|
Wahai Para Isteri
Hendaklah Kamu Tetap di Rumahmu
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
A. LATAR BELAKANG MASALAH
I. Pendahuluan
Sewaktu menelusuri artikel-artikel di internet yang
bersangkutan dengan theologi perempuan, secara tidak sengaja penulis menemukan
ayat yang bunyinya menjadi judul makalah ini, yaitu Surat Al-Ahzab :
(ayat 32) Hai isteri-isteri Nabi, ......
(ayat 33) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu 1216)
.......
Selengkapnya ayat 33 tersebut adalah sebagai berikut
:
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu [1215] dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliyah yang
dahulu [1216] dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan
Rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
Hai ahlul bait [1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rosul agar tetap di rumah dan ke luar
rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syaro'.Perintah ini juga meliputi
segenap mukminat.
[1216] yang dimaksud jahiliyah yang dahulu ialah jahiliah kekafiran yang
terdapat sebelum nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud jahiliyah sekarang
ialah jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini,
yaitu keluarga rumah tangga Rosulullah s.a.w.
Angkanya juga sangat mudah diingat yaitu 33:33.
Penulis sangat terkejut sewaktu membaca ayat ini,
karena artinya sangat dalam dan mempunyai konsekwensi yang sangat luas.
Pada waktu penulis membaca Tafsir Al Azhar karangan
Buya HAMKA secara urut dari surat Al Fatihah sampai Surat An Nas beberapa puluh
tahun yang lalu penulis tidak merasa telah membaca ayat ini. Setelah khotam
sekali itu penulis tidak pernah melakukannya lagi. Tafsir ini hanya penulis
baca lagi bila menemukan masalah yang memerlukan uraian tafsir.
Karena penasaran, penulis lalu mengambil Tafsir HAMKA yang mengandung ayat tersebut yaitu Tafsir Al-Azhar juz 22, yang bunyinya adalah sebagai berikut :
“dan menetaplah kamu dalam rumah kamu”, (Pangkal
ayat 33).
Artinya, hendaklah isteri-isteri Nabi memandang bahwa
rumahnya, yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggalnya yang tenteram dan
aman. Di sanalah terdapat mawaddatan dan rohmatan, yaitu cinta
dan kasih sayang. Menjadi ibu rumah tangga yang terhormat.
Ternyata uraian HAMKA sangat singkat, tanpa memberi
keterangan tentang asbabun nuzul, tidak mengutip hadis yang sesuai, serta tidak
menguraikan pendapat mufassir lain.
Pantas penulis sampai lupa akan ayat ini.
B.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang dapat kita petik dari pendahuluan
di atas adalah :
I. Apakah perintah ini
juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri-isteri Nabi ?
II. Mengapa dikenakan
perintah ini ?
III. Apa konsekwensi
dari perintah ini ?
IV. Bagaimana contoh
pelaksanaanya di zaman Nabi ?
C.
PEMECAHAN MASALAH
I. Apakah perintah
ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri-isteri Nabi ?
Pada Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI
yang penulis kutip di atas diterangkan bahwa perintah ini juga berlaku bagi
segenap mu’minat. Apakah di dalam Kitab-kitab Tafsir lain juga demikian ?
Baiklah penulis kutip pendapat Kitab-kitab Tafsir
lainnya :
1. Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 6, Terbitan Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, Jakarta.
Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Yaitu istiqomahlah di rumah-rumah kalian dan jangan
keluar tanpa hajat. Di antara hajat-hajat syar’i adalah sholat di masjid dengan
syaratnya, seperti sabda Rosululloh s.a.w.:
Hadits 01 : “Janganlah kalian melarang
hamba-hamba Alloh wanita menuju masjid-masjid Alloh dan hendaklah mereka keluar
dengan tidak memakai wangi-wangian..”
Dalam satu riwayat:
Hadits 02 : “Dan rumah-rumah mereka lebih
baik bagi mereka.” (Hadits di dalam Sunan Abi Dawud dan Musnad al-Imam
Ahmad).
Hadits 03 : Al-Bazzar meriwayatkan dengan
sanadnya yang lalu, serta Abu Dawud, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Sholat
seorang wanita di kamarnya lebih baik daripada sholatnya di rumahnya. Dan
sholat di rumahnya lebih baik daripada sholatnya di luar rumahnya.” (Isnad
hadits ini jayyid).
Kesimpulan :
Menurut Ibnu Katsir perintah ini berlaku juga untuk
mukminat lainnya.
2. Tafsir Al
Maroghi 22, Penerbit “Karya Toha
Putra”, Semarang.
Senantiasa kalian tinggal dalam rumahmu.
Jadi janganlah kalian keluar rumah tanpa hajat.
Firman ini merupakan perintah kepada para isteri nabi, dan juga kepada
wanita-wanita lainnya.
Hadits 04: At-Tirmizi dan Al-Bazzar telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya, wanita itu sendiri adalah aurot. Maka apabila ia keluar dari rumahnya, ia diintai oleh setan. Dan wanita yang paling dekat kepada rohmat Tuhannya ialah ketika ia berada dalam rumahnya.”
Kesimpulan :
Menurut Al-Maroghi perintah ini berlaku juga bagi
wanita-wanita lainnya.
3. Tafsir
Al-Mishbah Volume 10, karangan M.
Quroish Shihab.
Alloh berfirman: Dan, di samping itu, tetaplah
kamu tinggal di rumah kamu kecuali jika ada keperluan untuk keluar
yang dapat dibenarkan oleh adat atau agama dan berilah perhatian yang besar
terhadap rumah tangga kamu ....
Kata qorna, begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far---terambil dari kata iqrorna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara tetap. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata qurrot ‘ain dan yang ini berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian perintah ayat ini berarti: Biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga mengandung tuntutan untuk berada di rumah dan tidak keluar rumah kecuali ada kepentingan.
Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasroh pada
huruf qof yakni qirna. Ini terambil dari kata qoror, yakni
berada di tempat. Dengan demikian, ayat ini memerintahkan isteri-isteri
Nabi s.a.w. itu untuk berada di tempat yang dalam hal ini adalah rumah-rumah
mereka. Ibn ‘Athiyyah membuka kemungkinan memahami kata qirna terambil
dari kata waqor, yakni wibawa dan hormat. Ini berarti perintah
untuk berada di rumah karena itu mengundang wibawa dan kehormatan buat kamu
Kini penulis kembali kepada aspek hukum yang
dikandung oleh perintah waqorna dan waqirna fi buyutikum.
Perintah di atas sebagaimana terbaca ditujukan kepada
isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah
apakah wanita-wanita muslimah selain isteri-isteri Nabi dicakup juga oleh
perintah tersebut ?
Al-Qurthubi (w 671 H)—yang dikenal sebagai salah
seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum—menulis antara lain: “Makna
ayat di atas adalah perintah untuk tinggal di rumah. Walaupun redaksi ayat ini
ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w., selain dari mereka juga
tercakup dalam perintah tersebut.” Selanjutnya, al-Qurthubi menegaskan bahwa
bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah dan
tidak keluar rumah kecuali karena keadaan darurat. Pendapat yang sama
dikemukakan juga oleh Ibn al-‘Arobi (1076-1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat
Al-Ahkam-nya.
Sementara itu, penafsiran Ibn Katsir sedikit lebih
longgar. Menurutnya, ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk keluar
rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti sholat, misalnya.
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer,
menganut paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya, al-Hijab, ulama
ini antara lain menulis bahwa “Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak
dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah
dengan tenang dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah
tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka
keluar rumah dengan syarat memerhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa
malu.” Terbaca bahwa al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi
“kebutuhan atau keperluan”. Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun
tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama R.I.
Thohir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa perintah ayat
ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi
wanita-wanita muslimah selain mereka sebagai kesempurnaan. Yakni tidak wajib,
tetapi sangat baik dan menjadikan wanita-wanita yang mngindahkannya menjadi
lebih sempurna.
Persoalannya adalah dalam batas apa saja izin
tersebut ? Misalnya, “Bolehkah mereka bekerja ?”
Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-Muslimin menulis dalam bukunya Ma’rokah at-Taqolid, bahwa: “Ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar.”
Dalam bukunya, Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad
Quthub lebih menjelaskan bahwa: Perempuan pada awal Islam pun bekerja ketika
kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak
cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang
sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita
tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai
hidupnya atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi
kebutuhannya.
Sayyid Quthub menulis bahwa arti waqorna dalam
dalam firman Alloh: Waqorna fi buyutikunna berarti “Berat, mantap, dan
menetap”. Tetapi tulisnya lebih jauh, Ini bukan berarti bahwa mereka tidak
boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas
pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas
pokoknya.”
Sa’id Hawa—salah seorang ulama Mesir
kontemporer—memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan,
seperti mengunjungi orangtua dan belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah,
dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang
dapat menanggungnya.
Kesimpulan :
Menurut M. Quroish Shihab perintah ini berlaku juga
kepada wanita-wanita muslimah lainnya.
4. Komentar /
pendapat penulis
Pada semua tafsir yang dikutip di atas, perintah
untuk tetap tinggal di rumah yang ditujukan pada para istri Nabi, juga berlaku
bagi semua mukminat, baik yang menjadi isteri / mempunyai suami ataupun yang
sendirian.
Sedang mukminat yang sendirian dapat dibagi menjadi
dua yaitu yang masih gadis dan yang sudah janda.
Keadaan mukminat yang mempunyai suami sangat berbeda
dengan yang sendirian.
Bagi yang mempunyai suami keadaannya adalah :
a. Ada laki-laki yang menanggung nafkahnya yaitu
suaminya
b. Mereka bertanggung jawab mengatur rumah tangganya
c. Bila mempunyai anak mereka bertanggung jawab
mengasuh dan mendidik anaknya.
Agar rumah tangganya baik tentunyai mukminat tersebut
harus selalu berada di dalam rumahnya.
Lain halnya bagi para gadis.
a. Kehidupan mereka berada di dalam tanggungan
ayahnya.
b. Di rumah yang ditinggalinya masih ada ibunya yang
bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.
c. Biasanya masih bersekolah di luar rumahnya.
d. Tidak mempunyai tanggungan anak.
Maka, masih ada fungsi yang biasanya dilakukan di
luar rumah yaitu bersekolah.
Bila orang tua gadis itu tidak mampu maka mereka
boleh bekerja karena dorurot, seperti kasus puteri-puteri Nabi Syuaib a.s. di
Madyan yang diceriterakan di dalam Al Qur-an. Nabi Musa a.s. yang melarikan
diri dari Mesir ke Madyan karena telah memukul seorang Mesir sampai meninggal
dunia telah berjumpa dengan mereka di sebuah sumur:
23. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
24. Maka Musa memberi
minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang
teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku sangat memerlukan sesuatu
kebaikan [1118] yang Engkau turunkan kepadaku".
25. Kemudian datanglah
kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia
berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan
terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi
bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya),
Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu Telah selamat dari
orang-orang yang zalim itu".
26. Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".
(Q.S. Al-Qoshosh [28])
[1118] yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam
ayat Ini menurut sebagian besar ahli tafsir ialah barang sedikit makanan.
