Bila Takdir Itu Bersifat Kekal
Dapatkah Doa Merubah Takdir ?
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
A. Latar Belakang Masalah
Pendahuluan
Takdir atau percaya
kepada takdir adalah termasuk salah satu dari rukun Iman yang enam. Tidak
percaya kepada takdir menjadikan seseorang menjadi kafir (tidak beriman).
Hadits 01. Dari
sohabat Jabir bin ‘Abdulloh r.a ia mengatakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda :
“Tidaklah beriman seseorang sehingga ia beriman kepada takdir baik dan buruk,
dan meyakini bahwa yang telah ditakdirkan menimpanya dia tidak akan meleset
darinya; dan yang ditakdirkan tidak menimpanya, tentu tidak akan menimpanya”. (Shohih
Sunan at-Tirmidzi).
Hadits 02. Umar mengisahkan, suatu hari tatkala ia dan para
sahabat duduk bersama Rosululloh saw. tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang
mengenakan pakaian sangat putih, rambutnya hitam legam dan tidak ada bekas
melakukan perjalanan. Lalu lelaki itu duduk tepat di hadapan Nabi saw. Ia
rapatkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau dan kedua tangannya bertumpu di
atas lututnya.
“Ya Muhammad,” ucap lelaki itu.
“Beritahukan kepadaku tentang agama Islam.” Muhammad Rosululloh saw. bersabda:
“(A.) Islam itu adalah
(i.) kesaksiannya bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Alloh dan Muhammad adalah Rosul-Nya. Lalu
(ii.) engkau tegakkan sholat,
(iii.) engkau bayar zakat,
(iv.) engkau puasa pada bulan Romadhon, dan
(v.) engkau haji ke Baitulloh jika kamu mampu."
"Benarkah engkau," komentar lelaki itu.
Para sahabat tampak heran, lelaki itu
yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.
"Beritahukan kepadaku tentang
Iman," pinta lelaki itu lagi. Muhammad Rosululloh saw. bersabda:
"(B.) Iman itu adalah
(i.) engkau beriman kepada Alloh,
(ii.) para malaikat-Nya,
(iii.) kitab-kitab-Nya,
(iv.) para Rosul-Nya, dan
(v.) hari kiamat.
(vi.) Engkau juga beriman kepada qodar yang baik dan yang buruknya." "Benarlah engkau," komentar lelaki
itu lagi.
"Beritahukan kepadaku tentang
Ikhsan." Muhammad Rosululloh saw. bersabda: Engkau sembah Alloh
seakan-akan engkau melihat-Nya. Sebab sekalipun engkau tidak dapat melihat-Nya,
Dia pasti melihatmu."
"Beritahukanlah kepadaku tentang
hari kiamat." "Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya," jawab Rosulullloh saw. "Beritahukan kepadaku tentang
tanda-tandanya." Muhammad Rosululloh saw. bersabda: "Tanda-tandanya
hamba wanita melahirkan majikannya. Lalu orang-orang miskin dan pengembala
kambing berlomba-lomba dalam pembangunan gedung."
Setelah lelaki itu pergi, Rosululloh
saw. bertanya, "Hai Umar, tahukan engkau siapa lelaki yang bertanya
tadi?" "Hanya Alloh dan Rosul-Nya yang paling mengetahui."
Muhammad Rosululloh saw. bersabda: "Sesungguhnya dia itu Jibril. Dia
hendak mengajarkan agama kalian."
(H.R. Muslim).
Pada makalah penulis
berjudul “Wanita di Sorga dan Neraka” penulis menguraikan takdir sebagai
perencanaan (penulisan di Luh Mahfuzh) dan penciptaan Alam semesta, Surga dan
Neraka oleh Alloh s.w.t. Tinta yang digunakan untuk menulis takdir di Luh
Mahfuzh tadi sudah habis sehingga pena telah kering. Maka takdir tidak bisa
dirubah lagi.
Hadits 03 : Rosululloh
s.a.w. bersabda, “Pena telah kering dengan yang sudah tetap sampai Hari
Kiamat”. (H.R. Thobroni dan Ahmad).
Ada pembaca yang
menanyakan tentang bagaimana peranan do’a yang dikatakan bisa merubah takdir.
Makalah ini adalah sebagai jawaban pertanyaan itu.
B. Permasalahan
Permasalahan tentang
takdir yang ada di dalam pemikiran para sarjana Islam adalah sebagai berikut :
I.
Apa definisi dan makna takdir itu.
II.
Bagaimana pandangan golongan-golongan dalam Islam tentang takdir itu.
III.
Bagaimana tahap-tahap dan mekanisme takdir itu.
IV.
Bagaimana kepercayaan tentang takdir dalam agama selain Islam
V. Apakah do’a bisa merubah takdir
C. Pemecahan Masalah
I I. Definisi Takdir
Pada hadits 01 dan 02
di atas yang dimaksud beriman kepada takdir adalah beriman kepada qodar yang
baik dan buruknya.
Definisi qodar.
Menurut Umar Hasyim
dalam bukunya “Memahami Seluk beluk
Takdir”, qodar adalah pembatasan
Alloh pada sesuatu perkara pada zaman ‘azali (sebelum terjadi sesuatu) menurut
pengetahuan dan kehendak-Nya.
Atau dengan arti
lain: Suatu rencana yang telah ditentukan oleh Alloh pada zaman’azali dan
segala sesuatu akan terjadi menurut ukuran dan kehendak-Nya.
Imam Nawawi
rohimahulloh mendefinisikan takdir sebagai berikut: “Sesungguhnya segala
sesuatu yang maujud ini oleh Alloh Ta’ala sudah digariskan sejak zaman kidam
dahulu. Dia s.w.t. Maha Mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala
sesuatu tadi dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan garis yang
ditetapkan oleh-Nya. Jadi terjadinya itu nanti pasti akan cocok menurut
sifat-sifat dan keadaannya yang khusus, tepat seperti yang digariskan oleh
Alloh s.w.t.
