Kamis, 27 Oktober 2022

Buku Pahlawan Jember

 Pahlawan Jember

Letkol Moch Sroedji, dr Soebandi, Brigjen Safiudin, KH Dzofir, KH Abdulloh Shiddiq, KH Shodiq Mahmud Jauhari, Kyai Dawud, Kyai Amiruddin, Mujahid, Sulthan Fadjar, H Syech, Burah, KH Umar dan KH Bakir

Penulis:
Drs. AFTON ILMAN HUDA, MH
SAMAN HUDI, S.Ag, M.Si.

Editor:
Dra. ENDAH NUR TJENDANI, M.Pd.

Lay-Out:
ARIFIN NUR BUDIONO, S.Pd, M.Si.

Penerbit :
UIJ Kyai Mojo
Jalan Kyai Mojo 101 Jember, Jawa Timur

E-mail :
uijember@gmail.com , Website : uij.ac.id
Cetakan Pertama - Juli 2006
Cetakan Kedua - Juni 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Ilman Huda-Samanhudi, Afton
Pahlawan Jember/ Afton Iman Huda-Saman Hudi
Jember: UIJ-Kyai Mojo, Juni 2012
117 hlm, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-18386-0-0

PENGANTAR
اكاتهلسلام عليكم ورحمة الله وبرلسم الله الر حمن الر حيم نحمدك ياذاالجلا ل والا
كرام على مااكمل لنامن دين الاسلام ونصلى ونسلم على نبى الهدى والرحمة
المبحوث بلكتاب والحكمة خا تم النبيين وامام المرشدين سيدنامحمدوعلىآله
وصحبه واتباعه اجمعين
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami memuji-Mu wahai Dzat yang memiliki sifat keagungan dan kemuliaan, atas segala sesuatu yang telah Engkau sempurnakan untuk kami dari agama Islam.
Kami juga menghaturkan ucapan shalawat dan salam atas Nabi pemberi petunjuk dan rahmat, yang diutus dengan membawa Al-kitab dan hikmah. Sebagai penutup sekalian Nabi dan pimpinan para penunjuk kebenaran yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW, juga atas semua keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya.
Buku ini kelanjutan dari Laporan Penelitian yang berjudul Studi terhadap Peran dan Nilai Kepahlawanan Kabupaten Jember. Laporan Penelitian ini adalah realisasi Program Penelitian kerjasama BAPPEKAB (Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten) Jember dengan  UIJ (Universitas Islam Jember) yang ditulis oleh Drs H Afton Ilman Huda MH., dan Saman Hudi S.Ag. M.Si.

Terdapat alasan yang kuat mengapa buku hasil penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah:
pertama,  bahwa Jember merupakan bagian dari Indonesia; sehingga apa yang terjadi pada republik ini dalam skala nasional, akan membawa imbas juga pada tingkatan lokal.
Artinya, bahwa apa yang terjadi pada perjuangan di tingkatan lokal;
kedua, bahwa perencanaan dan pembangunan kota Jember ini haruslah berpijak pada akar historis kota ini, bagaiamana the founding fathers kota ini mengkonstruksi Jember sebagai daerah yang cukup strategis.
Tujuannya adalah merekam gerak juang para Pejuang Jember dalam sajian data yang nantinya bermanfaat untuk penelitian mendatang, untuk pelestarian nilai-nilai 45 dan pengabadian biografi perjuangannya yang sudah mulai hilang. Sehingga setelah ini akan mudah pengembangan data berikutnya
Buku ini memuat 14 orang Tokoh Pejuang diantaranya dari TNI (Letkol Sroedji, Letkol dr Soebandi dan Brigjen Syafiuddin), dari PPPR/ Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat (KH Dzofir, KH Jauhari, Kyai Dawud, KH Abdulloh, KH Shodiq Mahmud dan Kyai Amiruddin), Hizbullah (Sulthan, H Sjech dan Burah), dari Pejabat Pemerintah (Mujahid) serta dari yang independen (KH Umar dan KH Bakir). Rencana semula ada sekitar 29 orang Pejuang termasuk diantaranya Soedarman (Bupati era Kemerdekaan 45 yang pertama), Joeswono (Bupati Pemerintahan Darurat), KH Machmud alias Bung Rewel, Kyai Zainuri, Ghaffar, Arief Wignyo Sumarto. Letkol Imam Soekarto,
Kendalanya adalah nara sumber dari Pelaku perjuangan sudah terbatas dan hanya beberapa orang yang dapat menyampaikan secara detail dan menyimpan foto/dokumen tempo dulu secara baik. Nara Sumber yang banyak adalah keluarga Pejuang yang relatif kurang lengkap dalam menceritakan kisah perjuangannya.
Apapun hasilnya, Buku ini adalah data dan dokumen tentang para Pejuang Jember yang komprehensip sehingga dapat dijadikan referensi penelitian tentang perjuangan para pahlawan di Jember. Dan pada masa mendatang diharapkan Laporan ini menjadi inspirasi awal terhadap upaya penyempurnaan data dan dokumen tentang Pejuang Jember baik secara isi penulisan maupun tentang jumlah yang ditulis.
Besar harapan kami semata-mata untuk belajar terhadap keteladanan para Pejuang sebagai Pemimpin Pejuang dan teladan sebagai manusia kebanyakan.
Mempelajari keteladanan sikap, pemikiran, perilaku dan akhlaq yang baik para Pejuang sama dengan meraba-raba keteladanan Rosululloh Muhammad SAW yang harus dilakukan oleh setiap muslim sehingga dapat memperbaiki sikap, pemikiran, perilaku dan akhlaq kita dalam bermasyarakat, beragama dan bernegara.
Terima kasih atas perhatian bapak Drs H Suprapto Msi. sebagai Kepala BAPEKAB (Badan Perencanaan Pembangun Kabupaten) Jember dan Drs. H. Achmad Zein MPd. sebagai Rektor UIJ (Universitas Islam Jember) yang telah berkenan memfasilitasi penulisan buku ini sehingga dapat terealisasi. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada keluarga para Pejuang atas bantuan informasi dan data dan terima kasih pula kepada LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Jember dan Pengurus DHD Angkatan 45 Jember yang telah membantu kami.
Mohon maaf atas segala kekurangan dalam Laporan ini. Semoga Allah SWT meridloi yang sudah kita lakukan
ini sebagai nilai ibadah bagi manusia, amin.
كاتهوالله الموفق الى اقو م الطر يق ولسلام عليكم ورحمة الله وبر
Penulis

 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................. vi
BAB I PAHLAWAN LOKAL JEMBER ........................ 1
A. Kondisi Objektif Nasional ............................. ......... 1
B. Kondisi Lokal Jember ............................................ 2
BAB II PERJUANGAN KEMERDEKAAN DIJEMBER
(1942-1949) .................................................... 4
A. Deskriptif Obyektif Perjuangan ........................ 4
B. Masa-masa Pembentukan PETA di Jember ....... 7
C. Suasana Proklamasi 1945 di Jember ................ 8
D. Agresi Militer Belanda I dan II ......................  ... 10
E. Organisasi Perjuangan ...................................  . 11
BAB III PROFIL PEJUANG DARI TNI ..................  14
A. Letkol Mochammad Sroedji .............................   14
B. Letkol dr R.M. Soebandi ..................................   39
C. Brigjen Syafiudin ............................................     41
BAB IV PROFIL PEJUANG DARI PPPR .............. 45
A. KH Dzofir Salam .............................................    45
B. KH Abdullah Shiddiq .......................................    65
C. KH Shodiq Machmud S.H ................................   72
D. KH Jauhari .....................................................     76
E. Kyai Dawud ..........................................    .......... 82
F. Kyai Amirudin ...........................................   ...... 84

i
BAB V PROFIL PEJUANG DARI PEJABAT PEME-
RINTAH .................................       .......   ................ 86
Mujahid .........................................       ................... 86
BAB VI PROFIL PEJUANG DARI HIZBULLAH ..... 88
A. Sulthan Fadjar Njata .......................................     88
B. Burah ............................................................      109
C. H.Syech .........................................................      112
BAB VII PROFIL PEJUANG NON-ORGANISASI . 115
A. KH. Umar .......................................................     115
B. KH. Bakir .......................................................     117
DAFTAR PUSTAKA ..............................................  121


BAB I
PAHLAWAN LOKAL JEMBER
A. KONDISI OBYEKTIF NASIONAL
Masa perjuangan kemerdekaan Indonesia secara nasional antara tahun 1942-1949 dapat dibagi dalam tiga tahapan masa, pertama adalah pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, kedua pada masa agresi militer Belanda I yang dilancarkan pada tanggal 20 Juli 1947 dan ketiga pada masa agresi militer Belanda II yang dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948.
Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai setelah Jepang mengalahkan Belanda. Pada masa ini, Jepang membagi kekuasaan di Indonesia menjadi 3 kekuatan wilayah, pertama di Sumatera di bawah komando Angkatan Darat XXV, kedua Jawa dan Madura di bawah komando Angkatan Darat XVI. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan Darat Wilayah VII dengan bermarkas besar di Singapura. Sedangkan ketiga adalah wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai oleh Angkatan Laut. Pada masa ini terjadi agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I dilancarkan pada tanggal 20 Juli 1947 yang bergerak dimulai di Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, tidak termasuk Banten.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Belanda juga mendaratkan pasukannya di Surabaya dan bergerak menduduki Madura dan Ujung Timur Surabaya. Setelah itu dilanjutkan Agresi II.
Agresi Militer Belanda II dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948 yang berdampak pada bencana militer dan politik bagi Belanda, walaupun disisi lain pada saat itu tampaknya memperoleh kemenangan dengan mudah.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda berhasil menduduki Yogyakarta. Dikatakan sebagai bencana militer dan politik bagi Belanda karena dengan menyerahnya para pemimpin Republik Indonesia setelah mendeklarasikan kemerdekaan, merupakan pukulan politik ditingkat diplomatik bagi Belanda di mata Internasional, terutama PBB; sehingga dapat dikatakan Belanda menang secara militer tapi kalah secara diplomatik.

B. KONDISI LOKAL JEMBER
Dampak dari pada kedudukan Jepang, Agresi Belanda I dan II secara nasional, adalah terjadinya sejumlah perlawanan para pejuang lokal untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, termasuk di kota Jember. Di sini banyak gerakan perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang lokal, baik pada masa pendudukan Jepang, maupun Agresi Militer Belanda I dan II.
Bentuk perlawanan yang terjadi di Jember banyak melibatkan rakyat dari berbagai kelompok dan komponen masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa tokoh pejuang baik dari kalangan Hizbullah, Sipil, dan militer yang terlibat langsung pada proses perlawanan atau perjuangan tersebut.
Kelompok pertama adalah PPR (Pusat Perjuangan Rakyat) yang dipimpin oleh K.H. Dzofir Salam;
kedua kelompok Hizbullah dengan komendannya Bapak Sulton Fadjar;
ketiga, K.H. Abdullah Shiddiq sebagai Komandan Batalyon Elang Emas;
keempat, Mayor Sjafiudin sebagai Komandan Batalyon TKR; dan
kelima, Kolonel Sroedji sebagai Komandan Resimen TKR. Hal tersebut cukup  menjadi bukti dan tanda sejarah, bahwa proses
bagaimana Jember ini lahir banyak melibatkan tokoh-tokoh tersebut, dan bahkan rakyat Jember yang lebihbanyak jumlahnya yang tidak mungkin disebut satu persatu.
Para tokoh diatas adalah sangat layak untuk diabadikan nilai perjuangan dalam mempertahankan kota Jember khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pada proses penelitian yang sudah dilakukan, data di cari dari sumber-sumber yang layak untuk memberikan keterangan tentang proses dan tingkat perjuangannya, untuk itu narasumber yang otentik juga menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi. Umumnya narasumber adalah kerabat dan teman dekat yang bisa memberi informasi tentang nilai-nilai perjuangan yang diperjuangkan.

BAB II
PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI JEMBER (1942-1949)
A. DESKRIPTIF OBYEKTIF PERJUANGAN
Perang Dunia II telah memberi dampak yang sangat signifikan terhadat peradapan dunia, termasuk di Indonesia. Negara ini termasuk pada lokasi pertarungan baik perang fisik maupun pertarungan politik. Kondisi di Indonesia juga termasuk pada kondisi kacau pada saat itu. Ditambah lagi, akibat dari segala bentuk kolinisasi, masa kependudukan Belanda, adalah tertindasnya dimensi kemanusiaan rakyat Indonesia yang mengalami kemunduruan yang luar biasa dan bersifat multidimensional. Akibat lainnya yang tidak kalah parahnya adalah terhambatnya proses pembentukan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Kondisi kacau di Indonesia ini akibat dari penjajahan yang terlalu lama, yaitu sekitar 3,5 abat. Dimulai pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia oleh pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya VOC adalah kampium perekonomian Belanda, selanjutnya berkambang menjadi bentuk penjajahan pada negara.
Selama di Indonesia, Belanda menerapkan sistem politik pecah belah atau adu domba, yaitu mengadu antar kolompok atau individu masyarakat Indonesia agar supaya sibuk dengan pertentangan di internal masyarakat, sedangkan penjajah sibuk juga dengan
eksploitasi hasil sumber daya alam negara kita. Untuk melancarkan eksploitasi, maka kerja rodi/paksa diterapkan dengan para pekerja bangsa Indonesia dari berbagai umur dan jenis kelamin, dengan melakukan praktek kolonisasi territorial. Kondisi ini berlangsung sampai dengan tahun 1942. Pada tahun ini bersamaan dengan pertarungan besar antara tentara sekutu dan Jepang. Pada tahun 1942 pula Belanda hengkang dari kedudukanya di Indonesia dan digantikan oleh Jepang.
Pada tanggal 8 Maret 19421 Jepang resmi menduduki Indonesia.
Beberapa sekolah Belanda saat itu sejak kedatangan Jepang tersebut dengan seketika ditutup. Beberapa sekolah itu misalnya HIS/MULO/NIAS. Dalam kondisi demikian anak republik yang sempat mengenyam pendidikan pada sekolah Belanda tersebut juga berhenti.
Bergantilah penguasa kolonial di Indonesia dari Belanda, digantikan Jepang, dengan ditandai ditutupnya beberepa sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti HIS/MULO/NIAS, secara otomatis anak-anak yang sekolah berhenti juga. Pada masa Jepang inilah, kondisi Indonesia semakin parah. Jepang yang semula mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia, telah menciderai persaudaraan itu. Jepang tidak lebih baik, bahkan lebih represif dan eksploitatif terhadap rakyat Indonesia.
Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat Indonesia semakin menjadi-jadi. Di sana-sini banyak terjadi jeritan tangis rakyat karena disiksa dan kelaparan.
Inilah sebuah fakta yang dengan dalih bagaimanapun tetap harus dikemukakan bahwa colonial dan kolonialisme selalu memberi dampak yang parah bagi subjek yang terjajah dan tertindas (Gandhi: 2001). Subjek yang tertindas dan terjajah selalu saja mengalami bentuk tindakan kekerasan dengan segala macam bentuknya.Dalam kondisi demikian, bukan menjadi sesuatu yang mustahil untuk dilakukan bahwa subjek tertindas tersebut akhirnya melakukan perlawanan
1 Catatan yang dibuat Pak Sadiran, seorang pejuang republic yang pernah terlibat aktif di PETA. Pak Sadiran sampai sekarang masih t

Perlawanan inilah oleh kaum pejuang Indonesia diterjemahkan sebagai bentuk perjuangan yang dapat bernilai tidak semata-mata territorial dan ideologis. Akan tetapi, lebih jauh dapat diterjemahkan dalam kerangka teologis; yakni perjuangan itu diberi nilai ketuhanan.
Dalam konteks inilah, jihad dengan berbagai macam bentuknya mendapatkan daya relevansinya. Seperti yang dikemukakan Pak Tarwi2, beliau mengatakan bahwa orang semula tidak berani pun dapat menjadi berani karena jihad itu. Dan, tidak ada pahala bagi orang yang berjihad di jalan Allah, kecuali surga.
Dalam kerangka demikian itu, para Kyai dan pejuang di Indonesia dengan semangat berkobar berani melakukan perlawanan terhadap pihak colonial tersebut.
Dan, tidak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi perjuangan tersebut. Terdapat bentuk kesatuan nilai yang cukup signifikan yang dialami oleh para pejuang yaitu menyatukan dua konsep nilai; nilai kebangsaan, sebuah nilai yang membutuhkan kemerdekaan dan nilai ketuhanan sebagai pengejawantahan amanat ketuhanan.
Bumi nusantara (Indonesia) ini adalah amanat Tuhan yang perlu dijaga dan disyukuri keberadaannya.
Sikap para pejuang tersebut, dimata colonial tentunya menimbulkan kemarahan. Pihak colonial tidak senang, sehingga mereka menyebut para pejuang tersebut sebagai teroris, pembangkang, dan lain sebagainya. Piliang (2004) mengemukakan bahwa dalam kondisi tertentu sebuah kekuatan colonial seringkali membuat klaim politik terorisme terhadap para kelompok perlawanannya. Terorisme merupakan bentuk citraan politik yang diharapkan dapat menimbulkan efek kooptatif bagi piyhak yang ditududuh sebagai pihak teroris. Termasuk juga Belanda dan Jepang.
2 Pak Tarwi seorang saksi dan sekaligus pelaku perjuangan. Sekarang tinggal di Mayang dan aktif di DHC 45
Mayang (Jember)

B. MASA-MASA PEMBENTUKAN PETA DI JEMBER
Para pejuang kemerdekaan di Jember, pada awalnya sebagian besar menyambut dengan baik dan senang atas kedatangan Jepang. Jepang yang mengaku sebagai saudara tua tersebut mencoba menghibur rakyat Indonesia dengan janji akan memberikan kemerdekaan bagi negeri ini.
Salah satu upaya uantuk mempersiapkan kemerdekaan itu adalah perlunya dibentuk sebuah pasukan yang disebut Pembela Tanah Air yang disingkat PETA. PETA ini dibentuk pada tanggal 27 Desember 1943 oleh Jepang dengan tujuan dipersiapkan untuk melawan sekutu, dengan demikian, banyak pejuang di Indonesia yang terlibat dalam PETA tersebut termasuk di Jember. Para pejuang Jember yang masuk PETA adalah Dr. Soebandi masuk PETA dengan pangkat Eise Syodancho di Daidan Lumajang (dokter tentara), Letkol Moh Soedji, Bapak Sulthon fajar, KH Dzafir Salam, KH. Ahmad Mursyid, dan para pejuang yang tergabung dalam organisasi perjuangan rakyat dan Hizbullah. Pada masa-masa ini merupakan jejak awal perjuangan rakyat di Jember.
Selanjutnya PETA hanya bertahan sekitar 2 tahun pada saat menyerahnya Jepang atas sekutu dengan Bom meletus di Hirosima dan Nagasaki, sehingga PETA di bubarkan, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945. Yang selanjutnya, bermetamorfosa menjadi Resimen 40 amarwulan. Sementara, organisasi perjuangan rakyat seperti Hizbullah tetap eksis di Jember.

SUASANA PROKLAMASI 1945 di JEMBER
Pada masa tahun 1945 an bisa dikatakan masa yang sangat heroic, dengan ditandai dengan deklarasi kemerdekaan. Seluruh rakyat Indonesia terlibat emotif,memekikkan kemerdekaan. Pekik itu merupakan wujud syukur sekaligus haru. Tidak ada yang tersisa dan tidak ada yang berharga kecuali kemerdekaan.
Pada saat itu di Jember juga terlibat dalam situasi gembira ini dengan cara emotif dan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang dikemukakan Pak Tarwi “bahkan banyak yang menangis saat itu, jika tidak ikut berjuang untuk dikirim ke Surabaya untuk bergabung ke Surabaya”. Perlu dikemukakan pada masa-masa ini Jember banyak dimintai dukungan berupa pengiriman pasukan untuk bergabung dengan Bung Tomo di Surabaya.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 mendapat reaksi keras Kenpetai Jepang yang melalui harian Soeara Asia dengan mengeluarkan pengumuman peringatan keras agar penduduk dan orang-orang Belanda di Indonesia tetap jangan mengganggu keamanan, jangan menyiarkan kabar bohong sehingga membikin kalut penduduk dan jangan bertingkah sombong dan menghina.3
Sesungguhnya Jepang di Indonesia berada pada posisi dilematis, karena Jepang sudah menyerah tanggal 10 Agustus 1945 pada fihak Sekutu akibat kalah perang dalam Perang Asia Timur Raya sehingga harus melakukan penyerahan daerah kekuasaan jajahannya pada Belanda, tetapi pada sisi lain Jepang secara diam-diam mendukung kemerdekaan Indonesia sehingga proses pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang oleh para pejuang relative mudah dan tanpa kekerasan.
3 Lasykar Hizbullah, KH Hasyim Latief, hal 46, Lajn

rPoklamasi dapat didengarkan secara luas oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk Jember karena peran radio yang selalu menyiarkan. Reaksi gembira melalui teriakan “merdeka” terjadi satu dua saja dengan nada ketakutan. Maklumlah karena masih banyak Tentara Jepang yang ada di Jember. Tapi, pada tanggal 20 Agustus 1945 dirumah tingkat Ping Loen (sebelah selatan Masjid Jami‟) daerah Ambulu berkibar 2 bendera yaitu Merah Putih dan Cina Nasionalis.
Alasan Sulthan tentang pengibaran bendera tersebut adalah:
Saya dengarkan dari radio dan berita dari Jember. Bahwa Tentara Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia Merdeka. Orang Indonesia bakal senang. Untukmerayakan kemenangan Sekutu (maksudnya Front ABCD yaitu Amerika Serikat, Belanda, Cina Nasionalis dan Denmark) maka perlu mengibarkan bendera Merah Putih dan Bendera Kebangsaan Cina. Setelah diberi penjelasan
bahwa sebaiknya bendera Merah Putih saja yang berkibar,kemudian diturunkan bendera Cina Nasionalis.
Peristiwa berkibarnya Merah Putih cepat tersiar dikecamatan Ambulu sehingga menjadi opini rakyat saat itu. Mereka bingung dengan situasi sudah Proklamasi tersebut mau melakukan apa, kecuali bergerombol disana-sini sambil membicarakan situasi.
Ternyata pada tanggal 20 Agustus 1945 di kota Jember sudah banyak berkibar bendera Merah Putih dimana-mana dan plakat-plakat yang tertulis “Merdeka, Indonesia Medeka, Merdeka atau Mati”, menyematkan  lencana merah putih dibaju atau pecinya, pengambil-alihan kantor-kantor Pemerintah, Bank, perusahaan dll dtempeli plakat “milik Republik” dan beberapa Pejabat Pemerintah yang pro Jepang dieksekusi rakyat tanpa proses pengadilan.

 Setelah pekik kemerdekaan dikumandangkan tidak selang lama di Surabaya, Inggris datang yang dipimpin oleh Jendral Mallaby. Jendral mallaby itu sendiri terbukti tewas pada saat perang 10 Nopember di Surabaya dan terkenel sampai saat ini sebagai perlawanan rakyat Surabaya teradap penjajah dengan terkenal Hari Pahlawan.

D. AGRESI MILITER BELANDA I DAN II
Awal masuknya Belanda ke Jember adalah bersamaan dengan Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 19474. Jember adalah kota yang strategis untuk mengendalikan wilayah karesidenan Besuki. Pada saat ini, korban penahanan pertama adalah dr. Soebandi, karena telah menolong untuk tindakan operasi seorang prajurit korban tembak. Hukuman yang diberikan adalah tahanan kota.
Kondisi genting akibat dari Agresi I ini bertahan sampai dengan Agresi Belanda II atau juga disebut dengan Aksi Polisional II. Aksi ini berlangsung pada tanggal 18 Desember 1948 yang telah menewaskan beberapa orang warga masyarakat dan tokoh masyarakat sebagai pejuang untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah tercatat korban meninggal pertempuran di Kedawung adalah Letkol. Moh Sroedji dan Letkol. Dr. Soebandi. Letkol Dr. Soebandi tewas ditembak oleh tentara Belanda dikarenakan salah strategi untuk mengambil jalan dalam pelarian menyelamatkan diri. Disisi lain, Letkol. Moh Sroedji tewas karena tertangkap dan disiksa di tahanan pihak Belanda.
4 Catatan lain yang dibuat Pak Sadiran seorang pejuang lokal di Jember menyatakan bahwa Agresi Belanda I terjadi pada tanggal 21 Ju

Menurut penuturan KH. Ahmad Mursyid5, Letkol Moh. Sroedji wajahnya hancur karena tulang wajahnya remuk karena pukulan benda keras.
Korban selanjutnya adalah Bapak Burah. Dia meninggal karena di tembak oleh tentara Belanda di Jatian Desa Mayang setelah pulang dari Masjid. Menurut Pak Tarwi setelah meninggal, jasadnya dibakar dengan alasan kesaktian yang dimilikinya yaitu Belanda percaya bahwa Pak Burah dianggap bisa hidup kembali setelah di tembak.

