Senin, 20 Mei 2019

BUKU Islam di Indonesia



HUKUM ISLAM
DI INDONESIA

Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi

Pendahuluan
     Indonesia adalah negara hukum yaitu kekuasaan pemerintah Indonesia harus berdasar dan berasal dari ketentuan undang-undang, sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan. Rakyat bisa mengontrol institusi negara dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)..
Jumlah undang-undang di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia, tetapi dengan jumlah pelanggaran hukum terbanyak pula. Hal ini terjadi karena kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia:
1. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
2. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
6. Peraturan Presiden (Perpres)
7. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tiga elemen penting hukum di Indonesia
1. Hukum Eropa / Hindia Belanda,
2. Hukum adat dan
3. Hukum Islam.
Proses pembentukan undang-undang:di Indonesia
1. Rencana Undang-undang (RUU) dapat berasal dari DPR atau Presiden.
2. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian
4. DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan
5. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
6. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia
Hukum Islam di Indonesia
     Hukum Islam sudah ratusan tahun yang silam dilaksanakan oleh.umat Islam Indonesia yang memiliki karakter khusus, yaitu Islam yang inklusif, toleran dan juga moderat
Sumber-sumber Hukum Islam
     Sistematika Hukum Islam diambil dari Al Qur-an Surat An-Nisa [4]:59 :59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh (1) (Al Qur-an) dan taatilah Rosul (2) (Sunnah-Hadis)(nya), dan ulil amri di antara kamu (3) (Ijma' ulama')Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya) (4) (Qiyas)jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
     Selain 4 dasar ini ada 6 dalil lainnya yang digunakan oleh para mujtahid yaitu : (v.) Maslahah Mursalah (maslahah yang tidak bertentangan dengan dalil syar'i), (vi.) Istihsan (menganggap baik suatu perkara), (vii.) Madzhab shohibi (pendapat para sohabat Nabi), (viii.) Al-'Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari'at), (ix.) Istishhab (menetapkan hukum sekarang sesuai dengan hukum yang sudah pernah berlaku sebelumnya), serta (x.) Syariat kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad Saw. (Kitab perjanjian Lama dan Baru)
Isi Hukum Islam / Fiqh
Secara umum isi kitab fekih terbagi atas bagian-bagian sebagai berikut.
1. Pertama, Kitab Ibadat.
Bagian ini membicarakan hukum-hukum bersuci, sholat, zakat, puasa, haji dan segala yang berhubungan dengan masing-masingnya termasuk rukun dan syarat serta amal-amal lain seperti azan, qomat dan sebagainya.
2. Kedua, Kitab Munakahat.
Bagian ini membicarakan hukum pernikahan, perceraian, rujuk, nafkah isteri dan anak, perwalian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan akibat pernikahan, juga pembagian harta warisan.
3. Ketiga, Kitab Mu'amalat.
Mengatur hukum perjanjian, jual-beli, utang-piutang, gadai dan lain-lain yang menyangkut sosial ekonomi. Termasuk juga hukum makanan dan minuman
4. Keempat, Kitab 'Uqubat.
Bagian yang mengatur hukum pidana, peradilan, urusan pemerintahan, hubungan dengan luar negeri, perang dan damai, pemberontakan, pindah agama, kewarganegaraan dan sebagainya.
Pengaruh Hasbi Ash-Shiddiqi
     Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy (Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis dan ilmu kalam. Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh 936 judul. Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tauhid ilmu kalam (5 judul). Beliau juga mengarang Kitab Tafsir Al Qur-anul Majid An-Nuur (5 jilid).
Fikih Nusantara
     Semula, dalam tata hukum nasional kita, hukum Islam menjadi bagian dari hukum adat. Atas pengaruh Hasbi-lah Hukum Islam menjadi hukum nasional. Fikih Indonesia yang ditawarkan Hasbi As-Shiddiqi berdampak sosial sangat luas. Bagaimanpun juga, gagasan Hasbi As-Shiddiqi telah menjadi batu bata pertama Fikih Nusantara seperti Fikih Hijazi (Arab Saudi), Fikih Hindi (India) dan Fikih Mishr (Mesir). Dan kini terjadi percepatan luar biasa atas Fikih Nusantara di negeri ini.
Pada masa Orde Baru dihasilkan UU Nomor 1  tahun 1974 Tentang Perkawinan..
Pada masa Orde Reformasi, semakin banyak hukum Islam yang menjadi qanun (positif laws) di negara ini seperti Kompilasi Hukum Islam (I991), UU tentang Zakat (I999 direvisi 2011), UU tentang Wakaf (2004), UU Perbankan Syari'ah (2008) dan lain sebagainya.
Undang-undang tentang Hukum Islam di atas meliputi masalah Munakahat dan Muamalat, bukan menyangkut Ibadat dan Uqubat (Pidana). Kecuali Qanun / Perda di Nangru Aceh Darussalam adalah tentang Hukum Pidana.
Living Laws dan Positive Laws
     Fikih Nusantara setidaknya telah mewujud dalam dua bentuk penting sekaligus : living laws (hukum yang hidup) dan positive laws (hukum positif). Keduanya adalah bagian dan kekayaan dari khazanah flkih Nusantara.
Sebagai living laws, fikih Nusantara dapat kita simak bersama dalam musyawarah kitab di pesantren, halaqah Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Dewan Hisbah Persis, Fatwa MUI dan sebagainya, yang kesemuanya menjadi acuan referensi fatwa bagi umat. Sementara iru, sebagai positif laws, kita melihat Fikih Nusantara yang terbakukan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah dan bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam. Dalam hukum yang positif laws ini, berlaku kaidah fikih: hukmu al-hakim yulzimu wa yarfaul khilafa. Keputusan hakim bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
     Dari aspek produk ulama nusantara telah banyak memproduksi Fikih Nusantara. Misalnya, tradisi Halal bi Halal yang hanya ada di Indonesia. Ghalibnya, di berbagai Negara Timur Tengah, yang ramai adalah hari raya Idul Adha. Namun, di Indonesia, justru yang sangat ramai adalah Idul Fitri yang selanjutnya diteruskan dengan acara Hari Raya Ketupat dan juga acara Halal bi Halal. Para ulama Nusantara juga menunjukkan kreasi "ukuran aurat" dengan tidak menggunakan hijab ala Timur Tengah. Ini dibuktikan dengan baju muslimah Nusantara para Ibu Nyai tokoh-tokoh besar Islam seperti istri KH. Hasyim Asy'ari, istri KH. Ahmad Dahlan, istri Buya Hamka, istri H. Agus Salim dan lain sebagainya. Baju muslimah Nusantara kini dapat kita lihat pada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, Presiden RI yang keempat.
Harta Gono Gini
     Produk lain dari Fikih Nusantara sebagai qanun dalam kumpulan Hukum Islam adalah harta gono gini. Harta gono gini merupakan harta bersama suami istri setelah menikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa, harta waris akan dibagi setelah harta gono gini suami istri dibagi berdua. Jika seorang suami meninggal misalnya dengan uang 100 juta. Maka dibagi untuk istri 50 juta dan suami 50 juta. Uang 50 juta suami inilah yang dibagi pada para ahli waris. Model Fikih Nusantara dalam harta gono gini seperti ini merupakan lompatan yang luar biasa dibanding dengan fikih konvensional yang dipraktekkan di banyak negara Islam, terutama di Timur Tengah.
Walhasil, Fikih Nusantara adalah roh yang telah built in dan mengakar dalam kehidupan Muslim Nusantara. Fikih ini akan terus melakukan "perubahan" sesuai dengan tuntutan zaman. Perubahan hukum bergantung pada perubahan zaman dan tempat. Jika realitas-realitas berubah, maka hukum akan menyesuaikan dengan perubahan realitas tersebut. Hanya saja, perubahan dimaksud adalah perubahan pada selain "ibadah mahdlah" (solat, puasa, zakat dan hajji). Karena pada dimensi ibadah mahdlah ini sudah harga mati, tidak bisa diotak-atik dan bersifat sepanjang masa.
    Jember, 15 April 2016
Dr. H.M. Nasim Fauzi 
Jalan Gajah Mada 118
Tilp. (0331) 481127 
Jember
C. KESIMPULAN / PENUTUP
Demikian telah dijawab pertanyaan-pertanyaan :
1. Di samping perbedaan fisik yaitu laki-laki lebih besar dan kuat, apakah wanita itu juga berbeda dengan laki-laki dalam kemampuan intelektualnya ?
2. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu ?
3. Mengapa pekerjaan yang menyangkut kekuatan dan ketrampilan fisik, kemampuan manajemen organisasi serta pemikiran abstrak dan matematis masih dikuasai laki-laki ? 
4. Berdasar adanya perbedaan itu, ditinjau dari segi agama, bagaimanakah pembagian tugas antara wanita dan laki-laki itu ?
     Penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Bila para pembaca mengetahui adanya kesalahan mohon diberitahukan kepada penulis. Untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih.
Walloohu ‘lmuwaffiq ilaa aqwamith-thoriq.
Jember, 25 Juni 2010
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 491127
Jember

 Daftar Kepustakaan
1. Syamsul Rijal Hamid, 297 Petuah Rasulullah Saw. Seputar Hubungan Pria & Wanita, Cahaya Salam, Bogor, 2005.
2. Louann Brizendine, Female Brain, Ufuk Press, Jakarta, 2007.
3. Allan + Barbara Pease, Why Men Don’t Listen And Women Can’t Read Maps, Ufuk Press, Jakarta, 2007.
4. K.H. Munawar Chalil, Nilai Wanita, Ramadhani, Solo-Semarang,1954.

Muhammadiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
     Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad Saw.
     Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
     Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
     Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:

     Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
     Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam se-cara terorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung pene-gasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung mak-na pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
     Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Sejarah

Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta
Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]
     Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menu-
rut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda be-rupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan di-wujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang di-kenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wiro-brajan dan Madrasah Mu'allimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta yang keduanya skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan di-bawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
     Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kau-man, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sa-ngidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogya-karta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Peka-longan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan mem-buka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif sing-kat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Suma-tra Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muham-madiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

Organisasi

Jaringan Kelembagaan

1.                  Pimpinan Pusat, Kantor pengurus pusat Muhammadiyah awalnya berada di Yogyakarta. Namun pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibukota Jakarta. Struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015 terdiri dari lima orang Penasihat, seorang Ketua Umum yang dibantu dua belas orang Ketua lainnya, seorang Sekretaris Umum dengan dua anggota, seorang Bendahara Umum dengan seorang anggotanya.
2.                  Pimpinan Wilayah, setingkat Provinsi, terdapat 33 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
3.                  Pimpinan Daerah, setingkat Kabupaten/Kota.
4.                  Pimpinan Cabang, setingkat Kecamatan.
5.                  Pimpinan Ranting, setingkat Pedesaan/Kelurahan.
6.                  Pimpinan Cabang Istimewa, untuk luar negeri.