“Abdullah bin ‘Abdil
Hamid al-Atsari dalam buku “Intisari
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”
menyebutkan tentang takdir sebagai : Segala sesuatu yang baik ataupun buruk,
terjadi dengan takdir dan ketentuan Alloh. Alloh Mahaberbuat yang Dia
kehendaki. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya dan tidak akan keluar dari
kehendak dan kekuasaan-Nya. Dia mengetahui segala suatu yang telah terjadi dan
yang akan terjadi sebelum hal tersebut terjadi dalam (ilmu-Nya) yang azali. Dia
mentakdirkan segala ketentuan untuk alam semesta ini sesuai dengan ilmu dan
hikmah-Nya. Alloh mengetahui keadaan manusia, rizki, ajal, amal perbuatan dan segala
perkara mereka. Maka segala yang terjadi adalah di bawah pengetahuan, kekuasaan
dan kehendak Alloh.
Penulis setuju dengan
definisi-definisi takdir yang diutarakan oleh Umar Hasyim, Imam Nawawi dan
“Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari di atas.
Sedang definisi-definisi
takdir menurut Drs. K.H. Nasrudin Razak dan Sayid Sabiq di bawah lebih cocok
dikenakan bagi definisi qodho.
Menurut Drs. K.H.
Nasrudin Razak dalam buku “Dienul
Islam”, qodar adalah suatu peraturan
umum yang telah diciptakan Alloh untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat
hubungan sebab akibat. Telah menjadi undang-undang alam (sunnatulloh) yang
abadi dimana manusia juga terikat pada sunnatulloh itu.
Menurut Sayid Sabiq
dalam bukunya “Aqidah Islam”, kodar atau takdir ialah suatu peraturan yang
tertentu yang telah dibuat oleh Alloh s.w.t. untuk segala yang ada dalam alam
semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang
merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan di
dalamnya antara sebab dengan musababnya, juga antara sebab dan akibatnya.
II. Beberapa pandangan dalam Islam tentang
takdir
Uraian Drs. Sidi
Gazalba dalam bukunya “Sistematika Filsafat” adalah sebagai berikut:
Determinisma teologi
(I.) beranggapan Tuhanlah yang menciptakan segala-galanya, tiap gerak dan
kejadian, tiap laku perbuatan manusia, yang baik dan buruknya.
Indeterminisme
teologik (II.) mengingkari bahwa manusia didiktekan Tuhan dalam laku perbuatan.
Manusia memiliki kemauan bebas . Ia pencipta laku perbuatannya. Karena itu ia
sendirilah yang menentukan tindakannya, yang baik dan buruknya.
Yang pertama (I.)
mempercayai kodrat dan kodar mutlak Tuhan.
Yang kedua (II.) :
kodrat atau kodar mutlak manusia.
Yang pertama (I.)
dianut oleh paham Jabariah, yang kedua (II.) oleh paham Qodariyah yang
didirikan oleh Al-Juhaeny Al-Bishry (wafat 699 M.). Yang terakhir (II.)
merupakan bagian filsafat dari kaum Mu’tazilah yang dibangunkan oleh Washil ibn
‘Athon.
Masing-masing paham
itu adalah ekstrim. Paham ketiga, penengah antara kedua paham yang
bertentangan, dianut oleh mayoritas pemikir Islam, yang disebut ahlussunnah wal
jama’ah. Kebenaran, kata paham ketiga, terletak antara kedua paham yang ekstrim
itu. Manusia bukan mahluk yang mutlak ditentukan, juga bukan yang mutlak bebas
dalam laku perbuatannya. Tetapi dari pemikir-pemikir itu banyak yang
selanjutnya mengarah kepada determinisma (I.) dengan dalilnya : manusia itu
hanya lahiriyah saja yang bebas, tetapi batiniyah ia ditentukan.
Seorang ulama Sy’ah
bernama Syaikh Ja’far Subhani dalam bukunya “Menyiasati Takdir” menyatakan
bahwa bila Allah telah membuat Lauh Mahfudz (yang merupakan makhluknya),
kemudian mendasarkan semua pekerjaan-Nya sesuai dengan yang tertulis
didalamnya, maka kekuasaan Alloh s.w.t berada dibawah kekuasaan Lauh Mahfudz.
Hal itu tidak mungkin terjadi.
III. Tahap-tahap dan Mekanisme Takdir
“Abdullah bin ‘Abdil
Hamid al-Atsari mengatakan bahwa beriman kepada takdir tidak akan sempurna
kecuali dengan empat hal, yang dinamakan “Marotibul Qodar” (tingkatan takdir)
atau disebut juga rukun takdir.
Tingkatan Pertama : Al-Ilmu
Yaitu beriman bahwa
Allah Ta’ala Mahamengetahui segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi,
dan belum terjadi, serta seandainya terjadi Dia Mahamengetahui bagaimana akan
terjadi , secara global dan rinci. Dia mengetahui yang dilakukan makhluknya
sebelum diciptakan; Dia mengetahui rizki, ajal, amal perbuatan, gerak gerik
mereka dan mengetahui siapa saja yang bahagia dan sengsara. Hal tersenut
berdasarkan ilmu-Nya yang qodim (dahulu), yang menjadi sifat-Nya sejak zaman
azali. Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ
“... Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S. At-Taubah:115).
Tingkatan Kedua : Al-Kitabah
(Pencatatan).