E. ORGANISASI PERJUANGAN
Menjelang dan setelah mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh di Kabupaten Jember yang sudah membentuk laskar perjuangan adalah:
1. Kyai Dzofir mendirikan Sabilillah yaitu pasukan yang beranggotakan para Kyai bersama-sama dengan Kyai Abdullah Shiddiq, Kyai Shodiq Mahmud, Kyai Dawud Klompangan, Kyai Haji Damanhuri Mangli, Kyai Haji Sholeh Kaliwining, dll. Selanjutnya Kyai Dzofir sebagai Shumukacho dan tokoh Masyumi. Pembentukan Tentara Sabilillah ini selanjutnya secara spontan diikuti oleh warga Pesantren yang lainnya, seperti di Malang dipimpin oleh Kyai Haji Masykur. Tujuan pembentukan Tentara Sabilillah adalah mengawasi dan mengarahkan gerak gerik Tentara Hizbullah yang mayoritas generasi muda agar tidak melanggar syariat Islam. Selain itu juga berfungsi sebagai penasehat dan pembina mental dan spritual para pejuang, khususnya Hizbullah.6 Pada perkembangan selanjutnya adalah diadakannya
5 Seorang pejuang yang menolong jenazah Letkol Moh. Sroedji. Sekarang tinggal di Jember. Wawancara tanggal 13 Oktober 2006
6 KH Yusuf Hasyim, makalah

Kongres Ummat Islam di Yogjakarta pada tanggal 8 Nopember 1945 dan menetapkan Masyumi sebagai sebuah partai. Kota Malang adalah ditetapkan sebagai markas tertinggi Hizbullah dengan dipimpin oleh Kyai Haji Zainul Arifin, sedangkan pasukan Sabilillah dipimpin oleh KH Masykur. Sedangkan pada tahun 1948 Kyai Dzofir membentuk PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat) dengan mayoritas anggota dari Tentara Sabilillah di Kabupaten Jember.
2. Sultan Fadjar Njata dan para Alumni Cisarua Bogor dari Jember; Sulthon, Buchori, Moch. Ro‟i, Moch. Irfan,Abd. Hamid, H. Ali, Anang, Muslich, Abd. Syarief, Abd.Rosyid, Sa‟adi, Mudjahid dan Moch. Ro‟is membentuk Dewan Pertahanan Pemuda Islam (DPPI) sedaerah karesidenan Besuki. DPPI ini bermarkas di Kaliwates,tepatnya sekarang adalah Rumah Sakit PTPN Jl Gajahmada Jember. Perkembangan selanjutnyakelompok ini menjadi Lasykar Hizbullah.
3. Daidantjo/Major Soerodjo menjadi Komandan TKR/Tentara Keamanan Rakyat Resimen Besuki yang berkedudukan di Jember. Istilah TKR ini mempunyai beberapa kali perubahan yaitu dari Badan Keamanan Rakyat/BKR, Tentara Keamana Rakyat/TKR, kemudian berobah nama menjadi Tentara Rakyat Indonesia/TRI, pada akirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia/TNI hingga sekarang. Pada tanggal 17 Desember 1948 Major Soerodjo ditetapkan sebagai STM (Sub Teritorotium Militer Besuki.
4. Brigade III Damarwulan dipimpin oleh Letkol Moch Sroedji. Batalyon ini membentuk 3 batalyon yaitu Batalyon 25 Banteng Merah yang dipimpin Mayor Syafiuddin di Jember, Batalyon 26 yang dipimpin Mayor
Magenda di Bondowoso dan di Situbondo dan Batalyon 27 yang dipimpin Letkol Ach. Rivai pada tahun 1948.

5. Resimen 40 Tentara Keamanan Rakyat/TKR dipimpin oleh Letkol Prajudi
6. TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dipimpin Iskandar.
7. Badan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) yang diprakarsai Bung Tomo juga punya perwakilan di Jember.
8. Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang berafiliasi dengan PKI.
9. Angkatan Muda yang dipimpin Abdul Ghaffar.
10. Laskar Merah, Laskar Rakyat, Laskar Banteng dan Laskar Buruh

7 Dra Irna HN Hadi Soewito, Rakyat Jawa timur mempertahankan kemerdekaan, jilid 3, halaman 554 serta
makalah Sulthon Fadjar Njoto.

BAB III
PROFIL PEJUANG TNI
A. LETKOL MOECHAMMAD SROEDJI
1. KARIER MILITER
Mochammad Sroedji lahir di Bangkalan 1 Februari 1915, dari pasangan bapak H. Hasan dengan ibu Hj. Amna. Istrinya bernama Hj. Mas Roro Rukmini yang lahir dari pasangan M. Nitisasmito dan Siti Mariyam. Beliau mempunyai 4 anak yaitu: Drs. H. Sucahjo Sroedji, Drs. H. Supomo Sroedji, Soedi Astutik Sroedji, Poedji Rejeki Irawati Sroedji.
Mochammad Sroedji menempuh pendidikan di HIS (Hollands Indishe School) kemudian di Ambachtsleergang. Selain itu juga pernah mengikuti Pendidikan Tinggi Opsir Tentara PETA di Bogor dengan pangkat Tjudantjo Peta Besuki yang dipimpin Daidantjo Moch. Soewito. Sesudah menjalani masa pendidikan formal sampai tahun 1943 kemudian beliau di angkat menjadi Pegawai Jawatan Kesehatan (Mantri Malaria) di Kabupaten Jember. Karir militer dimulai dari Sjudantjo di Peta (Dai I Dan) pada bulan Oktober 1943 dan Agustus 1945 di Jember.
Salah satu pelopor terbentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan TKR (Tentara Kemanan Rakyat) di Karesidenan Besuki adalah juga Sroedji. Pada bulan September 1945 s/d Desember 1946 berturut–turut dilantik sebagai Komandan Batalyon 1 Resimen IV Divisi VII TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang berdomisili di Kencong, Jember. Pada tahun 1946 beliau dikirim ke front pertempuran di daerah Karawang dan Bekasi propinsi Jawa Barat.
Pada bulan Januari 1947 s/d April 1948, Sroedji menjadi Komandan Resimen 40 Menak Koncar dan merangkap jabatan sebagai Komandan Divisi VII Surapati yang berkedudukan di Lumajang. Pada saat terjadi Pemberontakan Partai Komunis Indonesia(PKI) di Madiun pada tahun 1948, Pak Radji (nama samaran Sroedji dalam perjuangan) yang sabar, tenang dan suka bergaul itu, diangkat menjadi Komandan SGAP (Staf Gabungan Angkatan Perang) yang bertugas menumpas pemberontakan PKI di wilayah Blitar. Dalam tugasnya tersebut,
Resimen 39 didukung oleh Batalyon pimpinan Sjafi‟uddin Batalyon pimpinan Magenda, Batalyon Soeramin dan Batalyon Darsan Iroe.
Selanjutnya pada bulan Mei 1948 s/d Agustus 1949 menjadi Komandan Resimen 50 Damarwulan pada Divisi VII. Resimen ini berobah menjadi Brigade II Damarwulan Divisi I Jawa Timur. Brigade II Damarwulan mengadakan wingate-action di wilayah Jurusan Lumajang – Klakah – Jember – Banyuwangi. Perjalanan ditempuh selama 51 hari dengan jarak tempuh 500 km dan mengalami banyak pertempuran.Brigade III Divisi I disebut dengan nama Damarwulan untuk mengenang dan mengingatkan pada legenda zaman Majapahit. Damarwulan adalah sosok ksatria yang perkasa dan sederhana dengan mengemban tugas untuk menundukkan Menak Jinggo, Adipati Blambangan yang membangkang. Pada akhirnya Ksatria Damarwulan menang dan mempersembahkan penggalan kepala Adipati Minak Jinggo dari Tlatah Blambangan pada Raja Majapahit saat itu.

2. HIJRAHNYA RESIMEN 50 DAMARWULAN
Perjanjian Renville banyak ditentang rakyat sehingga Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin mundur dan menyerahkan mandat Perdana Menteri pada Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta. Hatta membentuk kabinet tanpa menyertakan kelompok sosialis dan melaksanakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang/Rera untuk menormalkan TNI yang telah dikacaukan Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin. Rera banyak memangkas kekuatan komunis di TNI sehingga Mr. Amir Syarifuddin, Muso dan kelompok komunis kecewa terhadap Rera dan kemudian memberontak pada tanggal 18 September 1948 yang terkenal sebagai Peristiwa Madiun.
Resiko dari perjanjian Renville selanjutnya adalah gencatan senjata dan pengosongan wilayah Jember dari para pejuang. Para pejuang ini harus pindah/hijrah ke Tulungagung, Kepanjen Malang, Kediri dan Blitar sebagai batas wilayah Republik Indonesia sebelah timur sesua Perjanjian Renville. Walaupun hijrah tersebut mengecewakan para pejuang, tetapi mereka lakukan demi patuh pada keputusan Panglima Besar TNI Jendral Soedirman.
Pada Januari 1948 para pejuang, masyarakat, pegawai dan Resimen 40 Damarwulan melakukan hijrah.
Resimen dan rombongan rakyat yang ikut hijrah dengan berjalan kaki menuju desa Pakisaji kecamatan Kepanjen Malang. Disini mereka diterima baik oleh Panitia yang mengatur Hijrah dan kemudian mendistribusikan rombongan ke Sumber Pucung dan Dampit (Kabupaten Malang), Kesamben, Wlingi, Blitar dan wilayah sekitarnya.
Selanjutnya pengungsi ini di satukan dan berkumpul di Blitar. Mereka ngungsi selama sekitar 4 bulan yang kesemuanya diurus Panitia. Tetapi setelah 4 bulan beban konsumsi dan akomodasi seluruh anggota Resimen ditanggung Komandan Sroedji. Sungguh berat beban yang ditanggung Letkol Sroedji.
Pada tanggal 18 September 1948, Sroedji memimpin anak buahnya bertempur melawan PKI di Blitar sampai tumpas. Setelah Peristiwa PKI Madiun, Resimen 40 Damarwulan berobah nama menjadi Brigade Mobil Damarwoelan. Kesatuan lain diantaranya TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), Kepolisian dan Batalyon Angkatan Darat menggabung pada Brigade tersebut untuk menumpas sisa-sisa laskar Pendukung PKI yang memberontak di Madiun. Kesatuan ini dijuluki SGAP (Staf Gabungan Angkatan Perang) yang struktur lainnya adalah: Letkol Moch Sroedji sebagai Komandan Brigade,
Kepala Staf adalah Major Imam Soekarto, Kepala Kesehatan merangkap Residen Militer Karesidenan Besuki adalah Letkol dr Soebandi, Komandan Batalyon 25 adalah Major Syafioeddin, Komandan Batalyon 26 adalah Major EJ Magenda, Komandan Batalyon 27 adalah Major Soedarmin, Komandan Batalyon Depo adalah Major Darsan Iroe, Ex pangkalan X ALRI/KOMDI adalah Kapten Bintoro, Sekretariat adalah Lettu O Djajadi, Kapten Soeratmana sebagai PASI 1, PASI 2 adalah Lettu Machfudz, PASI 3 adalah Kapten Moesyarfan, Perlengkapan adalah Lettu Soetardjo, PA Kendaraan/Angkutan adalah Lettu Soetjipto, PA Persenjataan adalah Lettu Adidarmo, PA Pekerja Istimewa adalah Lettu Noegroho.
Dalam operasi di Blitar tersebut Brigade menuai sukses.
Kemudian Brigade melakukan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang/Rera, maka turunlah Keputusan Menteri Pertahanan No. A/582/48 tanggal 25 Oktober 1948 yang isinya merobah nama Brigade menjadi Brigade III Damarwulan, Divisi I Jawa Timur. Tanggal 17 Desember 1948 diadakan Upacara peresmian Brigade tersebut di lapangan Kuak Kota Kediri disaksikan Kolone Soengkono (Komandan Divisi I Jawa Timur) dan Kolonel AH Nasution (Panglima Komando Jawa).

3. KEMBALI KE JEMBER
Setelah 10 bulan mengalami masa hijrah akibat dari perjanjian Renville, pada bulan Januari 1948 berlangsung gencatan senjata dan semua yang hijrah bisa kembali ke  wilayahnya, termasuk wilayah karesidenan Besuki. Semua kembali ke wilayah asal dengan tugas membebaskan kampung halaman dari penjajah. Semua pejuang bernaung di bawah komando Damarwulan yang dipimpin oleh Letkol. Sroedji, yang pada akhirnya perwira TNI membentuk kesatuan bersenjata di Besuki.
Dalam Komando I Damarwulan terdiri dari unsur kekuatan tempur dan pemerintahan sipil yang teridiri atas Bupati, Wedana, Camat, Dinas Penerangan,perekoperasian, perindustrian, dan tokoh masyarakat.
Keluarga pasukan komando dan juga masyarakat turut serta, para istri dan anak-anak, sehingga perjalanan ini merupakan perjalanan berat yang terdiri atas berbagai macam lapisan masyarakat. Residen Besuki tidak termasuk dalam rombongan ini. Dapat dibayangkan betapa rumitnya mengatur rombongan sebesar itu dalam perjalanan serba darurat. Tidak saja karena mereka tidak akan melalui jalan besar, tetapi di sepanjang perjalanan telah diperhitungkan akan sering kali berhadapan dengan musuh yang sewaktu-waktu siap menghadang. Lagi pula betapa sulitnya perbekalan bagi hampir mencapai 5000 orang. Juga rombongan perempuan dan anak-anak dalam perjalanan melalui gunung dan jurang yang terjal?
Bagaimana mengamankan mereka, bila berhadapan dengan musuh atau mengalami tembakan dari pesawat udara? Adapun yang tersulit adalah bagaimana mendapatkan makanan di sepanjang jalan dalm jumlah yang banyak? Sungguh beban mental yang cukup rumit bagi LetkoL Sroedji, komandan Damarwulan yang memimpin perjalanan.
Namun kegembiraan yang begitu memuncak di hati setiap orang, adalah bahwa kendala itu tidak menyebabkan 1 orang pun mengurungkan niat ikut. Pada tanggal 18 Desember (sehari sebelum agresi) kelompok Damarwulan mengadakan pertemuan di markas brigade.
Pada pertemuan lengkap itu, Panglima Divisi I serta stafnya dan para perwira dari Brigade III Komando Damarwulan merencanakan siasat, bagaimana memasuki daerah yang masih diduduki musuh. Mereka sudah memperkirakan bahwa agresi Belanda, paling lambat akan dilakukan pada hari Natal 25 Desember. Sebelum agresi, mereka berketetapan untuk lebih dahulu ada di daerah Besuki. Mereka cukup sadar, bahwa perjalanan menuju wilayah itu masih akan melalui 2 kabupaten dan karesidenan Malang, yang kedua-duanya telah diduduki Belanda.
Sebagaimana direncanakan, komando ini melewat pegunungan sempit di sebelah selatan Gunung Semeru yang bérhutan lebat. Dalam perjalanan itu Batalyon 26  bergerak paling depan, diikuti Batalyon 25, staf brigade, kemudian Batalyon 27 dan Batalyon Depo. Mereka melalui Lodoyo, Binangun, Bantur, Sumber Manjing menerobos Tempursari hingga mencapai Lumajang bagian selatan.

Begitulah ekspedisi ini bergerak dalam formasi siap tempur. Namun pada hari kedua, tanggal 20 Desember, pasukan pelopor dan Batalyon 26 dan Batalyon 25 beradu senjata dengan musuh di Lodoyo, karena kebetulan gerakan Belanda yang siap masuk Blitar bertemu di Lodoyo. Pertempuran disini tidak diperpanjang, baik Belanda maupun komando tempur. Bagi Belanda yang mendapat tugas untuk segera masuk Blitar tidak meladeni singgungan senjata, hal yang juga menguntungkan bagi rombongan ekspedisi. Mungkin juga serdadu Belanda tidak mengetahui, bahwa peIopor dari Batalyon 25 dan 26, adalah bagian dari induk pasukan yang siap memasuki daerah Besuki, daerah pusat Negara Boneka.
Pada tanggal 28 Desember 1948, rombongan sudah memasuki batas status quo, untuk itu antara komando Brigade Ill dan komando Brigade IV diadakan musyawarah, bagaimana cara membuka gerbang musuh, agar ekspedisi ini dapat lewat Iebih lama.
Rapat gabungan antara staf Brigade Ill dan staf Brigade IV diadakan di Sumbar Tempur pada tanggal 28 Desember 1948. Dan Brigade IV dihadiri oleh : Mayor Roesman, Kapten Ngoedio, Kapteñ Soenarjo dan Kapten Nailoen. Sedangkan dan Brigade Ill, selain komandan brigade Letkol. Sroedji, hadir juga Letkol. dr. Subandi dan beberapa perwira staf, antara lain Mayor Iman Sukarto kepala staf Brigade III. Dalam perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa Batalyon Depo dan Brigade IV, dibawah pimpinan Kapten Nailoen, akan berusaha membuka gerbang perjalanan dengan menyingkirkan pasukan Belanda yang berkawal di Tempursari, yaitu gerbang yang harus dilalui rombongan dalam perjalanan menuju Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi.
Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1948, batalyon Depo Brigade IV, dibantu Batalyon 26 dan Batalyon 27 masing-masing 1 kompi mendahului rombongan bergerak dalam formasi tempur ke Tempursari. Pos pengawalan Belanda ditempat ini tidak terlalu besar, sekitar 2 pleton dan mampu disingkirkan pasukan tempur dengan berkekuatan hampir 1 batalyon

Pasukan Belanda menyingkir ke Pasirian Kompi Suwardi dan Batalyon 27 adalah pasukan pelopor ketika memasuki Tempursari pada pukul 4 pagi, tanggal 1 Januari 1949.
Pihak Belanda sebelum menghindar melakukan perlawanan tangguh, yang menyebabkan 2 anggota pasukan kita gugur dan beberapa orang luka.
Pada saat komando Brigade III ada di Sumber Tempur, pihak Belanda sudah mengetahui ekspedisi ini, dan berusaha meIakukan pencegahan. Belanda mengirim sejumlah pasukan ke Gonjo dan Tumbakrejo, dimana mereka berhadapan dengan pasukan Depo Mayor Darsan Iru, dalarn pertempuran beberapa saat Depo Batalyon ini dapat meladeni serbuan Belanda, dan kedudukan kita tidak terpengaruh, hingga Batalyon Depo dapat meneruskan perjalanan mengikuti rombongan yang sudah di depan.
Akibat tersingkirnya pengawalan Belanda di Tempursari, maka pasukan KNIL yang tersingkir itu minta bantuan kepada kornandonya di Malang. Siang tanggal 1 Januari 1949 itu juga. datanglah bantuan dari Malang, tetapi bukan dalam bentuk pasukan. melainkan 4 buah pesawat udara yang melayang-layang sambil melepaskan rentetan temb- akan dan menjatuhkan bom di atas Tempursari. Tentu saja seluruh komando Darnarwulan tidak ada dalam kota Letkol Sroedji (x) bersama para Komandan Resimen se Indonesia dan panglima Besar Soedirman (ditengah) th 1948 setelah Tempursari dikuasai, karena mempunyai resiko yang lebih besar. Jadi setelah menduduki Tempursari pasukan kita segera mencari tempat perlindungan yang aman, sambil merencanakan penjalanan selanjutnya.
Dan tempat perlindungan pasukan, kita dapat menyaksikan betapa ganasnya kapal terbang Belanda menembaki dan membom kota kecil Tempursari berkali-kali, dan dengan tahapan yang berbeda, yaitu pagi dan sore. Betapa berat penanggungan penduduk Tempursari akibat penembakan dan pemboman itu. Banyak rumah hancur dan terbakar, tetapi tidak ada korban manusia karena telah diungsikan sebelumnya, namun banyak hewan piaraan yang tertambak.
Rombongan Damarwulan selamat dalam pertempuran itu, dan meneruskan perjalanan menuju Lumajang melalui desa Ampel Gading. Ruang gerak di selatan gunung Semeru sangat terbatas. karena hutan yang lebat dan tanahnya berbatu kapur tajam. Perjanan yang sangat berat. Disisi lain, melalui jalur selatan gunung Semeru inilah diperhitungkan jalan yang paling aman, dilihat dari kemungkinan serangan musuh. Brigade III Damarwulan sama sekali tidak bermaksud melakukan pertempuran dalam wingate, sebelum tiba di daerah tujuan, yaitu Besuki. Mereka waktu itu ada di wilayah karesidenan Malang, masuk Wehrkreise Brigade IV.
Sementara itu pasukan Belanda tidak mengira, bahwa pasukan sebesar 5 batalyon tersebut, tidak bermaksud melakukan pertempuran, karenanya setelah 2 pleton serdadu KNIL menyingkir dari Tempursari, Belanda memusatkan kekuatan di Pasirian dengan perkiraan, pasukan TNI akan menggempur kota kawedanan ini.
Pasukan Belanda telah membuat strategi untuk memancing dan menjebak TNI di kota kawedanan Pasirian, namun kota inni adalah bukan kota tujuan pasukan TNI, sehingga pertempuran bisa terhindari. Hal ini sudah sesuai dengan rencana Komando amarwulan yang bertekad untuk menghindari pertempuran sebelum tiba di daerah sasaran, kecuali bila terpaksa untuk membuka jalan. Bisa dikatakan pasukan Belanda yang sudah dikonsentrasikan di Pasirian akhirnya hanya bagaikan “Menunggu Godot”. Alasan berikutnya adalah sejak di Tempursari, komando Damarwulan sudah memencarkan rombongan dalam unit-unit yang Iebih kecil dengan alasan untuk keamanan rombongan dari sergapan musuh, dan memudahkan dalam hal mensuplai makanan yang dilakukan oleh penduduk. Tentulah amat sulit bagi penduduk sebuah desa, jika harus menanggung 5000 orang apalagi desa-desa sebelum memasuki Lumajang, tanahnya kurang subur. Lumajang, merupakan kabupaten terakhir yang harus dilewati, sebelum rombongan memasuki kembali di kampung halaman.
Staf brigade bergerak dari Lebaksari ke Sumbersengkaring sedangkan Kompi Kadiyo dari Batalyon 25 bergerak di sebelah utaranya, sekaligus sebagai pelindung. Sementara sisa batalyon tersebut bergerak melaIui hutan-hutan gunung Semeru bagian selatan
menuju desa Penggal. Batalyon 26 dan 27 sebagian masih ada di Sumbertangkil. Setibanya staf brigade di Sumbersengkaring, pada tanggal 5 Januari 1949, maka lewat PHB Brigade Ill diadakan hubungan dengan markas divisi yang ada di lereng Gunung Wilis.Dengan sangat lamban rombongan bergeser setapak demi setapak, menghindari jalan besar atau kota-kota kecil dalam pengawasan musuh, kecuali desa Penanggal yang harus dilewati walaupun di sana terdapat sejumlah penjagaan. Seperti apa yang dilakukan di Tempursari, maka desa Penanggal juga terpaksa digempur kompi pelopor. Anehnya sebelum kompi pelopor tiba di desa, penduduk sudah lebih dahulu memberi tahu pasukan kita, bahwa serdadu Belanda sudah meninggalkan Penanggal, dan berkumpul di Pasirian.
Pada tanggal 9 Januari, hampir seluruh rombongan ada di Penanggal, termasuk Batalyon 26,27 dan Batalyon Depo, yang selalu berjalan paling belakang. Desa ini ada di sebelah timur Pasirian. Beberapa kilometer lagi rombongan akan memasuki perbatasan karesidenan Besuki. Jadi sia-sialah pemusatan serdadu musuh di Pasirian dan berharap akan membekuk pasukan kita, sebab melalui celah hutan, dengan segala kesukaran kita dapat melewati pertahanan musuh dari selatan Lumajang.
Brigade Damarwulan mulai mengadakan persiapan untuk memasuki daerah tujuan, Besuki. Di desa inilah, Letkol Mohammad Sroedji menyelesaikan masalah yang belum diputuskan, yaitu pembagian tanggung jawab daerah tugas. Dalam musyawarah tanggal 20 Januari 1949 ditetapkan pembagian tugas Pembentukan Pemerintahan Militer zaman perjuangan, sebagai berikut:
Letkol Moch Sroedji sebagai Sub Teriorium Militer/STM Besuki merangkap Pemimpin Operasi di Jember dan Banyuwangi, Wakil STM Besuki merangkap Pemimpin Oerasi di Bondowoso dan Situbondo adalah Major Imam Soekarto, Residen Militer Besuki adalah Letkol dr Soebandi, KDM/Komando Distrik Militer Jember adalah Major Syafioeddin, KDM Bondowoso dan Situbondo adalah Major Magenda dan KDM Banyuwangi adalah Letkol Achmad Rivai.
Dari desa Penanggal mulai disebarkan perang urat syaraf, yang dilakukan pemerintah sipil, terutama bagian penerangan. Diberitahukan lewat penduduk, bahwa komando Damarwulan dengan kekuatan yang amat besar telah tiba dan dalam waktu singkat akan mengakhiri riwayat serdadu Belanda dengan negara boneka ciptaan Van der Plas. Berbagai pamflet dan selebaran mulai disebarkan kepada penduduk, agar ditempel dimana saja, terutama dikirim kepada mereka yang telah berkhianat kepada RI. Kepada pejabat Negara Jawa Timur dan pamong angkatan Belanda diserukan, agar mereka segera meninggalkan musuh dan bergabung dengan Republik, sebelum hari pembelaan tiba.
Selain itu didesa Penanggal, oleh komando Damarwulan beserta pemerintah sipil mulai diedarkan uang ORI (Oeang Republik Indonesia) yang ternyata diterima gembira oleh penduduk malahan dengan kurs 1 : 1 dengan uang Nica.
Selesai mengadakan musyawarah, maka rombongan meninggalkan Penanggal, meneruskan perjalanan menuju Besuki secara terpencar, sesuai dengan wilayah yang telah ditentukan. Staf brigade sendiri maju menuju desa Bodong dan menyeberang di selatan Klakah. Sementara Batalyon 25 menggempur musuh di Candipuro secara mendadak, menyebabkan jatuh korban 15 orang, juga ditemukan 2 orang gugur, 1 orang tertawan, I orang hilang, dan beberapa pucuk senjata rusak.
Begitu pula Batalyon 27 yang juga bergerak menuju kampung halaman, tiba di Karanglodi, sebelah tenggara Lumajang. Di desa ini secara tak terduga bertemu dengan patroli, sehingga terjadi, tembak-menembak. Disini anggota Batalyon 27 tertawan oleh pertempuran kecil dan kemudian meneruskan perjalanan memasuki daerah Jember/Besuki, masuk kecamatan Gumukmas. Ketika staf brigade beserta pasukan melewati Klakah, dihadang oleh pasukan musuh yang tangguh, sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun seluruh staf brigade dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat. Sementara Batalyon 26 sudah memasuki wilayah Besuki di kawedanan Puger.