Sedang seorang janda, bila sudah mempunyai anak,
apalagi bila suaminya sudah meninggal dunia maka:
a. Bila masih mempunyai
ayah, sesuai dengan prinsip “ar-rijalu qowwamuna ‘alan nisa’ dia akan
kembali ke rumah ayahnya /ditanggung ayahnya.
b. Bila ayahnya sudah
meninggal dunia, maka kehidupannya ditanggung oleh saudara laki-lakinya.
c. Bila kedua-duanya tidak
ada maka untuk mencukupi nafkahnya, dia terpaksa harus bekerja yang biasanya
dikerjakan di luar rumah sesuai dengan hadits berikut:
Hadits 05: Jabir
bin Abdulloh r.a. berkata: Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia bekerja
sebagai pemotong kurma di ladangnya, kemudian seorang lelaki melarangnya
bekerja di luar rumah. Maka dia mendatangi Rosululloh s.a.w. seraya mengadukan
persoalannya. Lalu beliau bersabda: “Tentu saja kamu boleh bekerja.
Potonglah kurmamu, karena sesungguhnya boleh jadi kamu dapat mensedekahkan
usahamu atau dapat melakukan hal-hal yang ma’ruf.” (H.R. Muslim).
Maka pada pendapat penulis,
selain untuk para istri Nabi, perintah ini berlaku juga bagi para isteri
mukminat lainnya, tetapi tidak berlaku bagi mukminat yang sendirian.
II. Mengapa dikenakan perintah ini ?
Ada dua alasan yang bisa dipakai yaitu :
1. Alasan berdasarkan agama / naqol
2. Alasan berdasarkan ilmu pengetahuan / aqol
1. Alasan berdasarkan
agama / naqol
Untuk alasan naqol ini penulis kutipkan makalah
“Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah” yang diambil dari Muslimah.or.id :
Menjaga
Kehormatan Wanita Muslimah
Penyusun: Ummu Uwais dan Ummu
Aiman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.
Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci
kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi
manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun
sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi
tersebut.
Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban
amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati,
wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak
Robb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rosul-Nya.
Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki
Alloh berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyat [51] : 56)
Alloh telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan
dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada
Alloh. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing
sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan
tidak bisa menggantikan yang lain.
Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam
peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda.
Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Alloh
sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.
Alloh mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama
dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan
anggota badan.
Alloh berfirman,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ
كَالأنْثَى
“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan
perempuan.” (Q.S. Ali Imron [3] : 36)
Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan
beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk
dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum
yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, di antaranya bahwa laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan
kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua
kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya,
Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal
dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.
Hadits 05: Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu
Salamah r.a. berkata: “Wahai Rosulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi
ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan
setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya,
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 32)”
(Diriwayatkan oleh Ath-Thobari, Imam Ahmad,
Al-Hakim, dan lain sebagainya)
Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang
Alloh takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik
perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Alloh adalah Dzat Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab
Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan
bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan
terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab
syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh (kecuali wajah dan telapak tangan, pen.)
dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan
mahrom. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Alloh Ta’ala:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs.
An-Nuur [24] : 31)
Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang
dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sohabiah dan generasi
setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan
diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu mereka
dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab.
Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan
kecemburuan (ghiroh). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri
pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab,
tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit
dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai
kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan
penutup kepala.
Hadits 07: Dari
‘Aisyah r.a., ia berkata: “Semoga Alloh merohmati para wanita generasi
pertama yang berhijroh”, ketika turun ayat:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya,” (Q.S. An-Nuur [24] : 31).
“Maka mereka segera merobek kain panjang/baju
mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar penutup tubuh bagian
atas mereka.”
Subhanalloh… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini
dengan keadaan wanita zaman sohabiah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab
merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan
dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk
ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera
melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan tidaklah
patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Alloh dan
rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan
rosul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs.
Al-Ahzab [33] : 36).
Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan,
di antaranya:
1. Menjaga kehormatan.
2. Melahirkan akhlaq yang mulia.
3. Tanda kesucian.
4. Menjaga rasa malu.
5. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah
6. Menjaga ghiroh.
7. Dan lain-lain
Kembalilah ke Rumahmu
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu.” (Qs.
Al-Ahzab/ 33: 33)
Islam telah memuliakan kaum wanita dengan
memerintahkan mereka untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Ini merupakan
ketentuan yang telah Alloh syari’atkan. Oleh karena itu, Alloh membebaskan kaum
wanita dari beberapa kewajiban syari’at yang di lain sisi diwajibkan kepada
kaum laki-laki, di antaranya:
1. Digugurkan baginya kewajiban menghadiri sholat
jum’at dan shalat jama’ah
2. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi wanita
disyaratkan dengan mahrom yang menyertainya.
3. Wanita tidak berkewajiban berjihad.
Sedangkan keluarnya mereka dari rumah adalah rukhshoh
(keringanan) yang diberikan karena kebutuhan dan darurat. Maka, hendaklah
wanita muslimah tidak sering-sering keluar rumah, apalagi dengan berhias atau
memakai wangi-wangian sebagaimana halnya kebiasaan wanita-wanita jahiliyah.
Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab
bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom
dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang
bukan mahrom maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan
perhiasannya (kecuali wajah dan telapak tangannya, pen.). Dengan menjaga hal
ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:
1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitroh
dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil diantara hamba-hamba-Nya yaitu
kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani
pekerjaan di luar rumah
2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat
islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki
komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas
tersendiri, yaitu di luar rumah.
3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan
kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.
Islam adalah agama fitroh, dimana kemaslahatan umum
seiring dengan fitroh manusia dan kebahagiaannya. Jadi, Islam tidak
memperbolehkan bagi kaum wanita untuk bekerja kecuali sesuai dengan fitroh,
tabiat, dan sifat kewanitaannya. Sebab, seorang perempuan adalah seorang istri
yang mengemban tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, merawat
anak, mendidik generasi umat di madrasah mereka yang pertama, yaitu: ‘Rumah’.
Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah
Bersolek merupakan fitroh bagi wanita pada umumnya.
Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal
ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan
sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di
tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahrom yang akan memperhatikan
mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan
tabarruj model jahiliyah.
Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal
yang sudah dianggap biasa, padahal Alloh dan Rasul-Nya mengharamkan yang
demikian.
Alloh berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan
janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan
bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).”
(Qs. Al-Ahzab/ 33: 33).
Hadits 08: Abu
Huroiroh r.a. berkata: “Rosululloh s.a.w. bersabda, yang artinya: “Ada dua
golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang
yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia,
dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan
melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak
akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah
tercium dari jarak sekian dan sekian.” (H.R. Muslim).
Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah di antaranya:
1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan
laki-laki non mahrom.
2. Menampakkan perhiasannya, baik semua atau
sebagian.
3. Berjalan dengan dibuat-buat.
4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki
non mahrom.
5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan
yang tersembunyi.
Pernikahan, Mahkota Kaum Wanita
Menikah merupakan sunnah para Nabi dan Rosul serta
jalan hidup orang-orang mukmin. Menikah merupakan perintah Alloh kepada
hamba-hamba-Nya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Alloh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Alloh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24] : 32).
Pernikahan merupakan sarana untuk menjaga kesucian
dan kehormatan baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, menikah dapat menentramkan
hati dan mencegah diri dari dosa (zina). Hendaknya menikah diniatkan karena
mengikuti sunnah Nabi s.a.w. dan untuk menjaga agama serta kehormatannya.
Tidak sepantasnya bagi wanita mukminah bercita-cita
untuk hidup membujang. Membujang dapat menyebabkan hati senantiasa gelisah,
terjerumus dalam banyak dosa, dan menyebabkan terjatuh dalam kehinaan.
Kemaslahatan-kemaslahatan pernikahan:
1. Menjaga keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
2. Menjaga kehormatan dan kesucian diri.
3. Memberikan ketentraman bagi dua insan. Ada yang
dilindungi dan melindungi, serta memunculkan kasih sayang bagi keduanya.
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan
oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan
kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan. Allohu
A’lam.
2. Alasan berdasarkan ilmu pengetahuan
/ aqol.
Telah kita baca pada uraian di atas bahwa habitat
seorang wanita adalah di rumah. Maka perintah bagi wanita untuk tinggal di
rumah adalah sesuai dengan kodratnya.
Pandangan ini ditentang oleh kaum feminis muslim yang
menghendaki keadilan jender, di antaranya wanita boleh bekerja apa saja di luar
rumah termasuk menjadi tentara dan polisi. Bagi para feminis muslim yang
dimaksud dengan kodrat wanita hanyalah yang sesuai dengan ciri-ciri tubuh
wanita yaitu: mempunyai kulit yang halus, tidak berbulu dan cantik. Otot-otonya
lebih kecil dibanding pria. Mempunyai buah dada, vagina, rahim dan indung
telur. Maka kodrat wanita adalah bersolek, kawin, hamil, melahirkan, menyusui
dan memelihara anak.
Selain perbuatan tadi bukanlah kodrat melainkan hanya
proses budaya belaka.
Adapun yang dimaksud dengan jender menurut Fatimah
Usman adalah persoalan non kodrati, menyangkut pembedaan (i.) tugas, (ii.)
fungsi, dan (iii.) peran yang diberikan oleh masyarakat/ budaya terhadap
laki-laki dan perempuan, baik dalam (a.) kehidupan pribadi maupun (b.) sosial.
Penjabaran peran jender ini begitu luas, mencakup aspek kehidupan (i.) sosial,
(ii.) budaya, (iii.) ekonomi, (iv.) politik, (iv.) hukum, dan sebagainya.
Biasanya, jender dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
tepat bagi laki-laki dan perempuan sehingga sebenarnya jender merupakan
interpretasi (a.) mental dan (b.) kultural terhadap perbedaan jenis kelamin,
bukan alami dan bukan takdir Tuhan.
Penemuan modern tentang perbedaan otak
wanita dan laki-laki.
Louanne Brizendine, dalam bukunya “Female Brain” dan “Male Brain”, setelah penyelidikannya selama 25 tahun, menggunakan ilmu genetik, elektrofisiologi, dan teknologi pemetaan otak yang tidak berbahaya, serta menggunakan alat-alat canggih antara lain pelacak zat kimia dan genetik, positron emission tomography (PET),dan pencitraan resonansi magnetik (functonal magnetic resonance imaging/ fMRI) telah menemukan bahwa otak wanita sangat berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini terjadi karena struktur otak manusia modern sekarang / Homo sapiens tetap tidak berobah sejak 20.000 tahun yang lalu sewaktu Homo sapiens masih tinggal di hutan savanna di Afrika Timur.
Nabi Adam adalah Homo sapiens pertama, setelah
dikeluarkan dari sorga oleh Alloh s.w.t. lalu diturunkan ke bumi yaitu di
kawasan Afika Timur. Uraian lengkap masalah ini bisa dilihat di makalah
“Asal-usul manusia” di internet pada nasimfauzi.Blogspot.Com.
Di kawasan Afrika timur sekitar 20.000 tahun yang
lalu, para wanita tinggal di dalam goa bersama dengan teman-temannya dan
anak-anak mereka. Sedang para lelaki pada siang hari pergi berombongan ke luar
rumah untuk berburu, sedang sore harinya pulang ke goa.
Fungsi otak wanita modern sekarang masih tetap sama
dengan fungsi otak sewaktu mereka masih tinggal di dalam rumahnya di dalam goa
20.000 tahun yang lalu yaitu :
1. Berkumpul
bersama sesama wanita dan anak-anak, saling tolong menolong di dalam rumah goa.
2. Kemampuan
berkomunikasi /bicaranya serta ingatannya lebih kuat daripada laki-laki. Fungsi
ini sangat diperlukan untuk mendidik anak.