Yaitu mengimani bahwa
Alloh telah mencatat segala apa yang telah diketahui sebelumnya dari semua
takdir makhluk-Nya dalam Lauhul Makhfuzh, yaitu kitab yang tidak ada suatu
apapun luput darinya. Maka segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi
dan akan terjadi. Dan sampai hari Kiamat telah tertulis di sisi Alloh Ta’ala
dalam Ummul Kitab (kitab induk yang dinamakan adz-Dzikr, al-Imaam dan
al-Kitaabul Mubiin. Alloh Ta’ala berfirman:
وَكُلَّ شَىۡءٍ أَحۡصَيۡنَـٰهُ فِىٓ إِمَامٍ۬ مُّبِينٍ۬
“... Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhul
Mahfudz).” (Q.S. Yaasin [36]:12).
Hadits 04: Dari sohabat ‘Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi
s.a.w.bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Alloh adalah
al-Qolam (pena). Lalu Alloh berfirman: ‘Tulislah!’ Pena tersebut bertanya, ‘Apa
yang harus saya tulis’. Alloh menjawab: “Tulislah takdir (semua makhluk) apa
yang telah terjadi dan akan terjadi sampai akhir zaman!”. (Shohih
Sunan at-Tirmidzi).
Tingkatan Ketiga : Al-Irodah wal
Masyi’ah (Keinginan dan Kehendak).
Yaitu segala sesuatu
yang terjadi di alam ini adalah dengan keinginan dan kehendak Alloh, dan
berporos pada rohmat dan hikmah-Nya. Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada
orang yang dikehendaki karena rohmat-Nya dan menyesatkan orang yang dikehendaki
karena hikmah-Nya. Dia tidak ditanya tentang yang dilakukan-Nya, karena
kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, akan tetapi para hamba-Nya akan diminta
pertanggung-jawaban. Apa yang telah terjadi dari hal tersebut , maka
sesungguhnya semua itu sesuai dengan ilmu-Nya yang azali (dahulu), yang telah
tertulis di Lauhul Mahfuzh. Dengan demikian, kehendak Alloh itu pasti terjadi,
kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedang yang tidak dikehendaki-Nya tidak
akan terjadi, maka tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya. Alloh
Ta’ala berfirman :
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ
“Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Alloh, Robb semesta alam.” (Q.S. At-Takwir [81] : 29).
Hadits 05. Dari sohabat ‘Abdulloh bin Amr bin al-‘Ash bahwa Nabi
s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya semua hati anak keturunan Adam pada dua jari di
antara jari-jemari Ar-Rohman, bagaikan satu hati. Dia merubahnya
(membolak-balikkan ke mana saja) menurut kehendak-Nya.” (H.R.
Muslim).
Tingkatan Keempat : Al-Kholq
(Penciptaan).
Maksudnya beriman
bahwa sesungguhnya Alloh Pencipta segala sesuatu. Tiada Pencipta dan tiada Robb
selain Dia. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dia-lah yang menciptakan
makhluk yang berbuat sekaligus perbuatannya, serta semua yang bergerak
sekaligus gerakannya. Alloh Ta’ala berfirman:
وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا
“ ... Dan Dia telah Menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukuran(qodar)nya dengan serapi-rapinya.” (Q.S. Al-Furqon [25]:2).
Segala yang terjadi,
berupa perbuatan baik atau jelek, iman atau kufur dan ta’at atau maksiat telah
dikehendaki , ditentukan dan diciptakan oleh Alloh. Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ
“Dan
tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Alloh ... (Q.S.
Yunus [10] :100).
Sesungguhnya Alloh
menyukai ketaatan dan membenci kemaksiatan; memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki dengan karunia-Nya dan menyesatkan orang-orang yang dikehendaki
karena keadilan-Nya. Alloh Ta’ala berfirman:
Jika kamu kafir maka sesungguhnya
Alloh tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridoi kekafiran bagi hamba-Nya.
Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhoi bagimu kesyukuranmu itu. Dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” (Q.S. Az-Zumar [39] : 7).
Tidak ada hujjah dan
alasan bagi yang telah disesatkan Alloh, karena Alloh telah mengutus para
Rosul-Nya untuk mematahkan alasan (agar manusia tidak tidak dapat membantah
Alloh). Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Alloh Ta’ala berfirman:
“Pada
hari ini tiap orang diberi balasan sesuai dengan yang diusahakannya. Tidak ada
yang dirugikan pada hari ini . Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (Q.S. Al-Mu’min [40] : 17).
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan
jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Q.S. Al-Insan [76] : 3).
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’ [4] : 165).
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Alloh tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...” (Q.S. Al-Baqoroh [2]:286).
Namun, keburukan
tidak boleh dinisbatkan kepada Alloh karena kesempurnaan rohmat-Nya. Karena Dia
telah memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan. Tetapi keburukan itu
terjadi dalam hal-hal yang telah menjadi ketentuan-Nya dan sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Alloh, apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan)
dirimu sendiri .Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (Q.S.
An-Nisa’ [4] : 79).
Alloh Ta’ala Mahasuci
dari kezholiman dan bersifat Mahaadil, maka Alloh tidak akan pernah sekali-kali
menzholimi seseorangpun dari hamba-Nya walau hanya sebesar biji sawi. Semua
perbuatan-Nya adalah keadilan dan rohmat. Alloh Ta’ala berfirman:
“.Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (Q.S. Qoof [50] : 29)
وَلَا يَظۡلِمُ رَبُّكَ أَحَدً۬ا
“... Dan Robbmu tidak menganiaya
seorang jua pun.” (Q.S.
Al-Kahfi [18] : 49)
.
.
وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلاً
“Sesungguhnya Alloh tidak menganiaya
seseorang walaupun sebesar dzarroh ...”. (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 49).
Alloh Ta’ala tidak
ditanya tentang apa yang diperbuat dan dikehendaki-Nya, berdasarkan firman-Nya:
“Dia tidak ditanya tentang yang
diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S.
Al-Anbiya’ [21] : 23).