Batalyon 25 bersama dengan staf Brigade Damarwulan pada tanggal 19 Januari sudah tiba di pos komando Karangbayat Jember. Dengan begitu Mayor Syafiudin tinggal mengatur penempatan kembali beserta kompi-kompinya. Batalyon 26-Magenda masih harus meneruskan perjalanan menuju Bondowoso dan Situbondo, sesuai dengan daerah pertahanannya (wehrkreise) melalui celah-celah utara kota Lumajang, menuju gunung Lamongan, kemudian melewati baratdaya Gunung Argapura, terus ke pegunungan dimana menjadi kompleks wehrkreis-nya. Batalyon 27 yang masih jauh harus melalui Jember Selatan menyeberangi sungai Sanen, lewat kota Blater kemudian menembus pegunungan Betiri. Dalan perjalanan ini Batalyon 27 sempat dicegat musuh di Ambulu, dimana dalam insiden ini terdapat 2 orang prajurit gugur. Selanjutnya, batalyon 27 berhasil menembus pegunungan Miru, dan menduduki perkebunan/persil Sukamade, dimana batalyon ini menempatkan pos komando wehrkreisenya selanjutnya. Batalyon Depo, Mayor Darsan Iru pada tanggal 24 Januari 1949 tiba juga di Jatibanteng, distrik Besuki bersama dengan Batalyon Abdul Syarif, yang dulu dari Brigade 1V. Perlu pula dicatat turut sertanya sepasukan lasykar Hisbullah dalam Batalyon 25, di bawah pimpinan Haji Syekh.
Demikianlah setelah 25 hari dalam perjalanan yang sangat sulit, seluruh pasukan wingate memasuki wilayah Besuki pada, tanggal 14 Januari 1949. Kemudian Komando Brigade Damarwulan mengambil pos komando sementara di Karangbayat Jember

Di Sumber Wringin pada tgl. 7 April serdadu Cakra mengumpulkan rakyat dan mengancam “ Siapa yang memberi makan TKR akan dibunuh”. Tentu saja ancaman menakutkan rakyat dan terbukti sekali Belanda benar-benar membunuh rakyat.

5. GERAK JUANG BATALYON 26
Mayor Magenda yang memimpin Batalyon 26 dan Brigade Ill Damarwulan, mempunyai daerah gerilya di 2 Kabupaten, yaitu Bondowoso dan Situbondo: Batalyon ini dibantu Batalyon Depo dan juga oleh pasukan Mobil Brigade. Demikian luas wilayah yang menjadi wehrkreise
Batalyon 26, sehingga mengapa dalam perang rakyat semesta, Mayor Magenda membagi pasukannya dalam bentuk sektor-sektor, yang terdiri dari Vak A sampai Vak F. Vak A yang wilayah tugasnya di sekitar Kraksaan, yaitu bagian barat kabupaten Bondowoso.
Baru tiba di daerah tugas pada pertengahan bulan Maret 1949. Pasukan ini terpaksa rnengalami beberapa kesulitan, sejak memasuki wilayah Jember, mengangsur ke utara, dan sedapat mungkin senantiasa menghindari kontak senjata dengan musuh agar kekuatan pasukan tetap terpelihara sampai di daerah tugas.
Demikian situasi selama kurang-lebih 5 bulan di wilayah tugas vak A, dan posisi pasukan kita tetap di daerah yang sudah ditempati, sampai adanya gencatan senjata 10 Agustus 1949.
Pasukan lain dari Batalyon 26 Magenda, yang disebut vak B, mempunyai lokasi gerilya di sekitar Situbondo.
Karena daerah tujuan begitu jauh di pantai utara, maka pasukan vak B ini baru tiba di daerah tugas pada akhir Januari 1949. Namun selama perjalanan, sejak wingate, pasukan ini sudah menghadapi kontak senjata dengan musuh, seperti apa yang terjadi tanggal 1 Januari 1949 di Tempursari, ketika pasukan kita harus membukakan jalan bagi Iewatnya seluruh rombongan Dalam pertempuran 1 Januari itu, dari anggota pasukan ini telah gugur 1 orang prajunit, 1 orang luka berat dan 3 orang luka ringan.
Selanjutnya laporan dan pasukan vak B adalah sebagai berikut:
Sejak tanggal 10 Juli 1949, vak C yang bertugas di sekitar Bondowoso melakukan gerakan mobil, termasuk markas kompinya. Demikian pula seksi Suwoto, seksi Sunargi, seksi Sutaryo dan pasukan Brimob terus-menerus melakukan gerakan mobil dan satu desa ke desa lain.
Tindakan ini dimaksud selain menghindari grebekan musuh, juga memberikan pengaruh kepada rakyat, bahwa pasukan kita ada dimana-mana. Dengan cara itu, memberi tekanan juga ke pihak musuh bahwa di luar kota dan jalan besar, pasukan gerilya menguasai keadaan.
Tugas pasukan vak C agak lebih berat disbanding pasukan di vak lain, karena di Bondowoso terasa adanya pengikut tokoh-tokoh koperator semacam R.T.P. Achmad Kusumonegoro, yang menjadi kaki tangan Belanda dan melawan arus zaman. Karena itu tugas-tugas operasional sedikit terhalang, bahkan bila kita hendak melakukan operasi, harus sembunyi-sembunyi jangan sampai ketahuan rakyat. Pada umumnya rakyat memihak RI, tetapi satu dua orang pendukung atau kerabat keluarga Achmad Kusumonegoro yang ada di desa, cukup merepotkan aksi gerilya. Mereka itulah yang selalu melapor kepada Belanda keadaan gerilyawan kita.
Padahal dalam perang gerilya, adalah mutlak seluruh rakyat tanpa kecuali, mendukung dan sebagai pelaksana aksi, sehingga setiap rencana gerakan tidak akan bocor ke pihak musuh. Namun Bondowoso, kota yang dijadikan tempat kelahiran Negara Boneka Jawa Timur, ada juga satu dua pengikut Belanda yang setia.
Sementara itu vak D, yang juga adalah bagian dan Batalyon 26, mendapat tugas wehrkreise antara Jember-Bondowoso. Pasukan vak D ini baru mulai melakukan aksi gerilyanya pada awal April 1949, Posisi pasukan kita di vak D tetap bertahan seperti situasi bulan, JuIi 1949 sampai diumumkannya  gencatan senjata bulan Agustus 1949. Karena patroli Belanda yang kuat, maka pasukan kita Iebih banyak melakukan gerakan mobil, dan hampir tidak sempat melakukan gerakan serbuan, kecuali melakukan pembumihangusan atas gudang atau gedung milik Belanda. Walaupun gerakan tempur tidak seberapa, namun adanya pasukan kita dari vak D di sekitar Jember bagian utara itu, menyebabkan serdadu Belanda tidak pernah aman dalam menjalankan apa yang mereka sebut rust en orde.
Sementara itu pasukan vak E, juga dari Batalyon 26, menempati daerah sebelah utara Kalisat dan sebagian dari daerah utara Bondowoso. Pasukan vak E ini sudah tiba di tempat wehrkreisenya pada pertengahan bulan Februari 1949, dan sejak awal Maret tahun itu mulai melakukan aksi gerilya.
Situasi pertempuran di daerah vak E terus berjalan seperti keadaan di akhir bulan Juni 1949, sampai adanya gencatan senjata. Pasukan kita tetap menempati desa-desa dengan terus mobil seakan-akan kita menguasai seluruh daerah, kecuali kota dan jalan besar. Tindakan kita sekali-sekali menyerbu Belanda di markasnya, menyebabkan mereka kurang dan 1 pleton tidak berani meninggalkan markas. Belanda amat khawatir bila
serangan kita datang mendadak ke markasnya, pada saat mereka keluar mengadakan patroli. Karena itu untuk mempertahankan markas, Belanda tetap menyediakan cadangan pasukan.
Sementara itu vak F, yaitu vak ke-enam dari Batalyon 26, merupakan pasukan yang paling banyak melakukan tekanan terhadap musuh. Pasukan ini dipimpin Kapten Bintoro, seorang perwira yang terkenal keberanian dan keunggulannya dalam perang. Sejak awal Januari pasukan ini sudah menempati posnya di vak E, yang tidak begitu jauh dari Jember. Pasukan ni tiba di Gondoroso
pada tanggal 4 Januani 1949, lengkap dengan persenjataan dan semangat juang yang tinggi.
Laporan vak F ini hanya sampai pada akhir bulan Mei, karena sejak bulan Juni pasukan vak .meIakukan perubahan taktik, tidak lagi mencari pos-pos Belanda untuk diserang, melainkan mengkonsolidasi wilayah-wilayah yang sudah pernah ditempati, agar rakyat merasa terlindungi oleh pasukan Republik. Itulah mengapa pasukan vak F sejak bulan Juni lebih banyak mengadakan gerak mobil, mendatangi desa-desa, sambil meyakinkan rakyat akan benarnya perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan.
Bukan berarti sejak bulan Juni tidak pernah terjadi pertempuran. Patroli mereka bukan sekali dua kali kepergok pasukan kita yang sedang mobil. Pertempuran-pertempuran seperti itu, termasuk peristiwa di luar rencana. Rencana operasi pasukan kita, hanyalah tertuju kepada pembumihangusan alat-alat perhubungan dan gudang-gudang milik Belanda, dan sekali-sekali melakukan penghadangan di jalan raya.
Kegiatan mobil menyebabkan pasukan kita tetap utuh sampai adanya gencatan senjata bulan Agustus 1949. Pada saat itu, dimana-mana berkibar bendera merah putih. Di bawahnya berdiri 5 sampai 7 orang prajurit TNI bersenjata Iengkap, sebagai bukti bahwa tempat itu masuk kekuasaan Republik. Siasat ini rupanya jauh Iebih menguntungkan, dibanding terus-rnenerus melakukan aksi tempur.

6. GERAK JUANG BATALYON 27
Sementara itu Batalyon 27, dibawah pimpinan Letkol. A. Rivai, yang mempunyai daerah tugas di kabupaten Banyuwangi, baru mantap di daerah wehrkreisenya pada akhir Februari. Batalyon ini dalam perjalanan menuju daerah pertahanan (wehkreise) telah berkali-kali menghadapi penghadangan musuh, yang menyebabkan beberapa anggota gugur. Rintangan-rintangan itu merupakan sebab, mengapa Batalyon 27 baru dapat mencapai wilayah pertahanannya akhir Februari 1949.
Adanya pasukan bersenjata yang bergerilya di desa dan gunung, sekali-kali muncul di perkebunan Belanda, bahkan di depan markas serdadu Belanda. Hal itu tidak saja membangkitkan semangat rakyat untuk lebih banyak menyumbangkan tenaga kepada perjuangan, tetapi juga menyebabkan serdadu dan pemerintah Belanda tidak nyaman dan tak tenang hatinya, baik yang di tangsi, di kantor, apalagi di perkebunan.
Dari data Batalyon 26 maupun dan Batalyon 27 tersebut, jumlah korban fihak RI lebih besar dibandingkan terhadap korban pasukan Belanda. Tapi yang lebih memprihatinkan adalah Kapten Bintoro dan Letkol. Rivai, pada saat-saat kritis tidak mampu mempertahankan identitas kepahlawanannya, malahan sebaliknya memihak musuh.
Rasa prihatin karena sikap beberapa gelintir penduduk yang terpukau oleh rayuan manis pembesar-pembesar Belanda. Mereka memihak musuh melawan bangsa sendiri yang sedang berusaha menegakkan kernerdekaan, adalah satu hal yang memperlemah mata-rantai people-defence.
Betapapun kecilnya jumlah mereka dan dari kalangan rakyat yang tidak mendukung perlawanan rakyat semesta tersebut, maka nilai perang gerilya itu sendiri merosot.
Ketidak-monolitannya penduduk daerah Besuki, memang bukan tanggung jawab militer, dan bukan urusan pemerintah militer, melainkan tanggung jawab pemimpin pergerakan nasional, yang harus berani melakukan koreksi-dini. Daerah Besuki yang dikenal sebagai daerah pengaruh aliran Islam, dapat melakukan tinjauan kembali atas ketidakmonolitannya rakyat sekitar tahun 1949, termasuk kelemahan kita mengapa unsur-unsur kolaborator dapat berhasil menegakkan Negara boneka Jawa Timur.
Bagi kalangan militer, hendaknya dapat pula dijadikan tinjauan-kembali, bahwa dan sekian banyak korban akibat pertempuran, maka jumlah terbesar adalah penduduk biasa yang gugur, dianiaya, ditangkap dan ditawan, miliknya dirampas rumahnya dibakar, anak gadisnya diperkosa. Kesemua itu menampilkan kenyataan bahwa perjuangan bersenjata tidak hanya menjadi beban angkatan bersenjata, tapi Iebih besar menjadi beban dan tanggung jawab rakyat.
Jangan pula dilupakan, bahwa penduduk biasa yang memberi dukungan gerilyawan, baik makanan, pengawalan atau kurir dan lain sebagainya itu, yang dapat disimpulkan pada kata bermakna, “bagaikan air dengan ikan”. Rakyat itu sendiri setiap saat dirundung rasa cemas oleh dua hal, yakni cemas akan tindakan serdadu Belanda yang bisa saja menangkap dan membunuh mereka, tanpa peradilan. Kedua, rasa cemas akan nasib putra-putranya yang terlibat dan menjadi anggota pasukan bersenjata.

Pantas diingat, bahwa pasukan gerilya kita dapat beroperasi di wilayah Besuki, dan tetap bertahan sampai datangnya hari gencatan senjata, itu hanya dimungkinkan karena mayoritas rakyat telah menjadikan dirinya sebagai air, di mana tentara dapat berenang sambil menyelinap
kian kemari.

7. GUGURNYA LETKOL MCOH. SROEDJI
Dalam perjalanan Brigade di Aengsono Jatiroto behasil menghancurkan pabrik, melucuti Pasukan Cakra.
Di Sumberayu dan Gondang dapat merebut 50 pucuk senjata. Letnan S Prajitno dari Batalyon Safiuddin memegang peran penting. Pertempuran terjadi lagi di Darungan Tanggul, Sumber Canting Bangsalsari dan Tugusari Bangsalsari. Awal Februari 1949 menyerang Lojejer Wuluhan dan Pomo Ambulu. Pasukan Onderneming/Cakra yang dipimpin Sudarmin menyerah dan menyerahkan 32 pucuk senjata.Lalu Brigade melanjutkan perjalanan ke Jenggawah, Jatisari dan Gayasan. Tanggal 6 Februari 1949 terjadi pertempuran dahsyat di Gayasan, musuh dibantu pasukan dari banyak daerah. Kedua fihak banyak korban dan diantara korban kita adalah 12 orang anggota Letnan Wagino dan 17 angota Mochammad Dibjan. Musuh selalu mengintai perjalanan Brigade dari Gayasan menuju Karang Kedawung Mumbulsari.
Pada waktu itu Selasa 8 Februari 1949 jam 05.15 di Pos Komando Brigade III Damarwulan, dukuh Lelang desa Karang Kedawung Mumbulsari Jember sedang mengadakan rapat koordinasi staf yang dipimpin oleh Letkol Moch Sroedji dan dihadiri antara lain: dr Letkol dr Soebandi sbg Residen Militer Besuki merangkap Pewira Kesatuan, Mayor Imam Soekarto (Brigade Mayor), Mayor Syafiuddin (Komandan Batalyon 25) dan Brigade Abd Syukur (Pengawal Pribadi Sroedji).
Tengah berlangsung rapat tiba-tiba seorang pengawal melapor: “Belanda datang pak!”. “Adakan perlawanan!”, perintah Sroedji kepada pengawal tsb. “Siap kerjakan !” jawab Pengawal. Ternyata musuh datang dari arah Kebun Lengkong yang diduga dipimpin oleh Letkol Brengen (Komandan Resimen V Besuki.
”Kita hadapi Belanda”, kata Sroedji pada peserta rapat sehingga semua keluar dan mengambil posisi siaga pertahanan. Komandan Brigade yang dikenal dengan nama samaran Pak Raji, diikuti Residen Militer Lelkol. dr. Soebandi dan Pengawal Pribadi M. Abd. Syukur dan Seorang Pesuruh yang terlupa namanya, turun menuju dimana pasukan brigade itu bertahan, dengan maksud Iangsung memimpin pertempuran. Tetapi waktu sampai di bawah, tiba-tiba Pak Raji terkena tembakan dari arah timur mengenai pundak kirinya dan terus menelungkup jatuh terguling dengan teriakan : ”Aduh, kena Kur!‟
Sebutan Kur adalah nama belakang Abdus Syukur. Pada saat itu pula Pesuruh tertembak dan seketika gugur.
Walaupun peluru nancap di pundak kirinya, tetapi Pak Radji rnasih sadar, selanjutnya dengan bantuan Letkol. dr. Soebandi dan pengawal pribadi, dibawa merayap dalam parit untuk berlindung dari tembakan yang sangat gencar. Tembak-menembak antara pasukan
Damarwulan dengan Belanda terus berlangsung. Letkol. dr. Subandi melihat keadaan komandannya semakin parah. Berhubung banyaknya darah keluar, rnaka dengan jalan merunduk sepanjang parit mereka berusaha mendekati pasukannya.
Tiba-tiba dr. Subandi tertembak dari arah barat dan gugur seketika itu juga. Melihat keadaan demikian, M. yaitu Jenasahnya tidak boleh dibuka oleh kyai Dachnan tetapi langsung dimakamkan
Akhirnya tanggal 9 pebruari 1949 itu juga jenazahnya dibawa pulang oleh Kyai Dachnan dengan menggunakan truk militer Belanda disertai delapan pengawal tentara Belanda.
Kiyai Moh.Dachnan yang mengetahui bahwa jenazah Letkol Moh.Seroedji belum dimandikan, kemudian mnta ijin kepada komandan pengawal pengawal jenazah untuk membuka penutup jenazah guna dimandikan dengan alasan “saudara saya ini orang Islam,kalau tidak dimandikan secara Islam tidak boleh dimakamkan” .
Demikian jenazah almarhum yang telah dibungkus oleh Belanda kemudian dibuka untuk dimandikan. Begitu bungkusan dibuka terjadi peristiwa yang mengagetkan, ternyata jenazah Letkol Moh.Seroedji hampir tidak dapat dikenali lagi. Badannya hancur penuh dengan tembakan peluru dan tusukan bayonet yang tak terhitung jumlahnya.
Kepala staf TNI Darat Besuki, Mayoor Sukarto, yang merupakan tangan kanan Almarhum secara diam-diam dating ke rumah Kyai Dachnan untuk menanyakan benar
tidaknya jenazah itu adalah Letkol Moh.Seroedji.
Selang dua jam dari saat pemakaman, Kyai Moh.dachnan ditangkap oleh tentara Belanda dan ditahan dirumah tahan Jember selama tiga hari.Alasan penangkapannya Kyai dachnan adalah karena pada waktu pemakaman jenasah Almarhum diselubungi dengan Bendera Merah putih dan dilawat orang banyak.Dari laporan Komando Divisi I, Oktober 1949 itu dijelaskan pula, bahwa selain kedua perwira, yakni Letkol. Sroedji dan Letkol. Subandi, gugur pula Sersan Mayor Burhan, petugas PHB, bersama dengan alat PHB-nya hancur binasa. Juga pasukan dekking komando hancur berantakan, tidak sedikit menderita korban. Disebutkan juga, bahwa dalam peristiwa itu, pihak musuh dapat merampas dokumen-dokumen penting, termasuk kata-kata sandi, sehingga seluruh brigade harus merubah taktik.
Akibat gugurnya Letkol. Soerdji, maka pimpinan brigade dipercayakan kepada Letkol. Abdul Rivai, yaitu komandan Batalyon 27. Upacara penyerahan jabatan dilakukan pada tanggal 21 Maret 1949. Dengan terisinya kembali jabatan komandan brigade, maka Brigade Damarwulan mendapatkan kembali semangat tempurnya dan melanjutkan gerilya secara aktif di daerah Besuki.
Namun setelah Letkol. A. Rivai tertangkap dan menyerah kepada Belanda tanggal 25 Juni 1949, maka Panglima Divisi I Kolonel Sungkono menetapkan pimpinan brigade dipegang oleh kepala staf brigade yaitu Letnan Kolonel Imam Sukarto.
Pasukan Brigade III Damarwulan tetap melakukan tugas sampai datangnya perintah pada tanggal 3 Agustus 1949, untuk siap-siap menghadapi gencatan senjata yang mulai berlaku pada tgl. 10 Agustus 1949 jam 00.00. OIeh karena itu seluruh pasukan kita yang ada di Besuki menempati pos-pos terdepan, sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Pagi hari tanggal 11 Agustus 1949,
ternyata Iebih dari dua pertiga wilayah Besuki ada di tangan Republik Indonesia. 9
9 Tulisan ini meramu dari makalah–makalah arsip DHC 45 Jember tentang Sejarah

B. LETKOL dr. R.M. SOEBAND
Nama lengkap beliau Raden Mas Soebandi, lahir di Klakah, Lang pada tanggal 17 Agustus 1917. Orang
tua beliau R. Soeradi Wiknyosukarto, seorang D.K.A. Klakah dengan jabatan sebagai Kepala Depot. Mempunyai
istri yang bernama Rr. Soekesi. Bersama Rr. Soekesi, beliau dikaruniai tiga orang putrid, antara lain:
1. Widiyasmani;
2. Widiyastuti;
3. Widorini.
Letkol dr. R.M. Soebandi termasuk orang yang sangat beruntung karena dapat
mengenyam pendidikan yang tinggi.
Beliau sekolah di H.I.S/ M.U.L.O/ N.I.A.S. Pada tanggal 8 Maret 1942 NIAS di tutup
karena Jepang menduduki Indonesia.
Kemudia beliau pada tanggal 29 April1943 melanjutkan kuliah di Ika Daigoku (Sekolah Tinggi Kedokteran di
Jakarta).Tanggal 12 Nopember 1943 lulus dari Ika Daigoku, kemudian masuk Pendidikan/ Latihan Eise Syo Dancho.
Tanggal 20 Desember 1943 selesai Latihan diangkat sebagai Eise Syodancho.
Pengalaman ketentaraan, beliau terlibat dalam tentara PETA pada tanggal 27 Desember 1943 sebagai
Eise Syodancho di Daidan Lumajang. Yakni, sebagai dokter tentara. Pada tanggal 19 Agustus 1945 tentara ETA dibubarkan oleh Jepang, karena Jepang menyerah kalah pada sekutu.Sesudah PETA bubar, beliau berdinas
di R.S.U. Probolinggo tetap sebagai dokter.
10 Ditulis ulang berdasarkan sumber tulisan dari Bapak Sadiran. Bapak Sadiran merupakan pelaku (pejuang). Pada saat masa perjuangan Bapak Sadiran menjadi anak buah dr Soebandi sebagai tenaga medis. Tulisan ini juga
sudah diajukan kepada keluarga dr. Soebandi dan sudah disetujui kebenarannya.

Di waktu pembentukan BKR, Letkol dr. R.M. Soebandi dipanggil ke Malang. Selanjutnya menjadi dokter di RST di
Claket Malang dengan pangkat kapten. Selanjutnya BKR pada tanggal 5 Oktober 1945 berubah menjadi TKR dan
pada tanggal 25 Januari berubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), kemudian beliau diberi
pangkat Mayor.

1. KEMBALI KE JEMBER DAN AGRESI I
Pada tanggal 22 April 1946 Letkol dr. R.M. Soebandi dipindahkan ke Resimen IV Divisi VIII. Di Jember menjadi
Kepala DKT dengan pangkat Mayor> Kemudian Resimen IV berubah menjadi Resiman 40 Damarwulan. Divisi VIII
tetap sebagai Kepala DKT di Jember.
Pada tahun 1945-1947 Letkol dr. R.M. Soebandi sering ditugaskan di front pertahanan Surabaya Selatan
Sidoarjo, Tulangan Porong, Bangil dan pernah juga dikirim ke front pertahanan Bekasi Krawang Jawa Barat sebagai
dokter dalam medan pertempuran.
Pada waktu Agresi I, yakni pada tanggal 20 Juli 1947 setelah tentara Belanda masuk Jember, beliau ditangkap Belanda. Waktu itu kebetulan sedang menolong prajurit yang kena tembak dan dioperasi di DKT,
selanjutnya beliau mendapat tahanan kota.

2. SAAT HIJRAH
Pada waktu TNI diperintahkan hijrah. Letkol dr. R.M. Soebandi ikut hijrah ke daerah RI yang lain, yakni hijrah
ke Blitar. Ketika di Blitar ini Brigade III Damarwulan mendapat tugas menumpas sisa-sisa peristiwa pemberontakan Madiun yang ada di Blitar dan untuk mengatasi ini di bentuk SGAP ( Staf Gabungan Angkatan
Perang). Beliau diangkat sebagai kepala staf.