Pembantu Pimpinan Persyarikatan

1.    Majelis
Majelis Tarjih dan Tajdid
Majelis Tabligh
Majelis Pendidikan Tinggi
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
Majelis Pendidikan Kader
Majelis Pelayanan Sosial
Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
Majelis Pemberdayaan Masyarakat
Majelis Pembina Kesehatan Umum
Majelis Pustaka dan Informasi
Majelis Lingkungan Hidup
Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
1.                Lembaga
Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
Lembaga Hubungan dan Kerja sama International

Organisasi Otonom

Muhammadiyah juga memiliki beberapa organisasi otonom, yaitu:
·                     'Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah)
·                     Pemuda Muhammadiyah
·                     Nasyiatul Aisyiyah (Putri Muhammadiyah)
·                     Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
·                     Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
·                     Hizbul Wathan (Gerakan kepramukaan)
·                     Tapak Suci Putera Muhammadiyah (Perguruan silat)

Daftar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Berikut ini adalah daftar Ketua Umum Muhammadiyah:[3]
 
No.
Ketua
Umum
Awal menja-
bat
Akhir menja-
bat
Tempat
Musya-
warah[4]
Rapat/
Muktamar
Ket.
1






 
K.H. Ahmad Dahlan
1912
1923
Rapat Tahun ke–1


Rapat Tahun ke–2

Rapat Tahun ke–3

Rapat Tahun ke–4

Rapat Tahun ke–5

Rapat Tahun ke–6

Rapat Tahun ke–7

Rapat Tahun ke–8

Rapat Tahun ke–9

Rapat Tahun ke–10

Rapat Tahun ke–11

2

 
K.H. Ibrahim
1923
1934
Rapat Tahun ke–12


Rapat Tahun ke–13

Rapat Tahun ke–14

Kongres ke–15

Kongres ke–16

Kongres ke–17

Kongres ke–18

Kongres ke–19

Kongres ke–20

Kongres ke–21

Kongres ke–22

3
1934
1937
Kongres ke–23


Kongres ke–24

Kongres ke–25

4

 
 









1937
1942
Kongres ke–26


Kongres ke–27

Kongres ke–28

Kongres ke–29

Kongres ke–30

5
 






1942
1944
Fait Accompli


1944
1946
Muktamar Darurat

1946
1950
Silahturrahmi se–Jawa

1950
1953
Muktamar ke–31


6
 






1953
1956
Muktamar ke–32
Muktamar Muhammadiyah ke-32.jpg

1956
1959
Muktamar ke–33


7
1959
1962
Muktamar ke–34


8
 





1962
1965
Muktamar ke–35


1965
1968
Muktamar ke–36


9
 





1968
1968
Muktamar ke–37


 
10






1968
1971
Fait Accompli


1971
1974
Muktamar ke–38


1974
1978
Muktamar ke–39


1978
1985
Muktamar ke–40


1985
1990
Muktamar ke–41


11
 






1990
1995
Muktamar ke–42


12



 
 



1995
1998
Aceh
Muktamar ke–43


13
 




 
Ahmad Syafii Maarif
1998
2000
Sidang Tanwir &
Rapat Pleno


2000
2005
Muktamar ke–44
Muktamar Muhammadiyah ke-44.jpg

14





2005
2010
Muktamar ke–45
Muktamar Muhammadiyah ke-45.jpg

2010
2015
Muktamar ke–46
Muktamar Muhammadiyah ke-46.jpg

15
 






2015
2020
Muktamar ke–47
Muktamar Muhammadiyah ke-47.jpg

Amal Usaha

Amal usaha Muhammadiyah terutama bergerak di bidang Pendidikan serta layanan Kesehatan dan Sosial dalam wadah Pembina Kesejahteraan Umat (PKU), yaitu:
  • Pendidikan [5]
1.      TK/TPQ, jumlah TK/TPQ Muhammadiyah adalah sebanyak 4623.
2.      SD/MI, jumlah data SD/MI Muhammadiyah adalah sebanyak 2604.
3.      SMP/MTs, jumlah SMP/MTs Muhammadiyah adalah sebanyak 1772.
4.      SMA/SMK/MA, jumlah SMA/MA/SMK Muhammadiyah adalah sebanyak 1143.
5.      Perguruan Tinggi Muhammadiyah, jumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah sebanyak 172.
  • Kesehatan:
1.      Rumah Sakit, jumlah Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/ Aisyiyah yang terdata sejumlah 72 [6].
2.      Balai Kesehatan Ibu dan Anak
3.      Balai Kesehatan Masyarakat
4.      Balai Pengobatan
5.      Apotek
  • Sosial
1.      Panti Asuhan Yatim
2.      Panti Jompo
3.      Balai Kesehatan Sosial
4.      Panti Wreda/ Manula
5.      Panti Cacat Netra
6.      Santunan (Keluarga, Wreda/ Manula, Kematian)
7.      BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah)
8.      Rehabilitasi Cacat
9.      Sekolah Luar Biasa
10. Pondok Pesantren

Pendidikan

Perguruan Tinggi Muhammadiyah meliputi Universitas, Sekolah Tinggi, Institut, Politeknik, dan Akademi.

Universitas

1.      Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara
2.      Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara
3.      Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat
4.      Universitas Muhammadiyah Riau
5.      Universitas Muhammadiyah Aceh
6.      Universitas Muhammadiyah Palembang, Sumatra Selatan
7.      Universitas Muhammadiyah Lampung
8.      Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung
9.      Universitas Muhammadiyah Bengkulu
10.  Universitas Muhammadiyah Tangerang, Banten
11.  Universitas Muhammadiyah Jakarta
12. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta
13. Universitas Muhammadiyah Cirebon, Jawa Barat
14. Universitas Muhammadiyah Bandung, Jawa Barat
15. Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Jawa Barat
16. Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, Jawa Barat
17.

 
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
18. Universitas Aisyiyah Yogyakarta
19. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
20. Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah
21. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah
22. Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah
23. Universitas Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah
24. Universitas Muhammadiyah Semarang, Jawa Tengah
25. Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jawa Timur
26. Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur
27. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur
28. Universitas Muhammadiyah Jember, Jawa Timur
29. Universitas Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur
30. Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Jawa Timur
31. Universitas Muhammadiyah Pontianak, Kalimantan Barat
32. Universitas Muhammadiyah Balikpapan, Kalimantan Timur
33. Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Kalimantan Selatan
34. Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Kalimantan Tengah
35. Universitas Muhammadiyah Mataram, Nusa Tenggara Barat
36. Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur
37. Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan
38. Universitas Muhammadiyah Parepare, Sulawesi Selatan
39. Universitas Muhammadiyah Rappang, Sulawesi Selatan
40. Universitas Muhammadiyah Palopo, Sulawesi Selatan
41. Universitas Muhammadiyah Palu, Sulawesi Tengah
42. Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah
43. Universitas Muhammadiyah Buton, Sulawesi Tenggara
44. Universitas Muhammadiyah Kendari, Sulawesi Tenggara
45. Universitas Muhammadiyah Gorontalo
46. Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
47. Universitas Muhammadiyah Sorong, Papua Barat

Sekolah Tinggi

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)

  1. STIKES Muhammadiyah Palembang, Sumatra Selatan
  2. STIKES Muhammadiyah Pringsewu, Lampung
  3. STIKES Muhammadiyah Ciamis, Jawa Barat
  4. STIKES Muhammadiyah Pekajangan, Jawa Tengah
  5. STIKES Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah
  6. STIKES Muhammadiyah Kudus, Jawa Tengah
  7. STIKES Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah
  8. STIKES Muhammadiyah Gombong, Jawa Tengah
  9. STIKES Muhammadiyah Bojonegoro, Jawa Timur
  10. STIKES Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur
  11. STIKES Muhammadiyah Samarinda, Kalimantan Timur
  12. STIKES Muhammadiyah Sidrap, Sulawesi Selatan
  13. STIKES Muhammadiyah Manado, Sulawesi Utara
  14. STIKES Aisyiyah Bandung, Jawa Barat
  15. STIKES Aisyiyah Palembang, Sumatra Selatan
  16. STIKES Aisyiyah Surakarta, Jawa Tengah
  17. STIKES Aisyiyah Yogyakarta

Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan

  1. STKIP Muhammadiyah Kotabumi, Lampung
  2. STKIP Muhammadiyah Pringsewu, Lampung
  3. STKIP Muhammadiyah Pagaralam, Sumatra Selatan
  4. STKIP Muhammadiyah Bangka Belitung
  5. STKIP Muhammadiyah Bogor, Jawa Barat
  6. STKIP Muhammadiyah Kuningan, Jawa Barat
  7. STKIP Muhammadiyah Lumajang, Jawa Timur
  8. STKIP Muhammadiyah Kalabahi, Nusa Tenggara Timur
  9. STKIP Muhammadiyah Bone, Sulawesi Selatan
  10. STKIP Muhammadiyah Bulukumba, Sulawesi Selatan
  11. STKIP Muhammadiyah Enrekang, Sulawesi Selatan
  12. STKIP Muhammadiyah Rappang, Sulawesi Selatan
  13. STKIP Muhammadiyah Barru, Sulawesi Selatan
  14. STKIP Muhammadiyah Palopo, Sulawesi Selatan
  15. STKIP Muhammadiyah Sungai Penuh, Jambi
  16. STKIP Muhammadiyah Muara Bango, Jambi
  17. STKIP Muhammadiyah Sampit, Kalimantan Tengah
  18. STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah, Aceh
  19. STKIP Muhammadiyah Aceh Barat Daya, Aceh
  20. STKIP Muhammadiyah Sorong, Papua Barat
  21. STKIP Muhammadiyah Manokwari, Papua Barat

Sekolah Tinggi Ekonomi (STIE)

  1. STIE Muhammadiyah Kisaran, Sumatra Utara
  2. STIE Muhammadiyah Pringsewu, Lampung
  3. STIE Muhammadiyah Kalianda, Lampung
  4. STIE Muhammadiyah Jambi
  5. STIE Muhammadiyah Jakarta
  6. STIE Ahmad Dahlan Jakarta
  7. STIE Muhammadiyah Bandung, Jawa Barat
  8. STIEBIS Muhammadiyah Sumedang, Jawa Barat
  9. STIE Muhammadiyah Pekalongan, Jawa Tengah
  10. STIE Muhammadiyah Cilacap, Jawa Tengah
  11. STIE Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur
  12. STIE Muhammadiyah Ahmad Dahlan Lamongan, Jawa Timur
  13. STIE Muhammadiyah Tuban, Jawa Timur
  14. STIE Muhammadiyah Tanjung Redeb, Kalimantan Timur
  15. STIE Muhammadiyah Samarinda, Kalimantan Timur
  16. STIEBIS Muhammadiyah Sumedang, Jawa Barat
  17. STIE Muhammadiyah Palopo, Sulawesi Selatan
  18. STIE Muhammadiyah Mamuju, Sulawesi Barat