Maka Allah Ta’ala-lah
yang menciptakan manusia dan perbuatannya. Dia memberikan kepadanya kemauan,
kemampuan, ikhtiar dan kehendak yang telah Alloh berikan kepadanya agar segala
perbuatannya itu benar-benar berasal darinya. Kemudian Alloh menjadikan bagi
manusia akal untuk membedakan antara baik dan buruk. Alloh tidak menhisabnya
melainkan atas amal yang ia perbuat dengan kehendak dan ikhtiarnya sendiri. Maka
manusia tidak dipaksa, tetapi dia mempunyai ikhtiar dan kehendak, maka dia
bebas memilih dalam segala perbuatan dan keyakinannya. Hanya saja kehendak
manusia itu mengikuti kehendak Alloh. Dan segala yang Alloh kehendaki-Nya pasti
akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi. Jadi Alloh
sebagai Pencipta segala perbuatan hamba-Nya, dan mereka yang melakukan
perbuatan itu. Intinya perbuatan itu diciptakan, diadakan dan ditakdirkan oleh
Alloh, namun diperbuat dan dilakukan oleh manusia. Alloh Ta’ala berfirman:
“(Al-Qur-an sebagai peringatan) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Robb semesta alam.” (Q.S. At-Takwir [81] : 28-29).
Alloh telah membantah
orang-orang musyrikin ketika mereka berhujjah dengan takdir. Mereka berkata:
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun". Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. ”.
Maka Alloh membantah
kebohongan mereka dalam firman-Nya:
“Katakanlah (hai Muhammad):
‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakan
kepada kami?’ Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak
lain hanya berdusta.” (Q.S.
Al-An’am [6] : 148).
Tahap-tahap takdir
menurut Al-Hakami
Menurut Syekh
al-Hakami dalam buku “Benarkah Aqidah
Ahlussunnah Wal jama’ah” taqdir
manusia ada lima, dimana menurut Ibnul Qoyyim kelima macam taqdir ini isinya
persis sama (seperti kita mengkopi data komputer secara digital), yaitu :
a. Taqdir azali
yang ditulis dengan al-qolam,
b. Taqdir umuri
(seumur hidup), yaitu tatkala makhluk yang keluar dari sulbi Adam diambil
sumpahnya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”,
c. Taqdir umuri
sewaktu Alloh menciptakan nuthfah di dalam rohim ibunya dan
d. Taqdir houli
sewaktu malam Qodar, dan terakhir
e. Taqdir harian : “Setiap waktu Dia dalam
kesibukan”, demikian juga catatan
Malaikat Rokib dan Atid perihal amal baik dan buruk manusia.
a. Taqdir azali yang ditulis dengan al-qolam
Katakanlah :
“Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dtulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Q.S.
Al-Kahfi / 18:109).
“Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya ...” (Al-Hadid
/ 57: 22).
Hadis 06 : Sesungguhnya yang pertama Alloh ciptakan adalah al
qolam (pena), lalu Dia berkata kepadanya, “Tulislah!’ “Ya Robb, apa yang harus
aku tulis? Alloh menjawab, ‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu
hingga hari kiamat.” “Hai Abu Huroiroh, qolam telah kering ....” (HR.
Bukhori).
Hadis 07 : Rosululloh s.a.w. bersabda : Alloh Ta’ala telah
menetapkan segala ketetapan (takdir) bagi seluruh mahluk, lima puluh ribu tahun
sebelum diciptakannya langit dan bumi; dan (ketika itu) ‘Arasy Alloh Ta’ala
berada di atas air.” (HR. Muslim).
Hadis 08 : Dari
Ibnu Umar r.a. dikatakan : “Rosululloh s.a.w. keluar menemui kami sedang di
kedua tangannya ada dua kitab. Lalu beliau bertanya, ‘Tahukah kalian tentang
dua kitab ini? Kami serempak menjawab, ‘Tidak wahai Rosululloh, kecuali jika
Tuan memberitahukannya kepada kami.’ Lalu beliau berkata, ‘Kitab yang ada di
tangan kananku ini adalah kitab dari Robb semesta alam yang di dalamnya
terdapat nama ahli surga, nama-nama bapak mereka, dan suku-suku mereka,
kemudian dihimpunlah satu sama lainnya dan tidak ditambah atau dikurangi
selama-lamanya.” Lalu beliau bersabda, ‘Kitab yang ada di tangan kiriku ini
adalah kitab catatan Robb semesta alam yang di dalamnya terdapat nama-nama ahli
neraka, nama bapak mereka, dan nama-nama suku mereka, kemudian satu sama lain
disatukan (di dalam kitab ini) dengan tidak bertambah atau pun berkurang
jumlahnya selama-lamanya.’ Lalu para sohabat berkata, ‘Jika semuanya telah
beres (ditetapkan keputusannya) untuk apa kita beramal (di dunia ini)?’ Nabi
s.a.w. bersabda, “Tingkatkan amalmu dengan baik dan lebih dekatlah dengan
kebaikan sebab penghuni surga itu mengakhiri hidupnya dengan amal ahli surga
sekalipun beramal apapun. Dan ahli neraka mengakhiri hidupnya dengan amal ahli
neraka sekalipun beramal apapun.’ Kemudian, beliau mencampakkan kedua kitab
tadi dan bersabda, ‘Robb kamu telah menyudahi dari hamba-hamba ini, sebagian
ada di surga dan sebagian ada di neraka.” (Menurut Turmudzi,
Hadits ini hasan, shohih, dan ghorib).
b.
Taqdir umuri (seumur hidup), yaitu tatkala makhluq yang keluar dari sulbi Adam diambil
sumpahnya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”,
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku
ini Tuhanmu?". Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A'raf / 7:172).