 3. AGRESI II
Pada Agresi II mengikuti Brigade III, yakni mengadakan penyusupan ke daerah Besuki, beliau sebagai Kepala Dokter Brigade III Damarwulan dan merangkap sebagai Residen Militer daerah Besuki. Dalam penyusupan ini ikut serta rombongan pemerintah sipil daerah Karesidenan Besuki, tetapi residennya tidak dapat
mengikuti, maka beliau diangkat sebagai Residen Militer.

4. PERISTIWA GUGURNYA dr SOEBANDI
Selama dalam perjalanan dari Blitar ke daerah Besuki/Jember, sering terjadi pertempuran dengan Belanda. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua bula, terjadi pertempuran dengan tentara Belanda di Desa Karangkedawung Kec. Mumbulsari Kawedanan Mayang Kabupaten Jember. Pada tanggal 8 Pebruari 1949 pada
waktu pagi hari, beliau gugur bersama-sama Komandan Brigade III Letkol Moh. Sroedji.
Setelah jenazah beliau diketemukan di tepi sawah, di Dusun Plalangan Desa Karangkedawung oleh tim pencari jenazah, kemudian dibawa ke DKT Jember dan disemayamkan di DKT Jember. Pada tanggal26 Maret 1950, jenazah beliau disemayamkan kembali di TMP Kreongan Jember dengan upacara militer. Kemudian pada tanggal 15 Agustus 1960 jenazah beliau dipindahkan lagi di TMP Patrang Jember.

C. BRIGJEN SJAFI’UDDIN
Beliau lahir di Nangkaan Bondowoso, pada tanggal 23 Pebruari 1923. Menikah tanggal 18 Agustus 1948 di Jember dengan seorang putrid bernama Brigjen Syafiudin bersama istri Sri Sulastri. Dari pernikahan tersebut dikaruniai lima orang putra:
1. Slamet Satria Indrajid;
2. Doddi Satria Indrawan;
3. Beni Satria Indra Cahyadi;
4. Nono Satria Indra Buana;
5. Ratna Satria Indra dewi.
Semua nama putra beliau diikuti dengan “Satria” dengan harapan putra-putranya dapat menjadi seorang kesatria.
Wafat tanggal 18 Januari 1978 di Jember dimakamkan di Tanman Makam Pahlawan (TMP) Jember. Ibu Sri Sulastri
lahir 29 Juli 1926, wafat 18 April 1994, dimakamkan di Tanggul.

1. KARIR DALAM PROFESI
Pangkat terakhir Brigjend Sjafi‟udin dengan dinas di SUAD (Staf Umum Angkat Darat). Pangkat pertama yang diterima beliau adalah Mayor dengan tugas di Batalyon 509, sebagai komandan. Pernah juga menjadi Komandan
Resimen 12 di Jember dengan pangkat letkol. Kemudian sekolah SKAD rangking 2. Sebagai penghargaan atas prestasi ini beliau diberi pangkat kolonel dan dipercaya menjadi Pangdam XVI Udayana. Pengangkatan sebgai Pangdam XVI Udayana tersebut terjadi pada tahun 1962.
Menjadi pangdam ini sampai dengan tahun 1966 dalam usia 39.
Setelah menjadi Pangdam Udayana, beliau menjadi Pangdam KASKODAKAL (Kepala Staf Komando Antar daerah Kalimantan) berkedudukan di Banjarmasin, antara tahun 1967 sampai dengan 1968. Setelah itu baru terakhir di SUAD. Istilah Pak Beni, beliau dikotakkan oleh Pak Harto, karena Brigjend Sjafi‟udin dianggap dekat
dengan Bung Karno. Padahal kedekatan itu hanya bersifat structural. Karena jabatan beliau sebagai Pangdam Udayana kemudian menjadi dekat dengan Bung Karno.
Pihak Suharto mengetahui hal ini dan tidak senang; sehingga beliau diletakkan di SUAD. Di SUAD ini sampai beliau pension pada tanggal 1 April 1974.11

2. MASA PERJUANGAN
Terdapat peristiwa yang menarik untuk dicermati, yakni ketika Batalyon 25 Banteng Merah bersama dengan staf Brigade Damarwulan pada tanggal 19 Januari sudah tiba di pos komando Karangbayat Jember. Dengan begitu Mayor Syafiudin tinggal mengatur dislokasi dan kompi-kompinya. Batalyon 26-Magenda masih harus meneruskan
perjalanan menuju Bondowoso dan Situbondo, sesuai dengan daerah pertahanannya
(wehrkreise) melalui celah-celah utara kota Lumajang, menuju gunung Lamongan,
kemudian melewati baratdaya Gunung Argapura, terus ke pegunungan Yang, yang menjadi kompleks wehrkreis-nya.
Batalyon 27 yang masih jauh harus melalui Jember Selatan menyeberangi sungai Sanen, lewat kota Blater kemudian menembus pegunungan Betiri. Dalan perjalanan ini Batalyon 27 sempat dicegat musuh di Ambulu, dimana dalam insiden 2 orang prajurit gugur.
Kemudian batalyon 27 berhasil menembus pegunungan Miru, dan menduduki perkebunan/persil Sukamade, dimana selanjutnya batalyon ini menempatkan pos komando wehrkreisenya.
Batalyon Depo, Mayor Darsan iru pada tanggal 24 Januari tiba juga di Jatibanteng, distrik Besuki bersama dengan Batalyon Abdul Syarif, yang dulu dari Brigade 1V.
Perlu pula dicatat turut sertanya sepasukan lasykar

11 Wawancara dengan Bapak Beni Satria Indra Cahyadi, putra ketiga Brigjend Sjafi’uddin pada tanggal 13 Oktober 2006

Hisbullah dalam Batalyon 25, di bawah pimpinan Haji Syech.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari aksi gerilya yang benar-benar melumpuhkan musuh secara keseluruhan.

3. GERAK JUANG BATALYON 25
Sejak kembalinya pasukan hijnah ke Besuki melalui jalan amat sukar selama 25 hari dengan berbagai rintangan dan keterpaksaan menghadapi pertempuran berkali-kali, maka daerah karesidenan Besuki, dimana tadinya oleh Belanda dianggap paling aman, mulai terasa bagaikan gunung berapi rnendidih.
Demikianlah situasi medan laga di wilayah Jember dan sekitarnya, dimana Batalyon 25 melakukan perang gerilya sampai akhir bulan Juli 1949. Walaupun operasi dan patroli Belanda sangat banyak, dan mengakibatkan korban begitu besar di pihak kita, terutama dari kalangan rakyat, namun batalyon ini tetap bertahan di wilayah wherkreise-nya, dan terus-menerus membantu pemerintahan militer sejak win gate Damarwulan tiba di
Besuki. Bila kemudian pada 10 Agustus 1949 tenjadi gencatan senjata, sebagai konsekuensi statement Roem-Royen, make posisi pasukan kita tetap seperti apa yang sudah ada di akhir Juli 1949. Sehingga wilayah kekuasaan Republik, tidak dapat dipungkiri Belanda.
Berhubung wilayah Besuki, merupakan wilayah yang ditinggalkan pasukan kita sejak akhir Februani 1946, sebagai lanjutan dan perjanjian Renville, hingga praktis daerah karesidenan ini dikuasai Belanda sepenuhnya, maka aksi gerilya yang dilakukan Brigade III Damarwulan dengan 3 batalyon dan 1 Batalyon Depo-nya, begitu tingginya kesadaran dan semangat rakyat dalam turut menegakkan kemerdekaan tanah air.

BAB IV
PROFIL PEJUANG PPPR (PUSAT PIMPINAN PERJUANGAN RAKYAT)
A. KH DZOFIR SALAM
KH Dzofir bin H Abdus Salam yang popular dikenal dengan sebutan Kyai Dzofir lahir di desa Rambipuji kabupaten Jember pada tahun 1908 dari pasangan bapak H Abdus Salam dan ibu Hj Muslikhah. Beliau wafat pada Ahad, 12 Juli 2006 dan dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Alfattah Jember.
Beliau beristri 3 yaitu:
1. Nyai Hj Siti Zulaikho binti KH Muhammad Shiddiq Jember yang wafat pada Selasa, 17 Januari 2006.
Dengan Nyai Cho dikaruniai seorang anak, Nurhuda (almarhum)
2. Nyai Hj Siti Masturah binti Sumohadi Jember yang wafat pada tahun 1990. Dengan Nyai
Turah dikaruniai seorang anak, H Muzammil Jember
3. Nyai Mu‟awanah binti Mas‟ud Rembang yang wafat pada tahun 1990. Dengan Nyai Mu‟ dikarunia seorang anak, Ny Hj Ahdaniah Malik Bondowoso
Beliau belajar di HIS (Holland Indische School), lalu sejak tahun 1919 ngaji pada Kyai-kyai dikota Lasem diantaranya KH Cholil Masyhuri, KH Ma‟shum, KH Baidlowi dan KHM asduqi. Pada tahun 1921 ngaji pada KH Muhammad  Shiddiq, sejak tahun 1925 ngaji pada KH Cholil Harun Rembang dan sejak tahun 1925 ngaji pada Ulama di Makkah diantaranya Syech Alwi bin Abbas Al Maliki.
Kemudian tahun 1930 ngaji pada KH Dimyati Termas Pacitan

.1. MENGAMBIL ALIH RESIDEN DARI JEPANG
Sejak tahun 1944 Kyai Dzofir menjabat Shumukacho yaitu Kepala Urusan Agama yang meliputi wilayah karesidenan Besuki yang berkedudukan di Bondowoso.
Shumuka adalah Intansi pada zaman penjajahan Pemerintahan Jepang yang mengurusi agama di level karesidenan dan tugasnya adalah:
a. meningkatkan bimbingan dan propaganda Jepang terhadap ummat islam
b. mempererat hubungan antara pamong praja/executive dengan alim ulama
c. mengaktivkan alim ulama supaya dapat bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang
d. mengarahkan dan mengendalikan penghulu.
e. mengajarkan bahasa Jepang dan pengetahuan umum kesekolah-sekolah agama
f. menyeleksi siswa yang dilatih sebagai alim ulama12
Mengapa Kyai Dzofir yang diangkat sebagai Shumuka dikaresidenan Besuki? Adalah pertimbangan ketokohan ulama yang menonjol karena beliau memimpin Pesantren Talangsari yang paling berpengaruh di Jember saat itu. Selain itu beliau adalah Ketua NU cabang Jember (menggantikan KH Machfudz Shiddiq yang dipilih 12 Kutipan Pengarahan Dr Hoesin Djajadiningrat/mantan Shumubucho pada buku Mobilisasi dan Kontrol, Aiko
Kurasawa, hal 287, tahun 1983
Shumuka berjumlah 18 di Indonesia dan dikendalikan oleh Shumubucho yaitu kantor urusan agama di pusat pemerintahan Jakarta, yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari. Karena sering udzur dan tinggal di Jombang
kesehariannya diatur oleh H Abdul Kahar Moezakkir/Wakil Shumubucho dan KH Abdul Wachid Hasyim sebagai Penasehat/Sanyo. Praktis keduanyalah yang memimpin Shumubu.ebagai Ketua PBNU). Pengangkatan beliau tidak lepas dari saran KH Mahfudz Shiddiq yang berperan besar mengkadernya.
Menjadi Shumuka jauh beda dengan posisi Kepala  epag sekarang yang mempunyai staf banyak orang dan profesional. Shumuka hanya memiliki seorang staf yang masih harus direcruit sendiri dan harus digaji sendir melalui gaji yang diterima beliau sebagai Shumuka yang kantornya di Bondowoso sebagai ibukota karesidenan Besuki.
Aku ngetik dewe, nganter surat dewe, ngubungi pejabat pemrintah dewe, kata beliau menceritakan kerja sendiri di Shumuka walaupun statusnya sebagai Birokrat yang dihormat banyak orang.
Saat Kemerdekaan, banyak tokoh masyarakat bingung tentang pemerintahan di karesidenan yang masih dipegang Jepang. Kebingungan mereka adalah tentang bagaimana cara mengambil-alih Karesidenan dari Jepang?
Saat itulah tampil Kyai Dzofir berinisiatif mengumpulkan beberapa orang tokoh masyarakat untuk rapat yang tujuannya pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang.
Yang hadir pada rapat adalah :
a. KH Dzofir sebagai Shumuka dan bertindak pengundang
b. Mr. Surjadi sebagai Kepala Pengadilan Karesidenan Besuki.
c. Subiantoro, Patih Bupati/Kencho Bondowoso yang dapat berbahasa Jepang sehingga ditugaskan sebagai Penterjemah
d.seorang Tentara berpangkat Daidantjo.
Dan rapat memutuskan bahwa yang nantinya akan ditetapkan sebagai Residen pengganti nantinya adalah Mr. Surjadi.
Kemudian mereka mendatangi Shuchokan/Residen (seorang Jepang tetapi lupa namanya) yang didampingi oleh
Mr R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo sebagai Fukushuchokan/staf karesidenan. Terjadilah perdebatan sengit diantara mereka dimana Kyai Dzofir, dan kawan-kawan berpendapat bahwa dengan Proklamasi maka peralihan kekuasaan Karesidenan secara spontan harus diserahkan pada orang-orang Republik Indonesia, sedangkan fihak Jepang berpendapat situasi saat itu adalah situasi peralihan/transisi sehingga ia bersikap menunggu proses peralihan yang akan diatur oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.
Suasana perdebatan antara Mr Surjadi dengan Pejabat Residen Jepang alot karena saling bersikukuh terhadap sikapnya sehingga membuat Kyai Dzofir dan kawan-kawan naik pitam dan mengancam. Akhirnya Jepang mengalah dan terjadilah kompromi kekuasaan
yaitu: Pejabat Residennya adalah Mr Surjadi yang mewakili fihak Indonesia dan Mr. R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo sebagai Patih/Wakil Residen yang mewakili kepentingan Jepang.
Keberhasilan pengambil-alihan kekuasaan dari Jepang tersebut menumbuhkan rasa percaya diri pada para pejuang sehingga menumbuhkan inspirasi pengambilan-alihan kekuasaan Jepang ditempat lain. Tak berapa lama dari peristiwa tersebut yaitu sekitar
September 1945 terjadilah peristiwa penyerahan Konsigniring/penampungan logistik Jepang yang terletakdi Garahan kecamatan Silo Jember. Konsigniring ini adalah yang terbesar di Jawa Timur karena dipergunakan untuk mengcover beberapa karesidenan. Konsigniring tersebut menampung orang Jepang sebanyak 40.000 orang yang dibentengi tembok tinggi seluas puluhan hektar. Didalamnya berbagai peralatan senjata lengkap, amunisi yang berlimpah, alat teknik, kendaraan, bahan makanan dan obat-obatan.

Suasana kemerdekaan mendorong masarakat banyak datang kesana untuk meminta, mencuri dan merampas bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok yang terdapat didalam Konsigniring. Semula mereka sembunyi-sembunyi, lalu setelah masarakat yang
berkumpul jadi ribuan jumlahnya maka terang-terangan mereka merampas apa saja yang terdapat di konsigniring tersebut. Maklum, rakyat banyak menderita kelaparan saat itu, sehingga peristiwa kemerdekaan menjadi motivasi expresi rakyat yang bebas untuk merampas logistik Jepang. Fihak Jepang membiarkan saja aksi perampasan tersebut karena takut terhadap massa ribuan.
Walaupun fihak Jepang diam membiarkan aksi perampasan tersebut tetapi para tokoh masyarakat khawatir karena mereka bersenjata lengkap yang sewaktu-waktu dapat menghabisi rakyat yang mengepungnya. Melihat situasi tersebut tampillah Kyai Dzofir/Sabilillah, Mayor Soerodjo/Komandan TKR Resimen Besuki di Jember, Kyai Shodiq Machmud/Sabilillah, Sulthon Fadjar/Komandan Hizbullah dan beberapa tokoh pejuang lainnya mendatangi Pimpinan Konsigniring untuk berunding tentang penyerahan kepada fihak Republik Indonesia. Mereka datang ke Konsigniring diikuti oleh ribuan massa yang mengepung.
Tanpa kesulitan fihak Jepang bersedia angkat kaki dalam rundingan tersebut dan mohon pengawalan para tokoh pejuang. Kemudian ribuan orang Jepang dipindahkan kepenampungan sementara di Balung Tutul dan kemudian dilanjutkan pemindahannya menggunakan kereta api ke Surabaya untuk dipulangkan kenegeri asalnya.
Mengapa Kyai Dzofir dapat berperan pada moment pengambil-alihan kekuasaan Residen dari Jepang dan perebutan konsigniring Garahan Jember? Faktor penentunya adalah Jabatan beliau sebagai birokrat Shumukacho dan menjadi Pimpinan Cabang NU Jember sehingga dapat tampil memobilisasi kyai-kyai dan tokoh-tokoh pejuang. Beliau adalah Ketua Lasykar Sabilillah yang dapat bekerja-sama dengan TKR, Hizbullah dan lasykar lainnya.
Menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945 beberapa tokoh Islam Jember diantaranya Kyai Dzofir, KH Halim Shiddiq, KH Shodiq Machmud, KH Damanhuri, KH Jauhari Kencong, dll membentuk laskar pejuang Sabilillah yaitu pasukan para Kyai bersama Kyai Abdullah Shiddiq, Kyai Shodiq Mahmud, Kyai Dawud Klompangan, KH Damanhuri Mangli, KH Sholeh Kaliwining, dll. Pembentukan Tentara Sabilillah ini sporadis dan spontanitas oleh tokoh kyai setempat diberbagai kota, termasuk di Malang yang dipimpin oleh KH Masykur.
Tujuan pembentukan Tentara Sabilillah adalah mengawasi gerak Tentara Hizbullah yang mayoritas generasi muda agar tidak melanggar syariat Islam serta berfungsi sebagai penasehat dan pembina mental dan spritual para pejuang khususnya Hizbullah. Kongres
Ummat Islam di Yogjakarta, 8 Nopember 1945 menetapkan Masyumi sebagai partai dan menetapkan Malang sebagai markas tertinggi Hizbullah yang dipimpin KH Zainul Arifin dan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur.

2. MEMIMPIN PPPR BERJUANG MELAWAN BELANDA
Pasca Proklamasi terjadi perlawanan pejuang Indonesia gigh tak kenal menyerah terhadap Belanda d seluruh Indonesia sampai Lord Killiearn sebagai Pimpinan Tentara Inggris menjembatani perundingan antara fihak Indonesia dengan Belanda, untuk mengakhiri perang. Perundingan terjadi di Linggarjati, Cirebon, Jawa Barat tanggal 25 Maret 1947 dimana delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir dari Partai Sosialis Indonesia dan delegasi Belanda dipimpin Schemerhorn dan dr. HJ Van Mook. Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan tentang :
a. Pengakuan Belanda secara Defacto atas Jawa, Madura dan Sumatera.
b. Republik Indonesia dan Belanda akan bersama-sama membentuk suatu Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Kalimantan.
c. Negara Indonesia Serikat dan Belanda akan merupakan suatu uni yang dinamakan Uni Indonesia
Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda Ternyata perjanjian Linggarjati tersebut tidak
berjalan mulus dan bahkan suasana bertambah keruh, sebab
a. Timbul konflik di dalam negeri antara kelompok sayap kiri (Partai Komunis Indonesia/PKI, Partai Sosialis,
Partai Buruh Indonesia/PBI, Persatuan Sosialis Indonesia/PESINDO yang pro-Perjanjian Linggarjati dengan kelompok penentang Perjanjian Linggarjati yaitu: MASYUMI/Majlis Syura Muslimin Indonesia,
PNI/Partai Nasional Indonesia, Partai Rakyat Djelata/PRD, Barisan Pejuang Rakyat Indonesia /BPRI, dan Barisan Banteng Republik Indonesia, dan mengakibatkan Kabinet Syahrir jatuh. Perdana Menteri Syahrir digantikan oleh Mr. Amir Syarifuddin (yang juga dari Partai Sosialis)
b. Adanya perbedaan penafsiran tentang pokok–pokok perjanjian, dimana Belanda memaksakan kehendaknya yang disertai ultimatum, agar RI menerima penafsirannya. Bahkan setelah penanda-tanganan
Perjanjian Linggarjati, Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan cara menyerang Mojokerto tanggal 17 Maret 1947 dan Van Mook melaksanakan kebijakan Rijksverbund (Negara Serikat) di Surabaya sehingga Van Der Plast berhasil mendirikan Negara Jawa Timur pada 3 Desember 1947 dan berakhir pada Februari 1950.
Sikap pro-kontra terhadap perjanjian Linggarjati tersebut menjadi kesempatan bagi Belanda untuk menjajah lagi dengan cara melakukan Agresi Militer. Pada hari Senin Wage 2 Romadlan 1336/21 Juli 1947. Belanda menyerbu daerah-daerah Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur dimana pada saat itu ummat Islam melaksanakan ibadah puasa Romadlan. Tentu tidak ada perlawanan sama sekali karena para Pejuang melaksanakan puasa Romadlan.Kapal-kapal Belanda merapat dipantai Pasir Putih Situbondo dan bergerak ke Bondowoso kemudian ke Jember. Keesokan harinya Belanda sudah menduduki Jember dan kabupaten lainnya di Jawa Timur dengan persenjataan modernnya. Di Jember, Belanda menempatkan Major Brengen sebagai Pelaksana Rijksverbund yang bertanggung-jawab pada Residen Mr. Aassen di Surabaya dan selalu diawasi Van Der Plast sebagai Penasehat Pemerintah Belanda. Kemudian Belanda membentuk Pasukan Cakra dan Polisi Perkebunan/Ondernemings Wacht. Bupati dan semua Camat diganti yang pro-Belanda dan bahkan tanggal 14 Oktober 1948 mereka memilih DPR Jember melalui Pemilu.
Pada malam Senin 10 Ramadhan 1336/ 29 Juli 1947, Kyai Dzofir bersama Nyai Zulaikho, Gus Nurhuda, KHSholeh Kaliwining dan Amiruddin mengungsi dengan mengendarai Cikar menuju rumah Pak Supiah Curahlele, Balung. Dipersembunyian Curahlele ini beliau merasa tenang beribadah puasa sambil membaca situasi Belanda
di Jember.
Beliau melakukan komunikasi pada Kyai-kyai sekitar Balung yang tergabung dalam Sabilillah untuk diajak berjuang kembali mempertahankan kemerdekaan dan banyak kyai yang setuju. Pada suasana Lebaran Senin Wage 7 Syawal/25 Agustus 1947, beliau proklamirkan Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat/PPPR yang berpusat di
Curahlele Balung. Kelasykaran pasca Proklamasi 1945 yang eksis hanya 4 yaitu: Sabilillah, Hizbullah, TRIP dan TNI Batalyon Banteng Merah pimpinan Major Syafiuddin.
Bahkan Sabilillah/PPPR dengan Hizbullah menyatu dalam langkah dan sikapnya sehingga sering disebut keduanya dengan nama Lasykar Mujahidin.
Selebaran informasi berdirinya PPPR diketik dan disebarkan sendiri kemasyarakat. Rapat-rapat untuk membahas taktik perjuangan dan mengatur pos-pos perjuangan di Desa-desa dilakukan oleh sedikit orang PPPR karena masih rawannya desa-desa. Untuk menjaga kerahasiaan perjuangan PPR, beliau pakai sandi Kyai, maksudnya menunjukkan pada masyarakat bahwa umat Islam Jember yang dipimpin para Kyai tetap aktif berjuang. Susunan Pengurus PPPR adalah :                       a KH. Dzofir sebagai ketua dengan nama samaran Pak Nur
b. Kyai Shodiq Mahmud sebagai Sekretaris dengan nama samaran Pak Isjampir
c. KH. Abdul Halim Shiddiq sebagai bagian politik dengan nama samaran Pak Ali
d. KH. Abdullah Shiddiq sebagai kepala keamanan dengan nama samaran Pak Jimun

22 Oktober 1945. Resolusi Jihad adalah keputusan rapat PBNU di Bubutan Surabaya yang dipimpin oleh KH Wachab Chasbullah dan direstui oleh Ro‟is Akbar PBNU KH Hasyim Asy‟ari, isinya:
a. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agsutus 1945 wajib dipertahankan.
b. Republik Indonesia sebagai satu-satunya Pemerintahan yang sah wajib dibela dan
diselamatkan.
c. Ummat islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan- kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Kewajiban tersebut adalah jihad yang wajib/fardlu „ain bagi setiap muslim yang berada pada jarak radius 94 km.
Adapun mereka yang berada diluar jarak tsb berkewajiban membantu saudar-saudaranya yang berada dijarak radius tersebut.
Sejak tahun 1945 sampai 1947 terjadilah perlawanan oleh para pejuang terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Perlawanan pejuang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimantan, Sumatera Selatan, Bali, Sumatera Tengah, Sulawesi, Maluku, Irian dan Jawa Timur. Perlawanan di Surabaya Jawa Timur terkenal dengan sebutan Peristiwa 10 Nopember dan selalu diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya tersebut tidak lepas dari motivasi Resolusi Jihad. Banyak tokoh pejuang Jember datang ke Surabaya untuk memenuhi panggilan jihad, diantaranya Sulthon Fadjar dan Kyai Machmud/Bung Rewel dari Pace Silo.
Mobilisasi para kyai dan pejuang di PPPR/Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat tahun 1947 yang dipimpin Kyai Dzofir merupakan mode pengorganisasian kelasykaran/ militer yang muncul di Jember. Semula pendirian PPPR hanya melibatkan jaringan dekat beliau di antaranya KH Abdullah Shiddiq (adik iparnya), KH Halim Shiddiq (kakak iparnya), KH Shodiq Machmud (keponakannya), Kyai Amiruddin (santrinya) dan Pak Supiah (santrinya). Kemudian diikuti para Kyai dan tokoh lain diantaranya: KH Jauhari Kencong, Kyai Dawud Ajung, KH Hafidz Rambipuji, KH Ichsan Jenggawah, Arief Wignyo Sumarto, Sholeh Hasan, Sutoyo, Burah, dll yang kemudian diorganisir dalam struktur didesa-desa dan bahkan ada perwakilan di Banyuwangi, Bondowoso dan Tulungagung. Ada pembagian tugas mulai dari Ketua, Sekretaris, Bagian Tahkim, Bagian Keamanan, Bagian Politik, Bendahara dan membentuk kompi-kompi. Pos-pos perjuangan diatur hampir merata di desa-desa se Jember yang pengaturannya dilakukan oleh sedikit orang PPR karena masih rawannya situasi misalnya: Curahlele Balung sebagai Pusat Kendali, Alas Simpen Kemuning Panti, rumah H Yusuf Sumber Tengah Mumbulsari, rumah Nyai Khotijah Mayangan Gumukmas, rumah Kyai Dawud Sukamakmur Ajung, dll. Pada umumnya pos tersebut ditempatkan dirumah santri beliau dan tokoh NU setempat. Kuatnya jaringan PPPR di masyarakat karena didukung mayoritas kyai Jember yang memiliki jaringan kuat dimasyarakat dan memiliki semangat berjuang untuk membela agama atau jihad.
PPPR mendapatkan simpati rakyat sehingga bantuan logistik, tempat perlindungan dan sarana perjuangan mudah didapatkan dari bantuan rakyat.
Selebaran informasi tentang berdirinya PPPR dan Edaran Panggilan Perjuangan diketik sendiri oleh beliau dan disebarkan oleh beberapa kurir khusus ke masyarakat demi menjaga kerahasiaan dan keamanan. Untuk menjaga kerahasiaan perjuangan, beliau pakai sandi Kyai, maksudnya menunjukkan pada masyarakat bahwa umat Islam Jember yang dipimpin para Kyai tetap aktif berjuang. Setelah selesai pengaturan pos-pos perjuangan dan beredar Panggilan Perjuangan kemasyarakat kemudian berduyun-duyunlah sukarelawan mendaftarkan diri pada PPPR.
Pada setiap pertempuran beliau selalu ada di depan moncong peluru lawan untuk mengomando dan memberi semangat berani kepada anak buahnya.
Dadi pemimpin kudu nang ngarep, lan ojo gampang ngorbanno anak buahe, kata beliau tentang prinsip harus diposisi depan dalam berjuang. Tentu saja semangat berani dan tampil percaya diri sebagai pemimpin pada beliau tidak asal bondo nekat, karena beliau terkenal sebagai pengamal Hizb Thoyr. Saat kepepet terkepung musuh, lalu beliau jongkok sambil membaca Hizb Toyr. Kemudian dilempar songkoknya keudara sehingga musuh menembak songkok tersebut. Tiba-tiba beliau sudah keluar dari kepungan Belanda dengan selamat.
Hal yang unik pada Kyai Dzofir adalah tidak memiliki pengalaman militer, basic pengalamannya hanya ngaji dipesantren saja, dan pengalaman organisasi NU secara otodidak serta sekilas pengalaman birokrasi Sumukatjok,
telah menampilkan sosok yang berani tampil memimpin kelasykaran PPPR. Beliau tampil didepan memimpin PPPR dengan pengorganisasian ala komunitas pesantren yang bertumpu pada kekuatan hubungan kyai-santri tetapi mampu menampilkan PPPR sebagai organisasi kelasykaran kyai yang disegani musuh Belanda.
Menginformasikan dan mengedarkan panggilan perjuangan, mengatur pos-pos perjuangan, menggunakan sandi rahasia serta menggunakan identias seragam gerilya hitam-hitam tak lepas dari perilaku kepemimpinan beliau yang berani tampil kedepan, merekruit tokoh-tokoh kyai yang berpengaruh dimasyarakat dan menggembleng
semangat berjuang demi agama. Dan yang khas dari mode kepemimpinan kyai yaitu memotivasi semangat dengan pendekatan spiritual agama melalui bacaan hizb-hizb.
Mereka menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak mudah diketahui oleh musuh kecuali kawan sendiri. Nama Pak Nur adalah putra Kyai Dzofir. Setelah mengatur pos-pos perjuangan, barulah mengumumkan Edaran Panggilan Perjuangan sehingga berduyun-duyunlah sukarelawan mendaftarkan diri pada PPPR. Kuatnya jaringan PPPR di masyarakat karena didukung mayoritas kyai Jember yang memiliki jaringan kuat dimasyarakat. PPPR mendapatkan simpati rakyat sehingga bantuan logistik, tempat perlindungan dan sarana perjuangan mudah didapatkan dari bantuan rakyat.
Suatu ketika beliau ke Muneng kecamatan Gumukmas naik Cikar dalam rangka mengatur pos perjuangan disana. Tiba-tiba beliau dihadang dan diinterogasi beberapa orang yang mengaku Petugas Keamanan desa Plerenan Gumukmas. Dijelaskan tentang identitas beliau, kemudian beliau ditangkap dan disekap di suatu rumah yang entah tidak diketahui milik siapa.
Hasil nguping pembicaraan orang-rang tersebut diketahui bahwa mereka adalah PKI yang akan membunuh para Kyai.
Untungnya, sang Kusir Cikar cerdik, lalu menghubungi Pak Angrumo/H Zaini yaitu seorang Tokoh Islam Plerenan yang kemudian dapat membebaskan Kyai Dzofir dari sekapan PKI. Kemudian beliau dapat melanjutkan perjalanan menuju rumah Nyai Khotijah di Muneng. Keesokan harinya Pak Angrumo bertamu dan mengabarkan tentang oknum petugas keamanan yang PKI tersebut telah dibunuh oleh kawan-kawan pejuang islam dan kemudian mayatnya dibuang ke laut selatan.
Pada pertengahan bulan Oktober 1947, para pimpinan PPPR seluruh keresidenan Besuki mengadakan rapat koordinasi di Masjid Pak Hamdi Kebon Asem, Wuluhan. Pertemuan itu mengembirakan para Kyai dan Pejuang sehingga mereka banyak datang untuk bernostalgia. Maklumlah zaman perang, ketemu masih hidup sudah mengembirakannya. Di antara kyai yang hadir yaitu: KH. Jauhari Kencong, KH. Asmu‟i Semboro, KH.
Anas Mumbulsari, KH Haromain Gadungan Gumukmas, KH. Hafidz Nogosari Rambipuji, KH. Jazuli Tanjungrejo Wuluhan, KH. Abu Darrin Sumberejo Ambulu, KH. Ismail Karanganyar Ambulu, KH. Ahmad Mursid Condro Jember, KH. Suyuti dan KH Ichsan Jatisari, KH. Abdul Qodir Kemuningsari Jenggawah, KH. Ya‟qub Gumukmas, KH. Dawud Klompangan Ajung, KH. Ichsan Bangsalsari, KH. Khotib Curahkates Ajung, KH. Damanhuri Mangli Kaliwates, KH. Hasan Basuni Bunot Panti, KH. Alwi Condro, KH. Sholeh Kaliwining Rambipuji, KH. Fachurrazi asal Kajen Pati, KH. Abdul Halim Shiddiq Talangsari Jember, KH. Achmad Shidiq Talangsari Jember, KH. Shodiq Mahmud SH Talangsari Jember, KH. Harun Banyuwangi, KH. Ghozali Wonosari Bondowoso, KH. Abdulloh Shiddiq Talangsari Jember serta KH. Dzofir sebagai Pimpinan PPPR.
Rapat itu membahas langkah-langkah perjuangan agar lebih rapi dan mantap dan juga diputuskan pemakaian seragam yang terdiri baju dan celana berwarna hitam sebagai identitas PPPR. Tujuan seragam hitam adalah menunjukkan pada fihak Belanda terhadap identitas. Sebelum ada identitas PPPR, Belanda selalu membabi-buta dalam membalas serbuan dan sergapan PPPR sehingga ia tak pandang bulu. Setiap ketemu manusia ditembak, tak peduli besar atau kecil, wanita atau laki-laki. Belanda frustasi terhadap PPPR yang selalu lolos dari serangannya. Ketika selesai sholat jama‟ah
shubuh, tiba-tiba terdengar tembakan senjata Belanda.Rupanya Belanda tahu adanya pertemuan ini sehingga semua pejuang PPPR lari menyelamatkan diri dari sergapan Belanda tersebut. Alhamdulillah, tidak ada korban tewas.
Koordinasi dan keutuhan semangat antara PPPR dengan lasykar lain terjalin baik karena demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan tanpa ada rasa kecemburuan ketokohan diantara para pejuang. Saat itu banyak sekali kesatuan-kesatuan gerilya yang berjalan sendiri-sendiri termasuk di Jember misalnya: ada PPR,
Batalyon Elang Mas dan Hizbullah. Beberapa nama pada susunan PPPR sebagai Komandan Kompi dan pada susunan kesatuan lainnya sebagai kesatuan tersendiri yang lepas dari PPPR, contohnya adalah Sulton Fajar
Njoto sbg Komandan Kompi PPPR yang merangkap sebagai Komandan Hizbullah di Jember, dimana secara nasional Hizbullah memiliki struktur tersendiri. Kyai Abdullah Shiddiq sebagai Kepala Keamanan PPPR merangkap sebagai Komandan Batalyon Elang Emas

Pada tanggal 14 Oktober 1947 diadakan musyawarah yang diikuti antar Laskar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan Lasykar-lasykar lainnya di Jember, yang keputusannya adalah: PPPR konsentrasi pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir. Tentara Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar bergabung menjadi 1 resimen dengan nama
Resimen Mujahidin yang meliputi daerah sekaresidenan Besuki dan dipusatkan di Jember. Komandan Resimen adalah
Sulton Fadjar Njoto.
Bersatunya tokoh-tokoh pejuang dalam satu bendera Mujahidin merupakan kekuatan yang solid sekali. Kyai
Dzofir adalah tokoh senior Masyumi yang aktif memotivasi para pemuda mendirikan Hizbullah,
pengiriman ke Diklat Cibarusa dan Diklat Hizbullah di Awu-awu Temuguruh Banyuwangi sebagai lanjutan Diklat
Cibarusa ditingkat Karesidenan Besuki. Mujahidin seolah-olah merupakan sayap militer PPPR sehingga nama PPR dan Mujahidin diterima rakyat dimana-mana. PPPR selalu menginstruksikan pada setiap pos penjagaan agar membantu pejuang Republik dari segala aliran.
Kita ini butuh kesatuan perjuangan, tandas Kyai Dzofir sebagai Ketua PPPR dalam setiap wejangannya. Dan bahkan opini masyarakat mengatakan bahwa PPPR adalah Mujahidin sebagaimana terdapat pada Catatan Kyai Dzofir tentang PPPR.
Bahkan PPPR meluaskan areal perjuangannya di Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. PPPR Banyuwangi dipimpin oleh KH. Abdul Latief dan KH. Harun sedangkan PPPR Bondowoso dan Situbondo dipimpin KH. Ghozali Wonosari, Bondowoso. Bahkan saat hijrah pejuang ke Tulungagung pada tahun 1948 KH Achmad
Shiddiq sebagai Koordinator PPPR di Tulungagung berperan aktiv membantunya. Rumah KH Mujib /mertua KH Achmad Shiddiq menjadi tempat pengungsian pejuang di Tulungagung.
Jember saat itu masih diduduki Belanda tetapi para pejuang yang hijrah kembali angkat senjata melawan Belanda. Pasukan Brigade Damarwulan tetap melakukan seragan gerilya di beberapa desa-desa. Kyai Dzofir juga melakukan konsolidasi sisa kekuatan PPPR yang masih sembunyi di Jember dan melakukan serangan gerilya terhadap Belanda. Sayang beliau tertangkap Belanda dan ditahan 2 bulan di Jenggawah.
Sejak itu Van der Plas sering bertamu kerumah para tokoh Islam di Jember diantaranya Kyai Dzofir, KH Halim Shiddiq, KH Damanhuri Mangli dan lainnya untuk berdiskusi tentang islam dan masalah lainnya. Van Der Plas adalah seorang Orientalis yaitu orang Kafir yang banyak mempelajari islam dan pandai berbahasa Arab sebagaimana Snouck Horgrounje di Aceh yang tujuannya justru merusak islam. Dalam menghadapi gerilyawan islam di Jawa Timur, Plast banyak menggunakan pendekatan persuasif sehingga tidak melakukan perang lagi sebagaimana yang dilakukannya terhadap Kyai Dzofir.
Dalam menghadapi Van Der Plas -- yang bersikap halus dan terkesan kooperatif terhadap tokoh islam – Kyai Dzofir menanggapinya dengan hangat dalam berdiskusi ketika bertamu ke rumah. Beliau tahu bahwa pandangan dan sikapnya tidak akan merubah iman Van der Plas yang kafir menjadi islam tetapi akan selalu dapat menarik perhatiannya agar selalu dekat dengan beliau.
Ngadepi van Der Plas harus dengan otak dan bukan dengan peluru, kata beliau sehingga kedekatannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan islam.
Ada kesefahaman antara Van Der Plas dengan Kyai Dzofir yaitu beliau minta jaminan terhadap kyai dan tokoh masarakat yang ngungsi ke pesantren Talangsari akan dijamin keamanannya oleh Belanda. Belanda menyetujuinya karena agar suasana politik tidak memanas lagi pasca penahanan Kyai Dzofir dan agar mudah bagi Belanda untuk mengawasi mereka. Bahkan sikap ulama dan tokoh lain yang bersedia menerima
santunan bulanan dari Pemerintah, di antaranya KH Achmad Mursyid, KH Shodiq Machmud SH, KH Abdullah Shiddiq, dll

TOKOH PEJUANG PENDIDIKAN
Kyai Dzofir adalah Pengasuh Pesantren Talangsari Jember melanjutkan kepengasuhan dari KH Muhammad Shiddiq yang wafat tahun 1934. Pada tahun 1960 mendirikan Pesantren Alfattah sampai wafatnya.
Kyai Dzofir termasuk pendiri NU di Kabupaten Jember tahun 1930 bersama KH Machfudz Shiddiq, KH Machmud Shiddiq, KH Abdul Halim Shiddiq, KH Mayhur, Sayyid Abdullah bin Ali Alkaff, KH Muhammad Yasin dan KH Basuni dan bahkan selalu memimpin NU sebagai Ketua Tanfidziah. Terakhir beliau menjabat sebagai Ro‟is Syuriah sampai wafat tahun 1987. Beliau tidak hanya sebagai Kyai Pengajar di pesantren, Pejuang Mujahidin dan Pejuang NU, dan bahkan dan Pelopor berdirinya sekolah–sekolah Islam di Jember, diantaranya:
a. Mendirikan SMI (Sekolah Menengah Islam) di tengah perang melawan penjajah tahun 1948. Sekarang SMI menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama)
Islam Jember.
b. Bersama KH Abdulloh Shiddiq, Profesor KH Shodiq Machmud SH dan Hartoyo tahun 1950 mendirikan SGAI (Sekolah Guru Agama Islam) untuk mengkader calon guru agama, yang kemudian tahun 1959 dirobah menjadi PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri).
Sekarang PGAN tersebut berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri) II Jember.
c. Bersama Profesor KH Shodiq Machmud SH, KH Muchid Muzadi, Mayor H Syari‟in tahun 1965 mendirikan STAID (Sekolah Tinggi Agama Islam Djember). Kemudian tahun 1966 dirobah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Jember.
Sekarang menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Jember.
d. Bersama Profesor KH Shodiq Machmud SH dan KH Muchid Muzadi tahun 1966 merintis SP-AIN (Sekolah Persiapan Agama Islam Negeri) Jember. Sekarang berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri) I Jember.
e. Bersama H Muchson Sujono, Drs H Achyat dan Anwar Ridlwan tahun 1979 mendirikan SMAI (Sekolah Menengah Atas Islam)
f. Bersama KH Ali Yasin, H Muchammad Soewardi, H Abdul Kadir jaelani, Ir Bambang Gonggo Moertjitro,
Drs H Ulum AA dll UIJ (Universitas Islam Jember) .

 13 B. KH ABDULLOH SHIDDIQ
1. REMAJA YANG BERANI
Kyai Abdulloh begitulah sering memanggilnya. Nama lengkapnya adalah KH Abdulloh bin KH Muchammad Shiddiq Jember. Beliau lahir di Jember 12 Jumadil Ula 1390 H/1922 M dari pasangan KH Muchammad Shiddiq dengan Nyai Hj Maryam. Beliau wafat tahun 1982 dan dimakamkan di Pemakaman Turbah Condro Jember.
Kyai Abdulloh menikah dengan Hj Malikhah binti KH Abdul Azis Malang dan dikaruniai anak antara lain:
1. dr H Muhammad Nasim Fauzi, Jember
2. Dra Hj Maryam Halim, Surabaya
3. Dra Hj Diana Cholida Muhammad, Surabaya
4. Hj Habibah Fudloli, Surabaya
13 Tulisan ini mengutip dari buku Thariqah Sang Kyai, Biografi KH Dzofir Salam, Afthon Ilman Huda, Alfattah – UIJ pres, 2005

5. KH Lutfillah, Balung Jember0

6. Ir H Tanzil Furqon, Surabaya

7. Ir H Ibrahim Ubaid, Surabaya
Remaja Abdulloh menjadi yatim pada usia sekitar 12 tahun sejak ayahnya (KH Much Shiddiq) wafat. Sehinggasejak kecil sudah merasakan kesengsaraan hidup karena sulitnya perekonomian keluarga. Beliau belajar ngaji di
Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh KH Hasyim Asyari tetapi secara formal ngaji di Madrasah Nidzomiah yang diasuh KH Wachid Hasyim (Putra KH Hasyim). Dari Gus Wachid-lah Abdulloh banyak mengenal kepemimpinan dan pengorganisasian masyarakat termasuk NU.
Sepulang dari ngaji tahun 1945, langsung beliau terlibat kelasykaran Sabilillah bersama Kyai Dzofir, Kyai Halim Shiddiq, Kyai Damanhuri dll. Kyai Abdulloh masuk Sabilillah karena pertimbangan kedekatan hubungan kekerabatan dengan Kyai Dzofir (kakak ipar) dan Kyai Halim (kakak kandung) dan keberanian mental berkat gemblengan Kyai Halim. Sejak kecil Abdulloh diasuh oleh kakaknya KH Halim Shiddiq yang kepribadiannya Pemberani dan keras dalam pendirian.
Selain pemberani, Kyai Abdulloh adalah seorang yang bersikap tenang, penyabar dan teduh pemikirannya sehingga dalam berbagai permasalahan keluarga seringkali semua putra-putrinya diajak musyawarah.
Begitu pula dalam menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, sering melibatkan banyak tokoh kyai dan tokoh masyarakat lainnya.14 Lingkungan hidup aktivis perjuangan membentuk Kyai Abdulloh tampil menjadi
Aktivis perjuangan dipartai dan perjuangan dengan memanggul senjata.
14 Wawancara dengan keluarga KH Abdulloh Shiddiq: KH Lutfillah Lc (putra) dan Drs KH Nadzir Muhammad MA (keponakan), 13 Nopember 2006.

Kyai Abdulloh aktif di Partai Masyumi bersama KH Halim Shiddiq, KH Shodiq Machmud, KH Achmad Mursyid,  KH Damanhuri dll dan bahkan beliau sebagai anggota DPRDS Jember yang pertama dari hasil Penetapan Pemerintah sejak tahun 1950 sampai tahun 1955. Dan berikutnya beliau tampil memimpin NU Wilayah Jatim dalam beberapa periode (hingga wafatnya tahun 1982) sehingga mengantarkan beliau menjabat DPRD Jawa Timur dari Partai NU dari hasil Pemilu 1971.
Dan karena NU berada di PPP (Partai Persatuan Pembangunan) maka beliaupun menjabat sebagai Ketua Wilayah PPP Jawa Timur yang menghantarkan menjadi anggota DPRD Jawa Timur hasil Pemilu 1977 sampai wafat tahun 1982. Mestinya beliau diangkat sebagai DPRRI hasil Pemilu 1982 tetapi beliau wafat sehingga
Pelantikan sebagai DPRRI digantikan kader PPP lainnya.

2.AKSI JUANG PAK JIMUN
Pada bulan September 1945 terjadilah peristiwa penyerahan Konsigniring/penampungan logistik Jepang yang terletak di Garahan kecamatan Silo Jember.
Konsigniring ini adalah yang terbesar di Jawa Timur karena dipergunakan untuk mengcover beberapa karesidenan. Konsigniring tersebut menampung orang Jepang sebanyak 40.000 orang yang dibentengi tembok tinggi seluas puluhan hektar. Didalamnya berbagai peralatan senjata lengkap, amunisi yang berlimpah, alat
teknik, kendaraan, bahan makanan dan obat-obatan.
Suasana kemerdekaan mendorong masarakat banyak datang kesana untuk meminta, mencuri dan merampas bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok yang terdapat didalam Konsigniring. Semula mereka sembunyi-sembunyi, lalu setelah masarakat yang berkumpul jadi ribuan jumlahnya maka terang-terangan mereka merampas apa saja yang terdapat di konsigniring tersebut. Maklum, rakyat banyak menderita kelaparan saat itu, sehingga peristiwa kemerdekaan menjadi motivasi expresi rakyat yang bebas untuk merampas logistik Jepang. Fihak Jepang membiarkan saja aksi perampasan tersebut karena takut terhadap massa ribuan.
Walaupun fihak Jepang diam membiarkan aksi perampasan tersebut tetapi para tokoh masyarakat khawatir karena mereka bersenjata lengkap yang sewaktu-waktu dapat menghabisi rakyat yang mengepungnya. Melihat situasi tersebut tampillah Kyai-kyai dari Sabilillah yaitu Kyai Dzofir, KH Shodiq Machmud dan KH Abdulloh Shiddiq bersama Mayor Soerodjo (Komandan BKR /Badan Keamanan Rakyat) Resimen
Besuki di Jember, Sulthon Fadjar/Komandan Hizbullah dan beberapa tokoh pejuang lainnya mendatangi Pimpinan Konsigniring untuk berunding tentang penyerahan kepada fihak Republik Indonesia. Mereka datang ke Konsigniring diikuti oleh ribuan massa yang mengepung.

Tanpa kesulitan fihak Jepang bersedia angkat kaki dalam rundingan tersebut dan mohon pengawalan para tokoh pejuang. Kemudian ribuan orang Jepang dipindahkan ke penampungan sementara di Balung Tutul dan kemudian dilanjutkan pemindahannya menggunakan kereta api ke Surabaya untuk dipulangkan ke negeri asalnya.

Ketika Belanda masuk dan menduduki Jember tahun 1947, Kyai Abdulloh yang berdomisili di Balung melakukan kontak komunikasi dengan sahabat-sahabatnya di antaranya KH Mudzhar Glundengan Wuluhan, Pak Supiah Curahlele Balung, Pak Sutoyo, dll.

Mereka rembugan tentang sikap dan langkah apa yang harus dilakukan terhadap pendudukan Belanda tesebut.
Tak lama kemudian datanglah Kyai Dzofir, KH Soleh Kaliwining dan Kyai Amiruddin. Sehingga semakin banyaklah tokoh yang terlibat diskusi tersebut. Kemudian pada suasana Lebaran Senin Wage 7 Syawal/25 Agustus
1947, mereka bersepakat proklamirkan Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat/PPPR yang berpusat di rumah Pak Supiah, Curahlele Balung.
Mereka menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak mudah diketahui oleh musuh kecuali kawan sendiri. Pak Jimun adalah nama gembong penjahat yang terkenal saat itu, sehingga terkesan KH Abdulloh adalah orang yang ditakuti lawan. Setelah mengatur pos-pos perjuangan, barulah mengumumkan

Edaran Panggilan Perjuangan sehingga berduyun-duyunlah sukarelawan mendaftarkan diri pada PPPR. Kuatnya jaringan PPPR dimasyarakat karena didukung mayoritas kyai Jember yang memiliki jaringan kuat dimasyarakat. PPPR mendapatkan simpati rakyat sehingga bantuan logistik, tempat perlindungan dan sarana perjuangan mudah didapatkan dari bantuan rakyat.
Perkembangan berikutnya PPPR membentuk organisasi khusus kelasykaran sebagaimana TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin Major Surodjo Komandan BKR Karesidenan Besuki dan kemudian digantikan Letkol Prajudi Atmosoedirdjo sebagai Komandan Resimen I TNI Teritorial Daerah Besuki. Maka
disepakati Pak Jimun sebagai Komandan Batalyon Elang Emas dan KH Shodiq Machmud sebagai Kepala Staf yang memimpin kompi-kompi yaitu: Kyai Amiruddin, Bachtiar, Sutoyo dan Sholeh Hasan. KH Mudzhar sebagai bagianpersenjataan. Masing-masing Kompi memimpin regu yang pada masing-masing regu beranggotakan 5 orang.
Pertempuran melawan Belanda terjadi di Gumelar, Balung Lor, Panti, Bangsalsari, dll. Saat pertempuran di Sukorambi Pasukan ini berhasil memporak-porandakan tentara Cakra sehingga dapat rampasan peluru dan senjata banyak.
Pada tanggal 14 Oktober 1947 diadakan musyawarah yang diikuti antar Resimen III Hizbullah dan Batalyon Elang Mas sebagai bagian keamanan PPPR yang keputusannya adalah:
1. PPPR konsentrasi pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir.
2. Tentara Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar bergabung menjadi 1 resimen dengan nama Resimen Mujahidin yang meliputi daerah se karesidenan Besuki dan dipusatkan di Jember. Komandan Resimen adalah Sulton Fadjar Njoto dan H Sjech sebagai Kepala Staf Hizbullah.
3. Resimen Mujahidin memimpin 3 Batalyon, yaitu:

a. Batalyon I Elang Emas untuk juang Jember dengan Komandannya Kyai Abdullah Shiddiq dan Kyai Shodiq Mahmud sebagai kepala staf.
b.Batalyon II untuk wilayah juang Bondowoso dan Situbondo dengan Komandan Niman Setyo Atmodjo
c. Batalyon III untuk wilayah juang Lumajang dengan Komandan M. Syarif
d.Batalyon IV untuk wilayah Banyuwangi yang dipimpin Najmuddin.
4. Mengesahkan 5 Kompi dari Batalyon I Elang Emas,
yaitu:
a. Kompi I Ababil dipimpin Asjhadi yang bermarkas di Ambulu

b. Kompi II Macan Putih dipimpin oleh Bachtiar yang bermarkas di Curahlele
c. Kompi III Thoriq bin Ziad dipimpin Mujtahid yang bermarkas di Kencong
d. Kompi IV Kholid bin Walid dipimpin oleh Kyai Amiruddin dan Wakilnya adalah Kyai Achmad Mursid
yang bermarkas di Pesantren KH Arif – sekarang diasuh Kyai Muzakka -- Compakaan Sukorambi
e. Kompi V Umar bin Khattab dipimpin oleh Muslich yang bermarkas di Mumbulsari
5. Menetapkan kompi-kompi yang sudah ada di semua Batalyon

Bersatunya tokoh-tokoh pejuang dalam satu bendera Mujahidin merupakan kekuatan yang solid sekali.
Mujahidin seolah-olah merupakan sayap militer PPPR sehingga nama PPR dan Mujahidin diterima rakyat
di mana-mana. PPPR selalu menginstruksikan pada setiap pos penjagaan agar membantu pejuang Republik dari
segala aliran.
Bahkan PPPR meluaskan areal perjuangannya di Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. PPPR
Banyuwangi dipimpin oleh KH. Abdul Latief dan KH. Harun sedangkan PPPR Bondowoso dan Situbondo dipimpin KH. Ghozali Wonosari, Bondowoso. Bahkan saat hijrah pejuang ke Tulungagung pada tahun 1948 KH Achmad Shiddiq sebagai Koordinator PPPR di Tulungagung.
Untuk mengobarkan perjuangan melawan Belanda maka pada tanggal 30 Desember 1947, PPPR bersama Hizbullah, TNI pimpinan Letkol Prajudi dan lasykar lainnya seperti KH Bakir mengeluarkan komando Serangan Umum yang dilakukan serentak dan tiba-tiba ke kota Jember, Ambulu, Rambipuji dan Kencong. Hari itu mulai jam 10
pagi, ribuan rakyat dan para pejuang termasuk para Kyai

Sepulang ngaji di Tebuireng Jombang, Kyai Shodiq terlibat aktiv dalam perjuangan melawan Belanda di Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat/PPPR
Mereka menggunakan nama samaran yang tujuannya untuk menjaga kerahasiaan agar tidak mudah diketahui oleh musuh kecuali kawan sendiri. Pak Isjampir adalah nama gembong penjahat yang terkenal saat itu,
sehingga terkesan KH Shodiq adalah orang yang ditakuti lawan.
PPPR tampil kuat dan ditakuti Belanda bahkan frustasi melihat pejuang PPPR selalu lolos dari serangannya, sehingga Belanda menyerang membabi-buta kepada masyarakat sipil yang tidak terlibat perang.
Untuk itu pada pertengahan bulan Oktober 1947, rapat PPPR di Wuluhan memutuskan pemakaian seragam yang terdiri baju dan celana berwarna hitam sebagai identitas PPR. Tujuannya adalah menunjukkan pada Belanda bahwa Pejuang PPPR beridentitas seragam serba hitam dan menghentikan sikap ngawurnya.
Action PPPR adalah melakukan penghadangan, taktik gerilya dan pertempuran terbuka terhadap Belanda.
Moment pertempuran terjadi di Balung, Mumbulsari, Jenggawah, Panti, Bangsalsari dan hampir merata disemua daerah di Jember. Siasat perang banyak dimusyawarahkan pada malam hari dipos-pos saat istirahat.

3. PAK ISJAMPIR, GURU YANG ISTIQOMAH
Sesudah perang tahun 1949, Pak Isjampir mengisi kegiatan social pendidikan di PUSRON (Pusat Rawatan Rohani) di Kodim Jember. Rupanya semangat mengembara mencari ilmu masih belum tuntas sehingga sambil kerja di Pusron, Kyai Shodiq kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tawang Alun (sekarang Universitas Negeri Jember). Pada saat lain Kyai Shodiq mengabdi sebagai Guru di SMI (Sekolah Menengah Islam) yang didirikannya bersama Kyai Dzofir pada tahun 1948.
Kemudian pengabdiannya sebagai guru dan merintis beberapa sekolah Islam di Jember antara lain:
1. Bersama KH Dzofir, KH Abdulloh Shiddiq dan Hartoyo tahun 1950 mendirikan SGAI (Sekolah Guru Agama Islam) untuk mengkader calon guru agama, yang kemudian tahun 1959 dirobah menjadi PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri). Sekarang PGAN tersebut berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri)
II Jember.
2. Bersama KH Dzofir, KH Muchid Muzadi, Mayor H Syari‟in tahun 1965 mendirikan STAID (Sekolah Tinggi Agama Islam Djember). Kemudian tahun 1966 dirobah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Jember dan Kyai Shodiq menjadi Dekan pertama. Sekarang menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Jember.
4. Bersama KH Dzofir dan KH Muchid Muzadi tahun 1966 merintis SP-AIN (Sekolah Persiapan Agama Islam Negeri) Jember. Sekarang berobah menjadi MAN (Madrasah Aliah Negeri) I Jember.
Kyai Shodiq mengajar Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP/Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Jember yang berinduk ke IKIP Negeri Malang (kemudian berobah menjadi FKIP UNEJ). Pada tahun 1970, beliau menjadi Dosen di fakultas Hukum di Universitas Jember (UNEJ) dan bahkan menjadi Dekan Fakultas Hukum. Selain sebagai Dosen di UNEJ juga mengajar di UIJ (Universitas Islam Jember) dan UNISMA (Universitas Islam Jember) sampai wafatnya. Kyai Shodiq mengembangkan Masjid dan Pesantren Al Jauhar yang lokasinya terletak di Jl Nias komplek Kampus Mahasiswa Tegal Boto Jember yang tetap exis hingga sekarang.16
Selain itu Kyai Shodiq yang energik ini pernah meniti karir sebagai Kepala KUA (Kepala Urusan Agama) Departemen Agama di Ambulu dan Rambipuji. Bersamaan dengan karir mengajarnya sebagai Dosen di FIP .

4. KARIR POLITIK
Awal karir Politik sebagai Ketua GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) di kabupaten Jember yaitu onderbouw pemuda dari Partai Masyumi. Dari Ketua GPII inilah Kyai Shodiq diangkat sebagai anggota DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) periode tahun 1950 sampai tahun 1955 mewakili GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pengesahan DPRDS Jember dilakukan tanggal 21 Oktober 1950. Pengesahan DPRDS tersebut melalui proses pengangkatan (bukan melalui Pemilu) karena antara tahun 1947 sampai tahun 1949 Kabupaten Jember (termasuk kabupaten lain se Indonesia) diduduki Belanda yang ingin menjajah lagi.
Pengangkatan sebagai anggota DPRDS sebagai lembaga Legislatif saat itu bersamaan dengan pengangkatan DPDS (Dewan Pimpinan Daerah Sementara) sebagai lembaga Eksekutif. Anggota DPDS saat itu adalah R. Soekarto (Kepala Daerah dan Ketua DPDS), KH Abdulloh Shiddiq (Masjumi/Wakil Ketua),
Ustadz Mas‟ud Muhammad (Masjumi/anggota), Abdul Arief Wignjosumarto (NU/anggota), KH Shodiq Machmud (GPII/anggota), A.D. Wirjoatmodjo (PGRI/anggota).
16 Masjid didirikan oleh Ustadz Abdul Hadi Basultanan

Karir politiknya tidak diteruskan karena lebih memilih karier sebagai Pegawai Negeri baik di DEPAG dan Dosen. Pengabdian terhadap NU tetap tak pernah lekang oleh situasi politik walaupun jabatannya di NU selalu di A‟wan. Dan sejak tahun 1990 beliau dipilh sebagai Rois Syuriah NU Jember sampai 2 periode hingga wafatnya.17

D. KH. DJAUHARI
KH Jauhari lahir di padukuhan Waru desa Sidorejo, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang Jawa Tengah, tahun 1911 dari pasangan KH Zawawi dengan Nyai Ummah binti Nur Khotib. Sedan adalah desa yang relatif
tandus tetapi kental dengan budaya religius islami yang fanatik dan fundamental.
Djauhari kecil agak bandel tetapi semangat belajarnya tekun dan giat sehingga berusia 11 tahun sudah dapat menghafal Kitab Alfiyah selama 3 bulan.18
Berikutnya, Jauhari ngaji pada KH Kholil Kasingan Rembang, KH Abd Syukur Jatirogo Rembang, KH Achmad
17 Wawancara dengan Drs KH Sahilun A. Nasir MPDi (menantu KH Shodiq)
18 Kitab Nadzom Alfiah adalah kitab tentang Alat untuk memahami Kitab Kuning yang disusun dalam bentuk syiir
berisi 1000 bait sehingga banyak dihafalkan. Umumnya hafalan Alfiah dilakukan oleh santri klas Tsanawi sekitar umur 16 tahun.
KH Shodiq Mahmud (kiri) pada kampanye Masyumi

n KH Imam Sarang Rembang, KH Dimyati Termas Pacitan, KH Hasyim Asy‟ari Jombang, Syeikh Umar Hamdan dan Syech Amin Kutby Makkah,
KH. Djauhari menikah beberapa kali di antaranya dengan Nyai Maknunah binti Kyai Masykur Sarang yang dikarunia 2 anak (tetapi wafat kecil), Nyai Solikhah binti KH Chasbullah Mlaten Probolinggo, Nyai Zuhriah dan Nyai
Hj Sa‟adah binti H Sholeh dari Gumukmas Jember.
Beberapa kali Kyai Jauhari menikah tetapi tidak dikaruniai anak. Menikah dengan Nyai Hj Sa‟adah menurunkan 4 orang putra yaitu H. Achmad Fahim, KH Achmad Sadid, H Roshiful Aqli dan H Achmad Ghonim.
Sebelum merintis dan mengasuh Pesantren As Sunniah Kencong tahun 1940, Kyai Jauhari membantu pengajaran santri mertuanya (Kyai Masykur Sarang) dan bersama Kyai Nawawi merintis Madrasah yang terletak sebelah utara Pasar Probolinggo.
a. Perjuangan Melawan Penjajah
Di Kencong pada tahun 1942 (masa Penjajahan Jepang) Pemerintah mewajibkan zakat rakyat disetorkan
kepada Pemerintah Jepang untuk kepentingan Perang yang disebutnya Jihad. Bahkan Hasil bumi dan industri pakaian-pun dirampas Pemerintah sehingga menambah kesengsaraan rakyat.
KH Djauhari dalam suatu Pengajian NU (Nahdlatul Ulama) di Masjid Jami‟ Kencong dengan berani menyatakan bahwa zakat untuk jepang tidak syah.
Akibatnya Kempetai menahan Kyai Jauhari di Sel Polisi yang terletak di utara Masjid Jami‟ Kencong. Ketika Subuh minta ijin sholat dimasjid dan setelah sholat shubuh Kyai jauhari lari menelusuri tangkis sungai kencong menuju Tanggul. Di Sukoreno istirahat makan dirumah Pak Kiyak (Juru Khitan). Setelah makan ia jalan terus menggunakan Topi Capil dikepala sampai stasiun Tanggul lalu numpang Kereta Api ke Rembang. Sesampainya di Rembang Kyai mengirim surat yang memberitahukan keadaannya di
Rembang.
Larinya Kyai Djauhari dari Sel membuat gusar Pemerintah sehingga rumah Kyai dan Pesantrennya digerosok terus. Keluarga dan santri resah sehingga banyak yang pamit pulang dan hanya Abdul Salam (Santri asal Gumukmas) dan Abdur Rochman (santri asal Malang) yang masih tinggal di Pesantren. Nyai Zuhriyah (istri kyai) dan Kyai Athoillah (adik kyai) ditahan.
Kyai Jauhari melanjutkan perjalanan k Tebuireng Jombang, sowan Hadloratush Syeich KH. Hasyim Asy‟ari dan menyampaikan keluahannya. Gurunya itu menganjurkan Kyai Jauhari sowan ke KH. Wahid Hasyim di Surabaya. Saat itu KH Wachid Hasyim menjabat sebagai SUMUBHU (Kepala Urusan Agama Pusat yang dibentuk Pemerintah Jepang) sehingga banyak berhubungan dengan Pemerintah Jepang.
Kyai Wachid menyarankan “menyerah” dan menghadap Residen Besuki di Bondowoso. Di
Bondowoso, Kyai Jauhari diadili tetapi Hakimnya seorang Pribumi sehingga memutuskan Pembebasan dari segala tuntutan. Kyai kembali ke Kencong dengan percaya diri, bahkan disegani oleh Pemerintah Jepang.
Saat para kyai Jember mendirikan PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat ) yang dipimpin Pak Nur alias Kyai Dzofir, KH. Djauhari bergabung dan berperan sebagai
Pemberi Informasi Gerak-gerik Belanda.
Di suatu bulan Ramadlan KH Djauhari menerima informasi bahwa Belanda sudah di Lumajang. Kemudian Kyai menugaskan 15 santrinya untuk ngecek naik Kereta Api ke Lumajang. .19 Sesampainya di tengah sawah di Karangbendo kereta dihentikan Serdadu Belanda.
Semua penumpang disuruh turun. Tangan, pundak dan punggung penumpang diraba dan yang kulitnya halus langsung ditangkap dan ditahan (termasuk 15 orang santri) karena dicurigai sebagai Pejuang. Mereka digiring ke Markas Polisi Lumajang untuk diinterogasi dan biasanya disiksa. Sesampainya di Tukum hari mulai malam sehingga memudahkan bagi sebagian Tahanan melarikan diri.
Ke 15 orang santri (diantaranya KH Nashuha Hilal dari Kencong) adalah yang melarikan diri dengan bercerai berai mencari selamat sendiri – sendiri, di tengah sawah ia ditolong oleh petani. Sesampainya ke pesantren, matahari sudah menjulang tinggi. 15 orang santri yang datang dari jalur masing – masing melaporkan apa yang terjadi kepada KH Djauhari, yang saat itu beliau sudah siap mengungsi dari Kencong. Bahkan Kyai memerintah-
kan para santri keluar dari pesantren bergabung dengan para pejuang.
Ternyata seorang santri (Ichsan) tidak sempat melarikan diri sehingga ia digiring ke Tangsi Belanda
Lumajang untuk diinterogasi dan disiksa. Sore hari barulah Ihsan datang dalam keadaan babak-belur karena disiksa Belanda.
Suatu saat KH Abdul Hayyi, Ketua NU Cabang Kencong sedang jalan malam di Kencong. Kok aneh ada warung malam hari dengan lampu menyala. Disuruh salah satu anak buahnya (Jamil namanya) mengamati warung malam itu. Jamil mendekati warung dan tiba-tiba sudah ditodong senjata Belanda yang ada didalam warung. Jamil dan beberapa orang Pejuang yang tertangkap saat itu 19 Diantara 15 orang tsb termasuk KH Nasuha Hilal  digelandang ke Sel Tahanan dan dibebaskan tanggal 8 Agustus 1947.
Agresi Belanda II menjadikan pemerintahan Kecamatan Kencong llumpuh sehingga para pejuang, tokoh pemerintah dan tokoh masyarakat Kencong membentuk Pemerintahan Darurat yang berpusat di suatu rumah tempat perlindungan yang terletak di selatan Masjid Kedunglangkap. Sehingga dalam suasana gerilya,
Pemerintahan berjalan walaupun tidak maksimal.
Belanda sangat benci pada Hizbullah Gagak Hitam dan Sabilillah yang kebanyakan dari suku Madura.
Semangat juangnya tinggi walaupun tidak di gaji.
Seringkali Gagak Hitam terlibat pertempuran dengan CAKRA (tentara bayaran belanda yang juga banyak dari suku Madura.
Abdus Salam, salah satu santri yang menjadi Komandan Regu Mujahidin di Gumukmas menceritakan pengalamannya dalam gerilya: “
karena tidak memiliki persenjataan lengkap, maka di antara cara perang
Mujahidin adalah, bila sewaktu sewaktu belanda berjaga malam hari di stasiun Kencong. Kemudian salah satu pejuang menyalakan senjata dari selatan dan ternyata Belanda yang jaga tersebut keder dan lari keutara.
Pejuang yang bersembunyi diutara menembaki Balanda tersebut.
Hari itu Rebo Wage dibulan Sofar tahun 1946.
Tentara Kompeni Kencong jengkel terhadap perang gerilya para pejuang lalu bergerak merangsek terus ke selatan Kencong. Mereka menembaki siapa saja yang dijumpainya sehingga banyak rakyat sipil yang kena korban tembak. Mereka juga membumi hanguskan Pasar di desa Cakru.
KH. Djauhari dikejar Belanda karena seringkali Kyai mengisi pengajian yang isinya nasehat untuk semang

Selama di Menampu KH. Djauhari masih kontak dengan Pak Nur untuk membicarakan tentang situasi perjuangan PPPR dan banyak Pejuang yang diisi atau digembleng amalan. Setelah Belanda tahu bahwa Kyai tinggal di Menampu maka mereka akan menangkapnya tetapi mereka tidak dapat menangkapnya. Kemudian H. Hasan Mustofa (anak H. Muhtar) mengajak Kyai Jauhari pindah ke Puger.
Kegiatan da‟wah KH. Djauhari di Menampu ini sudah tertata tertib dan tampaknya kyai betah. 7 bulan lamanya Kyai dfi Menampu, kemudian KH Abd Hayyi, H. Nawawi dan Nyai Ummi Kultsum (mertua kyai) mengajak Kyai Jauhari kembali ke Kencong untuk menata kembali Pesantren Assuniah dan NU cabang Kencong.
KH. Djauhari dalam mendidik anak dan santrinya tidak hanya dengan nasihat ucapan saja tetapi perilaku sehari-harinya dapat menjadi contoh teladan. Keteguhan sikap, istiqomah dalam beribadah dan mengajar, hidup sederhana serta sering riyadloh adalah teladan akhlaq kehidupan Kyai Jauhari sampai wafatnya pada hari Rabu
kliwon tanggal 11 Shofar 1415/20 Juli 1994.20

E. KYAI DAWUD
Tak ada yang mengetahui kapan Kyai Dawud lahir tetapi beliau menceritakan kelahiran desa Peterongan Jombang. Beliau tinggal di Plalangan desa Sukamakmur kecamatan Ajung sampai wafat tahun 1982 dalam
usia sekitar 80 tahun dan dimakamkan di sebelah rumahnya.
Pendidikan mondok ke Pesantren tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asy‟ari Jombang dan Balung Gading
20 Wawancara dengan KH Sadid Jauhari (putra KH Jauhari)

Setelah dirasa lama ngaji kemudian beliau pindah ke salah satu Pesantren di Gumelar Jember. Di Gumelar beliau membantu pengajaran santri.
Beristri 2 kali yaitu: dengan Sapurah (almarhum) dikaruniai 2 anak yaitu: Hj Solihah dan Abd Hamid (almarhum), dan kedua kawin dengan Shofiah binti H Abd Mannan, usia 65 tahun dikaruniai anak sebagai berikut:
1. Muzayyin Sidodadi Ambulu;
2. Mahfudz;
3. Choiriah;
4. Choitijah (almarhum);
5. H Ichsan Rambi;
6. Maisaroh;
7. Zaini;
8. Munawaroh;
9. Nurhuda;
10. Asy‟ari.
Kedua istrinya dikawin sebelum Perang (sekitar tahun 1947)
Ketika perang beliau bergabung dengan para Kyai di Sabilillah pada tahun 1945 dan PPPR (Pimpinan Persatuan Perjuangan Rakyat) pada tahun 1947 yang dipimpin Kyai Dzofir. Karena domisili beliau di Plalangan maka wilayah
juangnya di sekitar Jenggawah, Ajung dan Ambulu. Anak buahnya berjumlah sekitar 100 orang antara lain Pak Dahrawi, Supangat, Kyai Jupri Renteng, dll.
Pertempuran melawan Belanda yang dialami antara lain di Jenggawah, , Batokan Ambulu dll. Pernah ditahan di Ambulu setelah pertempuran di Ambulu tahun 1947.
Sering dijenguk keluarga dan anak buahnya. Karena kawatir terjadi penyiksaan.. Bahkan suatui hari beliau bersama Dahrawi mengambil senjata Belanda yang ada di markas Jenggawah tanpa musuh tahu. Mungkin ini kekuatan Hizb Songai Rajeh yang diamalkan beliau.21

F. KYAI AMIRUDIN
Kyai Amirudin bin Samlawi lahir di Desa Baru Kabupaten Pamekasan tetapi tidak diketahui dimana dan kapan. Beliau menikah dua kali yaitu dgn Siti Khusnul Chotimah dikaruniai anak yaitu: Maimunah, Fatchiah, Ida.
Beliau belajar di Pesantren Talangsari yang diasuh oleh KH Dzofir Salam. Tidak ada keterangan berapa lama nyantri dan menamatkan berlajarnya di Talangsari, kemudian beliau dianjurkan oleh gurunya merintis pesantren di rumahnya yang terletak di jalan Gajahmada muka masjid Alhuda Jember. Semula hanya musholla kecil lalu membangun 2 pondokan/kamar untuk beberapa santri.
Melihat santrinya sudah membangun musholla dan pondokan/kamar santri lalu Kyai Dzofir mengirimkan Yusuf (salah seorang santri seniornya) untuk membantu pengajaran disana. Kemudian Yusuf dijodohkan dengan Rodliyah (adik iparnya).
Selalu beliau diajak gurunya itu dalam berda‟wah di Nahdlatul Ulama yang akhirnya dipilih sebagai Ketua Cabang pada tahun 1944 sampai tahun 1947. Termasuk diajak dalam Syirkah Muawanah yang berkantor dimuka pasar (sekarang Pasar Tanjung Jl Trunojoyo).
Profesi beliau beternak kuda dan berdagang. Saat di Syirkah, beliau bersama KH Dzofir mengirim Kuda kuda ke cepu dan mengkulak minyak tanah dari Cepu serta mengkulak kain dari Solo. Cukup sukses ternak dan dagangnya, bahkan dapat membeli sebidang tanah yang lalu diwaqafkan pada NU 22.

21 Wawancara dengan Keluarga Kyai Dawud yaitu: Mariah (adik, usia 78 tahun) dan anak buahnya Pak Dahrawi (usia 86 tahun) Jenggawah pada 16 Oktober 2006

Begitu pula saat berjuang melawan Belanda sejak tahun 1947 melalui PPPR/Mujahidin yang dipimpin Kyai Dzofir.23
22 Sekarang tanah waqaf NU tsb ditempati Universitas Islam Jember
23 Hasil wawancara dengan bu Hj Latifah Ali (adik ipar almarhum Kyai Amirudin) dan Hj Ida Latif (anak keempat almarhum Kyai Amirudin tanggal 12 Nopember 2006.

BAB V
PROFIL PEJUANG DARI PEJABAT PEMERINTAH
MUJAHID

Pak Mujahid lahir di Jombang tahun 1916. Tempat tinggal di Jl KH Wachid Hasyim Jember. Beliau wafat 18 Juli 1993 dan dimakamkan di TPU Kebonsari. Pak Mujahir menikahi Suyati dan dikaruniai anak sbb: Tantowi Jauhari
Denpasar, Ach Taufiq (almarhum), Siti Zubaidah Jember, Siti Muslikhah Jember dan Moch Syaifuddin Jember.
Pendidikannya lulus Sekolah Rakyat (SR) Jombang sebelum 1945 lalu mondok di Ciamis. Kemudian ngaji ke Solo. Ngajinya selalu keliling dari satu kyai ke kyai lainnya.
Pada setiap acara lomba Khitobah/pidato dipesantren selalu juara.
Setelah merasa cukup ngaji keliling lalu diajak Mbah Sukardi (kakeknya) ke Tanjungrejo Wuluhan Jember dan tinggal lama. Di Wuluhan Pak Mujahid mengajar di suatu Madrasah.
Karena pidatonya memikat maka bersama Abdul Wachid (sahabat karib nya yang
kemudian menjadi besannya) diangkat sebagai Juru Penerang merintis Muhammadiah di
Wuluhan.
Pak Mujahid aktiv di Partai Masjumi dan aktivitas politiknya berakhir setelah selesai menjabat Ketua Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) Cabang Jember saat Pengurus Pusat dipimpin H Jarnawi Hadikusumo. Beliau
tidak aktiv lagi saat Parmusi dipimpin oleh DR HJ Naro SH
karena menurutnya kepemimpinan Naro merebut Parmusi tidak secara konstitusional.
Pak Mujahid bersama istri

Saat perjuangan melawan Belanda lebih banyak berposisi sebagai Juru Runding daripada sebagai Lasykar.
Banyak tawanan Belanda dapat dibebaskan Pak Mujahid, hasil kerja diplomatisnya.
Saat Agresi I tahun 1947, Pak Mujahid ditahan di Ambulu. Dan ketika Hijrah, beliau ikut hijrah ke Madiun
karena ibunya tinggal di Madiun. Di Madiun mengajar ngaji anak-anak. Pak Mujahid yang berpenampilan rapi ini terkenal sebagai seorang Muballigh dan Khotib dari Muhammadiah.

BAB VI
PROFIL PEJUANG HIZBULLAH
A. SULTHAN FADJAR NJATA
1. Komandan Hizbullah Besuki
Sulthan Fadjar Njoto yang akrab dipanggil Pak Sulthan lahir di Jember 16 Juli 1920 keseharian beliau tinggal di Jl Trunojoyo muka GOR Bulu Tangkis Jalan HOS Cokroaminoto Jember dan wafat hari 8 April 2006 dimakamkan di Pemakaman Umum Talangsari.

Pak Sulthan mempunyai anak sebagai berikut:

Bagus Qomaruzzaman, Indah Qurrotul „Aini, Ana Nurlaila, Budiwati Uswatun Hasanah dan Moch. Elang Ulul Azmi.
Pak Sulthan ngaji di Tebuireng dan bersekolah di Madrasah Nidzomiah yang diasuh oleh KH Wachid Hasyim. Banyak kawan ngajinya yang kemudian tampil sebagai tokoh di antaranya KH Achmad Shiddiq, KH Muchid Muzadi, KH Shodiq Mahmud SH dll.
Pak Brahim, nama samaran beliau dalam perjuangan adalah Komandan Resimen Hizbullah di Wilayah Jawa Timur bagian Timur yang berpusat di Jember. Awalnya pada tanggal 1 September 1945 para alumni Diklat Kaderisasi Militer Hizbullah di Cibarusa Bogor yang tinggal di Jember membentuk Dewan Pertahanan Pemuda Islam
Daerah Besuki bermarkas di gedung bekas tangsi tentara Jepang dan Heiho di kecamatan Kaliwates Jember (sekarang markas Brigif). Tujuan pembentukan Dewan ini adalah untuk menjaga keamanan dan bela negara di Jember.
Diklat Militer Hizbullah di Cibarusa Bogor berlangsung sejak Maret - Mei 1945 diadakan oleh Dai Nippon bersama Masyumi. Diklat ini diikuti 500 orang pemuda Islam Masyumi dari Jawa dan Madura. Dari Jember adalah: Sulthan, Buchori Achmad, Moch Ro‟I, Moch Irfan, Abdul Hamid, H Ali, Ach Anang, Muslich, Abd Syarif, Abd Rosyid, Sa‟adi, Mujtahid, dan Moch Ro‟is.
Selama Diklat, kebutuhan konsumsi dibantu masyarakat sekitar dan pembuatan asrama latihan serta Pelatihan diatur Yanagawa (Perwira Jepang) dan beberapa Sudantjo PETA (Pembela Tanah Air) sebagai Pelatih. Bimbingan rohani diisi oleh beberapa Kyai sehingga saat Seikere (menghormat Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari dengan membungkukkan badan menghadap ke Timur) justru menghadap ke barat (maksudnya menghadap Kiblat) sambil membaca Rodlitubillahi Robba, Wabil Islamidina, Wabi Muhammadin Nabiyya Wa Rosula / Kami menerima Alloh sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai
Nabi dan RosulNya. Walaupun secara rahasia tetapi semangat anti Jepang ditanamkan oleh para Pelatih Sudantjo Peta
Tak lama dari pembentukan Dewan tersebut, beliau menerima instruksi dari KH Wachid Hasyim (Pimpinan Pusat Masyumi dan Hizbullah yang menjabat sebagai Menteri) tentang “pembentukan Divisi Hizbullah disetiap
daerah dan bekerja sama dengan BKR (Badan Keamana Rakyat)”. Spontan Dewan berobah menjadi Divisi Hizbullah Karesidenan Besuki yang dipimpin beliau. Kemudian dibentuklah resimen dan batalyon di Jember,
Bondowoso dan Banyuwangi. Maklumlah saat itu belum tertib tentang pengorganisasaian Hizbullah sebagaimana TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Kegiatannya antara lain:
1. Bersama Badan Keamanan Rakyat (dipimpin Major Surodjo), Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat disingkat

1. Karesidenan Surabaya dibentuk Divisi Sunan Ampel yang dipimpin oleh KH Wahib bin KH Wahab Chasbullah
2. Karesidenan Malang dibentuk Divisi Sunan Giri dipimpin H Saidu
3. Karesidenan Kediri dibentuk Resimen dipimpin H Machfoedz dan HA Faqih
4. Karesidenan Besuki dibentuk Resimen dipimpin Sulthan Fadjar Njata
5. Karesidenan Bojonegoro dibentuk Resimen dipimpin Sofwan Hadi
6. Karesidenan Madiun dibentuk Resimen dipimpin Kun Sarwani
Tanggal 28 April 1947 diadakan Konferensi Bersama antara Divisi Malang dengan Resimen Besuki yang ditempatkan di Jember. Konferensi tersebut dihadiri oleh masing-masing komandan Divisi, Resimen,
Batalyon dan Kompi. Keputusannya adalah kedua Divisi tersebut dilebur menjadi Divisi yang berkedudukan di Malang dan Di Jember menjadi Resimen III yang dipimpin Sulthan Fadjar Njata. Markas Resimen III di gedung milik
Berni (sekarang Markas Brigif Jember) memimpin 3 Batalyon yang masing-masing: Batalyon I di Jember dipimpin Buchori Achmad dengan Kompi-kompi di Jember, Ambulu, Kencong dan Tanggul; Batalyon II di Bondowoso
dipimpin Niman Setyo Atmodjo dengan kompi-kompi di Bondowoso, Prajekan, Besuki dan Situbondo;
Kawan seperjuangan di Hizbullah, tampak depan kiri Sulthan, kanan
KH Shodiq Mahmud dan belakang kedua kiri KH Achmad Mursiddan Batalyon III di Banyuwangi yang dipimpin Najamuddin dengan kompi-kompi di Banyuwangi, Rogojampi dan Srono.
Tanggal 7 Maret 1947 muncul Dekrit Presiden tentang Peleburan semua laykar perjuangan kedalam TNI (Tentara Nasional Indonesia). Untuk hal tersebut pada September 1947, Sulthan dan beberapa orang stafnya berjalan kaki menuju Kediri untuk menemui KH Zainul Arifin sebagai Komandan Tertinggi Hizbullah. Atas saran
beliau lalu Sulthan menemui Kolonel Zainal Alimin (Komandan Brigade 13 Divisi VII TNI) di Sumber Pucung Malang dan menghadap Dr Murdjani (Gubernur Jawa Timur). Dari saran tersebut menjelmalah Resimen Hizbullah ke dalam Resimen TNI di bawah Brigade 13 Divisi VII dipimpin Sulthan.
Pada tanggal 14 Oktober 1947 diadakan musyawarah yang diikuti antar Laskar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan Lasykar-lasykar lainnya di Jember, yang keputusannya adalah:
1. PPPR konsentrasi pada Pemerintahan, Sosial dan Ekonomi yang dipimpin Kyai Dzofir.
2. Tentara Lasykar PPPR, Resimen III Hizbullah, Batalyon Elang Mas dan laskar-laskar bergabung menjadi 1 resimen dengan nama Resimen Mujahidin yang meliputi daerah sekaresidenan Besuki dan dipusatkan di Jember.
Komandan Resimen adalah Sulton Fadjar Njoto dan H Sjech sebagai Kepala Staf Hizbullah
3. Resimen Mujahidin memimpin 3 Batalyon, yaitu:
a. Batalyon I Elang Emas untuk juang Jember dengan Komandannya Kyai Abdullah Shiddiq dan Kyai Shodiq
Mahmud sebagai kepala staf.
b. Batalyon II untuk wilayah juang Bondowoso dan Situbondo dengan Komandan Niman Setyo Atmodjo H
c. Batalyon III untyuk wilayah juang Lumajang dengan Komandan M. Syarif
d. Batalyon IV untuk wilayah Banyuwangi yang dipimpin Najmuddin.
4. Mengesahkan 5 Kompi dari Batalyon I Elang Emas, yaitu:
a. Kompi I Ababil dipimpin Asjhadi yang bermarkas di Ambulu
b.Kompi II Macan Putih dipimpin oleh Bachtiar yang bermarkas di Curahlele
c. Kompi III Thoriq bin Ziad dipimpin Mujtahid yang bermarkas di Kencong
d.Kompi IV Kholid bin Walid dipimpin oleh Kyai Amiruddin dan Wakilnya adalah Kyai Achmad Mursid yang bermarkas di Pesantren KH Arif – sekarang diasuh Kyai Muzakka -- Compakaan Sukorambi
e. Kompi V Umar bin Khattab dipimpin oleh Muslich yang bermarkas di Mumbulsari
5. Menetapkan kompi-kompi yang sudah ada di semua Batalyon
Pada tanggal 15 Nopember 1948 ada Surat Perintah Gubernur Militer/Panglima Divisi I Kolonel Sungkono Nomer 269/GMDT/48 yang ditanda-tangani oleh Overste Dr Suwendo tentang status Resimen Mujahidin dilebur kedalam Batalyon 25 Brigade III Damarwulan yang dipimpin Mayor Syafiuddin, sebagai Kompi IV yang dipimpin Sulthan dengan pangkat Letnan.

2. Serangan Umum melawan Belanda
Agresi Militer I Belanda mulai tanggal 21 Juli 1947.
Di Jember Belanda melakukan penaklukan sejak Selasa 22 Juli 1947 setelah melakukan serangan udara. Hizbullah, TKR, PPPR dan laskar lainnya meninggalkan kota dan melakukan perlawanan gerilya yang banyak dilakukan malam hari. Sultan dan pasukan Hizbullah ngungsi ke Ambulu.
Agresi Militer Belanda tesebut mengakibatkan kekosongan pemerintahan di Jember, karena Bupati R. Soedarman 24(periode tahun 1943 sampai tahun 1947) dan para pamong praja ditangkap Belanda. Lalu Belanda mengangkat Roekmoroto sebagai Bupati Jember tahun 1947 sampai tahun 1950, tetapi tidak diakui oleh rakyat.
Untuk itu para pejuang bermusyawarah membahas kekosongan pemerintahan di Hutan Wonowiri Curahnongko Tempurejo tanggal 3 Desember 1947. Yang hadir antara lain, KH. Dzofir, KH. Abdullah Shiddiq dan Arief Wignyosoemarto dari PPPR, Sulton Fadjar dari Hizbullah, Muntaha, Kelana, Letkol Prayudi Atmosoedirdjo/Komandan Resimen I TNI Teritorial Daerah Besuki, Musafan, KH Bakir, Pak Bondet, dan lain-lain.
Keputusan musyawarah adalah membentuk Dewan Siasat yang akan menetapkan siasat Militer, siasat Ekonomi dan siasat Politik dalam mengatasi kekosongan pemerintahan di Jember.
Tak berapa lama, Dewan Siasat berubah menjadi Central Comando Rakyat/CCR yang sering juga disebut sebagai Pemerintah Darurat Jember yang bermarkas di Hutan Wonowiri Cuahnongko Tempurejo. Struktur CCR adalah CCR Pusat Di Jember, CCR Sub Sektor, CCR Cabang di Tingkat Kawedanan, CCR Ranting/kebekalan di tingkat kecamatan dan CCR Desa. Formasi CCR Pusat adalah:
1. R. Joeswono Darmowinoto sebagai Bupati dan Said Hidayat sebagai Patih. Beliau dalam CCR sebagai Pamong Praja Usaha Resmi Pemerintah.
24 Bupati Jember II Soedarman gugur pertengahan tahun 1949 sebagai Pejuang dalam tahanan Belanda di Sidoarjo, Makalah Sulthan “Situasi Jember saat Proklamasi Kemerdekaan, 1 Agustus 1974

2. Arif Wignyo Soemarto dibantu Akhmad Mujahid dari PPPR sebagai Sekretaris yang dalam CCR menjabat sebagai Pamong Praja Usaha Rakyat
3. Sulthan Fadjar Njata dibantu Akhmad Zainuri sebagai Sekretaris dan dalam CCR menjabat sebagai Militer Usaha Rakyat.
4. Mayor Syafi‟udin sebagai Pimpinan Keamanan dan dalam CCR sebagai Militer Usaha Resmi Milik Pemerintah
Tugas CCR adalah mengisi kekosongan pimpinan pemerintahan, memimpin mobilisasi (pengerahan) rakyat untuk pertahanan umum baik tentang personil, materi, finansial, dan lain-lainnya. Dengan terbentuknya Pemerintahan Darurat ini maka roda pemerintahan lancer kembali walaupun dikendalikan dari hutan. Pamong Praja dan Pamong Desa datang berunding dan koordinas dengan CCR
Untuk mengobarkan perjuangan melawan Belanda maka pada tanggal 30 Desember 1947 CCR mengeluarkan komando Serangan Umum yang dilakukan serentak dan tiba-tiba ke kota Jember, Ambulu, Rambipuji dan Kencong.
Hari itu mulai jam 10 pagi, ribuan rakyat dan para pejuang termasuk para Kyai dan tentara dengan memakai ikat kepala berwarna merah-putih bahu-membahu menyerang pos-pos Belanda, perusakan jembatan dan penebangan pohon sehingga banyak fihak musuh yang tewas dan lari. Dikota Jember para pejuang sempat menduduki sebagian wilayah termasuk Kepatihan dan Jagalan dan begitup ula dikecamatan Ambulu, Kencong dan Rambipuji. Keesokan harinya secara serentak semua pejuang dan rakyat mundur dari wilayah pendudukan.
Dalam serangan umum tersebut gugur Muntaha seorang Ketua Regu Pemanah Hizbullah.

Beberapa kali para pejuang juga melakukan serangan di Karang anyar Ambulu serta Penghadangan di Gumelar Balung dan Karangsono Bangsalsari.
Tetapi, sayang tak lama kemudian Belanda tahu keberadaan Pemerintah Darurat, kemudian menyerbu Wonowiri sehingga Bupati, Patih dan para sekretaris CCR lari menyelamatkan diri. Sejak itulah CCR tidak efektif lagi.
Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947 menimbulkan reaksi hebat dari dunia Internasional. India dan Australia meminta PBB turun tangan. PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai wasit untuk melerai konflik Indonesia - Belanda. Australia yang mewakili Indonesia, Belgia yang mewakili Belanda dan Amerika Serikat yang dipilih pihak Australia dan Belgia sebagai pihak ketiga. Dipimpin KTN, Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan dikapal Renville tanggal 17 Januari 1848. Delegasi RI dipimpin Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin yang beraliran komunis dan fihak Belanda dipimpin oleh Abdul Qodir Widjojo Admodjo yaitu seorang Indonesia yang memihak Belanda sebaga resiko berlakunya Republik Indonesia Serikat.
Perjanjian Renville memutuskan :
a. Indonesia dan Belanda sepakat melakukan gencatan senjata/perdamaian dan Tentara Republik Indonesia ditarik mundur dari daerah yang telah diduduki Belanda.
b. Belanda hanya mengakui daerah Republik Indonesia atas Jawa Tengah, Yogjakarta, sebagian kecil Jawa Barat dan Sumatra.
Dengan keputusan perjanjian tersebut maka Jember termasuk daerah yang sudah diduduki oleh Belanda pada Agresi Militer I tahun 1947 sehingga pejuang yang ada di daerah kantong-kantong belakang garis Belanda termasuk Jember, harus di hijrahkan kedaerah Republik yaitu Blitar dan Tulungagung. 25
5. Mujahidin Hijrah
20 Desember 1947 diadakan pertemuan CCR di markas PPPR Curahlele Balung. Rapat tersebut merencanakan Serangan Umum yang telah diuraikan di atas. Selesai rapat Sulthan, H Sjech dan 11 orang pasukannya menuju Sruni Jenggawah menginap semalam di rumah Soedar (anggota Hizbullah). Keseokan harinya H. Sjech dengan 6 orang anak buahnya (Buchori Achmad, Mochammad Rojjan, Sutrisno, Sungkowo dan Suroto) berjalan kaki menuju Tegal Besar menjenguk keluarganya. Sesampainya di Cangkring terpergok Belanda di Cangkring sehingga terjadi saling tembak. H. Sjech terluka dikepala dan tertangkap, 2 orang stafnya (Sutrisno dan Rojjan) gugur dan yang lainnya melarikan diri menuju Curahnongko untuk melapor pada Sulthan sebagai Komandan.
Mendapat laporan tertangkapnya H Sjech, Sulthan bersama 5 orang (Syafi”I, Faqih, Kafrawi dan Moch Anshori) menuju ke Sruni Jenggawah untuk melakukan melacak peristiwa penangkapan. Tengah malam mereka mampir untuk minta minum kerumah pak Nawa di Jatisari. Setelah disuguhi minum air dan sesisir pisang, mereka ditangkap KNIL dan ditahan. Ternyata tuan rumah tega menjebak Sulthan dan kawan-kawan.

Digelandanglah mereka ke Tahanan sebelah timur alun-alun Jember. Sering mereka dipukul, setrum dan siksaan lainnya oleh Tentara Belanda.
25 Makalah Sejarah Perjuangan Hizbullah Karesidenan Besuki dan asal mula Kompi IV TNI Batalyon 25 Brigade Damarwulan, Januari 1950.

Untungnya, tak lama kemudian yaitu 25 Januari 1948 jam 09.00, Mayor Jendral Djatikusuma/Komandan Divisi V TNI sebagai Utusan Pemerintah Pusat yang didampingi Mayor Haryono MT. dari Mabes Angkatan Darat dan Letnan Noer Rohim menemui Pak Brahim alias Sulthon dan Pak Sam alias H Sjech (yang sedang ditahan Belanda) didampingi Mayor Van Brengen, Komandan KNIL atau komandan Batalyon Koninklijk Nederlands Indisch Leger XVIII di Jember, Major Willem C atau Opsir Penghubung dari Divisi A Surabaya dan Rukmoeroto atau Bupati Jember bentukan NICA atau Netherlands Indies Civil Administration.
Pembicaraan tertutup antara Kolonel Jatikusumo bersama 2 orang pengiringnya dengan H Syech dilakukan di rumah Major Brengen (Hotel Djember yang persis di muka Penjara), di antaranya sebagai berikut:
Jatikusumo: Saya mendapat Perintah dari Panglima Besar Jendral Soedirman untuk mengadakan pembicaraan dengan Perwira TNI yang bertanggung-jawab (maksudnya Wilayah Besuki), di antaranya Letkol Prajudi (Komandan Resimen), Letkol Soewito dan rekan-rekan yang sedang melakukan perang gerilya, bersama dengan Opsir Tentara Belanda yang berkompeten tentang pemecahan dan cara-cara untuk penarikan pasukan bersenjata dari daerah kantong yang dikuasainya,.dan senjatanya dipindahkan. Supaya sebagian besar Pejuang dan senjata yang bagus disimpan baik. Mau tidak mau nanti kita toh kembali untuk berperang lagi.26
Kemudian Sulthan dan H. Syeh dibebaskan dari tahanan dan ditugaskan menemui para Pejuang yang bersembunyi di desa dan gunung khususnya menemui Letkol Prajudi, Letkol Soewito, KH. Dzofir dan KH. Abdullah Shiddiq.
Walaupun hati pejuang sulit nrimo keputusan hijrah, tetapi demi patuh pada Pimpinan di Jakarta yang menjaga kesatuan perjuangan maka dilakukan juga hijrah. Dengan pengawalan PPPR dan TNI, pada tanggal 29 Januari 1948 para pejuang berjumlah sekitar 400 orang melakukan hijrah ke Tulungagung diantaranya adalah KH Hamid Wijaya, Sulton Fajar, H Syech, dan lain-lain. KH. Dzofir bersikap tidak ikut hijrah dan kembali mulang ngaji di Pondok, begitu juga KH. Abdullah Shiddiq sembunyi di Balung dan KH. Shodiq Mahmud sembunyi di kota Jember.
Selama perjalanan sehari penuh lalu sampai di Kepanjen Malang yang diterima Pabitia Penerimaan Hijrah dipimpin Letkol Sudarsono. Beberapa hari di Kepanjen lalu melanjutkan perjalanan ke Tulungagung yang disambut gembira oleh Panitia Hijrah yang dipimpin Wedana Kota Tulungagung, Supardi bersama KH. Achmad Shiddiq sebagai perwakilan PPPR/Mujahidin disana. Logistik dibantu juga oleh Panitia Hijrah Pusat, Arudji Kartawinata sehingga cukup untuk sebulan dipengungsian. Di tempat pengungsian yang menempati lokasi Pesantren KH Mujib (mertua KH Achmad Shiddiq) kemudian dijadikan markas Resimen Mujahidin di Tulungagung.
26 Tulisan Sulthan tentang Mengenang Pertemuannya dengan Mayor Jendral Jatikusumo, 25 Januari 1975

4. Mujahidin Memberantas PKI Madiun
Perjanjian Renville banyak ditentang rakyat sehingga Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin mundur dan menyerahkan mandat Perdana Menteri pada Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta. Hatta membentuk kabinet tanpa menyertakan kelompok sosialis dan didukung PNI dan Masyumi. Hatta melaksanakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang/RERA untuk menormalkan TNI yang telah dikacaukan Perdana Menteri Mr Amir Syarifuddin. RERA banyak memangkas kekuatan komunis di TNI sehingga Mr Amir Syarifuddin, Muso dan kelompok komunis kecewa terhadap RERA dan kemudian memberontak pada tanggal 18 September 1948 yang terkenal sebagai Peristiwa Madiun.
Secara diam-diam Federasi Demokrasi Rakyat/FDR yang berafiliasi ke PKI menyiapkan kekuatan rakyat bersenjata secara illegal dan melakukan insiden berdarah di Delanggu, Solo, Tulungagung, Kertosono, dll. Bahkan di Solo terjadi penculikan beberapa tokoh masyarakat sehingga situasi social politik bertambah panas.
Melihat situasi Solo yang mencekam, Sulthan bersama beberapa orang staf Mujahidin yang saat itu ada di Solo cepat-cepat menuju Tulungagung sebagai Markas Hijrah Mujahidin dengan berjalan kaki. Di tengah jalan Sulthan bersama seorang anggota memisah ke Gorang Gareng Magetan menjumpai ayah angkatnya, Wiro Sugito.
Di rumah Pak Wiro bertemu juga dengan Pak Rofi‟I Cipto Martono (Adik Pak Wiro Sugito dan sebagai Wedana Gorang Gareng) yang menasehati “agar jangan menginap dan segera pergi karena situasi tidak aman. Siang dan malam banyak terjadi perampokan, pembunuhan dan penculikan oleh gerombolan PKI. Saya tidak sempat mengurus pemerintahan karena disibukkan dengan insiden berdarah tersebut”.27 Jadilah berjalan terus dan akhirnya menginap di hotel di Kota Madiun. Perjumpaan dengan Pak Wiro dan Pak Rofi‟I tanggal 15 September 1948.
Keesokan harinya sampai di Markas Tulungagung dan tak lama kemudian datanglah KH Muslich (Komandan Hizbullah Banyumas) betamu kemarkas. Mereka berbincang-bincang tentang “kemungkinan PKI akan melakukan Kudeta pada Pemerintah dengan kekuatan bersenjata. Penculikan, pembunuhan dan perampokan ini sengaja dibuat PKI untuk mengacaukan masyarakat sehingga Pemerintah tampak lemah”.
Tanggal 18 September 1948 jam 02.00 tengah malam, mendadak Major Zainal Fanani KMK (Komando Militer Kabupaten) Tulungagung memanggil semua Komandan kesatuan Gerilya termasuk Sulthan dan H. Sjech Untuk rapat komando. Diberitahukan bahwa “saat ini Muso dan Amir Syarifuddin (FDR/PKI) melakukan Kudeta dengan mendirikan Negara Sovyet Indonesia yang berpusat di Madiun. Banyak Anggota TNI, Lasykar, Pamong Praja, Kyai dan Tokoh Masyarakat yang ditangkap dan dibunuh”. Kemudian beliau membagikan Selebaran Surat Perintah yang isinya adalah seluruh lasykar harus bergerak untuk membasmi Pemberontakan FDR/PKI tersebut. Resimen Mujahidin ditugasi melokalisir gerakan pasukan pemberontak didaerah perbatasan antara kabupaten Blitar – Tulungagung sebelah Timur, Kabupaten Ponorogo sebelah Utara – Tulungagung dan kabupaten Pacitan – Tulungagung sebelah barat.
Malam itu juga Sulthan membagi pasukan yaitu: Pasukan Moch Siradj ditempatkan di Ngunut (perbatasan Tulungagung – Blitar), Pasukan Soekarso dan Syafiuddin
27 Pak Rofi’I Ciptomartono kemudian dibunuh PKI secara kejam dan dimasukan dalam sumur pada Peristiwa Berdarah Madiun September 1948ditempatkan di Trenggalek dan Dongko (perbatasan Ponorogo – Pacitan). Semua Pasukan tersebut dikoordinir oleh Buchori Achmad. Yang tugasnya melokalisir gerakan PKI. Selain itu, sepasukan Gerak Cepat dipimpin Sulthan yang tugasnya membebaskan daerah Ngantru dan Keras Kabupaten Tulungagung dari pendudukan Pasukan Pemberontak Batalyon II pimpinan Maladi Yusuf. Ia bagian dari kesatuan Brigade 29 yang dipimpin Kolonel Dahlan.
Tanggal 19 September 1948 sesudah Sholat Subuh, Sulthan bergerak dengan kekuatan 2 Peleton bersenjata lengkap menyusuri kampung-kampung menuju Ngantru.
Suasana rakyat tenang dan biasa terkesan tidak tahu yang sedang terjadi sehingga pasukan lewat dianggap latihan biasa. Sesampai pertigaan desa Ngujang tampak 6 orang Pasukan musuh sedang tidur pulas di Pos Jaga.
Langsung mereka disergap dan dilucuti senjata dengan mudah. Mereka mengaku “dari pasukan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang beraliran komunis Kompi I Pimpinan Kapten Farhan yang bermarkas di Ngantru.
Markas Batalyon II di Pabrik Kertas Keras”
Pasukan Mujahidin berposisi di sela-sela gundukan Kuburan Cina disekitar rel kereta api sebelah selatan sungai Brantas, sambil mengawasi lalu lalang orang-orang PKI yang melarikan diri karena dikejar Pasukan Republik.
Seorang Kurir yang menyamar menghubungi Camat Ngantru (yang sudah dikenal Sulthan) agar membantu mengawasi Pasukan Pemberontak yang berada di Ngantru.
Saat itu Ngantru sudah dikepung Pasukan Republik yaitu Pasukan Kapten Hutagalung dari Utara, Batalyon Pimpinan Major Harsono dari barat, Batlayon Major Muzajin dari timur dan Resimen Mujahidin pimpinan Sulthan dari selatan. Tapi pada jam 14.00, satu regu kurir Pemberontak bawa bendera merah putih berbaris menuju pasukan Mujahidin untuk berunding tentang gencatan senjata tanda menyerah dengan dead line 20 September 1948 jam 05.00.
Ternyata kesokan hari jam 04.30 Musuh ingkar dan mulai menembaki pasukan Mujahidin, sehingga terjadi baku tembak yang hebat disekitar rel. Perang terjadi hingga sampai jam 19.00 dan pasukan musuh melarikan diri kearah Gunung Wilis antara Kediri – Madiun. Banyak senjata yang tersimpan dalam 2 gudang sehingga menjadi rampasan yang disimpan di markas Mujahidin Tulungagung. Selama 15 hari dilakukan pemulihan oleh Pemerintah setempat terhadap sisa pengikut PKI.
Pertengahan Oktober 1948 Pasukan Gerak Cepat Mujahidin Pimpinan Sulthan bersama pasukan Soekarso dan Syafiuddin yang semula ditempatkan di Trenggalek dan Dongko, diperintahkan KMK bergerak ke Kawedanan Panggul kabupaten Pacitan, untuk membebaskan daerah tersebut dari penguasaan Batalyon Pemberontak pimpinan Major Panjang Joko Priono. Pasukan Batalyon Siliwangi pimpinan Achmad Wiranata Kusuma sendiri sudah menguasai Pacitan tetapi kesulitan memasuki Panggul.
Sesampai di Panggul, Mujahidin diposisi diatas bukit sebelah timur sungai desa Dongko dan musuh di daratan rendah. Banyak rakyat biasa dengan memakai ikat kepala janur dan bersenjata tajam membantu musuh. Tanpa perlawanan yang berarti Mujahidin memasuki wilayah kawedanan Panggul yang ternyata semua rumah, kantor, sekolah, asrama polisi dan pasar sudah kosong semua tanpa penghuni seorangpun kecuali hewan ternak yang bebas berkeliaran. Kemudian Gedung-gedung Pemerintah yang kosong ditempeli tulisan “Barang siapa yang membuka pintu bangunan pemerintah tanpa izin  Mujahidin, dihukum tembak ditempat” dan 2 hari semua pasukan istirahat di hotel yang cukup besar tapi kosong. Setelah berteriak memanggil tak ada satupun rakyat yang muncul lalu dilakukan teriakan Adzan saat akan Sholat. Barulah mulai muncul turun dari gunung satu persatu rakyat dengan wajah agak ketakutan tapi penasaran. Lalu muncul pula Pak Kusno (Wedana), Pak Musmantri (Camat), Mantri Polisi, Guru dll. Sulthan : Pergi kemana saja dan sebab apa?
Rakyat : Disuruh Pemimpin Tentara Rakyat (maksudnya Pemberontak) agar meninggalkan tempat karena Belanda dating Sulthan : Siapa yang Belanda? Sekarang mengapa kembali?
Rakyat : Pasukan Bapak. Dan kami turun karena dengar Adzan. Mustahil Belanda adzan Kemudian dijelaskan tentang identitas Mujahidin dan tugasnya membasmi PKI sehingga mereka faham bahwa selama ini telah dibohongi PKI. Dan sejak itu kegiatan masyarakat pulih kembali seperti sedia-kala.
Suatu saat ditulis pamflet yang ditempelkan di desa-desa terpencil yang bunyinya “agar kaum Pemberontak dalam waktu singkat menyerahkan diri pada markas Komando. Jika terlambat akan dilakukan tindakan tanpa mengenal kompromi”. Dan ternyata banyak anggota PKI, Tentara Rakyat dan tokoh Pemberontak yang menyerahkan diri. Dari tangan mereka ditemukan surat pengumuman yang diteken Major Panjang Joko Triono berbunyi “Batalyon Tentara Rakyat kami bubarkan karena tidak mampu menghadapi Pasukan Mujahidin yang sedang beroperasi di sini. Masing-masing dapat pesangon Rp 200 (ORI) dan menyelamatkan sendiri-sendiri”.

Operasi pembersihan PKI dilanjutkan kedesa-desa di wilayah kabupaten Pacitan Sudimoro, Besuki, Bodok, Tulakan, Nglorok dan Tegal Ombo. Sebanyak 68 senjata hasil rampasan dan ratusan anggota Tentara Rakyat dan anggota PKI kenudian diserahkan pada Komandan Batalyon Siliwangi Achmad Wiranata Kusuma. Selain itu banyak pula pembebasan putrid-putri anggota Palang Merah dan orang-orang yang ditawan Pemberontak.
Setelah operasi tersebut Komandan Resimen Mujahidin menghadap Bupati Subekti melaporkan hasil operasinya.
Awal bulan Desember 1948 Pasukan Mujahidin ditarik mundur ke markas Tulungagung.28
Bersamaan itu RERA terus dilakukan sehingga pada tanggal 15 Nopember 1948, Gubernur Militer/Panglima Divisi I Kolonel Sungkono membuat Surat Perintah Nomer 269/GMDT/48 yang ditanda-tangani oleh Overste Dr Suwendo tentang perobahan status Resimen Mujahidin yang dilebur kedalam Batalyon 25 Brigade III
Damarwulan yang dipimpin Mayor Syafiuddin, sebagai Kompi IV yang dipimpin Sulthan dengan pangkat Letnan.
5.Long March Kembali Ke Jember
Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 adalah pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Renville. Saat itu Sulthan dan sebagian Pasukan Mujahidin (yang berobah nama menjadi Kompi IV Mujahidin dalam kesatuan Batalyon 25 Brigade Damarwulan Pimpinan Major Syafiuddin) masih di Tulungagung. Saat itu Sulthan dikontak Major Syafiuddin yang bermarkas di Wlingi Blitar dan diperintahkan segera kembali ke Jember.
28 Makalah Sulthan tentang Sejarah Operasi Militer Mujahidin terhadap Kesatuan Pemberontakan FDR/PKI
Madiun tanggal 18 September 1948, tanpa tahun penulisan.

Pada tanggal 23 Desember 1948 berangkatlah Sulthan ke Kediri berkumpul lengkap dengan Pasukan Mujahidin yang lain sehingga lengkap berjumlah sekitar 250 orang. Keesokan harinya jam 08.00 berangkatlah Pasukan Mujahidin Ke Wlingi Blitar untuk bergabung dengan kesatuan Batalyon 25. Ternyata tepat saat itu pula Belanda masuk ke Kediri. Perjalanan kaki Kompi ini melalui Wates terus ke Perkebunan persil Bulu daerah Nglegok (sebelah timur kota Blitar). Di Bulu ini satu granat tangan meledak sehingga menewaskan Sersan Sugeng dan Sersan Masduk serta 17 orang Prajurit luka-luka. Penguburan 2 mayat tersebut di belakang masjid kecil didesa tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke Wlingi tetapi Batalyon 25 sudah berangkat lebih dahulu, lalu dilanjutkan ke Bantur Malang Selatan. Di Bantur bertemu dengan Residen Malang Sukartono yang sedang inspeksi ke Bantur sehingga dapat saling tukar informasi tentang situasi wilayah saat itu. Di Bantur satu granat meledak lagi sehingga tewas 4 orang Prajurit dan 8 orang Prajurit lain luka-luka. Penguburan 4 mayat tersebut mendapat penghormatan masyarakat yang luar biasa.
Saat itu tanggal 7 Desember 1948, perjalanan dilanjutkan melintasi Garis Demarkasi/Perbatasan antara Sumber Culing (Wilayah RI) dengan Lebakroto (Wilayah Pendudukan Beland) ternyata kosong dari penjagaan Belanda. Konon kabarnya mereka ditarik ke Pasirian dan Tempeh.

Pada tanggal 10 Agustus 1949 terjadi Gencatan senjata hasil Perundingan Roem-Royyen. Sesudah itu Kompi IV ditempatkan pada Asrama di Pringtali Mayang dan selanjutnya Komandan Brigade Damrwulan menugaskan Kompi IV mengatur keamanan sector Kawedanan Mayang dengan Pimpinan baru Letda Jazid.

B. PAK BURAH
1. Pada Tahun 1945
Pada tahun 1945, Pak Burah itu belum terkenal.
Terkenal setelah aksipolisionil yang ke dua. Pada waktu itu bukan lagi antara tentara musuh tentara; akan tetapi, suda berwujud rakyat yang secara total melawan pihak colonial.
Semua harta kekayaan rakyat saat itu digunakan untuk perjuangan melawan Belanda.
Saat itu sudah menerapkan pertahanan dengan system pertahanan rakyat semesta. Oleh karena itu, dapat dikatakan system ini terinspirasi dari perjuangan rakyat semesta pada saat melawan Belanda pada tahun 1945.
Pak Burah termasuk dari rakyat. Awalnya Pak Burah itu penakut. Waktu ia berjalan di Jatian (dulu masuk kalisat, sekarang masuk Pakusari) itu berjalan bukan di jalan besar, tapi di selokannya. Beliau dapat dikatakan begitu bodoh dan penakut. Pendidikan yang diperoleh pun hanya pendidikan agama, yang ia peroleh di Surau.
Beliau berani bukan karena wataknya yang pemberani, akan tetapi beliau berani karena jihad secara betul-betul demi membela Negara. Pejuang dulu itu tidak mempertimbangkan mati dan hidup dalam perjuangan.
29 Tulisan tersebut banyak menyadur dari beberapa Makalah Sulthan untuk menjaga orisinalitas

Yang dipikirkan oleh kaum pejuang hanyalah kemerdekaan.
Doktrin kyailah yang sangat berpengaruh pada para pejuang. Termasuk kepada Pak Burah. Kyai bilang bahwa “mati merebut kemerdekaan adalah mati sahit, dan mati sahid hukumnya surga, sehingga tidak ada yang ditakuti”30. Doktrin inilah sekali lagi yang membuat Pak Burah sangat berani; sehingga  setiap perang dia berada di garda paling depan.

Suatu ketika terdapat kejadian, Pak Burah naik ke pohon bambu menunggu truck belanda lewat. Setelah truck Belanda lewat, beliau meloncat, kemudian semua pasukan Belanda itu disabeti dengan senjata tajamnya.
Belanda banyak yang mati dan Pak Burah tidak apa-apa.
2.Gugurnya Sang Pemberani
Ketika pasukan rakyat banyak yang hijrah ke Blitar dan Tulungagung, Pak Burah tidak ikut. Beliau tetap di Jember, memimpin perang untuk anak buahnya.
Akhirnya, tidak ada kekuatan sama sekali. Terjadilah peristiwa pada hari Jumat, di Desa Karang Kedawung Mumbulsari. Beliau masih sempat ke Masjid. Beliau tidak lari, tetap saja t8inggal/diam di masjid.
30 Keterangan ini di sampaikan oleh Pak Tarwi pada tanggal 19 Nopember 2006. Beliau seorang anggota PETA
dengan pangkat Sersan Mayor. Saat ini berumur 82 tahun dan masih hidup, tinggal di Mayang Jember.
Setelah menjalankan ibadah haji nama Pak Tarwi diganti H. Saiful Akbar
Pak Burah saat dibakar sehingga wafat oleh Tentara KNIL Belanda

Beliau mengatakan “dari pada saya lari dari Belanda, lebih baik lari kepada Allah”31.
Oleh Belanda di depan pohan mangga diberi tambang, dari takutnya, sehingga, ada tentara yang berkomentar tentang Pak Burah, dia itu seorang pemberani. Setelah itu Pak Burah keluar dari Masjid, kemudian di tembak oleh Belanda. Meskipun, Pak Burah telah meninggal, tapi Belanda pun masih takut, karena ada anggapan Pak Burah dapat hidup lagi dan sebagainya.
Setelah meninggal, jasad beliau di bawa ke Desa Jatian. Di Desa Jatian tersebut jasad Pak Burah ditaruh di dalam tumpukan kayu, kemudian diBakar oleh Belanda. Jasad Pak Burah jadi abu dan dimakamkan di situ bersama abunya. Setelah dibakar reaksi masyarakat marah tapi dipendam di dalam dada.
Catatan lain Pak Burah termasuk pasukan Mujahidin.
Beliau pernah berguru pada Kyai Abu di Jatian Suboh.
Kyai Abu itu banyak muridnya. Istrinya masih hidup dan hidup secra kekurangan. Kerja di Persil di Silo. Pak Burah itu tidak punya putra.
3.Rute Perjuangan
Daerah juang Pak Burah ada di Jember bagian timur.
Yakni, daerah Mayang-Mumbulsari. Bahkan ketika beliau tertangkap juga di Mumbulsari di Desa Karang Kedawung.
Hanya memang pada Sifat-sifat Keteladanan
31 Idem
Tugu peringatan wafatnya Pak Burah

1. Seorang yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap garis perjuangan.
2. Seorang yang taat beragama.
3. Pemberani.

C. H. SYECH
a. Zaman Perjuangan
H. SYECH adalah seorang pendekar Jember dar keluarga terkaya yang termasuk peduli terhadap perjuangan. Salah satu bukti yang dapat menunjukkan hal ini adalah Pondok Asshiddiq itu merupakan wakaf dari ayah dari H. Syech, yang bernama H. Alwi.
H. Syech pada saat revolusi kemerdekaan belum pernah ikut dilatih sebagai militer. Tidak seperti P. Sulthon yang pernah ikut latihan kemiliteran.
Hanya bekal kependekaran
Beliau merupakan tokoh yang ahli silat.
Kemudian H. Syech bergabung dengan P. Sulthon (Sulthon Fajar), sebagai komando Hizbullah. P. Sulthon butuh orang, diangkatlah H. Syech sebagai Letnan Satu. Pengangkatan seperti ini mudah, karena masa revolusi. Pada saat itu pangkatnya Letkol.
Pada saat Agresi I, P. Sulthon dan H. Syech di tangkap di Rambi Puji. Menjelang Agresi II terdapat perjanjian, P. Sulthon dan H. Syech masih di penjara, kemudian di bebaskan. Dibebaskannya kedua tokoh tersebut, karena satu-satunya tokoh pejuang yang dapat menghubungi gerilyawan di desa adalah P. Sulthon dan H. Syech. Dan, dihubungilah gerilyawan itu, di antaranya Kyai Abdullah Shiddiq (P.Jimun) dan Letkol Sroedji. Terjadilah perjanjian di Hotel Jember (sekarang menjadi gedung BRI).
Setelah perjanjian itu, kedua tokoh tersebut hijrah ke Tulungagung. Menurut pengakuan orang Tulungagung, kalau tidak ada Mujahidin pada saat pemberontakan PKI, Tulungagung dapat dikatakan tidak dapat dibaca seperti saat ini Tulungagung akan dikuasai komunis. Sampai sekarang, P. Sulthon dan H. Syech oleh orang Tulungagung dikenal sebagai pahlawan. Lalu meledak yang namanya pemberontakan PKI Madiun. P. Sulthon dan H. Syech masih di sana.
Peristiwa ini terjadi pada masa Kabinet Sukiman.
Kemudian ada perintah untuk menangkap dan membunuh orang PKI, karena PKI telah membunuhi kita.
UNtuk menjalankan hal ini terdapat sembilan tokoh yang di bai‟at, antara lain:
a. KH. Dzafir;
b. Kyai Amiruddin;
c. H. Durrahman;
d. Sulthon Fajar;
e. Ustadz Toyyib;
f. H. Syech;
g. Kyai Abdullah Shiddiq;
h. Mat Rais.
Tentang Mat Rais itu sendiri merupakan satu-satunya orang DI yang dapat masuk tentara, dengan pangkat Letnan. Satu-satunya orang yang dapat menaklukkan H. Syech adalah Mat Rais. Mat Rais menangkap H. Syech di Pring Tal (Mayang).
32 Hal tersebut dituturkan P. Sholeh pada tanggal 12 Oktober 2006. P. Sholeh sendiri adalah seorang saksi sejarah perjuangan kemerdekaan di Jember.

Untung ada laporan kepada P. Sulthon, akhirnya yang rencana semula H. Syech akan dibunuh jam 9 pagi, tidak jadi karena P. Sulthon dating sebagai komandan memerintahkan untuk melepaskan H. Syech.
Peristiwa penangkapan atas H. Syech itu sendiri terjadi karena terdapat perbedaan antara H. Syech dengan Mat Rais. Mat Rais berkiblat ke Kyai, sedangkan H. Syech tidak mau. Hal itu merupakan wujud perbedaan orientasi perjuangan. Saat itu, Mat Rais dan Kyai Dzafir memakai janur kuning, tapi oleh H. Syech hal ini di hina; sehingga, membuat Mat Rais tersinggung dan bermaksud membunuh H. Syech tersebut.
H. Syech meninggal tahun 1976, dimakamkan di Gebang di Makam keluarga (di Cukik). Menurut penuturan P. Sholeh, H. Syech tiga bulan lebih muda dari KH. Mahfudz Sidiq33.
c. Rute Perjuangan
Rute gerilya H. Syech meliputi, antara lain:
a Rembangan;
b. Sumbersari;
c. Karang Kedawung;
d. dan jalur selatan (Gunung Semeru, Blitar, Tulungagung).
d.Sifat Keteladanan
Sifat-sifat beliau, antara lain:
a. Konsisten,
b.Perikemanusiaan (humanis);
c. Nasionalisme tinggi;
33 Penuturan ini sebenarnya disampaikan H. Syech kepada P. Sholeh, kurang lebih setengah tahun sebelum H. Syech meninggal

BAB VII
PROFIL PEJUANG NON-ORGANISASI PERJUANGAN
A. KH. UMAR

Kyai Umar, begitulah santri dan masyarakat memanggilnya. Ia lahir dengan nama kecil Abdul Mushowwir pada tahun 1904 di desa Suko Jember Kec. Jelbuk dari pasangan Kyai Achmad Ikram dengan Nyai Aminah. Sejak kecil ia Pemberani dan senang mencari ilmu sehingga Pamannya mengajak mondok pada KH. Abdul Hamid bin Itsbat di Banyuanyar, Pamekasan.
Kemudian mondok lagi ke Kyai Sukri di Pondok Raudlotul Ulum, Sumberwringin Sukowono, Kyai Ali Wafa di Pondok Al Wafa, Tempurejo (tahun 1925), ke KH Chozin di Pesantren Ya‟kub Hamdani Siwalan Panji Sidoarjo.

Setelah beribadah hajji Mushowwir mengganti nama KH Muhammad Umar alias Kyai Umar menikah dengan Nyai Hj Shofiyah binti KH Sukri dan dikaruniai 5 anak yaitu Nyai Hj. Masturoh, KH. Khotib Umar, KH. Muzammil Umar, KH. Misbah Umar dan KH. Lutfi Umar.
Saat KH. Umar memimpin Pesantren Roudlotul Ulum, melanjutkan kepengasuhan setelah mertuanya (KH Sukri) wafat, santri bertambah banyak. Pada masa Agres Militer Belanda I tahun 1947, fungsi kamar pesantren tak hanya didiami santri saja karena ada 250 pejuang TNI dari Batalyon 26 dari Brigade Damarwulan pimpinan Major EC Magenda yang juga tinggal berbaur dengan santri.

Kyai Umar mendidik ngaji para santri dan santri pejuang pada siang hari tetapi pada malam hari, mereka bergerilya dengan sandi KANTRI (Pasukan Tentara Republik Indonesia) termasuk sersan Bahrail bersama 150 personil tentara teman diantaranya kapten Jedut Muhammad Yusuf (ajudan Major Magenda), Lettu Saleh Hasan (Komandan Kompi VI, Letnan Soetarjo, Letnan Kabul Syamsul Arifin (Komandan Kompi III), Sersan Wasis, Sersan Suwarno, Kopral S. Atmo (Komandan Sektor Sumberwringin dan bagian propaganda) berbaur dengan santri di Pesantren. Bahkan Letkol Imam Soekarto (Kepala Staf Brigade Damarwulan)-pun sekamar dan sepiring dalam makan dengan Nachrowi. 34 Interaksi santri dengan Pejuang menjadikan santri banyak yang ikut berjuang di antaranya adalah Nachrowi yang pernah berjuang di Mujahidin.
Peralatan perang digunakan secara bergantian karena jumlahnya yang minim bahkan ada yang hanya bersenjata tajam saja. Namun semangat perangnya bergelora kuat sekali karena selesai sholat berjamaah, KH Umar menyampaikan pengajian yang berkaitan dengan perang. Selain itu ditekankan pada santrinya agar jangan mengambil harta yang ditinggal ngungsi pemiliknya.
Selain itu kiai juga mengajarkan bacaan do‟a yang dibaca santri pada saat akan menghadapi musuh atau membaca amalan tersebut pada waktu sehabis sholat dan sebelum tidur.
Itu terbukti belanda pernah masuk dan mencari para pejuang yang sembunyi di Pesantren akan tetapi dengan taktik dan pertolongan Allah para pejuang selamat dan Belanda pulang dengan tangan kosong .
34 Letkol Imam Soekarto lahir di Sukowono dan pada tanggal 15 Februari 1950 memberikan kenangan penghargaan kepada KH Umar atas bantuannya kepada TNI.
KH Nachrowi, adalah Pengasuh Pesantren Maqnaul Ulum Balet Baru Sukowono.

c. Mempunyai sifat keteladanan tidak mau bergantung pada pemerintah. Hal itu ditunjukkan beliau melarang anak buah yang sekitar 164 orang yang masih hidup (yang sudah menjadi veteran) itu untuk minta dana pensiunan pada pemerintah. Kyai Bakir sendiri yang akan memberikan dana pensiunan itu. Meskipun demikian, terdapat empat anak buah beliau yang minta dana pensiunan pada pemerintah. Tapi itu dilakukan setelah Kyai Bakir wafat. Selebihnya tetap tidak mau minta dana pensiunan pada pemerintah. Beliau merupakan tokoh yang tidak primordial.
Meskipun, Kyai Bakir banyak dikenal masyarakat sebagai tokoh SI, tapi beliau tidak SI sentries. Dalam artian, beliau adalah sosok yang terbuka kepada siapapun. Sikap ini diambil, karena beliau memandang bahwa organisasi itu hanyalah baju; karena baju, maka bukan segala-galanya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rohman , Guru Ngaji, Masyarakat dan Pemimpin
Yang Baik, Lisantara, 2007, BN Marbun. 1992.
Pemerintahan Jepang di Indonesia. Jakarta
Soewito, Irna H.N. Hadi. 1994.
Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian I. Jakarta:
Grasindo
------------------------------. 1994.
Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian II. Jakarta:
Grasindo
------------------------------. 1994.
Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan Bagian III. Jakarta:
Grasindo Kurasawa, Aiko. 1993.
Mobilisasi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press
Huda, Afton Ilman. 2005.
Thariqah Sang Kyai. Jember: UIJ-Alfattah
----------------------. 1997.
Biografi Mbah Shiddiq. Jember:
Al-Fattah Press
Nugroho Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro 1977.
Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nurhadi Sasmita. 1987.
“Perlawanan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur Terhadap
Agresi Militer Belanda II di Blitar Tahun 1948 - 1949
Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember.
Sardjono. 1985.
Perlawanan Brigade Damarwulan Terhadap Agresi Militer Belanda II di Karesidenan
Besuki, Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember.

Soehino. 1980.
Perkembangan Pemerintahan di Daerah.Yogyakarta : Liberty. Soetojo. R. 1983.
Lintasan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah Jember, Sekilas Perjoangan
Rakyat di Daerah Jember dan Sejarah Kompi-1 Batalyon 25/509. Jakarta: Mars-26.
Suprapto, H.M. Bibit. 2003.
Buku Pintar Nahdlatul Ulama.Malang:NU
Hoeve, W.Van. 1950 . Ensiklopedi Indonesia. Bandung
Latief, KHM, Hasyim. 1995. Laskar Hizbullah.Jakarta:LTNNU
Mashoed.H.2004. Sejarah dan Budaya Bondowoso Surabaya: Papyrus
Gandhi, Leela.2001.
Teori Poskolonial. Yogyakarta:Qolam Piliang, Yasraf Amir. 2004.
Posrealiatas Kebudayaan. Bandung:JS
Halim Soebahar,d