3. Cara
berfikirnya dalam memecahkan masalah adalah dengan jalan membicarakannya dengan
teman-temannya. Bicara keras tidak membahayakan mereka karena posisi mereka di
dalam goa jauh dari jangkauan binatang buas.
4. Di dalam
goa itu mereka trampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
5. Wanita
mampu mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus.
6. Di dalam
goa itu masing-masing wanita bersuami satu (bukan poliandri)..
7. Setelah
seorang wanita hamil dan melahirkan anaknya yang pertama maka sifat otak gadis
mereka berobah menjadi otak ibu yang bersifat sangat perduli terhadap anak
dibanding kepada suaminya. Dorongan sexnya lebih lemah daripada laki-laki.
Sedang otak laki-laki manusia modern sekarang (Homo sapiens) masih sama fungsinya dengan otak pemburu binatang di hutan savanna pada 20.000 tahun yang lalu yaitu :
1. Fungsi otaknya sesuai dengan
kehidupan di luar rumah goa.
2. Para pemburu itu mampu
mengorganisir perburuan yaitu : membuat rencana, membuat peta, menganalisa
situasi medan perburuan, kemudian melaksanakan perburuan hewan bersama-sama.
3. Mereka mampu membuat alat-alat
dan trampil menggunakannya untuk membunuh hewan buruan atau binatang buas.
4. Para laki-laki jarang
berbicara karena berbicara keras akan didengar oleh hewan mangsanya, sehingga
hanya menggunakan isyarat. Pemikiran tentang taktik perburuan dilakukan di
dalam otaknya dengan jalan “berbicara dengan diri sendiri”.
5. Pandangannya lurus jauh ke
depan untuk mengincar mangsa, lelaki kurang mengetahui apa yang ada di sisinya
dan di belakangnya.
6. Laki-laki hanya mampu
mengerjakan satu tugas saja sekali waktu, sampai tuntas.
7. Nafsu seksnya jauh lebih besar
daripada wanita. Laki-laki berfikir tentang seks setiap 50 detik sedang wanita
hanya sekali sehari. Bernaluri poligami, karena beristeri seorang wanita goa
yang selalu mengandung, melahirkan atau menyusui dan sibuk mengurusi
anak-anaknya sangat mengganggu aktifitas seksnya yang selalu bergelora. Menurut
Brezendine di dalam kromosom laki-laki terdapat gen poligami sebanyak tujuh
tingkat, dari tingkat tujuh yang sangat poligamis sampai tingkat satu yang
bersifat monogamis.
Semua sifat ini telah dibuktikan di laboratorium pada
penyelidikan otak dengan menggunakan alat-alat modern tadi.
Karena adanya perbedaan fungsi otak laki-laki dan
wanita itulah maka, dalam kehidupan modern di seluruh dunia, pekerjaan di luar
rumah (publik) lebih cocok dengan fungsi otak dan fisik laki-laki sehingga
dalam kenyataannya selalu didominasi oleh laki-laki, sebagaimana di tulis oleh
Dr. Gadis Arivia sebagai berikut :
Gadis Arivia memaparkan bagaimana perempuan yang mengerjakan tiga perempat dari seluruh pekerjaan, memproduksi 45 persen makanan di dunia, namun mereka hanya menerima 10 persen pendapatan dunia dan satu persen kepemilikan properti. Bidang kerja perempuan di ruang publik pun kemudian dikotakkan kepada pekerjaan-pekerjaan yang lebih bersifat melayani, mengasuh, dan merawat.
Dalam posisi manajerial,
keadaaannya lebih buruk lagi. Di Bangladesh dan Indonesia, hanya satu persen
perempuan memegang posisi di tingkat pengambilan keputusan. Di Norwegia dan
Australia, manajer laki-laki unggul dengan perbandingan tiga berbanding satu.
Di AS, dari 1.000 perusahaan yang diteliti, hanya tiga persen perempuan
menduduki posisi eksekutif. Perempuan secara garis besar masih mengalami
diskriminasi upah. Sebanyak 60-75 persen perempuan di dunia masih buta huruf.
Situasi inilah yang sebenarnya memberikan kontribusi besar terhadap tingginya
angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan.
Maka pekerjaan di dalam
rumah (domestik) secara naluri /kodrat sangat cocok dengan fungsi otak dan
fisik wanita.
Kalaupun dipaksakan bekerja
di luar rumah, wanita akan mendapatkan beban ganda yaitu beban rumah tangga
(domestik) dan beban pekerjaan di luar rumah (publik) sehingga memberatkan dan
merugikan wanita.
III. Apa konsekwensi dari perintah ini ?
Sesuai dengan pendapat penulis di atas bahwa perintah
untuk diam di rumah ditujukan hanya untuk para isteri, tidak untuk gadis dan
janda, maka pekerjaan yang bisa dilkukan oleh para isteri, selain mengatur
rumah tangganya, proses reproduksi, memelihara serta mendidik anaknya, juga
bisa melakukan bisnis yang dilakukan di dalam rumahnya yaitu :
1. Bisnis toko eceran dan
grosir di rumah tokonya.
2. Memproduksi barang di
dalam rumahnya (home industry).
3. Membuat perusahaan yang
dikendalikan dari rumahnya.
4. Praktek dokter,
perawat, bidan atau pengacara di rumahnya.
5. Menjadi pegawai kantor
dari jarak jauh yaitu pekerjaan kantor dilakukan di rumahnya.
Sehingga tetap produktif tetapi terhindar dari
berbaurnya laki-laki dan perempuan non muhrim di luar rumah tanpa pengawasan
suami.
Maka para gadis yang kelak akan menjadi seorang
isteri yang tinggal di rumah, dalam menempuh pendidikan tidak perlu memasuki
pendidikan untuk menjadi pekerja di luar rumah, melainkan pendidikan itu untuk
menjadi seorang isteri dan ibu bagi anak-anaknya yang sempurna, serta menempuh
pendidikan untuk menjadi pekerja yang dapat dilakukan di dalam rumah.
Maka pekerjaan di kantor-kantor dan sekolah serta
pendidikan tinggi yang sekarang dijabat oleh laki-laki dan wanita, selanjutnya
hanya akan diduduki oleh laki-laki saja. Hal ini akan menimbulkan lowongan
pekerjaan yang dijabat oleh para wanita sebelumnya. Setelah lowongan ini
dimasuki laki-laki tentu akan mengurangi angka pengangguran yang tinggi pada
laki-laki, yang pasti akan menguntungkan isteri dan anak-anaknya di rumah.
Masalah Wanita Yang
Sendirian
Sedang masalah gadis yang menjadi perawan tua dan
para janda yang tidak menemukan laki-laki yang bisa mengawininya, sesuai dengan
ayat Al-Quran di bawah :
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Alloh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur/ 24: 32).
Menjadi kewajiban masyarakat untuk mencarikan suami
bagi mereka. Bila jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki maka perlu ada
pengorbanan dari laki-laki yang sudah beristeri untuk bersedia mengawini mereka
secara poligami agar para wanita itu berkesempatan menjadi seorang isteri dan
ibu rumah tangga sesuai naluri / fitrohnya.
Penulis katakan laki-laki itu harus berkorban, karena
berpoligami itu jauh lebih berat daripada bermonogami. Selain memerlukan
pengorbanan harta juga perlu pengorbanan waktu untuk melakukan giliran terhadap
isteri-isterinya secara adil.
IV. Bagaimana contoh pelaksanaanya di zaman Nabi ?
Pada makalah “Wacana Keadilan Jender Dalam Islam”
karangan Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si. terdapat cerita tentang para wanita di zaman
Nabi sebagai berikut :
Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si.
Ketua Pusat Studi Gender IAIN Walisongo Semarang
Ketua Pusat Studi Gender IAIN Walisongo Semarang
1. Dalam keluarga Nabi,
sebagaimana ditulis secara panjang lebar oleh Waddy, dikisahkan bahwa Khodijah
(istri pertama Nabi) adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses sejak jauh
sebelum menikah dengan Muhammad. Bahkan, di samping sebagai pendorong semangat
Nabi, Khodijah adalah penyandang dana kegiatan dakwah beliau.
Dengan demikian, menurut
Fatimah Usman perempuan muslimah juga tidak dilarang untuk menjadi seorang
(i.) pengusaha,
(ii.) profesional,
(iii.) karyawati, atau
(iv.) pekerja di bidang-bidang yang lain.
(ii.) profesional,
(iii.) karyawati, atau
(iv.) pekerja di bidang-bidang yang lain.
Komentar penulis:
Siti Khodijah r.a. adalah
pengusaha ekspedidi perdagangan dari Mekah ke Syam /Siria) yang selalu tinggal
di rumah. Beliau mengendalikan usahanya itu dari rumahnya di Mekah, tidak
pernah ikut bepergian ke Syam.
2. Demikian pula putri
Nabi, Fatimah Al-Zahro, yang selain sebagai perawi hadis, sejak kecil dia juga
seorang pemberani. Keberanian Fatimah tampak ketika Nabi bersujud dan berdoa di
depan Kaabah, kemudian didatangi para pengacau yang mengganggu dan melempari
beliau dengan kotoran. Saat itu, Fatimah tampil membela ayahandanya dan
membersihkan kotoran yang dilemparkan para pengacau. Padahal, tindakan itu
cukup berisiko. Fatimah (bersama 'Aisyah) juga termasuk regu penolong dan penyedia
logistik dalam Perang Uhud.
Dengan demikian menurut
Fatimah Usman, Islam tidak melarang perempuan menjadi advokad ataupun memilih
pekerjaan-pekerjaan yang berbau sosial, seperti :
(i.) perawat,
(ii.) tim palang merah, atau
(iii.) pekerja sosial yang lain.
(i.) perawat,
(ii.) tim palang merah, atau
(iii.) pekerja sosial yang lain.
Komentar penulis:
Fatimah r.a. dan Aisyah
r.a. ikut berjihad sesuai dengan tuntunan syaro’ di garis belakang, menyertai
dan diawasi oleh para suami mereka yaitu Rosululloh s.a.w. dan Sayidina Ali
r.a.
3. Selain Khodijah r.a.
dan Fatimah r.a., terdapat pula nama Aisyah r.a. Aktivitas ummul mukminin
Aisyah r.a. sangat banyak, antara lain meriwayatkan sejumlah 3.145 buah hadis
Nabi (termasuk tiga perawi terbesar sesudah Abu Huroiroh r.a. dan Ibn Umar
r.a.), dengan tema-tema yang variatif. Aisyah r.a. aktif di medan perang dan
politik, juga pernah memimpin 40 perempuan untuk terjun langsung ke dalam
Perang Jamal tahun 692.
Dengan demikian menurut
Fatimah Usman, tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk menjadi :
(i.) tentara,
(ii.) dosen,
(iii.) pendidik,
(iv.) ibu Nyai,
(v.) mubaligah, ataupun
(vi.) politikus, bahkan
(vii.) pemimpin bangsa dan negara.
(i.) tentara,
(ii.) dosen,
(iii.) pendidik,
(iv.) ibu Nyai,
(v.) mubaligah, ataupun
(vi.) politikus, bahkan
(vii.) pemimpin bangsa dan negara.
Komentar penulis:
Kejadian perang jamal itu
terjadi setelah Nabi Muhammad s.a.w.wafat. Status ibunda ‘A’isyah r.a. adalah
seorang janda Nabi berumur 50 tahun. Di dalam Al-Quran semua janda Nabi
dilarang untuk kawin lagi.
Keluarnya ‘A’isyah r.a.
dari rumah saat itu bukan untuk mengambil bagian dalam konflik politik
tersebut, melainkan untuk mendamaikan dua kubu yang berselisih yaitu Ali r.a.
dan Muawiyah r.a. Selain itu, saat berada di tengah-tengah mereka, ‘A’isyah
r.a. selalu dalam keadaan tertutup. Artinya beliau selalu berada di dalam
keranda di atas untanya, dan tidak berbaur dengan laki-laki.
‘A’isyah r.a. menuturkan
pengakuan dan penyesalan yang mendalam atas keputusannya untuk keluar dari
rumah ke medan perang. Saat itu beliau hanya bermaksud mendamaikan dua kubu
yang sedang berselisih, suatu tugas yang juga diwajibkan kepada wanita,
sebagaimana kepada laki-laki. Setelah kejadian itu, beliau sadar bahwa
keputusannya untuk keluar rumah adalah salah.
Diriwayatkan bahwa setiap kali membaca ayat ...dan tinggal dalam rumah-rumah, (Q.S. 33:33) ‘Aisyah selalu menangis tersedu-sedu karena menyesal.
Diriwayatkan bahwa setiap kali membaca ayat ...dan tinggal dalam rumah-rumah, (Q.S. 33:33) ‘Aisyah selalu menangis tersedu-sedu karena menyesal.
Diriwayatkan bahwa ‘Ammar
pernah berkata kepada ‘A’isyah: “Sesungguhnya Alloh memerintahkanmu untuk
berdiam di rumah.” A’isyah lalu berkata : “Engkau selalu berkata benar”. ‘Ammar
pun menimpali : “Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikanku seperti yang
engkau ucapkan tadi.”
4. Hafshoh binti
Umar r.a., istri Nabi, juga sangat besar jasanya dalam merawat pengumpulan
lembaran-lembaran Alquran sebelum kemudian dibukukan. Hafshoh r.a. merupakan
perawi hadis, seperti 'Aisyah r.a., yang tidak pernah kehabisan kata untuk
bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang berbagai persoalan agama. Bahkan, Hafshoh
r.a.juga berani berdebat dengan Nabi s.a.w.
Profesi Hafsoh
r.a. itu bagi perempuan masa kini menurut Fatimah Usman, barangkali sama dengan
:
(i.) arsiparis,
(ii.) penulis, atau
(iii.) ahli seminar.
Komentar penulis :
(i.) arsiparis,
(ii.) penulis, atau
(iii.) ahli seminar.
Komentar penulis :
Dua
profesi di atas yaitu arsiparis dan penulis sangat mungkin dilakukan di rumah.
Tetapi ahli seminar yang memungkinkan wanita berbaur dengan laki-laki bukan
muhrimnya tidak sesuai dengan ayat 33:33 /judul makalah.
5. Saudah
r.a., sebelum diperistri Nabi, juga merupakan perempuan pertama yang berani
hijrah ke Abissynia demi menyelamatkan agamanya dari gangguan kafir Quraisy
waktu itu. Lalu
6. Zainab r.a., istri Nabi yang
dijuluki sebagai "ibu orang miskin dan anak yatim" karena suka kegiatan
sosial.
(Tambahan penulis) Zainab binti Jahs r.a. isteri Nabi juga aktif bekerja di rumahnya seperti dalam Hadits Aisyah r.a. berikut ini:
(Tambahan penulis) Zainab binti Jahs r.a. isteri Nabi juga aktif bekerja di rumahnya seperti dalam Hadits Aisyah r.a. berikut ini:
Hadits 10: "Orang yang
paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya."
Aisyah r.a. berkata: Mereka saling bersaing untuk menentukan siapa di antara
mereka yang paling panjang tangannya. Ternyata yang paling panjang tangannya di
antara kami adalah Zainab r.a. karena ia bekerja dengan tangannya sendiri, yang
kemudian hasilnaya ia berikan kepada keluarganya, disebabkan karena ayahnya
telah meninggal dunia.” (H.R. Bukhori- Muslim).
Hadits 11: Diriwayatkan dari
Jabir r.a. bahwa Rosululloh s.a.w. mendatangi isterinya, Zainab, yang saat itu
sedang menyamak kulit”. (H.R. Muslim).
Hadits 12: Bahwa Zainab binti jahsy adalah
wanita yang bekerja dengan tangannya sendiri, ia menyamak dan menjahit kulit
serta bersedekah di jalan Alloh. (Riwayat Al Hakim dalam Mustadrak).
Kemudian,
7. Ummu Salamah Hind r.a. yang merupakan perempuan
pertama yang hijrah ke Yatsrib /Madinah. Dia tetap tabah meskipun dalam
perjalanan disiksa dengan keji oleh anak buah ayahnya, dan harus terpisah dari
suami dan anak-anaknya. Sesudah menjadi istri Nabi s.a.w., dia sering menemani
Nabi s.a.w. dalam berbagai ekspedisi, antara lain Hudaibiyah, Khaibar, Fath
Makkah, pengepungan Thoif dan Haji Wada'. Banyak sarannya dalam menghadapi
perilaku para Sahabat yang diperhatikan oleh Nabi s.a.w.
8. Yang tidak kalah
pentingnya adalah keteguhan iman Ummu Habibah Romlah, anak Abu Sufyan (dedengkot
kafir Quroisy).
Suami pertamanya memeluk Kristen ketika hijrah ke
Abyssinia. Meskipun keluarganya masih memusuhi Nabi sampai Fath Makkah, dia
tetap tegar dan kokoh dalam Islam. Keteguhan hati dan iman yang patut
diteladani, juga pengorbanan dan kemandirian dalam pilihan yang benar,
merupakan contoh konkret bagi kaum muslimah.
Perempuan-perempuan pendamping Nabi
ternyata merupakan sosok yang tidak pernah 'diam' dalam dinamika kehidupan umat
Islam periode awal. Padahal, pada waktu itu di Arab tantangan dan hambatannya
sangatlah besar. Namun, keterlibatan mereka bersama para perempuan muslimah
lainnya, seperti
9. Asma' binti Abu Bakar,
10. Binti Hatim (ahli dakwah),
11. Rufaidah (ahli merawat korban peperangan),
12. bibi dari Jabir (ahli berani Kurma), dan
13. Ummu Sulaim, sering terlibat dalam berbagai
peperangan dan suka bertanya kepada Nabi dalam persoalan-persoalan agama, telah
menjadi bukti bahwa perempuan sudah sedemikian aktif.
Aktivitas mereka tetap berlanjut ketika negara masih diperintah oleh Khulafa Al-Rasyidin. Misalnya,
Aktivitas mereka tetap berlanjut ketika negara masih diperintah oleh Khulafa Al-Rasyidin. Misalnya,
13. Ummu Harom, salah satu bibi Nabi, ikut bertempur dalam Perang Cyprus
pada tahun 649 M (zaman kholifah Usman).
Komentar penulis :
Komentar penulis :
Semua perempuan pendamping Nabi s.a.w. di atas pasti
melaksanakan perintah Alloh s.w.t. untuk tetap tinggal di rumah. Bila mereka
ikut dalam peperangan tentu berada di garis belakang di bawah pengawasan
suaminya masing-masing.
D.
KESIMPULAN / PENUTUP
Demikian telah dijawab pertanyaan-pertanyaan:
I. Apakah perintah ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain
isteri-isteri Nabi ?
Semua tafsir berpendapat
bahwa perintah ini berlaku untuk semua mukminat. Namun penulis berpendapat
bahwa selain isteri-isteri Nabi perintah ini hanya berlaku untuk para isteri
mukminat, tidak untuk mukminat yang sendirian.
II. Mengapa dikenakan perintah ini ?
Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab
bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom
dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang
bukan mahrom maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan
perhiasannya (kecuali wajah dan telapak tangannya, pen.). Dengan menjaga hal
ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:
1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitroh
dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil di antara hamba-hamba-Nya yaitu
kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani
pekerjaan di luar rumah
2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat
islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki
komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas
tersendiri, yaitu di luar rumah.
3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan
kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.
4. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa susunan otak
wanita sangat sesuai dengan kehidupan di rumah. Jadi, hidup di dalam rumah
adalah naluri dan kodrat wanita.
III. Apa konsekwensi dari perintah ini ?
Bila perintah Alloh s.a.w.
ini ditaati dan dilaksanakan oleh para isteri mukminat, maka pekerjaan di
kantor-kantor dan sekolah serta pendidikan tinggi yang sekarang dijabat oleh
laki-laki dan wanita, selanjutnya hanya akan diduduki oleh laki-laki saja. Hal
ini akan menimbulkan lowongan pekerjaan yang dijabat wanita sebelumnya. Setelah
lowongan ini dimasuki laki-laki akan mengurangi angka pengangguran yang tinggi
pada laki-laki, yang pasti akan menguntungkan isteri dan anak-anaknya di rumah.
IV. Bagaimana contoh
pelaksanaanya di zaman Nabi ?
Telah dibahas kehidupan 13
orang muslimah di zaman Nbi dan khulafa‘urrosyidin di mana meskipun di dalam
rumah mereka masih bisa melaksanakan bisnis serta kegiatan yang berguna lainnya
yang berguna bagi masyarakat. Sewaktu mereka keluar rumah selalu bersama dan
diawasi oleh suami masing-masing. Kecuali mereka yang gadis dan janda mereka
keluar rumah dengan tetap memelihara kesucian dirinya. Peristiwa terlibatnya
Ibunda ‘A’isyah r.a. dalam perang jamal telah disesali oleh beliau karena tidak
sesuai dengan Q.S. 33:33.
Penulis yakin bahwa
makalah ini jauh dari sempurna. Bila para pembaca mengetahui adanya kesalahan
mohon diberitahukan kepada penulis. Untuk itu penulis ucapkan banyak terima
kasih.
Walloohu ‘lmuwaffiq ilaa
aqwamith-thoriq.
Jember, 12 Juli 2010
Dr. H.M. Nasim
Fauzi
Jl. Gajah Mada 118 Jember
Tlp. (0331) 491127
nasimfauzi@Blogspot.Com
Daftar Kepustakaan
01. Allan and Barbara Pease, Why Men Don’t Listen
And Women Can’t Read Maps, Ufuk Press, Jakarta, 2007.
02. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir
Al-Maraghi 22, Karya Toha Putra, Semarang, 1992.
03. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan
Terjemahnya (Revisi Terbaru), C.V. Asy-Syifa’, Semarang, 1999.
04. Dr. ‘Abd al-Qodir Manshur, Buku Pintar Fikih
Wanita, Zaman, Jakarta, 2009.
05. Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin ‘Abdurahman Bin
Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
Jakarta 2008.
06. Dra. Hj. Sri Suhanjati, Sukri, Pemahaman Islam
dan Tantangan Keadilan Jender, Gama Media, Yogyakarta, 2002.
07. Louann Brizendine, Female Brain,Ufuk
Press, Jakarta, 2007.
08. Louann Brizendine, Male Brain,Ufuk Press,
Jakarta, 2010
09. Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah,
10. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 10, Penerbit
Lentera Hati, Jakarta, 2009.
11. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXII, Yayasan
Latimojong, Surabaya, 1980.
12. Richard Leakey, Asal-usul manusia, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta, 2003.
13. Resensi Buku: Membaca Filsafat yang
"Bertubuh" dan "Berjender"
14. Saifudin Mujtaba’ Isteri menafkahi keluarga?, Pustaka
Progresif, Surabaya, 2001.