Hadis 09 : Umar bin Khottob ditanya seseorang tentang surat Al
A’rof ayat 172 (di atas). Dia menjawab : “Saya telah mendengar Rosululloh
s.a.w. bersabda: ‘Sesungguhnya Alloh menjadikan Adam a.s. kemudian mengusap
punggungnya dengan tangan kanan-Nya dan mengeluarkan daripadanya keturunan.
Lalu Alloh berfirman ; ‘Ini untuk surga dan akan mengamalkan amal ahli surga.’
Kemudian mengusap kembali punggung Adam dan mengeluarkan keturunan lalu
dikatakan ini bagian neraka dan dengan amal neraka mereka beramal.’ Lalu ada
orang bertanya, ‘Ya Rosululloh, jika demikian adanya, untuk apakah amalan itu?
Jawab beliau, ‘Jika Alloh menjadikan seorang hamba untuk (masuk) surga, maka
digunakan untuk mengerjakan amal ahli surga sehingga mati mengerjakan amal ahli
surga dan masuk surga. Dan jika menjadikan seorang hamba untuk (masuk) neraka
digunakan untuk mengerjakan amal ahli neraka sehingga mati mengerjakan amal
ahli neraka, maka masuklah ia ke dalam neraka.” (HR Ahmad, Abu Daud,
An-Nasa’i, dan Turmudzi).
c. Taqdir umuri
sewaktu Alloh menciptakan nuthfah di dalam rohim ibunya.
Hadits 10 : Umar bin
Zubair memberitahukan hadits dari Aisyah r.a., dari Nabi s.a.w., beliau
bersabda : “Sesungguhnya ketika Alloh hendak menciptakan seorang makhluk, Dia
mengutus satu malaikat, lalu ia memasuki rohim seraya berkata
(i.): ‘Ya Tuhanku
untuk apa?’ Maka Alloh bertutur, ‘Laki-laki atau perempuan atau terserah Aku
menciptakan di dalam rohim tersebut.’
(ii.) Lalu
berkata, ‘Ya Tuhanku apakah akan sengsara atau bahagia?’ Alloh berkata,
‘Sengsara atau bahagia.’
(iii.) Malaikat
bertanya lagi, ‘Bagaimana ajalnya?’ Dia menjawab, “Begini dan begitu.’
(iv.) Malaikat
bertanya lagi, ‘Bagaimana bentuk dan akhlaknya?’ Dia menjawab, ‘Begini dan
begitu, ‘Tidak ada sesuatu pun melainkan Dia menciptakannya di dalam rohim.” (HR.
Al-Bazzar dengan tingkat dapat dipercaya).
d. Taqdir houli
sewaktu malam Qodar
حمٓ (١) وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلۡمُبِينِ (٢) إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ (٣) فِيہَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ (٤) أَمۡرً۬ا مِّنۡ عِندِنَآۚ إِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ (٥)
Haa miim
Demi Kitab (Al Quran) yang
menjelaskan,
sesungguhnya kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah [1370], (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.
Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, (QS.
Ad-Dukhon /44: 1-5).
[1370] yang dimaksud dengan urusan-urusan
di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti:
hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya.
e. Taqdir harian “Setiap
waktu Dia dalam kesibukan” dan hasil
perbuatan manusia yang dicatat / ditulis oleh Rokib dan Atid.
Semua yang ada di
langit dan bumi selalu meminta kepadanya. setiap waktu Dia dalam kesibukan
[1445]. (QS. Ar-Rohman /55:29)
[1445] Maksudnya: Allah senantiasa dalam
keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezki dan
lain lain.
Alloh menciptakan Malaikat
Pencatat Yang Mulia (Kirooman Kaaatibiin) dan menugaskan mereka menjaga dan
mencatat perbuatan, ucapan dan niat kita. Setiap orang diikuti oleh dua
malaikat : sisi kanan mencatat kebaikan sedangkan sisi kiri mencatat kejelekan.
Dan dua malaikat yang lain menjaga dan
membentengi kita, yang satu berada
di belakang dan yang lain berada di depan.
Menurut Ibnul Qoyyim
amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba Alloh kemudian ditulis oleh kedua
malaikat tadi isinya persis sama dengan taqdir yang telah direncanakan Alloh
s.w.t. sebelumnya.
وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَـٰفِظِينَ كِرَامً۬ا كَـٰتِبِينَيَعۡلَمُونَ مَا تَفۡعَلُونَ
Padahal sesungguhnya bagi kamu ada
(Malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah)
dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Infithor
/82:10-12).
Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [767]. Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [768] yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. Ar-Ra’d /13:11)
[767] bagi tiap-tiap manusia ada beberapa
malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat
yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah
malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah keadaan
mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
IV. Kepercayaan tentang takdir dalam agama selain Islam
Di dalam Ensiklopedia
Indonesia tertulis sebagai berikut:
Gereja Katolik Roma:
Predestination (Ing. Takdir; ditentukan sebelumnya). Dalam teologi Kristen:
Doktrin yang menyatakan kepercayaan bahwa takdir abadi umat manusia ditentukan
Tuhan. Kepercayaan terhadap takdir ini didasarkan pada kata-kata Paulus (Rom.
8:28-30), Santo Agustinus (354-430) dan Santo Thomas Aquinas (354-430), dan
Santo Thomas Aquinas telah mengembangkan doktrin ini. John Calvin kemudian
menegaskannya. Kepercayaan terhadap bentuk takdir tertentu juga dikenal dalam
agama-agama kuno di Yunani, Cina, India dan Mesir.
VI. Apakah do’a bisa merubah takdir?
Menurut Abu Ezza
dalam bukunya “Sudah Benarkah Doa Anda?”
a. Makna doa:
Doa menurut bahasa
artinya menyeru dan meminta sesuatu. Seorang hamba yang berdoa kepada Tuhan
artinya ia sedang menyeru-Nya dengan beribadah dan meminta serta berharap
sesuatu dari-Nya.