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH)

  1. STIH Muhammadiyah Kisaran, Sumatra Utara
  2. STIH Muhammadiyah Kotabumi, Lampung
  3. STIH Muhammadiyah Kalianda, Lampung
  4. STIH Muhammadiyah Bima, Nusa Tenggara Barat
  5. STIH Muhammadiyah Takengon, Aceh

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP)

  1. STISIP Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur
  2. STISIP Muhammadiyah Rappang, Sulawesi Selatan
  3. STISIP Muhammadiyah Sinjai, Sulawesi Selatan

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA)

  1. STIA Muhammadiyah Selong, Nusa Tenggara Barat

Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM)

  1. STIKOM Muhammadiyah Batam, Kepulauan Riau
  2. STIKOM Muhammadiyah Jayapura, Papua

Sekolah TInggi Manajemen Informatika dan Ilmu Komputer (STMIK)

  1. STMIK Muhammadiyah Jakarta
  2. STMIK Muhammadiyah Banten
  3. STMIK Muhammadiyah Paguyangan Brebes

Sekolah Tinggi Teknologi (STT)

  1. STT Muhammadiyah Cileungsi, Jawa Barat
  2. STT Muhammadiyah Banten
  3. STT Muhammadiyah Kebumen, Jawa Tengah

Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK)

  1. STIK Muhammadiyah Pontianak, Kalimantan Barat

Sekolah Tinggi Farmasi (STF)

  1. STF Muhammadiyah Tangerang, Banten

Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER)

  1. STIPER Muhammadiyah Tanah Grogot Paser, Kalimantan Timur
  2. STIP Muhammadiyah Sinjai, Sulawesi Selatan

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)

  1. STAI Muhammadiyah Garut, Jawa Barat
  2. STAI Muhammadiyah Bandung, Jawa Barat
  3. STAI Muhammadiyah Blora, Jawa Tengah
  4. STAI Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah
  5. STAI Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur
  6. STAI Muhammadiyah Probolinggo, Jawa Timur
  7. STAI Muhammadiyah Tulungagung, Jawa Timur
  8. STAI Muhammadiyah Bima, Nusa Tenggara Barat
  9. STAI Muhammadiyah Sinjai, Sulawesi Selatan

Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS)

  1. STIS Muhammadiyah Tolitoli, Sulawesi Tengah
  2. STIS Muhammadiyah Pringsewu, Lampung

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT)

  1. STIT Muhammadiyah Aceh Barat Daya, Aceh
  2. STIT Muhammadiyah Banjar, Jawa Barat
  3. STIT Muhammadiyah Wates Kulonprogo, DIY
  4. STIT Muhammadiyah Bangil Pasuruan, Jawa Timur
  5. STIT Muhammadiyah Bojonegoro, Jawa Timur
  6. STIT Muhammadiyah Kediri, Jawa Timur
  7. STIT Muhammadiyah Lumajang, Jawa Timur
  8. STIT Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur
  9. STIT Muhammadiyah Pacitan, Jawa Timur
  10. STIT Muhammadiyah Tempurejo Ngawi, Jawa Timur
  11. STIT Muhammadiyah Sibolga, Sumatra Utara
  12. STIT Muhammadiyah Kendal, Jawa Tengah
  13. STIT Muhammadiyah Tanjung Redep Berau, Kalimantan Timur

Institut

  1. Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi, Jawa Barat
  2. Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Maumere, Nusa Tenggara Timur

Politeknik

  1. Politeknik Muhammadiyah Yogyakarta
  2. Politeknik Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah
  3. Politeknik Muhammadiyah Pekalongan, Jawa Tengah
  4. Politeknik Muhammadiyah Tegal, Jawa Tengah

Akademi

Akademi Keperawatan (Akper)

  1. Akper Muhammadiyah Cirebon, Jawa Barat
  2. Akper Muhammadiyah Kendal, Jawa Tengah
  3. Akper Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan
  4. Akper Muhammadiyah Bireuen, Aceh
  5. Akper Aisyiyah Palembang, Sumatra Selatan
  6. Akper Aisyiyah Bandung, Jawa Barat
  7. Akper Aisyiyah Padang, Sumatra Barat

Akademi Kebidanan (Akbid)

  1. Akbid Muhammadiyah Cirebon, Jawa Barat
  2. Akbid Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur'
  3. Akbid Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan
  4. Akbid Muhammadiyah Palopo, Sulawesi Selatan
  5. Akbid Muhammadiyah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah
  6. Akbid Muhammadiyah Banda Aceh, Aceh
  7. Akbid Aisyiyah Palembang, Sumatra Selatan
  8. Akbid Aisyiyah Serang, Banten
  9. Akbid Aisyiyah Bandung, Jawa Barat
  10. Akbid Aisyiyah Pontianak, Kalimantan Barat
  11. Akbid Nyai Ahmad Dahlan Yogyakarta

Akademi Teknik Elektromedik

  1. Akademi Teknik Elektromedik Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan

Akademi Teknologi Radiodiagnostik & Radioterapi

  1. AKTEK Radiodiagnostik & Radioterapi Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan

Akademi Analis Kesehatan

  1. Akademi Analis Kesehatan Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan

Akademi Kesehatan Lingkungan

  1. Akademi Kesehatan Lingkungan Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan

Akademi Fisioterapi

  1. Akademi Fisioterapi Muhammadiyah Aceh

Akademi Statistika

  1. Akademi Statistika Muhammadiyah Semarang, Jawa Tengah

Akademi Akuntansi

  1. Akademi Akuntansi Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah

Akademi Farmasi (Akfar)

  1. Akfar Muhammadiyah Cirebon, Jawa Barat
  2. Akfar Muhammadiyah Kuningan, Jawa Barat

Akademi Pariwisata (Akpar)

  1. Akpar Muhammadiyah Jember, Jawa Timur
  2. Akpar Muhammadiyah Banda Aceh, Aceh

Rujukan

1.                              ^ Alfian (1989). hlm. 152. Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
2.                               ^ Sejarah Singkat
3.                               ^ "Permusyarawatan dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari Masa ke Masa". Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diakses tanggal 9 Februari 2019.
4.                               ^ "109 Tahun Muhammadiyah: 15 Ketua Umum, 47 Kali Muktamar di 15 Kota dengan 5 Istilah, Hoofdbestuur ke PB Menjadi PP". PWMU Dakwah Berkemajuan. 20 Agustus 2018. Diakses tanggal 9 Februari 2019.
5.                               ^ Pusat Data Muhammadiyah
Nahdlatul 'Ulama
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nahdlatul 'Ulama
 







Lambang Jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama
Tanggal pembentukan
16 Rajab 1344 (31 Januari 1926)
Jenis
Organisasi
Tujuan
Keagamaan dan sosial (Islam)
Kantor pusat
1. Jalan Bubutan VI no. 2, Surabaya, Indonesia
2. Jl. Kramat Raya no. 164, DKI Jakarta, Indonesia
Wilayah layanan
Jumlah anggota
90 juta (2015)[1][2]
Rais Aam Syuriah
Ketua Umum Tanfidziyah
Situs web
     Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cende-kiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keaga-maan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.[4] Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap penjajah.[5] Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.[6]

Sejarah

Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangki-tan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, mun-cullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
     Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
     Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
     Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
     Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
     Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan

     NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir sema-cam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi / Tauhid / ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Mali-ki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembang-kan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang menginte-grasikan antara tasawuf dengan syariat.
     Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momen-tum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Daftar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

     Berikut ini adalah daftar Rais Am Syuriah (Dewan Penasehat) dan Ketua Umum Tanfidziyah (Dewan Pelaksana) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No
Rais Aam Syuriyah
Ketua Umum Tanfidziyah
Awal
Akhir
Foto
Nama
Foto
Nama
1
 






 
1926
1947
2
 







 
K.H. Abdul Wahab Chasbullah
1947
1952

1952
1971
3
 





 
1972
1980
4








 
 


 
KH. Muhammad Ali Maksum
1980
1984
5


1984
1991
6
 





 
1991
1992
7






1992
1999
8
 
 
 







1999
2010
 
2010
2014
9




 
2014
2015
10





2015
2018
11
 






2018
Petahana

Basis Pendukung

     Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
     Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKB, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendu-kung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa di-rujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Mus-lim santri Indonesia. Suaidi Asyari[7] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham kea-gamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mere-ka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
     Berdasarkan lokasi dan karaktaristiknya, mayoritas pengikut NU ter-dapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkem-bangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi bera-gam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesivitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlussunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
     Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka pendu-duk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor in-dustri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat ini di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah me-miliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk ne-gara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum diman-faatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap kepengurusan NU.

Organisasi

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesa-tuan Republik Indonesia.

Usaha

1.                  Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.                  Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3.                  Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4.                  Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5.                  Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur Pengurus

K.H. Hasyim Asy;ari, Rais Akbar (ketua) pertama NU.
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat).
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Provinsi), terdapat 33 Wilayah.
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
  4. Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustasyar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Keanggotaan berbasis di ranting dan di cabang untuk cabang istimewa.

Lembaga[8]

Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama, berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan/atau yang memerlukan penanganan khusus. Lembaga ini meliputi:
1.                  Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LD-NU) [1]
4.                  Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LP-NU)
5.                  Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP-NU)
6.                  Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPK-NU)
7.                  Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKK-NU)
15.             Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LK-NU)
16.             Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LF-NU)

Lajnah

Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Berdasarkan perubahan AD/ART hasil Muktamar 33 NU di Jombang, Lajnah Nahdlatul Ulama[9] digantikan dengan lembaga. Semula ada 3 (tiga) Lajnah yaitu:
  1. Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) menjadi Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU)
  2. Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LF-NU) menjadi Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
  3. Lajnah Pendidikan tinggi (LPT-NU) menjadi Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama (LPTNU)

Badan Otonom

     Badan Otonom[10] adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
     Badan Otonom dikelompokkan dalam katagori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.
     Jenis Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah:
  1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
  2. Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU)
  3. Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU)
  4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
  5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
  6. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
  7. Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh an-Nahdliyah (MATAN)
Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya:
  1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah (JATMAN)
  2. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz Nahdlatul Ulama (JQHNU)
  3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
  4. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
  5. Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa (IPSNU Pagar Nusa)
  6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU)
  7. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU)
  8. Ikatan Seni Hadroh Indonesia (ISHARI)
  9. Ansor Banser Cyber Nahdlatul Ulama (ABCNU)

NU dan Politik


 
     Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Agama Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
     NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.
     Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang menga-tasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrah-man Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Partai Penerus

Rujukan

1.                                          ^ Ranjan Ghosh (4 January 2013). Making Sense of the Secular: Critical Perspectives from Europe to Asia. Routledge. hlm. 202–. ISBN 978-1-136-27721-4.
2.                                          ^ http://www.crwflags.com/fotw/flags/id_nu.html
3.                                          ^ http://www.antaranews.com/berita/368105/gus-sholah-nu-masih-kalah-dengan-muhammadiyah
4.                                          ^ KH. Achmad Siddiq. Khittah Nahdliyyah. Surabaya: Balai Pustaka. 1980.
5.                                          ^ KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kaidah Berpolitik & Bernegara. Jakarta: PBNU. 2014.
 6. ^ Aboebakar Atceh. Sejarah Hidup KH. A. Wachid Hasyim. Jombang: Pustaka Tebu Ireng. 2015.
7. ^ Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009

Islam Nusantara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud em-piris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kon-tekstualisasi, indigenisasi, interpre-tasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang uni-versal, yang sesuai dengan realitas
sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.[1]
     Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya.[2] Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.[3]

Sejarah

Informasi lebih lanjut: Islam di Indonesia

 
33
 
     Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan ber-langsung secara damai. Satu teori me-nyebutkan bahwa Islam datang secara lang-sung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebut-kan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat
di India atau langsung dari Timur Tengah.[4] Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indone-sia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajar-kan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
     Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.
     Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi
yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam. Di dalam negeri, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional khususnya Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai dapat melemahkan Pancasila.
     Akibatnya, muncullah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan mendefinisikan Islam Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini berkat pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang mendorong Indonesia — sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi.[5] Maka selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipro-mosikan, dan digalakkan.

