereka telah
menetapkan sesuatu keputusan untuk kemaslahatan umat dengan syarat mereka
menunaikan amanat Alloh, menaati Rosul dan menjalani aturan-aturannya srta
berlaku adil.
3. Al-Qur’an dan tafsirnya yang dikarang
oleh Tim Departemen Agama RI .
Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara
mereka. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin wajib
berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak
bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadits.
IV Kesimpulan
Bila terjadi perbedaan pendapat, Umat Islam
seharusnya taat pada putusan Pemerintah sebagai Ulil Amri.
Dalil-dalil yang menunjang pendapat ini
adalah :
1. Sabda Alloh swt. Dalam Al Qur-an surat An-Nisa’ ayat 59:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Maka, jika kamu
tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh
(al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh
dan Hari kemudian. Yang demikian itu baik dan lebih baik akibatnya.”
Kaum muslimin harus taat kepada Alloh swt.
Rosul-Nya dan ulil amri di antara kaum muslimin. Taat kepada ulil amri ini
dengan syarat bahwa perintah mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an
dan hadits.
2. Hadith-hadith Nabi saw. yaitu hadith
6-9.
Hadits ke-8: ”Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat
menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka arau tidak suka.
Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh
memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn
Umar).
3. Islam menganjurkan adanya kesatuan
pendapat dan barisan atau jamaah, berdasarkan hadit-hadith 2-5.
Hadits ke-4: Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang
banyak. Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul flthri. Dan
hari 'Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha.
V Penutup
Penulis yakin bahwa makalah ini tidak
sempurna. Bila para pembaca menemukan kejanggalan dan kesalahan mohon
diberitahukan kepada penulis untuk dilakukan koreksi. Untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Akhirnya, Wallohul muwaffiq ila
aqwamittoriq.
Wassalamu ‘alaikum Warohmatullohi
Wabarokatuh.
Jember, 31 Oktober 2011
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember, 31 Oktober 2011
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Kepustakaan
01. Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan
Tafsirnya”, Lembaga Percetakan Al Qur’an Depag, Bogor , 2009.
02. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin
Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor , 2008.
04. http://answering.wordpress.com
/2011/08/23/keputusan-ormas-islam-dan-pemerintah-tentang-hari-raya-idul-fitri-2011-1syawal-1432/
05. http://ramadan.detik.com
/read/2011/08/03/110822/1695372/1254/bagaimana-cara-penentuan-awal-ramadan
06. Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin
As-Suyuti,”Tafsir Jalalain Jilid 1”, Sinar Baru Algesindo, Bandung,
2005.
07. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 2,
Lentera Hati, Jakarta , 2002..
08. Prof. Dr. H. A. Malik Karim Amrullah, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ IV, Yayasan Nurul Islam, Jakarta , 1981.
09. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid 1”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang , 2000.
10. Yayasan Lajnah Istiqomah