Menurut Al-Qur-an,
doa mengandung dua makna.
Pertama, bermakna ibadah. Berdoa artinya beribadah kepada
Alloh. Hal tersebut sesuai dengan firman Alloh s.w.t.:
“Maka sembahlah (fad’uu) Alloh dengan
memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (Q.S. Ghofir [40] :14).
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan
yang hina.” (Q.S. Ghofir [40]:60).
Hadits 11 : Sabda
Rosululloh s.a.w.: “Doa adalah ibadah.” (H.R. Ahmad, Ibnu Abi
Syaibah, Bukhori, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
Baihaqi).
Kedua, bermakna memohon dan
meminta hajat kepada Alloh. Orang yang meminta adalah orang yang menginginkan
tercapainya manfaat atau menolak bahaya dengan cara atau ungkapan seorang yang
meminta dan mencari. Misalnya, doa Nabi Zakariya a.s.:
“Di sanalah
Zakariya berdoa kepada Tuhannya, seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku dari
sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”’ (Q.S. Ali
‘Imron [3]:38).
Alloh telah
menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar senantiasa meminta
pertolongan kepada-Nya dan tidak selain-Nya. Firman-Nya:
“Hanya kepada kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Q.S.
Al-Fatihah [1]:5).
Alloh akan murka jika
manusia tidak mau berdoa dan berpaling dari-Nya. Sabda Nabi s.a.w. menjelaskan:
Hadits 12 : “Barangsiapa tidak mau berdoa kepada Alloh, maka
Alloh akan murka kepadanya.´
(H.R. Tirmidzi).
b. Do’a Bisa Merubah
Qodho
Bahwa doa bisa
merubah qodho terdapat pada hadits-hadits Nabi Muhammad s.a.w. sebagai berikut:
Hadits 13 : Nabi
s.a.w. bersabda: “Tidaklah menolak qodho kecuali doa, dan tidaklah menambah
umur kecuali kebaikan.” (H.R. Tirmidzi, Rauyani, dan Thobroni).
Hadits 14 : Nabi s.a.w. bersabda: “Doa itu mampu menolak qodho.” (H.R.
Al-Hakim).
Hadits 15 : Nabi s.a.w. bersabda: “Berbuat baik kepada kedua
orang tua itu menambah umur. Kebohongan itu mengurangi umur, sedangkan doa itu
mampu menolak qodho. Dan Alloh punya dua qodho untuk makhluknya, yakni qodho
yang baru (telah diubah, pen.) dan qodho yang berlaku (tidak berubah, pen.).” (H.R. Ibnu
‘Ady, Ibnu Shorsory dalam Kitab Amalinya, Ibnu Najjar dan Daelami).
Sedangkan ayat
Al-Qur-an yang sebagian ulama menafsirkan sebagai perubahan qodho adalah pada
ayat berikut :
لِكُلِّ أَجَلٍ۬ ڪِتَابٌ۬يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُ ۥۤ أُمُّ ٱلۡڪِتَـٰبِ
Alloh s.w.t. berfirman: “Bagi tiap-tiap masa ada kitab. Alloh menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya
terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Ar-Ra’d [13]
38-39).
Dengan disebutkan-Nya
di dalam ayat itu Lauh Mahfudz yang tidak dapat diubah, tentunya yang diubah
bukanlah Lauh Mahfudz (qodar) tetapi qodho.
Ibnu Qoyyim
Al-Jauziah dalam bukunya “Qadha dan
Qadar, Ulasan Tuntas Masalah Takdir”
menyebutkan bahwa percaya kepada takdir berarti percaya kepada qodho dan qodar.
c. Perbedaan qodho
dengan qodar
Menurut Drs. K.H.
Nasrudin Razak dalam bukunya “Dienul
Islam”, di dalam Al-Qur-an qodho
mempunyai beberapa arti yaitu:
11. Hukum.
Sebab itu hakim dalam Islam bernama
qodhi. Artinya dipakai dalam Q.S An-Nisa’ [4] :65.
“Demi Tuhanmu (Muhammad) bahwa mereka tidak dianggap
beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam dirinya sesuatu keberatan
terhadap sesuatu hukum (qodho yaitu
keputusan atau ketentuan Alloh, pen.)
yang engkau berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
2 2. Perintah.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Al-Isro [17]
:23.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu memerintahkan (memutuskan atau menentukan, pen.), janganlah kamu menyembah kecuali kepada-Nya saja.dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
3 3. Memberitakan.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Al-Isro [17]
:4.
“Dan Kami telah memberitakan (memutuskan atau menentukan, pen.) kepada Bani Isroil dalam Al-Kitab: ‘Sesungguhnya kamu
akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali’”.
4
4. Menghendaki.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Ali Imron [3]
:47.
إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Apabila Alloh menghendaki (memutuskan atau menentukan, pen.) sesuatu urusan, maka Dia cukup mengatakan: ‘Jadilah!’
lalu jadilah dia.”
5 5. Menjadikan.
Arti ini dipakai dalam Q.S. Fushshilat
[41] :12.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ
“Dan Alloh menjadikan (memutuskan atau menentukan, pen.) tujuh petala langit dalam dua periode.”
Menurut Umar Hasyim
dalam bukunya “Memahami Seluk Beluk Takdir”, qodho berarti keputusan atau
ketentuan.
Maka pada pendapat
penulis qodlo pada semua ayat di atas hanya mempunyai satu arti yaitu keputusan
(execution) atau ketentuan Alloh. Pada ayat-ayat Al-Qur-am di atas, arti qodho
ini (yaitu keputusan atau ketentuan Alloh) penulis tempatkan dalam kurung di
belakang arti lain dari qodho.