Karakteristik

     Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim Indonesia lebih moderat, mereka tidak menerapkan pemisahan jenis kelamin secara ketat seperti di Arab, di sini santri laki-laki dan perempuan dapat berkumpul dan belajar bersama dalam kelas.
     Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan toleran.[3] Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal. Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.[2]
     Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal. Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain.[6]

Kritik

     Segera setelah diumumkan, Islam Nusantara menghadapi tentangan dan kritik dari aliran Islam yang lain. Tentangan datang khususnya dari para penganut aliran wahhabi dan salafi, atau aliran serupa yang hendak "membersihkan" Islam dari unsur-unsur lokal yang dianggap tidak Islami, yang sering dihujat sebagai praktik syirik atau bidah. Hizbut Tahrir Indonesia telah secara terang-terangan menentang konsep Islam Nusantara.[3] Islam Nusantara dikritik sebagai suatu bentuk Islam sin-kretisme yang merusak "kesempurnaan" dan ketunggalan Islam, serta dianggap merusak persatuan umat.[7]
     Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam berpengaruh di Indo-nesia — walaupun tidak menentang secara langsung konsep ini, me-nekankan bahwa istilah Islam Nusantara harus digunakan secara ber-hati-hati dan proporsional, agar tidak menindas aliran Islam lain yang memiliki pemahaman berbeda tentang Islam. Jika Islam Nusantara didukung dan diangkat sebagai aliran Islam utama oleh negara, maka ditakutkan aliran Islam lain akan mengalami penindasan dan diskr-mi-nasi.[8]

·                                  
Perkuat Islam Nusantara, Rektor IAIN Jember Bentuk Kabinet Kerja
Sabtu, 20 April 2019 10:15 Daerah
Bagikan

 
Jember, NU Online
     Bagi IAIN Jember, Islam Nusantara bukan sekadar isapan jempol atau pemanis bibir belaka. Namun konsep beragama, berbangsa dan bernegara yang digagas oleh Nahdlatul Ulama itu, benar-benar menjadi perhatian serius untuk terus dikembangkan di lingkungan kampus yang terletak di Jalan Mataram No.1, Karang Mluwo, Mangli, Jember itu. IAIN Jember bertekad untuk menjadi pusat kajian Islam Nusantara di tengah sorotan miring sejumlah pihak terhadap konsep tersebut.

     Tekad itu paling tidak, bisa dibaca dari pelantikan sejumlah posisi penting di lingkungan IAIN Jember yang berlangsung di aula Gedung Kuliah Terpadu IAIN Jember, Kamis (18/4). Mereka adalah Miftah Arifin (Wakil Rektor I), Moh. Khotib (Wakil Rektor II),  dan  Hepni Zein (Wakil Rektor III).
     Sedangkan di jajaran dekan, terdapat nama MN Harisudin (Dekan Fakultas Syari’ah), Hj. Nyai Mukniah Ashom (Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), M. Khusna Amal (Dekan Fakultas Ushuludin Adab dan Humaniora). Sementara Dekan Fakulas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), dipegang oleh Khamdan Rifa’i, dan Ahidul Asror menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah.
     Tak ketinggalan, H. Abd. Halim Subahar menduduki kursi Direktur Pasca Sarjana, dan  H. Saihan mengisi kursi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu.
     “Dengan komposisi personel yang seperti itu, kami ingin mewujudkan cita-cita untuk menjadikan   IAIN Jember  sebagai pusat kajian dan pengembangan Islam Nusantara,” tukas Rektor IAIN Jember, H Babun Suharto saat melantik mereka. Ia menamainya dengan 'kabinet kerja'
     Selain menekankan pentignnya  fokus pada pengembangan Islam Nusantara, H Babun juga menaruh harapan besar lembaga yang dipimpinnya dapat meraih akrediatsi A.
     “Oleh karena itu, saya pilih Warek I Bidang Akademik yang berlatar belakang asesor juga agar akreditasi kita unggul atau A di tahun 2020 nanti. Ini butuh kerja keras dan kerja kompak,” pungkas A’wan Syuriyah PWNU Jawa Timur tersebut.
     Sementara itu, MN Harisudin mengapresiasi langkah sang rektor. Pasalnya peningkatan akreditasi adalah suatu keniscayaan untuk menghadapi persaingan global.
     ”Apa yang telah diletakkan pak Rektor adalah pondasi menuju IAIN yang lebih maju. Karena itu, kita yang berada di barisan beliau akan all out mengawal IAIN Jember menjadi perguruan tinggi yang membanggakan bagi umat Islam,” ujar Dekan Fakultas Syari’ah  tersebut.  
     Bendera IAIN Jember memang terus terkerek naik seiring terobosan yang dilakukan oleh rektor dan jajarannya.  Jumlah mahasiswanya pun terus membengkak. Tahun 2012 jumlah mahasiswa IAIN Jember  hanya 500 orang, namun kini mencapai 12 ribu orang.
     Beriringan dengan itu, IAIN Jember tak pernah berhenti berbenah, mulai fisik yang terus dikokohkan, sumber daya manusia yang selalu ditingkatkan hingga peningkatan kualitas menuju perguruan tinggi kelas dunia tanpa menghilangkan ciri khasnya, yaitu Islam Nusantara. (perbaikan pada pukul 19.20/Aryudi AR).
Baca Juga
Kader PMII Hendaknya Bermutu dan Beriman
IAIN Jember Mantap Sebagai Pusat Kajian Islam Nusantara
Kopri Komisariat IAIN Pontianak Gelar Sekolah Islam Gender
Wagub Kalbar: Mahasiswa FUAD IAIN Pontianak Harus Andal
IAIN Pontianak Bertekad Jadi Pelopor Moderasi Beragama
Wagub Kalbar Berikan Kuliah Umum di IAIN Pontianak


Seminar Internasional Bersama Ulama Lebanon

18Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan

Selasa, 23 September 2008 05:40 Ubudiyah
Bagikan
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”<>

“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

 
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

 

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

     Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

     Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.

     Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.

     Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.


Penentuan Hari Raya
(dan Awal Puasa)
Menurut Dr. Thomas Djamaludin
dan
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
   Penentuan hari raya Idul Fitri di Indonesia tahun ini sangat ber-kesan bagi penulis. Karena di TV, koran dan di internet penuh dengan berita pendapat para ahli tentang perbedaan system yang dipakai yaitu Rukyat dan Hisab. Perbedaan system ini berakibat pada berbedanya hari raya tahun ini yaitu Muhammadiyah berhari raya pada tanggal 30 Agustus 2011 sedang Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 2011.
          Kemudian hari Minggu tanggal 29 Agustus 2011 di TV ditayang-kan sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama yang mengundang seluruh organisasi Islam termasuk Muhammadiyah dan Badan yang terkait di antaranya adalah dari LAPAN (Lembaga Antarik-sa dan Penerbangan Nasional) yang diketuai Dr. Thomas Djamaludin, untuk di mintai pendapatnya tentang penentuan awal bulan Syawal / hari raya tahun 1432 H.
          Yang menarik adalah pendapat dari Dr. Thomas Djamaluddin dan kawan-kawannya yang mengkritik pendirian Muhammadyah yang ber-potensi menimbulkan perbedaan.
     Untuk mengetahui bagaimana masalahnya penulis kutip pendapat beliau yang ditulis di internet.
          Berikutnya penulis kutip pendapat Tk. Hasbi Ash-Shiddieqy tentang penentuan awal Romadon dan Syawal dari bukunya: “Pedoman Puasa”. Pendapat beliau penulis kutip karena Tk. Hasbi adalah seorang ulama besar yang berfaham Muhammadiyah tetapi kritis terhadapnya.
II. Pendapat T. Djamaludin
A. Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal:
Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

Posted on 27 Agustus 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI
          Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbeda-an. Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi ha-nya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakat untuk mengubah kriterianya.
          Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432 /29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 de-rajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hi-sab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghi-sabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persa-tuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 ka-rena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang men-dasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
          Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan.
          Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kala-ngan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fa-natik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
          Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai nara-sumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”.   Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomis-nya.   Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terke-san dipaksakan (rincinya silakan baca makalah berikutnya). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
          Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno ada-lah hisab urfi (hanya berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern). Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih mengguna-kan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
          Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat diang-gap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid.    Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kaca-mata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghurub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
          Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muham-madiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, se-olah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pemba-haruan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri.   Ketika diajak memba-has kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
          Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadi-yah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muham-madiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!

B. Hisab dan Rukyat Setara:
Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Posted on 28 Juli 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian
Agama RI
          Diskusi soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seringkali terfokus pada pemaknaan rukyat dan pengambilan dalil dari banyak hadits. Minim sekali pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata caranya seperti dalam hadits. Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran. Tetapi, marilah kita gunakan alat bantu astronomi untuk memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Quran dan di alam. Kita akan mendapatkan isyarat yang jelas dan lengkap tata cara penentuan awal bulan itu di dalam Al-Quran. Memang bukan pada satu rangkaian ayat, tetapi dalam kaidah memahami Al-Quran, satu ayat Al-Quran bisa dijelaskan dengan ayat-ayat lainnya.
          Dengan pemahaman astronomi yang baik, kita bisa menemukan isyarat yang runtut dan jelas soal penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Berikut ini ayat-ayat pokok yang menuntun menemukan isyarat itu yang dipandu pemahaman ayat-ayat kauniyah dengan astronomi:
   
1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.
  
