Senin, 20 Mei 2019

BUKU Wanita Dalam Islam



WANITA YANG BEKERJA
Visi Ny. Ainun Habibie
dan Q.S. Al-Ahzab : 32-33
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
Pendahuluan
Pada zaman sekarang banyak wanita yang bekerja di luar rumah 
Mari kita renungkan pemikiran Ny. Ainun Habibi dan tafsir Al-Qur-an yang berhubungan dengan masalah ini.
Pemikiran Ny. Ainun Habibie
   "Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya seorang dokter?
Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang mungkin cukup banyak itu, jika lalu diberian pada seorang pengasuh anak ber-gaji tinggi dengan resiko kami kehilangan kedekatan pada anak sendiri?
Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional; jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri? Anak saya akan tidak memiliki ibu. Seimbangkah anak kehi-langan ibu dan bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, de-ngan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja?
Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu (B.J. Habibie, Ny. Ainun dan Ilham Habibie).
Jangan biarkan anak-anakmu hanya bersama pengasuh mereka
Bagaimana bila dibantu oleh kakek neneknya?
Sudah cukup rasanya membebani orang tua dengan mengurus kita sejak lahir sampai berumah tangga. Kapan lagi kita mau memberikan kesempatan kepada orang tua untuk bisa beribadah sepanjang waktu di hari tuanya.
Belajar dari kesuksesan orang-orang hebat (contohnya B.J. Habi-bie), selalu ada pengorbanan dari orang-orang yang berada di bela-kangnya, yang mungkin namanya tidak pernah tertulis dalam sejarah.
 Mudah-mudahan ini bisa jadi penyemangat dan jawaban untuk ibu-ibu berijazah; yang rela berkorban demi keluarga dan anak-anaknya. karena ingin Rumah Tangganya tetap terjaga dan anak-anak bisa tum-buh dengan penuh perhatian, tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga untuk mendidik agamanya, karena itulah sejatinya peran orangtua.   
Berbanggalah engkau sang Ibu Rumah Tangga, karena itulah peker-ja-an seorang wanita yang paling mulia.
Al Qur-an Surat Al-Ahzab [33] : 32-33
Terjemahnya
32. Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu [1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahili-yah yang dahulu [1216] dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan RosulNya. Sesungguhnya Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian hai ahlul bait [1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Apakah perintah ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri Nabi ?
1. Tafsir Ibnu Katsir
Alloh Ta’ala berfirman: “ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” Yaitu istiqomahlah (tetaplah) di rumah-rumah kalian dan jangan keluar tanpa hajat. Di antara hajat-hajat syar’i adalah sholat di masjid dengan sya-ratnya, seperti sabda Rosululloh Saw.:
Hadits 01 : Janganlah kalian melarang wanita hamba-hamba Alloh pergi ke masjid-masjid Alloh dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wangi-wangian
Hadits 02 : Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Sunan Abi Dawud dan Musnad al-Imam Ahmad).
Hadits 03 : Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya yang lalu, serta Abu Dawud, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Sholat seorang wanita di kamarnya lebih baik daripada sholatnya di rumahnya. Dan sholat di rumahnya lebih baik daripada sholatnya di luar rumahnya.” (Isnad hadits ini jayyid).
Kesimpulan :
Menurut Ibnu Katsir perintah ini berlaku juga untuk mukminat lainnya.
2. Tafsir Al Maroghi
Senantiasa kalian tinggal dalam rumahmu.
Jadi janganlah kalian keluar rumah tanpa hajat. Firman ini merupakan perintah kepada para isteri nabi, dan juga kepada wanita-wanita lainnya
Hadits 04: At-Tirmizi dan Al-Bazzar telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Saw. bersabda : “Sesungguhnya, wanita itu sendiri adalah aurot. Maka apabila ia keluar dari rumahnya, ia di-intai oleh setan. Dan wanita yang paling dekat kepada rohmat Tuhan-nya ialah ketika ia berada dalam rumahnya.”
3. Tafsir Al-Misbah oleh M. Quroish Shihab.
Alloh berfirman: Dan, di samping itu, tetaplah kamu tinggal di rumah kamu. Kecuali jika ada keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh agama dan berilah perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu..
Perintah waqorna dan Waqirna fi buyutikum  (Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu) ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad Saw.. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah apakah wanita-wanita muslimah selain isteri-isteri Nabi dicakup juga oleh pe-rintah tersebut ?