H. Imam Sucahyo dalam
bukunya “Menyingkap Takdir” membagi qodho atau keputusan/ketentuan Alloh ini
menjadi 2 yaitu :
Pertama, qodho kauni
atau keputusan/ketentuan Alloh dalam bentuk penciptaan alam dan manusia.
Kedua, qodho syar’i
diniy adalah keputusan atau ketentuan Alloh berkenaan dengan aturan dan syariat
(hukum agama).
Maka pada pendapat
penulis, qodho kauni yaitu keputusan atau ketentuan Alloh s.w.t. dalam bentuk
penciptaan alam dan manusia itu dapat diartikan sebagai sunnatulloh atau hukum
alam.
Ini sesuai dengan
definisi Drs. K.H. Nasrudin Razak dan Sayid Sabiq di atas, dimana kata qodar
telah penulis ganti dengan kata qodho yaitu:
Menurut Drs. K.H.
Nasrudin Razak dalam buku “Dienul Islam”, qodho (diubah penulis, pen.) adalah
suatu peraturan umum yang telah diciptakan Alloh untuk menjadi dasar alam ini,
dimana terdapat hubungan sebab akibat. Telah menjadi undang-undang alam
(sunnatulloh) yang abadi dimana manusia juga terikat pada sunnatulloh itu
Menurut Sayid Sabiq
dalam bukunya “Aqidah Islam”, qodho (diubah penulis, pen.) ialah suatu peraturan
yang tertentu yang telah dibuat oleh Alloh s.w.t. untuk segala yang ada dalam
alam semesta yang maujud ini. Jadi peraturan-peraturan tersebut adalah yang
merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan di
dalamnya antara sebab dengan musababnya, juga antara sebab dan akibatnya.
Pada zaman modern ini
hukum alam telah dipelajari dengan intensif dan ekstensif melalui pengamatan
dan percobaan (experiment). Hukum-hukum alam ini secara systematis terbagi atas
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
d. Mekanisme
perubahan qodho dengan doa.
Menurut qodho Alloh
s.w.t. api bersifat panas dan dapat membakar tubuh manusia yang berada di dalam
kobaran api.
Sebagai hukuman atas
Nabi Ibrohim karena merusak berhala-berhala sembahan kaumnya, Raja Namrud
memutuskan Nabi Ibrohim dihukum bakar.
Sewaktu berada di
dalam tumpukan kayu yang akan dibakar Nabi Ibrohim berdoa agar beliau
diselamatkan dari panasnya api. Dan doa ini dikabulkan Alloh sehingga qodho api
yang panas itu berubah menjadi dingin. Sabda Alloh s.w.t.:
“Kami berfirman,
“Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatan bagi Ibrohim.” (Q.S.
Al-Anbiya [21] :69).
Peristiwa tidak
mempannya Nabi Ibrohim dibakar api adalah merupakan mukjizat yang diberikan
Alloh s.w.t kepadanya.
Air menurut ilmu ilmu
fisika yang merupakan qodho Alloh, bersifat permukaannya rata. Nabi Musa a.s.
beserta Bani Isroil, sewaktu keluar (exodus) dari tanah Mesir dan dikejar oleh
Fir’aun beserta bala-tentaranya, sampailah ke tepi Laut Merah sehingga terancam
oleh bala tentara Fir’aun. Nabi Musa kemudian berdoa kepada Alloh s.w.t. agar
diselamatkan dari kejaran Fir’aun itu. Alloh s.w.t. memerintahkan kepada Nabi
Musa agar menyentuhksn tongkatnya ke laut, maka membelahlah laut itu,
berlawanan dengan qodhonya yang seharusnya permukaannya rata. Kemudian Bani
Isro’il melewati belahan itu selamat sampai ke seberang. Sedang Fir’aun dan
pengikutnya yang ikut di belakangnya tenggelam karena air laut itu menutup
kembali, sesuai dengan qodhonya yaitu berpermukaan rata. Peristiwa membelahnya
laut itu termasuk mukjizat yang diberikan Alloh kepada Nabi Musa.
Mukjizat-mukjizat
yang diberikan kepada para Nabi dan Rosul, kecuali mukjizat Al-Qur’an kepada
Nabi Muhamad, dipahami oleh kebanyakan ulama sebagai peristiwa luar biasa atau
keajaiban yang melanggar sunnatulloh (qodho) yang berlaku bagi
peristiwa-peristiwa yang diciptakan Tuhan.
==========================================================
Mukjizat adalah
contoh-contoh dari doa yang bisa merubah qodho
===========================================================
Imam Al-Ghozali dalam
“Ihya ‘Ulumiddin” menjelaskan “Jika qodho (qodar atau takdir, pen.) itu tidak
ada yang bisa menolaknya, lalu apa manfaat dari doa? Ketahuilah! Merupakan
bagian dari qodho (seharusnya termasuk qodar atau takdir, pen.) adalah menolak
bala (termasuk sunnatulloh atau qodho akibat dosa manusia, pen.) dengan do’a.
Dengan itu, doa adalah sebab yang bisa menolak bala (qodho, pen.) dan
mendatangkan rohmat, sebagaimana tameng yang bisa digunakan untuk menolak anak
panah hingga keduanya saling mendorong. Maka demikian pula doa dan bala saling
berkelahi.
=============================================================
Maka doa bisa menolak/
merubah qodlo dan do’a termasuk bagian dari takdir /qodar.
=============================================================
Ada seseorang yang
pergi ke luar kota. Di perjalanan terdapat pohon yang miring ke jalan. Sewaktu
ada angin kencang secara hukum alam (qodho) tentunya pohon itu roboh ke jalan
dan menimpa mobil itu (bala’). Karena sebelum berangkat orang itu berdo’a
kepada Alloh s.w.t. maka Alloh merubah arah angin ke arah luar jalan sehingga
pohon itu itu roboh tetapi tidak menimpa mobil itu.