  
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185).
          Lalu bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.
  
2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.
  إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّہُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَہۡرً۬ا فِى ڪِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ 
          Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).
  
3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.
  

   Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.
 
  

 
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelepah yang tua. (QS 36:39).
5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahru? Manzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Dzulhijjah.
۞ يَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِ‌ۖ قُلۡ هِىَ مَوَٲقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّ‌ۗ 
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS 2:189).
          Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Apakah ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat menjelaskan soal wujudul hilal tersebut.
Ada yang berpendapat isyarat wujudul hilal itu ada di dalam QS 36:40.
    
Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:40).
          Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan meng-ada-ada.
          Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menje-laskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbe-da garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.
          Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.
          
Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitung-an) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum ber-kembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.

II. Pendapat T. Hashbi Ash-Shiddieqy

A. Sekilas Tentang Teungku Hasby
          TEUNGKU MUHAMMAD HASBY ASH-SHISSIEQY (Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis dan ilmu kalam.
          Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), kholifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari kholifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
          Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) ayahnya: Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhamad Su’ud. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjuingi berbagai dayah dari satu
kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arobnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arob. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrosah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1974-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke Aceh beliau langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
          Pada zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Mejelis Syuro Muslimin
Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (honoros causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 23 maret 1975 dan dari IAIN Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
          Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh 936 judul. Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid ilmu kalam, (5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.

B. Kutipan dari buku "pedoman Puasa"
Bab Pertama
Memulai dan Menyudahi Puasa
1. Cara mengetahui masuknya hilal Romadon
          Wajib berpuasa dengan masuknya bulan Romadon. Mengenai masuknya bulan Romadon itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang tersebut di bawah ini :

a. Melihat hilal Romadon.

 
          Hal ini berdasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh r.a. bahwasanya Rosululloh Saw. bersabda :
  
          Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (berhari raya) sesudah melihat bulan.” ( An Nail IV:264.)
  
          Makna “berpuasalah kamu setelah melihat bulan”, ialah sesudah sebagian orang melihat bulan bukan diharuskan semua orang melihat bulan.
          Hal yang harus diperhatikan, ialah : bahwa puasa itu bukanlah terus dimulai setelah melihat bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu pada malam kita melihat bulan, dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari akhir pada bulan Romadon, baik kita lihat bulan sebelum matahari terbenam (?, pen.), ataupun sesudahnya. (Al-Fathur Robbani IX:247).
          Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ke-30 bulan Sya’ban, dan pada malam 39 Rojab untuk mengetahui Sya’ban.
          Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :

“Hitunglah hilal Sya’ban untuk Romadon.”
          Maka kita dapat melihat bulan, wajiblah kita berpuasa esoknya. Jika bulan tidak terlihat sedang udaranya terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, maka menurut mazhhab Ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan Hadits Al Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar. Rosululloh bersabda :
          “Sesungguhnya bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah olehmu untuknya. (An Nail IV:262).
          Pendapat-pendapat para Fuqoha bila tidak terlihat bulan pada malam tiga puluh karena mendung.
          Berkata Nafi’ : “Abdulloh Ibn Umar apabila telah berlaku Sya’ban 29 hari, menyuruh orang melihat bulan. Jika terlihat, beliaupun berpuasa, dan jika tidak terlihat sedang udara terang dan bersih, beliau tidak berpuasa; tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, beliau berpuasa esoknya.”
          Arti dari kadarkanlah olehmu untuknya ialah jadikanlah 29 hari atau pandanglah bahwa sudah ada di bawah awan.
          Madzhab ini, adalah madzhab Umar, Ibn Umar, Amr Ibn ‘Ash, Abi Huroiroh, Anas, Mu’awiyah dan ‘Aisyah. Dari Tabi’in yang mengikuti madzhab ini ialah : Mujahid, Thaus, Salim Ibn Abdillah, Maimun Ibn Mihron, Bakir Ibn Abdulloh, Dan dari Mujtahid : Al Muzani dan Usman An Nahdi.
          Berkata Abdir Rohman As Sa’ati : “
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pendapat : maka kadarkanlah untuknya. Menurut pendapat ahli bahasa, maknanya maka takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat ialah : sempurnakanlah 30 hari.  Segolongan ulama berpendapat maknanya : Pandanglah dia, sudah ada di bawah awan. Segolongan yang lain berpendapat pergunakanlah hisab. Jumhur ulama memaknakan maka kadarkanlah untuknya dengan sempurnakanlah ; mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” ditafsirkan oleh perkataan : “maka sempurnakanlah 30 hari”. Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang berbunyi : Taqduru lahu tsalatsina = maka kadarkanlah untuknya 30 hari.
          Oleh karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam berpuasa dengan hisab.
          Berkata Abu Huroiroh, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad pada suatu riwayat : “Tidak wajib kita memulai puasa dan tiada sah dengan dasar demikian. Kita wajib cukupkan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits yang diriwayatkan Al Bukhori dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Saw. bersabda : “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan. Jika mendung tak dapat melihatnya, sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.” (An Nail IV:264).
          Golongan ini mengartikan ungkapan “kadarkanlah olehmu untuknya”, dengan hitunglah awal Sya’ban dan cukupkanlah 30 hari.
          Berkata Al Hasan, Ibn Sirin dan Ahmad dalam suatu riwayatnya “Hendaklah kita mengikuti penguasa.   Jika penguasa menetapkan puasa, kita pun berpuasa. Jika dia tidak kitapun tidak berpuasa.” Mengingat hadits yang diriwayatkan At Turmudzi dari Aisyah bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
          “Puasa di hari kamu berpuasa, hari raya Fithri di hari kamu berhari Fithri dan penyembelihan qurban di hari kamu menyembelihnya.”
     Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dengan arti :
“Hari berbuka dan berpuasa mengikuti umum, atau orang ramai.”


Melihat bulan di siang hari.

Dst. ….
b. Mendapat kabar dari orang adil.

Orang yang sendirian saja melihat bulan
Dst……

c. Dengan cukup bulan Sya'ban 30 hari.
          Apabila kita tidak melihat hilal Romadon pada malam ke-30 Sya’ban dan tidak ada yang menyaksikan hilal, wajiblah jika mendasarkan puasa pada saat melihat bulan, menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Tidak ada khilaf tentang wajib mulai puasa, setelah jelas, bahwa bulan Sya’ban telah cukup 30 hari.
          Untuk mengetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan perantaraan rukyah.

d. Dengan hisab para ahli
          Sebagian ahli ilmu Mutakhirin (modern, pen.) berkata : “Boleh juga kita mulai puasa dengan hisab para ahli ilmu hisab.”
          Berkata sebagian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya.”
Mereka berdalil dengan firman Alloh :
  
  
“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan memanjangkan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari.” (Q.S. Yunus [10]:5).
   
          Dan mereka berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim, Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh Saw.bersabda :
  
“kami ummat yang ummi, tidak menulis dan menghisab.”
          Dan mereka berpegang pula kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
         “Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu malihatnya, jika mendung, “kadarkanlah” olehmu untuknya.”
          Mereka mengartikan : “faqduru lahu” dengan menggunakan hisab awal bulan.
          Sebenarnya lafad-lafad hadits ini tidak membenarkan kita memaknakan “faqduru lahu” sebagai yang dikehendaki oleh ahli hisab yang mempergunakan hadits ini untuk dasar berpuasa dengan hisab dan untuk dasar memilih hisab, buat menetapkan, telah masuk hilal Romadon tanpa menghiraukan rukyah, karena memaknakan “faqduru lahu” dalam arti demikian, menjadikan lafad tersebut bertentangan dengan hadits-hadits lain yang membawa lafad “faatimmu” dan “faakmilu,” sedangkan lafad faatimmu dan faakmilu lebih banyak datangnya dari lafad faqduru lahu, kecuali kita mengatakan, bahwa hadits-hadits yang mengharuskan rukyah atau menyempurnakan Sya’ban 30 hari, hanya berlaku di permulaan Islam. Sekarang berlaku hadits “faqduru lahu” yang diartikan dengan keharusan hisab atau dengan menetapkan bahwa hadits rukyah bil fi’li dan menyempurnakan 30 hari dihadapkan kepada orang awam, sedangkan hadits “faqduru lahu” dihadapkan kepada ummat sekarang ini yang memiliki ahli hisab.
          Maka untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan lafaz kita harus menafsirkan faqduru lahu dengan faatimmu atau faakmilu.”
          Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan Romadon hanyalah 3 saja, atau hanya 1 saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhobarkan orang yang adil, atau Sya’ban cukup 30 hari.
          Menentukan awal Romadon dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyataan rukyah, terang berlawanan dengan lafal-lafal hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.

 
          Ringkasnya para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal Romadhon pada malam 30 Sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi rukyah.
          Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian Pemerintah mengumumkan hasil rukyah ke seluruh negeri.
          Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yanbg tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang saling terkait.
          Bila tidak berujud rukyah pada malam 30 Sya’ban baik dengan penglihatan mata, atau dengan teropong bintang, maka wajiblah kita menyempurnakan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits :
  
          “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihat bulan. Jika hari tertutup kabut maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.”
          Dimaksudkan “ghumma”, sukar dilihat karena mendung atau awan, atau kabut.


 
III. Merekam Rukyatul Hilal dengan Teropong dan Webcam

Observatorium Bosscha
Lihat "Live Streaming" Hilal Awal Ramadhan
Yunanto Wiji Utomo | Nasru Alam Aziz | Sabtu, 30 Juli 2011 |
18:51 WIB

KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Aktivitas astronom di Observatorium Bosscha.
KOMPAS.com — Di sela-sela kegiatan beribadah, bermaaf-maafan atau menyucikan diri, ada cara lain untuk menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini. Masyarakat bisa melihat live streaming hilal yang menandai awal bulan suci Ramadhan di situs http://bosscha.itb.ac.id/hilal atau http://hilal/kominfo.go.id.
          "Mulai pukul 16.00 (Minggu, 31 Juli) waktu masing-masing, baik WIT, Wita dan WIB, masyarakat insya Allah sudah bisa menyaksikan hilal. Untuk menyediakan ini, Bosscha bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata Kepala Observatorium Bosscha, Hakim Malasan.
Hakim menjelaskan, hilal dalam astronomi dikenal sebagai bulan baru (new moon). "Hilal pad awal bulan Ramadhan tahun ini kenampakannya sangat rendah, diperkirakan hanya 4 derajat di atas ufuk," kata Hakim, Sabtu (
30/7/2011).
          Hilal akan tampak sebagai bulan sabit yang sangat tipis. Hanya 1 persen hingga 2 persen dari piringan bulan. "Ini karena bulan masih muda sekali. Karena itu juga pengamatannya harus dilakukan dengan teleskop," ujar Hakim.
          Di situs Bosscha, ada 15 live streaming yang bisa dipilih dan dilihat. Live streaming itu berasal dari 15 lokasi pengamatan, di antaranya Loknga (Aceh),
Yogyakarta, Pontianak, Pantai Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Stasiun Pengamatan Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di Biak (Papua).
Hakim mengatakan, pengamatan memang tidak dipusatkan di satu lokasi, tetapi disebar. Tujuannya adalah melengkapi hasil pengamatan di satu lokasi dan yang lain sebab pengamatan hilal sulit dan sangat bergantung pada cuaca.
          Observatorium Bosscha tidak akan menjadi lokasi pengamatan hilal. "Tetapi masyarakat bisa datang ke Bosscha untuk melihat live streaming hilal bersama-sama.
Ada petugas yang bisa memberi penjelasan pada masyarakat," tutur Hakim.
          Hakim mengungkapkan, lewat live streaming, masyarakat mendapatkan cara murah untuk belajar tentang hilal. Masyarakat bisa mengetahui bahwa hilal tak cuma soal awal puasa dan Lebaran, walaupun memang paling berkaitan dengan ibadah puasa, haji, dan Lebaran.