Al-Qurthubi (w 671 H), seorang pakar tafsir hukum, menulis : “Makna ayat di atas adalah perintah untuk tinggal di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad Saw., se-lain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut.” Agama me-nuntut agar wanita-wanita tinggal di rumah dan tidak keluar rumah ke-cuali karena keadaan darurat.
Al-Maududi, pemikir Pakistan, dalam bukunya, Al-Hijab,  menulis  “Tempat wanita adalah di rumah, mereka  dibebaskan dari pekerjaan di luar rumah agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tang-ga. Boleh saja  keluar rumah, dengan syarat memerhatikan segi ke-sucian diri dan memelihara rasa malu.
Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diter-bitkan oleh Departemen Agama R.I.
Menurut Thohir Ibn ‘Asyur perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi wanita muslimah selain mere-ka sebagai kesempurnaan.
Kesimpulan : Menurut Prof. M. Quroish Shihab perintah ini berlaku juga bagi wanita-wanita muslimah lainnya
Persoalannya adalah dalam batas apa saja izin tersebut ? Misalnya “Bolehkah mereka bekerja ?”
M. Quthub, dalam bukunya Ma’rokah at-Taqolid, menuls: “Ayat ini bukan berarti wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja dalam keadaan da-rurat dan tidak menjadikannya sebagai pekerjaan pokok. Rumah tangga adalah tugas pokoknya,
Dalam bukunya, Syubuhat Haula al-Islam, dijelaskan bahwa perem-puan pada awal Islam pun bekerja ketika kondisi menuntutnya. Hanya saja, Islam tidak senang wanita keluar rumah kecuali untuk hal-hal yang sangat dibutuhkan masyarakat, atau karena tidak ada yang membiayai hidupnya atau tak mencukupi kebutuhannya.
Komentar penulis
     Pada semua tafsir di atas, perintah untuk tetap tinggal di rumah yang ditujukan untuk para istri Nabi, juga berlaku bagi semua mukminat yang menjadi isteri. Bagi Mukminat yang bersuami ada laki-laki yang me-nanggung nafkahnya. Mereka bertanggung jawab mengatur rumah tang-ganya. Bila mempunyai anak mereka bertanggung jawab mengasuh dan mendidik anaknya.
Agar rumah tangganya baik, mukminat tersebut harus selalu berada di dalam rumahnya.
Mukminat yang sendirian bisa gadis atau janda.
Bagi para gadis..Kehidupan mereka berada dalam tanggungan ayahnya. Di rumah masih ada ibunya yang bertanggung jawab atas rumah tangganya. Tidak punya tanggungan anak. Biasanya masih bersekolah.
Maka, masih ada fungsi yang biasanya dilakukan di luar rumah yaitu bersekolah.
Bila orang tua gadis itu tidak mampu maka mereka boleh bekerja secara darurat, seperti kasus puteri-puteri Nabi Syuaib As. di Madyan. Nabi Musa As. yang melarikan diri dari Mesir ke Madyan berjumpa de-ngan mereka di sebuah sumur. Maka dibantunya kedua puteri Nabi Syuaib itu mengambil air sumur.
Bagi jpara janda, bila masih mempunyai ayah, sesuai dengan prin-sip “ar-rijalu qowwamuna ‘alan nisa’ (laki-laki adalah pemimpin wanita), dia akan kembali ke rumah ayahnya / ditanggung ayahnya. Bila ayah-nya sudah wafat, maka hidupnya ditanggung oleh saudara laki-lakinya. Bila kedua-duanya tidak ada maka dia terpaksa harus bekerja yang se-ring kali dilakukan di luar rumah sesuai dengan hadits berikut:
     Jabir bin Abdulloh Ra. berkata: Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia bekerja sebagai pemotong kurma di ladangnya, kemudian seorang lela-ki melarangnya bekerja di luar rumah. Maka dia mendatangi Rosululloh Saw. seraya mengadukan persoalannya. Lalu beliau bersabda: “Tentu saja kamu boleh bekerja. Boleh jadi kamu dapat menyedekahkan usahamu atau dapat melakukan hal-hal yang ma’ruf.” (H.R. Muslim).
Apa konsekwensi dari perintah ini ?
Perintah untuk diam di rumah ditujukan hanya untuk para isteri, tidak untuk gadis dan janda, maka pekerjaan yang bisa dilakukan oleh para isteri, selain mengatur rumah tangganya adalah hamil dan me-lahirkan anak, memelihara serta mendidik anaknya.
Mereka masih bisa melakukan bisnis yang dilakukan di dalam rumahnya. Contoh :
1. Bisnis toko eceran dan grosir di rumah tokonya.
2. Memproduksi barang di dalam rumahnya (home industry).
3. Membuat perusahaan yang dikendalikan dari rumahnya.
4. Praktek dokter, perawat, bidan atau pengacara di rumahnya.
5. Menjadi pegawai kantor dari jarak jauh yaitu pekerjaan kantor dilakukan di rumahnya.
Sehingga tetap produktif, tetapi terhindar dari berbaurnya laki-laki dan perempuan non muhrim di luar rumah tanpa pengawasan suami.
Maka para gadis yang kelak akan menjadi seorang isteri yang ting-gal di rumah, dalam bersekolah tidak perlu memasuki pendidikan untuk menjadi pekerja di luar rumah, melainkan bersekolah untuk menjadi se-orang isteri dan ibu bagi anak-anaknya yang sempurna, serta berseko-lah untuk menjadi pekerja yang dapat dilakukan di dalam rumah.
Contoh di Zaman Nabi Saw.
Siti Khodijah binti Khuwailid isteri Nabi yang pertama adalah pengu-saha ekspedidi perdagangan dari Mekah ke Syam / Siria) yang selalu tinggal di rumah. Beliau mengendalikan usahanya itu dari rumahnya di Mekah, tidak pernah ikut bepergian ke Syam.
Zainab binti Jahs istri Nabi pandai menggunakan keahlian tangan. Di rumahnya beliau menyamak kulit dan menjual barang yang telah dibuatnya, kemudian memberi sedekah pada fakir miskin.
Siti Aisyah binti Abu Bakar isteri Nabi adalah seorang ahli agama yang menjadi guru para sahabat di rumahnya. Beliau meriwayatkan 3.145 hadis, terbanyak kedua setelah Abu Huroiruh. Terutama hadis tentang kehidupan Rosululloh Saw. di dalam rumah.
Jember, 20 Maret 2017
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember


BUKAN HANYA KAUM WANITA ISLAM YANG MEMAKAI JILBAB
Oleh : Dr. H. M. Nasim Fauzi
Pendahuluan.
Di Indonesia hanya kaum muslimah yang mengenakan jilbab.
Namun sebenarnya, jilbab juga dikenakan oleh para biarawati Kristen. Gambar dan patung Bunda Maria juga terlihat berjilbab. Terkadang Dewi Kwan Im digambarkan memakai jilbab yang longgar. 
SYARAT-SYARAT JILBAB DALAM AGAMA ISLAM
Menurut Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. ada 12 syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut.
     Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.      
     Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias, seperti banyak di-hiasi gambar bunga apalagi yang
warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa
     Syarat ketiga: tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar / tidak ketat.
     Syarat keempat: tidak memakai wewangian.
     Syarat kelima: tidak menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.
     Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran (baca: pakaian syuhroh). Pakaian syuhroh di sini bisa berupa pakaian yang mewah atau paling kere sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula  pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri itu dan tidak dipakai di zaman itu. Semua pakaian seperti ini terlarang.
     Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.
     Syarat kedelapan: tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manu-sia dan hewan). Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj pada syarat kedua di atas.
     Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.
     Syarat kesepuluh: bukan pakaian kesombongan.
     Syarat kesebelas: bukan pakaian pemborosan .
     Syarat keduabelas: bukan pakaian ahlu bid’ah. Seperti memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah seperti wanita Syi’ah Rofidhoh pada bulan Muharram.
  Berikut ini kutipan dari artkel Abu Fahd Negara Tauhid.
JILBAB MENURUT AJARAN YAHUDI
Kitab Talmud Yahudi menyatakan:
      “Apabila seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau ber-celoteh di jalan umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh te-tangga-tetangganya, maka  dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa membayar  mahar padanya.” [“Al Hijab”, Abul A’la Maududi, halaman 6].

     Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Univer-sitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Ya-hudi saat bepergian ke luar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menu-tup hampir seluruh muka dan hanya
meninggalkan sebelah mata saja.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, Sherif Abdel Azeem,  (Yogyakarta: Gama Media,  2001), cet. Ke-2, halaman 74].  
     Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19 hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini wanita-wanita Yahudi yang shalih tidak pernah memakai penutup ke-pala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi). [S.W. Schneider, 1984, hal. 238-239].
JILBAB MENURUT AJARAN NASRANI
Anjuran memakai jilbab / cadar bagi kaum Nasrani:
Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk berjalan-jalan di padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada unta-unta datang. Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya Ishak, turun-lah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: “Siapakah laki-laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?” Jawab hamba itu: “Dialah tuanku itu (Ishak).” Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia.” (Genesis / Kejadian 24: 63-65)
Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghinanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.
Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?
     Dalam kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips  menegaskan bahwa dalam kanon Gereja Katolik  terdapat artikel hukum yang mewajibkan wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di Gereja. Bahkan sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini. [“Agama Yesus Yang Sebenarnya”, Abu Ameenah Bilal  Philips, (Jakarta : Pustaka Dai, 2004), h. 179].
     Namun wanita kristen yang berada di Barat atau di Eropa, atau juga di Indonesia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan saat datang ke Gereja pada setiap hari minggu tidak terlihat jemaat wanitanya mema-kai jilbab atau kerudung. Berjilbab dalam Kristen ternyata sudah diprak-tekkan oleh Ibu Yesus kristus atau Bunda Maria, seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda Maria yang memakai jilbab.
JILBAB MENURUT AJARAN HINDU
Anjuran memakai jilbab / cadar bagi kaum Hindu:
      “Rama berkata kepada Shinta, dia memerintahkan agar menunduk-kan pandangan dan mengenakan kerudung.” [Mahavir Charitra Act 2 Page 71].
     Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakai-an khas yang dipakai sehari-hari. [http://cdnu.kaskus.us/34/pemwid9a.jpg].
JILBAB / CADAR MENURUT AJARAN BUDDHA
Anjuran memakai jilbab / cadar bagi kaum Buddha:
     Pada masa Sang Buddha beberapa wanita memakai cadar walaupun lebih sebagai [pelindung] yang sama dengan topi daripada untuk menutupi wajah. Namun sekitar awal milenium pertama, cadar mulai di- anggap sebagai hal yang sepantasnya bagi wanita kelas atas dan mereka yang berada dalam rumah tangga kerajaan untuk menutupi diri mereka dengan cadar. Ini merupakan awal dari apa yang disebut purdah, pengasingan para wanita dari khalayak ramai.
     Sebuah trend yang menjadi lebih tersebar luas di India dengan di-perkenalkannya agama Islam pada abad ke-13. Para wanita desa di India masih menarik kain sari  menutupi wajah mereka di hadapan pria yang tidak ada hubungan dengan mereka.
Kesimpulan
     Kewajiban memakai jilbab bagi kaum wanita bukan monopoli tradisi Islam. Memakai jilbab juga  bagian dari tradisi keagamaan Yahudi, Nasrani, Hindu dan Buddha.
     Dalam tradisi Yahudi, jilbab merupakan  simbol ketaatan dan kehor-matan wanita terhadap suaminya, bentuk ibadah kepada Tuhan, lam-bang kemewahan, kewibawaan, kebangsawanan, dan kesucian wanita.
     Meskipun prakteknya tidak ideal, kewajiban memakai jilbab dalam tradisi kristen tercermin dalam ungkapan Santo Paulus yang menyata-kan bahwa wanita yang tidak berjilbab harus dicukur rambutnya sampai gundul karena dianggap telah menghina suaminya.
     Islam menegaskan bahwa kaum wanita diwajibkan untuk berjilbab dan berpakaian yang sopan dan terhormat, tidak tipis dan ketat yang bisa menimbulkan rangsangan birahi dan fitnah. Jilbab dalam Islam tidak mengekang dan membuat wanita menjadi terbelakang, melainkan wanita menjadi terjaga kesucian dan kehormatannya, terjaga keamanan dan kemuliaannya. Jadi, wanita muslimah yang berjilbab berarti mem-bumikan  syariat Ilahi dalam kehidupannya sehingga menimbulkan ke-pribadian yang tangguh dan jati diri wanita yang shalihah.
Jember 2 April 2017
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember



Tidak ada komentar:

Posting Komentar