Telah disebut di atas
bahwa do’a bisa merubah qodho dan doa termasuk bagian dari takdir atau qodar.
Maka ditulislah di
dalam Lauh Mahfud bahwa orang itu ditakdirkan berdoa sebelum berangkat sehingga
qodho pohon itu yang seharusnya rohoh ke jalan menimpa mobil, dirubah menjadi
roboh keluar jalan sehingga orang itu selamat.
Peran doa yang bisa
merubah qodho dalam cerita ajaib berikut ini dapat diterangkan dengan cara yang
sama.
Sayyid Imani, menuturkan kebersamaannya dengan Ghulam Husayn Malik,
salah seorang pedagang Busyahr, bahwasanya dia berkata: "Aku bepergian
untuk menunaikan ibadah haji. Kami bersama-sama Syaikh Muhammad Jawad
al-Bayadabadiy. Di tengah perjalanan itu, banyak pencoleng yang menjarah
barang-barang bawaan sebagian jamaah haji. Di samping itu, penyakit pes juga
menyerang sebagian jamaah hingga menimbulkan kematian sebagian di antara
mereka. Semua orang merasa ketakutan."
"Al-Bayadabadiy mengatakan: 'Barangsiapa yang ingin selamat dari
bahaya penyakit pes, maka hendaklah dia bersedekah sebesar seratus empat puluh
tuman, atau seribu empat ratus tuman. Barang siapa yang tidak mampu untuk
membayar uang sejumlah itu, maka hendaklah dia bersedekah sesuai dengan
kemampuannya. Aku akan bermohon kepada Allah bagi kalian.
"Malik mengatakan: 'Aku akan membayar seratus empat puluh tuman',
begitu pula para jamaah haji yang lain. Karena uang sejumlah itu pada saat itu
cukup besar, maka banyak orang yang tidak bisa membayarnya. Kemudian Malik
membagikan hartanya kepada para jamaah haji yang telah dirampas hartanya oleh
para perampok di tengah jalan. Mereka masih bersedih dan ketakutan".
"Dalam perjalanan itu semua orang yang membayar uang sejumlah itu
selamat, dan kembali ke negerinya dalam keadaan selamat pula. Adapun
orang-orang yang tidak mau membayar sedekah, semuanya terserang penyakit pes
dan meninggal dunia, termasuk keponakan dan juru tulis saya yang enggan
membayar sedekah."
D. Kesimpulan / Penutup
Demikianlah telah
diuraikan masalah-masalah tentang:
I. Apa definisi dan makna takdir itu.
II. Bagaimana pandangan golongan-golongan dalam Islam
tentang takdir itu.
III. Bagaimana tahap-tahap dan mekanisme takdir itu.
IV. Bagaimana kepercayaan tentang takdir dalam agama
selain Islam
V. Apakah do’a bisa merubah takdir.
Dalam pembahasan di atas disimpulkan
bahwa do'a bisa merubah sunnatulloh atau hukum alam yaitu qodho. Namun doa
termasuk bagian dari takdir atau qodar maka doa tidak bisa merubah takdir.
Hadits 03 : Rosululloh s.a.w. bersabda, “Pena (penulis takdir di
Lauh Mahfudz, pen.) telah kering dengan yang sudah tetap sampai Hari Kiamat”. (H.R.
Thobroni dan Ahmad).
Kami yakin tulisan
ini tidak sempurna, bagi pembaca yang menemukan kekurangannya dan kesalahannya
sudilah memberitahukan kepada kami untuk diadakan perbaikan seperlunya. Untuk
itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Wal ‘lloohu ‘lmuwaffiq ilaa aqwamith
thorieq.
Jember, 29 Nopember 2010
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember, Jawa Timur.
Kepustakaan
01. Departemen Agama RI, Al
Qur-an dan Terjemahnya, CV
Diponegoro, Bandung, 2000.
02. Abdullah bin
‘Abdil Hamid al-Atsari, “Intisari
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2006.
03. Abu Ezza, “Sudah benarkah Doa Anda?”, QultumMedia, Jakarta, 2010.
04. Bey Arifin, “Rangkaian Cerita dalam Al-Qur-an”, Alma’arif, Bandung, 1997.
05. Dr. Abdullah
Nashih ‘Ulwan, “Jawaban Tuntas
Masalah Takdir”, Al Islahy Press,
Jakarta, 1986.
06. Drs. Sidi
Gazalba, “Sistematika Filsafat, Buku
III”, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
07. Hasan Shadily, “Ensiklopedia Indonesia”, P.T Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta.
08. H. Imam Sucahyo, “Menyingkap Takdir”, Samudra Ilmu, Jakarta, 2001.
09. Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, “Kun Faya Kun”, Mitrapress, Jakarta, 2008.
10. Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah, “Qadha dan Qadar”, Pustaka Azzam, Jakarta, 2003.
11. Prof. Dr. H.
Harun Nasution dkk. “Ensiklopedia
Islam Indonesia”, Djambatan Jakarta,
1992.
12. Sayyid Abdul
Husein Dastghib, “Catatan Dari Alam
Gaib”,Pustaka Hidayah, Bandung,
1990.
13. Sayid Sabiq, “Aqidah Islam”, CV. Diponegoro, Bandung, 1997.
14. Syaikh Ja’far
Subhani, “Menyiasati Takdir”, Pustaka Hidayah, Bandung, 2006.
15. Syekh Hafidz Ahmad Al Hakami, “Benarkah Aqidah Ahlussunnah Wal jama’ah”,
Gema Insani Press,
Jakarta, 1994.
16. Umar Hasyim, “Memahami Seluk-Beluk Takdir”, CV. Ramadhani, Solo, 1992.