35 Orang Diterjunkan Untuk Menentukan 1 Syawal

Benny N Joewono | Minggu, 28 Agustus 2011 | 20:47 WIB

NGAMPRAH, KOMPAS.com - Sebanyak 35 orang akan diterjunkan dalam penentuan hari lebaran 2011 atau 1 syawal 1432 Hijirah dengan mengamati hilal pada 16 titik yang telah ditentukan.
Jumlah sebanyak itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),   Observatorium Bosscha, Rukyatul Hilal Indonesia, Lapan, serta sejumlah Perguruan Tinggi.
          "Sedangkan untuk pengamatan hilal akan dilakukan pada 29 dan 30 Agustus 2011 mulai pukul 16.00 WIB," kata peneliti observatorium Bosscha Bandung, Deva Octavian saat dihubungi wartawan, Minggu (28/8/2011).
          "Secara prinsip kerja dalam penentuan hari awal puasa dengan Lebaran atau 1 syawal tidak ada bedanya karena sama-sama mengamati hilal," ujarnya.
Jumlah personel di titik pengamatan hilal untuk penentuan 1 syawal 1432 Hijriah lebih banyak dari pada pengamatan hilal untuk menentukan awal Ramadhan yang hanya melibatkan 30 orang untuk 14 titik saja.
          Disampaikannya, Kemenkominfo memang sengaja memperbanyak jumlah titik pengamatan hilal, hal itu karena lebih mempermudah pengamatan dan menjamin ketepatannya. Karena bisa jadi, pengamatan yang dilakukan di suatu daerah terhalang, tapi di daerah lainnya bisa dilakukan.
          Hanya saja pada tahun ini, instrumen alat yang digunakannya lebih sederhana yakni menggunakan teleskop yang terintegrasi dengan webcam.
          Meski sederhana, akan tetapi kualitas yang didapatkannya tidak menurun sama sekali. Dengan begitu, masyarakat bisa merelay video streaming hilal Ramadhan dan Syawal dari website Kemenkominfo yang diterima dari beberapa titik lokasi pengamatan yang telah ditentukan.
          "Adapun titik titik pengamatan tersebut mulai dari kawasan Biak Papua, Kupang, Makasar, Mataram NTB, Bangkalan, Potianak, Yogyakarta, Lampung, UPI Bandung, Pameunpeuk Sumedang, Pekanbaru Riau, Lhokngah Aceh, Denpasar, Medan, dan Pelabuhaan Ratu Sukabumi," ujarnya.
          Dijelaskannya, hilal merupakan penampakan bulan sabit muda yang terlihat dari permukaan Bumi setelah konjungsi atau ijtimak. Banyak kegiatan penting keislaman mengambil dasar posisi Bulan di langit, seperti tahun baru Hijriah, awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
          "Dengan demikian dipandang penting untuk menyebarluaskan informasi awal bulan baru yang ditandai oleh tampakan hilal," kata Deva.
Sumber : ANT
IV. Kesimpulan / Penutup
1. Menurut Dr. Thomas Djamaluddin : Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.

          Dalam bahasa populernya: Muhammadiyah menganut taqlid buta dan fanatik terhadap hisab wujudul hilal yang termasuk kriteria astronomi / ilmu falak yang sudah usang.

 
2. Menurut Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy : Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yang tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang saling terkait.

          Dalam bahasa populernya Muhammadiyah melakukan perbuatan bid'ah dengan memakai metode hisab dalam menentukan awal Romadhon dan Syawal, sedangkan Nabi Muhammad Saw. melakukannya dengan rukyatul hilal.

          Untuk menguatkan kesahihan penyaksian rukyatul hilal, pengamat hilal sebaiknya didampingi oleh tenaga ahli yang menggunakan teropong yang direkam dengan webcam komputer, sehingga hasil rekaman rukyatul hilal itu dapat diuji kebenarannya oleh orang lain.
          Dengan ketiga hal tersebut insya' Alloh tidak akan terjadi lagi perbedaan waktu hari raya dan awal Romadhon.

Jember, 31 Agustus 2011
Kepustakaan.
01. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Pedoman Puasa”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
Jember 24 Maret 2012
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Mengalah Demi Ummat
Sunday, 4 September 2011 
Kritik saya terhadap hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan astronomis) yang dilakukan oleh dua ormas besar Muhammadiyah dan NU sudah lama saya lakukan, sejak tahun 1990-an. Kritik tersebut untuk mendorong penyempurnaan metode dan kriterianya. Kritik saya sampaikan dalam forum seminar, pelatihan, diskusi internal ormas, maupun melalui tulisan di media massa. Alhamdulillah, hal itu bisa saya lakukan karena saya sering diundang sebagai nara oleh NU, Muhammadiyah, dan Persis, tiga ormas Islam yang aktif melakukan hisab rukyat.
Mengapa saya fokuskan perhatian pada dua ormas besar tersebut? Berbeda dengan kelompok-kelompok kecil yang anggotanya hanya puluhan orang, dua ormas besar itu punya anggota dan simpatisan yang sangat banyak (mungkin jutaan orang) yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perbedaan penentuan hari raya oleh dua ormas tersebut berdampak secara nasional. Diakui atau tidak, banyak masyarakat yang tidak nyaman dengan terjadinya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Ibadah yang terkait dengan hari raya bukan lagi ibadah privat, tetapi telah menjadi ibadah publik yang menuntut adanya keseragaman waktu. Pemerintah tidak bisa berlepas tangan terkait dengan penentuan waktu ibadah yang bersifat publik tersebut.
Atas kritik saya dan teman-teman pelaksana kajian astronomi di berbagai kelompok masyarakat, NU dan Persis sudah menunjukkan banyak perubahan, sehingga banyak kritik saya tahun 1990-an dan awal 2000-an kini tak relevan lagi. Tetapi Muhammadiyah sangat rigid, kaku, dan sulit berubah. Muhammadiyah merasa cukup puas dengan metode hisab wujudul hilalnya, tanpa menyadari bahwa wujudul hilal bukan satu-satunya kriteria hisab. Justru wujudul hilal merupakan kriteria usang yang sudah ditinggalkan komunitas astronomi, beralih ke kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal, kemungkinan terlihatnya hilal). Sayangnya, tanpa pemahaman yang benar, banyak warga Muham-madiyah yang menolak imkan rukyat hanya karena anggapan keliru seolah imkan rukyat adalah metode rukyat yang mereka hindari. Imkan rukyat adalah kriteria hisab yang bisa digunakan oleh hisab dan rukyat, karenanya banyak digunakan oleh komunitas astronomi yang meng-anggap hisab dan rukyat setara.
Berikut ini tulisan saya di media massa yang merupakan kritik pelaksanaan hisab rukyat di NU dan Muhammadiyah serta untuk pen-cerdasan masyarakat demi penyatuan kalender hijriyyah:      
Mengalah Demi Ummat
Dalam beberapa kesempatan Kementerian Agama dan ormas-ormas Islam selalu menyuarakan upaya persatuan ummat. Kalau pun ada perbedaan, upayakan perbedaan itu tidak ditampakkan ke publik jauh-jauh hari agar tidak menimbulkan kebimbangan yang panjang. Terkait dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, di Indonesia ada dua metode utama: rukyat (pengamatan astronomis) dan hisab (perhitungan astronomis). Komunitas astronomi selalu berupaya memberikan kesadaran bersama bahwa hisab dan rukyat bukan dua hal yang berbeda yang harus dipertentangkan.
Kelompok pengamal rukyat (diwakili NU) kadang mengagungkan dalilnya, tetapi kurang mempublikasi hasil awalnya karena selalu meng-hindar dengan ungkapan, ”kita tunggu saja hasil rukyat”. Mereka sebe-narnya sudah punya hasil hisab seperti yang dimiliki kelompok penga-mal hisab, tetapi hasil hisabnya digunakan sekadar untuk pemandu rukyat, bukan sepenuhnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Selain untuk pemandu rukyat, hasil hisab mereka gunakan untuk membuat kalender. Kriteria hisabnya dikaitkan dengan kemungkinan rukyat (imkan rukyat).
Kelompok pengamal hisab (diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis – Persatuan Islam – ) kadang mengagungkan dalil dan hasil hisabnya. Mereka bisa mempublikasikan hasil hisab mereka lebih awal sehingga terkesan ”hebat” karena bisa menentukan sebelum rukyat. Persis sebagai ormas kecil tidak terlalu tampak sehingga luput dari perhatian media massa. Sebaiknya, Muhammadiyah sebagai ormas besar selalu menjadi sorotan publik atau sengaja mempublikasikan hasil hisabnya dalam suatu jumpa pers, walau Kementerian Agama selalu mengimbau untuk tidak mengumumkannya.
Walau Muhammadiyah dan Persis sama-sama pengamal hisab, namun ada perbedaan kriteria yang digunakan. Persis menggunakan kriteria imkan rukyat, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Jadilah ormas Islam pelaksana hisab rukyat terpecah menjadi dua: sebagian besar menggunakan kriteria imkan rukyat (visi-bilitas hilal) dan hanya Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal.
Upaya untuk menyatukan sudah sering dilakukan, tetapi Muham-madiyah tetap bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya. Manakah yang lebih baik antara wujudul hilal dan imkan rukyat? Untuk memutus-kannya bukan dalil fiqih atau syariah yang dijadikan dasar, karena itu sudah soal pilihan teknis astronomis. Pada kriteria itu sama sekali tidak ada terminologi fiqih, yang ada adalah terminologi astronomi. Jadi, itu domainnya astronom, bukan domainnya fuqaha.
Secara astronomi, wujudul hilal adalah kriteria usang, ketika ahli hisab tidak mampu memformulasikan atau tidak mau direpotkan dengan kriteria rukyat. Sekarang banyak makalah astronomi yang mengkaji visi-bilitas hilal atau kemungkinan terlihatnya hilal yang dapat dijadikan ruju-kan. Hasil kajian tersebut kini banyak diformulasikan menjadi kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Tentu saja banyak kriteria imkan rukyat yang ditawarkan. Di internet kita bisa mencari ada beberapa kriteria: kriteria Ilyas, Yallop, Odeh, SAAO, dan lainnya. Di Indonesia ada kriteria MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), LAPAN (versi lama, tahun 2000), RHI, dan usulan baru dari LAPAN berupa Kriteria Hisab Rukyat Indo-nesia. Saat ini sebagian besar ormas Islam di Indonesia menggunakan kriteria MABIMS yang disepakati pada tahun 1990-an, walau saat ini perlu direvisi.
Demikian mudahkah mengubah kriteria? Ya, sangat mudah. Persis sudah beberapa kali mengubah kriterianya mengikuti perkem-bangan pemikiran astronomis. Logika sederhananya, karena masalah kriteria hanyalah masalah teknis astronomis, bukan masalah dalil fiqih, semestinya bisa lebih sederhana. Sama halnya dengan pilihan kriteria waktu shalat. Dari sekian banyak pilihan kriteria astronomi waktu shalat, kita sudah bersepakat dengan kriteria yang saat ini digunakan oleh Ke-menterian Agama, sehingga apa pun ormasnya kini bisa membuat jad-wal shalat yang relatif sama. Adzan di masjid sama dengan adzan di TV, radio, atau jadwal shalat terprogram di berbagai perangkat lainnya.
Bisakah kita mempersatukan kriteria awal bulan, sama dengan kriteria jadwal shalat? Semestinya bisa. Dari dua pilihan, kita gunakan saya kriteria imkan rukyat, karena kriteria itu mempersatukan metode hisab dan rukyat yang diamalkan di masyarakat Muslim di Indonesia dan internasional. Kriteria wujudul hilal yang sudah usang kita tinggal-kan. Mari kita pilih kriteria imkan rukyat yang baru yang bisa menggan-tikan kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh banyak ormas Islam, namun ditolak Muhammadiyah.
Kalau Muhammadiyah masih bersikukuh menggunakan kriteria wujudul hilal yang usang tersebut, sudah pasti perbedaan hari raya dan awal Ramadhan di Indonesia masih akan terus terjadi, karena hisab wujudul hilal jelas-jelas menjauhkan diri dari rukyat. Dari segi hisabnya, sudah pasti itu menyimpang dari kriteria yang banyak digunakan oleh ormas-ormas Islam lainnya. Dari segi potensi perbedaan, sangat jelas pasti akan selalu terjadi perbedaan dengan hasil rukyat ketika tinggi bulan sudah positif, tetapi kurang dari kriteria imkan rukyat.
Sebagai organisasi mujadid (pembaharu), sebenarnya Muham-madiyah tidak terlalu asing dengan perubahan. Semoga jiwa besar Muhammadiyah bisa membawa perubahan besar di ummat ini dan mendorong terwujudnya Kalender Hijriyyah tunggal yang mapan dan mempersatukan ummat. Tanpa kita memulainya sekarang, penyatuan kalender hijriyah hanya menjadi wacana teoritik yang belum tentu aplikatif. Saya menghargai kata akhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar pada dialog kedua tim teknis NU-Muhammadiyah 6 Desember 2007 lalu yang mengajak NU-Muhammadiyah ”mengalah demi ummat”. Semoga penyatuan kalender hijriyah dapat segera terwujud, karena itu keinginan ummat. Saya seka-dar menyuarakannya dan memformulasikannya.
Wujudul Hilal (WH) yang dikenal sebagai metoda "milik" Muhamma-diyah, belakangan ini menjadi sorotan, ketika dengan "berani" menya-takan bahwa 9 Juli 2013 kemarin = 1 Ramadhan untuk wilayah Indo-nesia, sementara sebagian besar kaum muslimin lainnya yang bera-da pada wilayah bujur yang sama, bahkan juga kaum muslimin yang berada di wilayah yang lebih barat dari itu,  semuanya menetapkan 1 Ramadhan = 10 Juli, bukan 9 Juli. WH merupakan sebuah metoda bukan ideologi bukan juga agama, sehingga pembahasan WH hendaknya tidak dikaitkan dengan keyakinan kelompok dalam hal ini Muhammadiyah. WH boleh dirombak, disempurnakan, atau diganti tanpa harus mempengaruhi "iman" Muhammadiyah. Berikut ini penje-lasan mengenai WH melalui pendekatan yang lebih simpel untuk segera mengetahui titik masalahnya.
WH vs RH  (Wujudul Hilal vs Ru'yatul Hilal)
Salah satu cara sederhana memahami WH adalah dengan me-nyandingkannya dengan RH. WH yang diyakini sebagai sebuah metoda "baru" yang "pasti",  muncul sebagai "lawan" yang memiliki semangat menggantikan RH yang dianggap sebagai metoda lama yang mengan-dung ketidakpastian. Kritik WH atas RH disandarkan pada dua paradig-ma berikut:
1. Peredaran Bumi Matahari dan Bulan merupakan sebuah pola pergera-kan yang bisa ditentukan posisinya pada saat tertentu dengan perhi-tungan. Hilal terbentuk menurut posisi bulan-matahari terhadap peng-amat di bumi. Karena posisi bulan-matahari-bumi dapat dihitung dengan pasti maka kita bisa menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal hanya dengan melakukan perhitungan tanpa harus observasi / ru'yat.
2. Pengamatan / ru'yat mengandung ketidakpastian karena dipengaruhi beberapa faktor teknis di lapangan. Sementara perhitungan dapat me-nentukan secara pasti posisi bulan-matahari-bumi. Hal ini membawa implikasi bahwa sangat mungkin Hilal tidak bisa terlihat ketika ru'yat dilakukan, padahal sebenarnya Hilal sudah Wujud.
WH menyandarkan hujjahnya pada  paradigma di atas, sehingga samasekali tidak diperlukan observasi maupun bukti empiris “terdetek-sinya” hilal. Yang diperlukan WH adalah definisi “wujud” nya hilal. Kapan atau kondisi seperti apa yang disebut Hilal sudah Wujud itu? 
Kapan Hilal disebut sudah Wujud?
Minimal ada tiga kondisi yang dipahami sebagai saat Hilal sudah Wujud. Beberapa pengusung WH nampaknya tidak cukup menaruh perhatian untuk menyepakati tiga kondisi yang saling berlainan ini. Kita bisa simak gambar berikut: 

Tiga kondisi di atas harus disepakati salah satunya. Kriteria "moonset after sunset" bukanlah satu kriteria spesifik karena ketiga kondisi dalam gambar di atas semuanya bisa masuk dalam kriteria tersebut. Beberapa orang memilih aman dengan merapatkan opini menuju paradigma Hisab yang tidak memerlukan "terinderanya" hilal. Mereka memilih kondisi ketiga sebagai kriteria Wujud nya Hilal. Mereka mengatakan bahwa yang terpenting adalah Konjungsi sudah terjadi, dan sebarang waktu setelah konjungsi adalah waktu yang menandakan bahwa Hilal
sudah Wujud (delta T lebih besar atau = nol). Statement ini sejalan dengan paradigma Ijtimak Qoblal Ghurub (IQG). Akan tetapi benarkah IQG tidak bertentangan dengan WH? Beberapa fakta justru menunjukkan hal sebaliknya.
WH vs IQG (Wujudul Hilal vs Ijtimak Qoblal Ghurub)
Kriteria IQG merupakah patokan paling mudah difahami. Ada beberapa usaha mengakomodir IQG ke dalam paradigma WH, dengan statement, "Jika  Ijtimak (konjungsi bulan-matahari) sudah terjadi maka saat maghribnya sudah pasti Hilal Wujud." Akan tetapi fakta astronomis berbicara lain. IQG tidak selalu berkorelasi dengan Wujud atau tidaknya Hilal.
Secara teori hilal terbentuk jika posisi matahari-bulan dan pengamat tidak lagi berada dalam satu garis lurus sehingga ada bagian bulan yang tersinari matahari, yang sebagian pantulan sinarnya mengarah ke pengamat di bumi. 
Berdasarkan teori ini tidak salah apabila WH menyimpulkan bahwa sesaat setelah konjungsi matahari-bulan-pengamat tidak lagi segaris, oleh karenanya Hilal pasti sudah Wujud. Akan tetapi IQG bukan menyempurnakan WH melainkan justru akan menggantikan WH berdasarkan fenomena berikut:
1. Perbedaan "Posisi Lintang" Matahari dan Bulan
Menurut pengamat di bumi, bulan bisa terlihat lebih utara dari matahari atau sebaliknya, bulan lebih selatan dari matahari. Artinya matahari-bulan-bumi hampir selalu tidak pernah segaris termasuk ketika ijtimak atau konjungsi terjadi. Kondisi benar benar segaris hanya terjadi saat terjadi gerhana matahari total atau cincin. Oleh karenanya secara teori sebenarnya Hilal hampir selalu Wujud baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. Kita bisa lihat ilustrasi berikut:

Ada delapan posisi yang kesemuanya menunjukkan Wujud nya Hilal.  Artinya ketika letak bulan lebih utara atau lebih selatan dari matahari, teropong canggih ala T. Legault -jika berita itu benar- akan selalu bisa menjepret hilal, baik sebelum konjungsi, saat konjungsi maupun setelah konjungsi. (ctt: hasil jepretan T. Legault mirip gambar hilal pra konjungsi bagian utara / kanan bawah).
Sementara IQG mengabaikan semuanya itu. Menurut IQG satu satunya batas hanyalah saat konjungsi, tanpa menyertakan batasan wujud atau tidaknya hilal. Artinya tidak mungkin mengakomodir IQG untuk menyempurnakan akurasi WH karena sejatinya IQG terhadap WH tidak bersifat komplementer melainkan saling menggantikan. Ketika IQG digunakan maka WH menjadi tidak relevan.
2. Orbit Elips Bulan Mengelilingi Bumi dan Orbit Elips Bumi Mengelilingi Matahari
Orbit bulan mengelilingi bumi berbentuk elips, artinya adakalanya bulan berada pada jarak terdekat dari bumi, pada saat lain berada pada jarak terjauh. Implikasinya menurut pengamat di bumi piringan bulan terlihat paling besar ketika jaraknya terdekat, dan terlihat paling kecil ketika jaraknya terjauh.
Hal serupa juga terjadi pada mata-hari karena orbit bumi mengelilingi mata-hari juga berbentuk elips. Fenomena ini menyebabkan perbandingan besarnya lingkaran bulan dan matahari menurut pengamat di bumi tidak selalu sama. Pada satu saat lingkaran matahari lebih besar pada saat yang lain lebih kecil dibanding lingkaran bulan. Coba
perhatikan ilustrasi berikut:
1. Piringan Matahari < Piringan Bulan : Sinar matahari sepenuhnya terhalang sehingga pengamat melihat matahari tertutup bulan (Gerhana Matahari Total)
2. Piringan Matahari = Piringan Bulan : Sama dengan kondisi 1, pengamat tidak melihat piringan matahari (Gerhana Matahari Total)
3. Piringan Matahari > Piringan Bulan : Bagian pinggir piringan matahari terlihat oleh pengamat di bumi (Gerhana Matahari Cincin). Pada kondisi ini sebenarnya ada bagian bulan yang memantulkan sinar matahari ke arah bumi (lihat panah kuning)
Pada kasus ketiga (Gerhana Matahari Cincin) sebenarnya yang sampai pada pengamat di bumi ada 2 sinar yaitu sinar dari piringan luar matahari dan pantulan dari piringan luar bulan. Pantulan dari piringan luar bulan ini sama hakikatnya dengan hilal tetapi berbentuk garis satu lingkaran penuh. Dengan memanipulasi tingkat kecerahan objek, kita bisa menangkap citra hilal baik sebelum konjungsi, saat konjungsi, maupun sesudahnya. Dengan kata lain hilal selalu wujud pada sebarang waktu sebelum konjungsi-saat konjungsi dan setelahnya.
Satu satunya posisi bulan-matahari yang ideal untuk menjelaskan bahwa Hilal bisa Wujud sesaat setelah konjungsi adalah ketika terjadi gerhana matahari total. Itupun kalau lingkaran bulan tepat sama besar dengan piringan matahari. (Lihat gambar atas bagian tengah)
    Jika piringan bulan dan matahari tidak sama besar maka hanya ada dua kemungkinan berikut:
1. Foto kiri (Gerhana Matahari Total): Pada kasus "piringan matahari = piringan bulan", garis luar matahari dan bulan berimpit
saat konjungsi, sehingga sebarang waktu setelah konjungsi pasti hilal sudah wujud. Tetapi untuk kasus "piringan matahari piringan bawah bulan lebih rendah dari piringan bawah matahari sehingga hilal tidak serta merta wujud meskipun saat konjungsi telah lewat.
2. Foto kanan (Gerhana Matahari Cincin) : Karena "piringan matahari > piringan bulan" maka akan selalu ada bagian bulan yang meman-tulkan cahaya matahari ke bumi. Hilal terbentuk sebagai garis tipis terang di sepanjang pinggir lingkaran bulan. Pada foto kanan, letaknya ada di pinggiran lingkaran hitam bulan. Dalam foto tidak nampak karena sinar matahari (orange) jauh lebih terang.
Beberapa fenomena ini memberikan dua pilihan sulit bagi penganut WH, mengambil IQG sebagai acuan atau mengembalikan pengertian "wujud" mendekati pengertian "ru'yat". Artinya yang dimaksud hilal sudah wujud adalah telah wujud dalam receptor pengamat.
Para pengusung WH tampaknya lebih nyaman memilih langkah pertama yaitu mengakomodir IQG meskipun konsekuensinya konsep WH menjadi tidak bermakna. Apakah selesai sampai di sini? Ternyata tidak, karena IQG tidak kontekstual terhadap bahasan penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. IQG mengabaikan "hilal", sementara dalam masalah 1 Ramadhan dan 1 Syawal justru "hilal" inilah yang menjadi subyek bahasan utama.
Pembahasan IQG versus Ru'yatul Hilal disajikan dalam artikel tersendiri, insyaallah. Jika ada yang salah tentu disebabkan kebodohan saya, dan tentu saja jangan diikuti. Sekiranya ada yang benar sesungguhnya kebenaran datang hanya dari sisi Allah. Dan sebaik baik orang adalah yang bersegera menanggalkan yang salah dan menggantikannya dengan kebenaran.

(by Adil Muammadisa)
A. Pendapat Sholeh Hayat*
             Berbeda Lagi Idul Fitri?

     ISLAM membuka pintu ijtihad. Pintu ini dibuka sebagai bagian demokratisasi dalam fiqh Islam. Akurasi pemikiran akan diukur di area ini. Satu pahala diberikan jika ijtihadnya tidak benar. Dua pahala bila benar.
     Kalangan santri menyebutnya qaulaini. Ijtihad itu adalah memaknai makna lafal rukyat bil ain yang berarti melihat dengan bola mata sebagaimana di zaman Rasulullah “Qaulan wa Fiklan” atau Ya Diucapkan Ya Dilakukan yang dianut nahdliyin (warga NU)
     Cara lain adalah ijtihad dengan memaknai rukyat sebagai melihat dengan ilmu pengetahuan (bil ilmi) atas dasar hitungan hisab hakiki “wilayatul hilal dan matla’ wilayatul hukmi”; sebagaimana dimaklumatkan oleh Muhammadiyah pada 2000. Kaidah “Rukyatlah yang muktabar” sebagaimana pendapat Majlis Tarjih telah dimodifikasi sebagai upaya meminimalkan perbedaan dalam berhari raya.
Di sinilah “akar” qaulaini atau perbedaan akhir Ramadan yang belum ditemukan rumus untuk mengakomodasikan keduanya sampai saat ini. Upaya ke arah itu pernah dicoba dengan metode had imkanur rukyat ambang batas ketinggian hilal yang layak dirukyat. Satu di antaranya adalah Musyawarah Ulama Ahli Hisab di Cisarua,
Bogor, 1998.
Yang menarik, berdasar posisi had imkan rukyat di akhir Ramadan tahun ini, ada kontroversi dalam pengambilan keputusan di antara ahli hisab, baik di lingkungan NU maupun Muhammadiyah. Kisaran ijtihadnya sekitar 0” 32’ sampai dengan 3” 50”. Hal ini serupa dengan yang pernah terjadi di lingkungan Muhammadiyah dalam menetapkan Idul Fitri pada 1962. Yakni, apakah 6 atau 7 Maret. Karena irtifa’ hilal sudah 0, 34 derajat. Wilayah barat Makasar ber-Idul Fitri pada 7 Maret karena hilal belum wujud.
Hal yang sama pernah dilakukan ulama hisab NU, KH Tuzaichan Kudus. Beliau menganjurkan masyarakat di wilayah Tegal ke barat boleh berpuasa mulai
7 April 1989. Masyarakat di timur Tegal berpuasa mulai 8 April 1989. Mengapa keputusan itu diambil? Sebab, hilal 1 Ramadan dapat dilihat pada Kamis 6 April 1989 di pantai Ujungpangkah, Gresik.
Hitungan Hisab 2011.
Berapa sebenarnya ketinggian hilal pada Senin. 29 Agustus 2011? Sebuah kajian menarik untuk diurai, Dari aspek waktu, terjadi ijtima’ sebagai pertanda terjadinya konjungsi antara bulan dan matahari yang sedang berada pada bujur yang sama, kisaran waktunya antara pukul 09.28 sampai dengan 10.43 WIB dan irtifa’ hilal sekitar 0” 32’ sampai dengan 3” 50’, sebagaimana hasil rapat ulama ahli hisab dan astronomi pada 12 Juli 2011 yang diselenggarakan oleh Badan Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur di Surabaya.
Dalam musyawarah tersebut dianalisa hasil garapan yang menggunakan 23 metode, baik dengan kitab klasik maupun kontemporer buatan Perancis. Ada kitab Sullamun Nayiren, Fathur Rouf fil Manan, ada rumus kitab Badi’atul Mitsal, Risalatur Qomaroin, serta sistem kontemporer modern Al Manak Nautika, New Comb, Ephimitis, Hisab Hakiki yang lazim dijadikan pegangan Muhammadiyah, dan kitab Ittifaq Dzatil Bainy yang menjadi rujukan ulama nahdliyin.
Dari 36 ulama hisab dan astronomi tersebut, ternyata ada yang kontroversi di antara “sesamanya”. Jika dikalkulasikan, 23 di antaranya berkesimpulan bahwa karena derajat imkan rukyat masih di bawah had imkan rukyat, maka Syawal ditetapkan pada Rabu, 31 Agustus 2011. Lainnya, 13 ulama hisab, yakin dengan hisabnya yang didasarkan wujudul hilal menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 Agustus 2011.
Ada yang menarik untuk dikaji, karena faktor kehati-hatian “penggarap”, meski rujukan kitabnya sama, kesimpulannya berbeda. Contoh dengan rumus kitab Sullamun Nayiren, dua ulama “penggarap” sama-sama menghitung derajat hilal 3” 20’ dan 3” 50’; akan tetapi dengan mene-tapkan 1 Syawal berbeda antara Selasa (30/9) dan Rabu (31/9).
Contoh lain, dengan rujukan kitab Khulasah Wafiyah. Hasil hitungan dua ulama hisab menghasilkan derajat yang berbeda, yang satu 1” 59’ dan yang satu lagi 2” 19’. Kesimpulan, 1 Syawal juga bisa beda, yakni Selasa (30/9) dan Rabu (31/9).
     Sistem hisab kontemporer semisal New Comb, Ephimiris, Hisab Rukyat, Almanak Nautika, menghitung posisi had inkam rukyat 1” 36’ sampai dengan 1” 42’ akhirnya menyimpulkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu (31/9).
Ada lagi yang menarik dari rujukan kitab Hisab Hakiki yang dipakai Muhammadiyah menghasilkan hitungan ketinggian hilal 1” 58’ dan mengambil kesimpulan 1 Syawal jatuh pada Rabu (31/9).
Hormati Jika Berbeda
     Kondisi hasil hitungan hisab yang kontroversial tersebut memungkinkan adanya “potensi” berbeda dalam menentukan 1 Syawal 1432 H nanti. Bagi jamaah Muhammadiyah karena menggunakan rujukan “wujudul hilal dan matla’ wilayatul hukmi”, sebagaimana yang dituangkan dalam Maklumat Nomor 375, 7 Mei 2011, maka 1 Syawal 1432 H dengan posisi hilal 1” 49’ akan dilaksanakan Idul Fitri pada Selasa Kliwon, 30 Agustus 2011.
Kalangan nahdliyin dan umat Islam yang sepaham akan menunggu hasil rukyatul hilal yang diselenggarakan pada Senin, 29 Agustus 2011, bersamaan waktu Maghrib di 31 lokasi di seluruh Nusantara.
Hasil finalnya kita tunggu pada sidang Isbath Kementerian Agama. Bila dapat ber-Idul Fitri “bersama”, kita patut bersyukur. Namun bila “berbeda”, inilah area ijtihad di angka hisab Idul Fitri yang harus disikapi dengan saling memahami, mengerti, dan saling menghormati.

*) Wakil Ketua PW NU Jawa Timur, anggota Badan Hisab Rukyat Kanwil Kementerian Agama Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar