Senin, 20 Mei 2019

BUKU Korupsi di Indonesia



KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi

Definisi korupsi
     Menurut Poerwadarmina, Pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya yang dapat dikenakan sanksi hukum atau pidana.
     Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 31 Tahun 1999,
     Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Masalah korupsi di Indonesia

Peringkat Korupsi Negara Anggota ASEAN

(makin kecil angkanya, makin kecil korupsinya)

Singapura - Peringkat 7 dari 175 Negara

     Negeri singa laut ini sejak lama dikenal minim korupsi. Dari tahun ke tahun Singapura nyaris tak pernah absen dari daftar 10 besar negara terbersih di dunia. Namun begitu beberapa sektor tetap dianggap rawan korupsi, antara lain media, industri dan partai politik.

Malaysia - 50 dari 175

     Praktik korupsi di Malaysia didorong oleh sistem pemerintahan. Sumbangan buat partai politik misalnya, baik dari perusahaan maupun individu, tidak dibatasi dan partai tidak diwajibkan melaporkan neraca keuangannya secara terbuka. Kendati bergitu sejak 2013 Malaysia naik tiga peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi milik Transparency International.

Thailand - 85 dari 175

     Pertalian erat antara politik dan bisnis dinilai menjadi sumber ter-besar praktik korupsi di Thailand. Tidak jarang posisi puncak di ke-mentrian diambilalih oleh pengusaha yang bergerak di bidang yang sama. Thailand juga termasuk negara yang paling sedikit menjebloskan koruptor ke penjara.

Filipina - 85 dari 175

     Pemerintah negeri kepulauan di tepi laut Cina Selatan ini telah berbuat banyak buat mencegah praktik korupsi. Hasilnya posisi Filipina melejit dari peringkat 94 tahun 2013 lalu ke posisi 85 di tahun 2014. Pencapaian tersebut tergolong apik, mengingat tahun 2011 Filipina masih bercokol di peringkat 129 dari 175 negara.

Indonesia - 107 dari 175

     Indonesia berada di peringkat 114 tahun 2013 silam. Dibandingkan negeri jiran yang lain seperti Filipina, pemerintah di Jakarta masih ter-golong lambat memberantas praktik korupsi di tingkat pejabat tinggi negara. Sejak awal berdirinya 2004 silam, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tercatat cuma mampu menangani sekitar 660 kasus dugaan korupsi, yang membuahkan 322 tuntutan di pengadilan.

Vietnam - 119 dari 175

     Negara komunis Vietnam adalah satu dari sedikit negara ASEAN yang tertinggal di bidang penanganan korupsi. Uniknya sebagian besar kasus dugaan korupsi di Vietnam terjadi di sektor swasta. Baru-baru ini empat pejabat perusahaan kereta api negara dipecat lantaran terlibat dalam kasus suap senilai 758.000 US Dollar. Maraknya korupsi menjadi alasan rendahnya keterlibatan investor asing di Vietnam.

Laos - 145 dari 175

     Laos tidak cuma tertinggal, malah merosot dari peringkat 140 di tahun 2013 ke posisi 145 tahun lalu. Pemerintah Laos berupaya menghadang gelombang korupsi dengan mendirikan lembaga anti rasuah 2011 silam. Namun hingga kini belum tercatat adanya kasus korupsi besar yang masuk ke pengadilan.

Kamboja - 156 dari 175

     Sejak 2010 pemerintah Kamboja memiliki Undang-undang Anti Korupsi. Tapi perangkat hukum tersebut dinilai tidak melindungi individu yang melaporkan kasus korupsi. Pelapor bisa dihukum penjara jika tudingannya tidak terbukti. Selain itu Kamboja juga mencatat jenis korupsi paling barbarik, yakni menyuap aparat negara untuk melakukan penculikan dalam bisnis perdagangan manusia.

Myanmar - 156 dari 175

     Negara yang dikenal dengan nama Burma ini memperbaiki posisi satu peringkat dari 157 ke 156 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2014. Berada di bawah kekuasaan militer yang korup selama berpuluh tahun, Myanmar yang kini berada di bawah pemerintahan sipil masih kesulitan menanggulangi maraknya korupsi. Sebanyak 60% perusahaan, baik lokal maupun internasional, mengaku harus menyuap buat mendapatkan izin.
Penulis: rzn/hp
BERIKUT INI ADALAH 13 KASUS KORUPSI TERBESAR DALAM SEJARAH BANGSA INDONESIA.
1. KASUS EDY TANSIL kerugian Negara US$ 565 juta atau sekitar 5,3 Trilyun Rupiah Kurs sekarang atau sama dengan 5.300 Milyar atau sekitar 5.300.000 juta rupiah atau sebanyak 106 juta lembar uang pecahan 50 ribu
2. KASUS PAK HARTO Kerugian negara tidak dapat ditaksir karena sedemikian besarnya.
3. KASUS HPH DAN DANA REBOISASI Total Kerugian Negara sekitar US$ 1,5 Milyar atau sekitar 15 Trilyun.
Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.

Bob Hasan telah divonis enam tahun penjaradi LP Nusakambangan, Jawa Tengah.

Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus ini tak jelas kelanjutannya.
Sumber :
perpustakaan presiden
ohio library
tempo.co.id
4. KORUPSI BBM BERSUBSIDI diperkirakan kerugian Negara 5 Milyar US$ atau sekitar 50 Trilyun atau sekitar 1 milyar lembar uang 50 ribu
5. KASUS PLTU PAITON I Probolinggo kerugian negara US$ 800 juta atau sekitar 7,6 Trilyun Rupiah.
6. KASUS BANK CENTURY kerugian negara US$ 670 Juta
7. Kasus Wesel Ekspor Berjangka (WEB) Unibank tahun 2006. Kerugian ditaksir mencapai US$ 230 juta.
8. Korupsi Pengelolaan Dana PNBP pada kementrian Kominfo Kerugian Negara Ditaksir sekitar US$ 240 Juta
9. Kasus Korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan Kerugian Negara ditaksir US$120 Juta
10. Kasus Nazarudin Kerugian Negara ditaksir US$ 600 juta
11. Kasus Pencurian Pulsa Oleh Operator (Kasus Black Oktober) , Negara dan Rakyat Indonesia dirugikan 100 Juta US$ atau 1 Trilyun Rupiah.
12. KASUS KORUPSI PERTAMINA diperkirakan kerugian negara mencapai 400 Juta dollar
13. KASUS BLBI kerugian negara US$ 13,84 Milyar
12-12-2012 20:58

12 Pejabat Negara yang Divonis sebagai Koruptor

08 March 2016 | Editor : Risnawati Avin
iyaa.com |
Jakarta: Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi membuat terobosan baru. Dia meminta kepada sejumlah instansi dan lembaga negara untuk menon-aktifkan atau memberhentikan sementara Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS yang terlibat korupsi dan pelanggaran pidana lainnya.
     Hal tersebut tentu menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
     Berikut ini iyaa.com rangkum beberapa pejabat negara yang terlibat kasus korupsi dan telah divonis pengadilan:
1. Jero Wacik, tersangkut kasus penyalahgunaan dana operasional menteri (DOM) dan menerima gratifikasi. Bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini divonis empat tahun penjara.
2. Luthfi Hassan Ishaaq, tersangkut kasus suap dalam impor daging pada Kementerian Pertanian. Anggota DPR dari fraksi PKS periode 2009-2014 dan bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini divonis 16 tahun penjara.
3. Rudi Rubiandini, tersangkut kasus suap dari Kernel Oil senilai USD 400 ribu. Penangkapan Rudi dianggap sebagai sebuah pukulan, meng-ingat mantan Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas ini dikenal sebagai pribadi yang bersih dan jujur.
4. Ratu Atut Chosiyah, tersangkut kasus korupsi pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten. Gubernur Banten non aktif ini divonis 4 tahun penjara.
5. Miranda S. Goeltom, tersangkut kasus suap cek pelawat untuk ang-gota DPR. Uang tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Mantan Deputi Gubernur Senior BI ini kemudian divonis 3 tahun penjara.
6. Burhanuddin Abdullah, tersangkut kasus penyalahgunaan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar. Bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) itu divonis 5 tahun penjara.
7. Aulia Pohan, tersangkut kasus yang sama dengan Burhanuddin Abdullah. Besan bekas Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang juga mantan deputi gubernur BI ini divonis penjara 4,5 tahun penjara.
8. Urip Tri Gunawan, tersangkut kasus suap telah menerima uang USD 610.000 dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim. Urip saat itu sebagai jaksa untuk kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) divonis 20 tahun penjara.
9. Andi Malarangeng, tersangkut kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Hambalang. Ia sempat mengundurkan diri dari jabatannya seba-gai Menteri Pemuda dan Olahraga, sebelum kemudian divonis 4 tahun penjara.
10. Akil Mochtar, tersangkut kasus suap menerima Rp 3 miliar dari bupati Gunung Mas dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus sengketa Pilkada. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini merupakan satu-satunya terpidana korupsi yang mendapat vonis seumur hidup dari Pengadilan Tipikor.
11. Suryadharma Ali, tersangkut kasus dugaan korupsi dana penye-lenggaraan ibadah haji. Bekas menteri agama yang juga bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) divonis 6 tahun penjara. Hakim pada sidang putusan 11 Januari 2016 mengungkapkan total ke-rugian negara dari kasus ini mencapai Rp 27 miliar ditambah 17,96 juta riyal.
12. Irjen Djoko Susilo, tersangkut kasus korupsi dalam proyek simu-lator ujian surat izin mengemudi (SIM). Bekas kepala korps lalu lintas Polri ini divonis 18 tahun oleh Pengadilan Tipikor.
12-12-2012 20:55
13 KASUS KORUPSI POPULER
Tidak Masuk List
Karena Jumlah Korupsi / kerugian Belum masuk kategori MegaSuper..
Quote:
1. Kasus suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di Kemenakertrans
Sumber suaramerdeka,kpk.go.id
2. Kasus Suap Kabupaten Buol
Sumber :tempo
3. Kasus Korupsi Mantan Bareskrim Susno Duaji
Sumber : Kompas
4. Kasus Cek Pelawat Deputi Gubernur Bank Indonesia
Sumber :BBC
kompasiana
5. Kasus Korupsi Markus Gayus Tambunan
Sumber :wikipedia
viva news

6. Kasus Korupsi pengadaan Al Quran pada kementrian agama
Sumber :republika
tempo
7. Kasus korupsi wisma atlet Sea games dan Hambalang pada Kementrian Pemuda dan Olahraga
melibatkan sejumlah nama elit politik
Angelina sondakh
Andi Malarangeng
8. korupsi Proyek pengadaan Alat belajar mengajar di kemendiknas
Sumber :lkpp
9. Korupsi pengadaan alat kesehatan di Kemenkes.
Sumber :suara Merdeka
kompasiana
10. Korupsi pengadaan alat bantu SIM pada Kepolisian
Sumber :suarakarya
11. Korupsi Pengadaaan Helikopter mantan Gubernur Aceh A Puteh
[URL="http://news.detik..com/read/2012/05/04/185557/1909682/10/6-dari-11-gubernur-di-sumatera-pernah-dipenjara-karena-korupsi"]detiknews[/URL]
12. Korupsi Dana APBD Kabupaten Langkat Sumut
Kerugian Negara sekitar 10 Juta
US$
Sumber : posmetro Medan
13. kasus korupsi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog
yang merugikan keuangan negara Rp 96 miliar. Kasus ini melibatkan Beddu Amang, Ricardo Gelael dan Tommy Suharto.
Sumber :korupedia

Daftar Pejabat Penerima Uang Kasus Korupsi E-KTP

9 Maret, 2017 - 14:09
Berkas kasus korupsi e-KTP/ANTARA
SEJUMLAH Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 1 Maret 2017 lalu. Berkas perkara kasus E-KTP dengan total 24 ribu halaman tersebut milik dua tersangka mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.*
JAKARTA, (PR).- Dakwaan yang dibacakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik 2011-2012 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017 mencengangkan banyak pihak.
     Sejumlah nama pejabat besar ikut terseret karena diduga mendapat aliran dana dari korupsi itu. Beberapa pejabat yang disebut di antaranya mantan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Gamawan Fauzi, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, hingga Menteri Hukum dan HAM saat ini Yasonna Laoly.
     Dalam dakwaan yang dibacakan tim jaksa KPK yang beranggotakan Eva Yustisiana, Wawan Yunarwanto, Irene Putrie, Abdul Basir, Mocha-mad Wiraksajaya, Ariawan Agustartono, Taufiq Ibnugroho, dan Mufti Nur Iriawan itu, disebutkan Gamawan mendapat 4,5 juta dolar dan Rp 50 juta.
     Anas Urbaningrum mendapat 5,5 juta dolar dan Rp 20 miliar. Setya Novanto menerima 615.000 dolar dan Rp 25 juta. Yasonna yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR RI mendapat 84.000 dolar.
     Selain itu, disebut juga nama Marzuki Alie, mantan Ketua DPR RI 2009-2014 yang mendapat Rp 20 miliar. Ade Komaruddin, mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar menerima 100.000 dolar. Olly Dondo-kambey menerima 1,2 juta dolar.
     Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang saat itu duduk di Komisi II DPR periode 2009-2014 menerima 584.000 dolar dan Rp 26 juta. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menerima 1,047 juta dolar. Mirwan Amir menerima 1,2 juta dolar. Melchias Markus Mekeng menerima 1,4 juta dolar.
     Dalam sidang itu dihadirkan pula dua terdakwa kasus korupsi tersebut yakni mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman serta Sugiharto, eks Ketua Panitia Lelang Proyek e-KTP.
     Jaksa KPK juga menyebut aliran dana korupsi proyek e-KTP tak hanya mengalir ke anggota DPR. Diketahui, auditor BPK, staf di Ke-menterian Keuangan, staf di Kementerian Dalam Negeri, dan beberapa pihak lainnya pun ikut menikmati uang tersebut. Berdasarkan daftar, ada 12 nama dari lembaga-lembaga tersebut yang menerima uang berkisar antara Rp 10 juta sampai Rp 80 juta.
     "Bahwa selain memberikan sejumlah uang kepada Komisi II DPR, pada bulan November-Desember 2012, terdakwa II (Sugiharto) juga memberikan sejumlah uang kepada staf pada Kemendagri, Kemenkeu, BPK, sekretariat Komisi II DPR, dan Bappenas yang terkait dengan pengusulan dan pembahasan tambahan anggaran penerapan KTP berbasis NIK secara nasional," kata Jaksa KPK.***

Sudah 290 Kepala Daerah Terjerat Hukum

Anita Yossihara
Kompas.com - 06/02/2013, 11:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com Sedikitnya sudah 290 kepala daerah tersangkut masalah hukum. Dari 290 itu, sebanyak 86,2 persen di antaranya menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana karena me-lakukan korupsi.
     Data itu kembali disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2013).
     "Sekarang ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi tersangka, terdakwa, dan terpidana," katanya. Mayoritas atau sekitar 86,2 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi.
     Korupsi ditengarai dilakukan lantaran tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan kepala daerah. Oleh karena itu, Gamawan meminta agar fakta-fakta itu dijadikan pertimbangan dalam pembaha-san Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
     Untuk diketahui, saat ini, RUU Pilkada sudah memasuki pembahas-an tingkat satu. Pembahasan dilakukan oleh Komisi II dan pemerintah
dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi adanya wacana pilkada tidak langsung.

Senin, 24 September 2012 20:00 WIB Tweet Share
Tribun Medan/DEDY SINUHAJI
     Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi berbincang dengan Plt Gubernur Sumut, Gatot
Pudjo Nugroho dalam sebuah acara belum lama ini.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi adanya wacana pilkada tidak langsung. Ide itu menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
     Gamawan mengatakan, pemilihan tidak langsung itu bisa diterapkan pada tingkat provinsi.
     "Ya untuk tingkat provinsi diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten kota masih tetap pemilihan langsung," kata Gamawan di gedung DPR, Jakarta, Senin (24/9/2012).
     Gamawan mengatakan, pilkada tidak langsung itu selaras dengan UUD 1945 yakni perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia. "Kalau kita menganut itu ya harus melalui perwakilan saja," imbuhnya.
     Selain itu, Gamawan, mengatakan, Pilkada tidak langsung akan menghemat biaya.
     "Ya itu di dalam kampanye ada rencana itu (pilkada perwakilan). Tapi kalau sudah melalui DPRD itu biayanya pasti murah. Karena tidak perlu kampanye lagi dan tidak usah juga kampanye di luar lagi cukup di DPRD saja seperti menyampaikan visi dan misi," tukasnya.
     Sebelumnya, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama merekomendasikan pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati / wali kota, dilaksanakan secara tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
     Rekomendasi tersebut merupakan hasil pembahasan komisi maudluiyah yang dipimpin oleh KH Hartami Hasni di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
     "NU berpendapat pilkada langsung harus ditinjau ulang, kembali ke pilkada tidak langsung oleh DPRD," kata Katib Aam PBNU KH Malik Madaniy saat menjelaskan hasil rapat komisi kepada wartawan.
     Alasannya, selain pilkada langsung tidak sesuai dengan Pancasila, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diperoleh.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Anwar Sadat Guna

Selama 11 Tahun, Ada 56 Kepala Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi di KPK

Ikhwanul Khabibi - detikNews

 
Jakarta - Gelaran Pilkada serentak sebentar lagi akan dimulai. Kampanye dengan mengobral banyak janji, termasuk janji bebas korupsi pun akan segera marak di hampir seluruh penjuru negeri.
     Namun, sebelum terkecoh janji para calon kepala daerah, tak ada salahnya menilik data terkait kisah para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Salah satunya, adalah kisah para kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK.
     Dalam data yang didapat dari pihak KPK, Kamis (
6/8/2015), hingga saat ini, setidaknya sudah ada 56 kepala daerah yang terjerat kasus hukum di KPK. Terhitung sejak KPK berdiri pada tahun 2003, kepala daerah merupakan salah satu objek bidang penindakan KPK.
56 kepala daerah yang telah terjerat KPK terdiri dari gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati dan wakil bupati. Rata-rata dari para kepala daerah itu terjerat kasus penyalahgunaan wewenang, baik dalam pe-ngelolaan anggaran dan aset daerah ataupun penyalahgunaan terkait perizinan. Namun ada pula kepala daerah yang terjerat kasus penyu-apan.
     Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan KPK, kepala daerah yang mempraktikan politik dinasti paling rawan korupsi. Hal itupun terbukti dari beberapa kasus yang telah ditangani KPK.
     "Potensi korupsi dalam politik dinasti memang sangat memungkin-kan berdasarkan praktik empiris, seperti kasus Gubernur Banten atau kasus Bupati Empat Lawang," kata Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji beberapa waktu yang lalu.
    
Para kepala daerah yang memiliki kewenangan begitu besar memang lebih berpotensi terjerat kasus hukum karena penyalahgunaan wewenang. Bahkan, berdasarkan data di KPK, tak sedikit kepala daerah yang terjerat lebih dari satu kasus.
Berikut daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di KPK selama 11 tahun ini :
1. Abdullah Puteh Gubernur NAD, TPK dalam pengadaan pesawat Helikopter Mi-2 milik Pemerintah Provinsi NAD.
2.  Suwarna Abdul Fatah Gubernur Kalimantan Timur , TPK pelaksanaan Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit sejuta Hektar di Kalimantan Timur yang diikuti dengan Penerbitan Ijin Pemanfaatan Kayu Tahun 1999-2002  
3.  Abubakar Ahmad,  Bupati Dompu , TPK pengeluaran atau penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya pada Dana Tak Tersangka APBD Kabupaten Dompu TA 2003-2005     
4. Sjachriel Darham,  Gubernur Kalimantan Selatan   PK penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai dengan peruntukannya pada Anggaran Belanja Rutin Pos Kepala Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2001 s.d 2004   
5.  Hendy Boedoro, Bupati Kendal TPK penyalahgunaan wewenang penggunaan Dana APBD TA 2003 Pos Dana Tak Tersangka Dana Alokasi Umum dan Dana Pinjaman Daerah Kabupaten Kendal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku     
6. Syaukani HR , Bupati Kutai Kartanegara TPK dalam pelaksanaan proyek pembangunan Bandara Samarinda Kutai Kartanegara yang terjadi di pemerintahan Daerah Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur, tahun 2003 s.d 2004 
7. Baso Amiruddin Maula , Walikota Makassar  TPK Proyek Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk Tohatsu Tipe V-80-ASM di Pemerintah Kota Makassar APBD Tahun 2003 dan 2004  
8. Abdillah, Walikota Medan, TPK Proyek Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk MORITA di Pemerintah Kota Medan APBD Tahun 2005 dan TPK Penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Medan TA 2002 sd 2006  
9. Ramli, Wakil Walikota Medan, TPK Proyek Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran Merk MORITA di Pemerintah Kota Medan APBD Tahun 2005   
10. Tengku Azmun Jaafar,  Bupati Pelalawan,TPK penyalahgunaan perijinan dalam penerbitan IUP HHK-HT/IPK tahun 2001 sd 2006 di wilayah Kabupaten Pelalawan kepada sejumlah perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku    
11. Agus Supriadi, Bupati Garut, TPK penyimpangan penggunaan dana APBD Garut TA 2004 s.d 2007    
12. Vonnie A Panambunan, Bupati Minahasa Utara, TPK penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
13. Iskandar, Bupati Lombok Barat,  TPK pada ruislag tanah dan bangunan eks kantor Bupati Lombok Barat tahun 2004     
14. Dany Setyawan, Mantan Gubernur Jawa Barat, TPK pengadaan mobil pemadam kebakaran , mobil ambulan, stoom walls dan dump truck oleh pemerintah Jawa Barat tahun 2003    
15. Armen Desky, Bupati Aceh Tenggara, TPK dalam pengelolaan APBD Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara TA 2004-2006  
16. Jimmy Rimba Rogi, Bupati Manado,  TPK penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pemerintah Kota Manado TA 2006     
17. Samsuri Aspar, Wakil Bupati Kutai Kartanegara, TPK penyalahgunaan anggaran bantuan sosial Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2005   
18.  Ismunarso, Bupati Situbondo, TPK Penyalahgunaan APBD Kabupaten Situbondo TA 2005 – 2007  
19. Syahrial Oesman, Mantan Gubernur Sumatera Selatan, TPK perbuatan turut serta terhadap pemberian sejumlah dana kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan proses permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang Sumatera Selatan.  
20. Jules F Warikar, Bupati Kabupaten Supiori, TPK dalam kegiatan pembangunan Pasar Sentral Supiori, terminal induk kabupaten Supiori, Rumah Dinas Eselon Kabupaten Supiori, dan renovasi pasar sentral Supiori untuk kantor cabang Bank Papua dengan menggunakan dana APBD Kabupaten Supiori TA 2006-2008   
21. Hamid Rizal, Mantan Bupati Natuna, TPK penyalahgunaan APBD Kabupaten Natuna TA 2004 yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pengeluaran kas tidak disertai bukti yang lengkap dan sah. 
22. H Daeng Rusnadi, Bupati Natuna, TPK penyalahgunaan APBD Kabupaten Natuna TA 2004 yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pengeluaran kas tidak disertai bukti yang lengkap dan sah.
23. Arwin AS, Bupati Siak, TPK terkait penerbitan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman tahun 2001 sampai dengan 2003 di wilayah kabupaten Siak kepada sejumlah perusahaan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dan atau menerima hadiah  berkaitan dengan kekayaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya    
24. Ismeth Abdullah, Gubernur Kepulauan Riau, TPK dalam peng-adaan Mobil Pemadam kebakaran Merek Morita Tahun Anggaran 2004 dan 2005 di Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam  
25. Indra Kusuma, Bupati Brebes, TPK dalam pengadaan tanah untuk pasar pada pemerintah kabupaten Brebes TA 2003    
26. Yusak Yaluwo, Bupati Boven Digoel, TPK penyalahgunaan dana APBD dan OTSUS Pemda Kabupaten Boven Digoel Prop Papua TA 2006-2007      
27. Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara, TPK dalam penyalah-gunaan dan pengelolaan kas daerah Kabupaten Langkat serta penyalah-gunaan penggunaan APBD Kabupaten Langkat pada tanun 2000-2007   
 28. Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar, Walikota Tomohon, TPK dalam penggunaan APBD Pemkot Tomohon TA 2006-2008  
29. Mochtar Mohamad, Walikota Bekasi, TPK dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan APBD Pemerintah Kota Bekasi dan atau perbuatan melakukan percobaan perbantuan, atau permufakatan jahat untuk memberi atau menjanjikan sesuatu terkait dengan Adipura dan pengesahan APBD 2010. 
30. Binahati B Baeha, Bupati Nias, TPK dalam pengelolaan dana penanggulangan bencana alam Nias Tahun 2007  
31. Robert Edison Siahaan, Mantan Walikota Pematang Siantar, TPK dalam Pengelolaan Dana Bantuan Sosial Sekretariat Daerah dan Dana rehabilitasi / Pemeliharaan Dinas Pekerjaan Umum pada APBD Kota Pematang Siantar TA 2007   
32. Fahuwusa Laila, Bupati Nias Selatan, TPK memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.    
33.  Murman Effendi, Bupati Seluma, TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.  
34. Soemarmo Hadi Saputro, Walikota Semarang, TPK terkait dengan pemberian sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bersama sama dengan Sekda Kota Semarang.  
35. Amran Batalipu, Bupati Buol, TPK berupa menerima sesuatu atau janji terkait dengan proses pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan atas nama PT Cipta Cakra Murdaya dan atau PT Hardaya Inti Plantation yang terletak di Kecamatan Bukal Kab. Buol Sulawesi Tengah  
 36. Muhammad Hidayat Batubara, Bupati Mandailing Natal, Perkara TPK pemberian sesuatu oleh PN dan atau pegawai negeri dan atau pihak-pihak tertentu Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal kepada PN atau pegawai negeri dan atau pihak-pihak tertentu Pemerintah Propinsi Sumatera Utara terkait alokasi Dana Bantuan Daerah (DBD) tahun 2013    
37, Dada Rosada, Walikota Bandung, Perkara TPK berupa memberi hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi mengenai penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman (Mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung)    
38. Hambit Bintih, Bupati Gunung Mas, Perkara TPK memberi sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berkaitan dengan Penanganan Perkara Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas Propinsi Kalimantan Tengah  
39.  Rusli Zainal, Gubernur Riau, Perkara TPK sehubungan dengan pemberian pengesahan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (BKUPHHKHT) pada areal hutan alam dalam kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak tahun 2004.  
40. Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten,  Perkara TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berkaitan dengan penanganan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Propinsi Banten Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia    
41. Ikmal Jaya, Walikota Tegal, perkara TPK sehubungan dengan pelaksanaan tukar guling tanah antara Pemerintah Kota Tegal dengan pihak swasta tahun 2012.  
42. Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar, ,perkara TPK sehubungan dengan pekerjaan kerjasama rehabilitasi, kelola dan transfer untuk instalasi pengolahan air antara PDAM kota Makassar dengan pihak swasta periode tahun 2006 - 2011.  
43. Rachmat Yasin, Bupati Bogor, perkara TPK sehubungan dengan menerima hadiah atau janji terkait pemberian rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di kabupaten bogor atas nama PT. Bukit Jonggol Asri.  
44. Romi Herton, Walikota Palembang, perkara TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah Kota Palembang di Mahkamah Konstitusi tahun 2013 dan dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar terkait persidangan atas nama terdakwa M. Akil Mochtar di pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta. 
45. Yesaya Sombuk, Bupati Biak Numfor, perkara TPK sehubungan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya Pengurusan APBN-P TA 2014 pada Kementerian PDT untuk proyek pembangunan TALUD di Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua.    
46. Ade Swara, Bupati Karawang, dugaan TPK sehubungan dengan pegawai negeri/penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu terkait pengurusan izin Surat Persetujuan  Pemanfaatan Ruang (SPPR) atas nama PT. Tatar Kertabumi di Kabupaten Karawang.  
47. Raja Bonaran Situmeang, Bupati Tapanuli Tengah,  TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada M. Akil Mochtar selaku Hakim Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2011 yang diserahkan kepadanya untuk diadili.  
48. Amir Hamzah, Wakil Bupati Lebak, dugaan TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berkaitan dengan penanganan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada  jabatan atau kedudukan tersebut.
49. Zaini Arony, Bupati Lombok Barat, dugaan TPK sehubungan dengan proses permohonan izin pengembangan kawasan Wisata di Lombok Barat Tahun 2010 s.d. 2012.  
50. Fuad Amin, Bupati Bangkalan, dugaan TPK sehubungan dengan menerima hadiah atau janji terkait dengan jual beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur Bangkalan Madura, Jawa Timur dan perbuatan penerimaan lainnya.  
51. Barnabas Suebu, Gubernur Papua,  dugaan TPK sehubungan dengan Kegiatan Detail Engineering Design (DED) PLTA sungai Mem-beramo dan Sungai Urumuka tahun 2009 dan 2010 di Propinsi Papua. 
52. Annas Maamun, Gubernur Riau, dugaan TPK sehubungan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dngan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan pengajuan Revisi Alih Fungsi Hutan di Provinsi Riau Tahun 2014 kepada Kementerian Kehutanan.  
53. Marthen Dira Tome, Bupati Abu Raijua, dugaan TPK dalam kegiatan penyalahgunaan kewenangan dalam menggunakan Dana Pendidikan Luar Sekolah pada Sub Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2007   
54. Budi Antoni Aljufri, Bupati Empat Lawang, TPK memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempe-ngaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah kabupaten empat lawang di Mahkamah Konstitusi tahun 2013   
55. Rusli Sibua, Bupati Pulau Morotai, TPK memberi atau menjan-jiakn sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Pulau Morotai di Mahkamah Konstitusi tahun 2011  
56. Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara, TPK bersama-sama memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang kepada majelis hakim dan panitera PTUN Medan, Sumatera Utara dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili terkait permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatera Utara sesuai UU No 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan atas penyelidikan tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dana bantuan sosial (bansos), bantuan daerah bawahan (BDB), bantuan operasional sekolah (BOS), dan penahanan pencairan dana bagi hasil (DBH) yang dilakukan Gubernur Sumatera Utara di PTUN.    

ICW: Setiap Tahun Rata-Rata 350 PNS Diduga Terlibat Korupsi

     Indonesia Corruption Watch mengungkapkan sejak 2010 hingga 2018 jumlah PNS yang diduga kuat terlibat perkara korupsi setiap tahunnya rata-rata mencapai 350 orang.
Sholahuddin Al Ayyubi | 20 Februari 2019 17:45 WIB
  • Indonesia Corruption Watch (ICW): Setiap Tahun Rata-Rata 350 PNS Diduga Terlibat Korupsi - Antara
Bisnis.com, JAKARTA--Indonesia Corruption Watch mengungkapkan sejak 2010 hingga 2018 jumlah PNS yang diduga kuat terlibat perkara korupsi setiap tahunnya rata-rata mencapai 350 orang.
     Kepala Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengakui tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PNS lembaga dan kementerian kini tengah menjadi tren di Indonesia.
     "Kalau dari 2010-2018, kami melihat rata-rata aktor yang paling banyak terlibat kasus korupsi adalah PNS yang rata-rata ada 350-an PNS terlibat korupsi tiap tahun," tutur Wana, Rabu (20/2/2019).
     Wana mensinyalir PNS, yang seharusnya melayani publik karena digaji melalui pajak masyarakat, kini lebih memilih berlomba-lomba untuk melakukan tindak pidana korupsi. Menurut Wana, tidak sedikit PNS yang sudah ditangkap oleh aparat penegak hukum dalam bebe-rapa tahun terakhir.
     "Seharusnya kan PNS menjadi pelayan publik. Tapi ini kok banyak yang mencoba melakukan korupsi," kata Wana.
     Bahkan dia mengungkapkan akibat tindak pidana korupsi yang di-lakukan oknum PNS, kerugian negara mencapai Rp 6,5 miliar setiap bulan dan Rp 72 miliar setiap tahun.
     Wana berharap Kementerian Dalam Negeri maupun Menpan RB dapat menindak tegas PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Wana menyarankan tindakan pemecatan dan pemblokiran terhadap rekening PNS terlibat korupsi agar mereka tidak lagi mene-rima gaji dari masyarakat.
     "PNS yang berstatus terpidana korupsi dan masih menerima gaji dari negara itu harus segera dipecat dan rekening untuk menerima gaji dari negara harus segera diblokir," ujarnya.
     Berdasar data Badan Pusat Statistik, tahun 2016 jumlah PNS mencapai 4.374.349 orang yang terdiri dari: 
  • 918 444 PNS Pusat
  • 301.781 PNS Provinsi
  • 3.154. 124 PNS Kabupaten / Kota
     Sementara itu, sebuah riset dari The World Bank bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memaparkan data peme-taan PNS 2018 bertajuk 'Mapping Indonesia's Civil Service', yang di-publikasi pada Rabu (21/11/2018).
     Dari segi umur, PNS di Indonesia yang merupakan 17% dari popu-lasi total warga Indonesia ini berusia paruh baya dengan rata-rata umur 45 tahun.
     PNS tahun 2018 tercatat meningkat 25% dari tahun 2006, yaitu sebanyak lebih dari 4,5 juta orang. Anggaran yang digunakan untuk para abdi negara ini akan memiliki beban total 25% dari APBN.
     Kebanyakan dari PNS merupakan tenaga pengajar atau guru, yaitu 26,4% dari PNS nasional dan 63,9% dari PNS lokal.
     Dari aspek gender, jumlah PNS perempuan terbanyak dimiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebanyak 74%, disusul Mabes TNI AD sebanyak 67%, kemudian sebanyak 63% dimiliki Kementerian Kesehatan.
     Sedangkan jumlah PNS perempuan paling sedikit terdapat di Badan SAR Nasional (Basarnas) dan Badan Pengawasan Keuangan & Pem-bangunan (BPKP) yang hanya 10%.
     PNS perempuan yang menjabat, sebanyak 36% menduduki posisi fungsional, 33% menduduki posisi struktural di Pemda.
Editor : Saeno
Berapa Anggota DPR dan DPRD yang Tertangkap Korupsi?
 
5/9/2018, 08.09 WIB

     Sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 22 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Ini akan menambah panjang daftar wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi. Jumlah Anggota DPR dan DPRD yang tertangkap korupsi (2004-Mei 2018) 120 Orang * 2018 data s/d Mei
Tags Korupsi Pejabat KPK DPR DPRD Unduh Opsi Lain
Sumber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2018
     Sepanjang 2018 Terdapat 454 Kasus Penindakan Dugaan Korupsi Penindakan kasus korupsi tertinggi terjadi pada 2017 dengan 576 kasus dan 1.298 tersangka.


25/3/2019, 15.11 WIB Terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, Direktur Krakatau Steel
     Berapa Gaji Direktur Krakatau Steel?
     Berdasarkan laporan tahunan total gaji dan tunjangan direksi Krakatau Steel mencapai Rp 16,32 miliar dalam setahun.

 
 


    
16/3/2019, 14.11 WIB 2018,
     Anggota DPR / DPRD Terjerat Kasus Korupsi Melonjak 5 Kali Lipat menjadi 103 orang pada 2018 dari tahun sebelumnya.
15/3/2019, 19.28 WIB
Wakil Rakyat, Pejabat Terbanyak Terjerat Kasus Korupsi 2018
     Anggota DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru banyak yang terjerat kasus korupsi.
     Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul ["Berapa Anggota DPR dan DPRD yang Tertangkap Korupsi?"] ,
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/09/05/berapa-anggota-dpr-dan-dprd-yang-tertangkap-korupsi

Jokowi: Sudah 122 Anggota DPR Dipenjara karena Korupsi

Ilyas Istianur Praditya
01 Des 2016, 10:20 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo buka-bukaan ter-hadap kasus-kasus korupsi yang saat ini tengah diselesaikan para penegak hukum di Indonesia. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah dipenjara.
     "Hingga hari ini sudah 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi, tapi jangan diberikan tepuk tangan untuk ini," kata Jokowi dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Balai Kartini, Jakarta di Balai Kartini, Kamis (1/12/2016).
     Dengan berbagai tindak korupsi yang masih terjadi sampai saat ini, Jokowi mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di peringkat 88. Dengan demikian, Indonesia masih harus terus bergiat memberantas korupsi.
     Karena itu, banyaknya pejabat yang sudah diadili karena aksi korupsi tersebut dianggap Jokowi bukan suatu hal yang membangga-kan. Untuk itu dirinya meminta para penegak hukum untuk menjadikan hal itu sebagai semangat untuk terus memberantas korupsi.
     Jokowi mengungkapkan, sampai saat ini sektor pelayanan publik di masing-masing Kementerian / Lembaga atau instansi non pemerintahan menjadi satu hal yang sangat rawan akan tindak korupsi.‎
     "Dalam pemberantasan korupsi ini, saya minta para penegak hukum untuk meningkatkan sinergi, tidak jalan sendiri, antara polisi, kejaksaan, dan KPK," tegas Jokowi.
     Turut hadir dalam acara tersebut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindus-trian Airlangga Hartarto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Para koruptor yang lari ke luar negeri
      Hingga saat ini Indonesia masih termasuk dalam daftar negara-negara paling korup di Asia Tenggara. menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), para koruptor rata-rata kabur ke luar negeri dan menjadi buronan aparat penegak hukum. ICW mencatat, sejak 2001 ada 45 orang koruptoryang kabur keluar negeri. mereka seperti menghilang di telan bumi dan kasusnya seperti tenggelam di makan waktu.
    
Para koruptor kebanyakan melarikan diri ke negara Singapura kare-na Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu. Dari Singapura, beberapa di antara lalu pergi ke negara-negara lain. Berikut daftar 45 orang yang terjerat hukum Indonesia dan melarikan diri ke luar negeri:
     "Ini merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, du-gaan perkara korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001 hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun kepada Kompas.com di Jakarta.
1. Sjamsul Nursalim
Kasus: Korupsi BLBI Bank BDNI.
Kerugian Negara: Rp. 6,9 trilliun+ 96,7 juta dollar Amerika.
kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
2. Bambang Sutrisno
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang lari ke Singapura dan Hongkong. Pengadilan memvonis Bambang in absentia.
3. Andrian Kiki Ariawan
Kasus: Korupsi BLBI Bank Surya.
Kerugian Negara: Rp 1,5 triliun.
Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan
Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
4. Eko Adi Putranto
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp. 2,659 trilliun
melarikan diri ke Singapura dan
Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
5. Sherny Konjongiang
Kasus: Korupsi BLBI Bank BHS.
Kerugian Negara: Rp 2,659 triliun.
melarikan diri ke Singapura dan
Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
6. David Nusa Wijaya
Kasus: Korupsi BLBI Bank Servitia.
Kerugian Negara: Rp 1.29 triliun.
David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
7. Samadikun Hartono
Kasus: Korupsi BLBI Bank Modern.
Kerugian Negara: Rp.169 milyar
melarikan diri ke Singapura.
8. Agus Anwar
Kasus: Korupsi BLBI Bank Pelita.
Kerugian Negara: Rp.1.9 trilliun
melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. Proses selanjutnya tidak jelas.
9. Sujiono Timan
Kasus: Korupsi BPUI.
Kerugian Negara: Rp.1,5 trilliun
melarikan diri ke Singapura.

10. Maria Pauline
Kasus: Pembobolan BNI.
Kerugian Negara: Rp.1,7 trilliun
melarikan diri ke Singapura kemudian ke Belanda



  Korupsi
  ICW


alnindopromosi3 (ALNews) 2016-02-10 09:37:24 UTC #1
ALNews - Hasil dari Pengadilan Tinggi Jakarta, Fuad Amin dihukum 13 Tahun penjara dan Seluruh Asetnya yang mencapai 250 milyar dirampas.
     Perampasan oleh PT DKI Jakarta pada Seluruh Aset Fuad Amin menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia dalam kasus Korupsi. Berbeda dengan pengadilan tipikor Jakarta yang hanya merampas sebagian asetnya.
     Fuad dicokok KPK pada Desember 2014 karena menerima suap dari pihak ketiga. Fuad membela kekayaannya diraih dengan cara yang legal.
     M Hatta selaku humas PT Jakarta mengatakan "Mengabulkan seluruh tuntutan jaksa untuk menyita seluruh asetnya," di Jl. Letjen Suprapto-Jakpus (10/02/16).
     Berkas tuntutan Fuad Amin setebal 6.374 halaman, di mana 2 ribu halaman di antaranya adalah daftar asetnya hasil dari korupsi dan pencucian uang semuanya dilakukan individu /perorangan.
     Fuad yang telah memanfaatkan jabatannya selama menjadi Bupati Bangkalan dan Ketua DPRD Bangkalan hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. bahkan pencucian uang yang dilakukannya mencapai 250 Milyar. tidak hanya itu, berikut ini berbagai aset miliknya dari hasil korupsi untuk negara :
Uang ratusan miliar di lebih dari satu rekening.
  1. Rumah di kelurahan Kraton Bangkalan
  2. Rumah di jalan Cokro Bangkalan.
  3. Rumah di jalan Kupang Jaya 4-2 Surabaya.
  4. Uang cash dalam bentuk rupiah dengan jumlah miliaran.
  5. Sebuah mobil Honda Mobilio
  6. Sebuah mobil Land Cruiser.
  7. 70 bidang tanah.
  8. Kondominium di Bali dengan 50 kamar.
  9.  Rumah di jalan Teuku Umar Bangkalan.
  10.  Rumah di jalan KH Muhammad Kholil Bangkalan,
  11.  mobil Toyota Alphard.
  12.  mobil Toyota Camry.
  13.  mobil Oddysey.
  14.  mobil H1.
  15.  12 mobil lainnya dari berbagai jenis dan merek.
     Berikut beberapa jumlah daftar aset Para Koruptor lainnya yang telah disita pengadilan:
1.      Angelina Sondakh, selain dihukum 10 tahun penjara, asetnya yang disita Rp 15 miliar. Kasus ini ditangani KPK.
2.      Irjen Djoko Susilo, selain dihukum 18 tahun penjara, asetnya sebesar Rp 32 miliar juga disita negara. Kasus ini ditangani KPK.
3.      Gayus Tambunan, selain dihukum 32 tahun, asetnya sebesar Rp 70 miliar juga disita negara. Kasus ini ditangani Kejaksaan.
4.      Bahasyim, selain dihukum 12 tahun penjara, asetnya sebesar Rp 64 miliar juga disita negara. Kasus ini ditangani Kejaksaan.
     Kesan Penulis, Koruptor itu lebih rendah daripada sampah, ga pantas hidup kalau sudah makan uang rakyat. mending dihukum pancung biar pada jera.

Lapas Penuh Akibat Penjahat Seperti Pencuri Ayam dan Pecandu Narkoba Dipenjara

     Pencuri ayam, pencuri yang kerugiannya tidak terlalu besar dipenjara yang mengakibatkan penjara penuh,"

Sabtu, 30 April 2016 20:56 WIB
Tribun Jabar/Teuku Muhammad Guci Syaifudin
     Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly (kiri) berdialog dengan para tahanan saat menyambangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banceuy di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jawa Barat pasca kerusuhan yang terjadi di lapas tersebut, Sabtu (23/4/2016). 
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan, pemerintah diminta untuk mengobral vonis penjara kepada semua jenis kejahatan.
     Wakil Direktur Center for Detention Studies, Gatot Goei, mengatakan selama ini semua penjahat tanpa memandang jenis kejahatannya dikirim ke penjara oleh pengadilan karena undang-undang.
     "Pencuri ayam, pencuri yang kerugiannya tidak terlalu besar dipen-jara yang mengakibatkan penjara penuh," kata Gatot saat diskusi ber-tajuk 'Ada Apa Dengan Lapas' di Cikini, Jakarta, Sabtu (30/4/2016).
     Selain itu Gatot mengatakan karena undang-undang, penjara penuh oleh pecandu narkoba.
     Padahal, kata Gatot, pecandu narkoba harusnya direhabilitasi.
     Gatot mengusulkan agar pecandu langsung direhabilitasi tanpa menunggu putusan pengadilan.
     Pencandu tidak boleh ditempatkan di penjara sambil menunggu vonis pengadilan.
     "Pecandu-pecandu yang seharusnya direhabilitasi itu dipenjara. Solusinya undang-undang harus direvisi segera. Kalau enggak akan bertambah terus," kata Gatot.
     Gatot mengatakan persoalan tersebut bukan hanya kerjaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, namun juga Presiden, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, serta Badan Narkotika Nasional (BNN).

Vonis Ringan Tidak Membuat Koruptor Jera

Thursday, 17 May, 2018 - 12:17
     Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 3 Mei 2018 lalu meluncurkan tren vonis perkara korupsi yang diputus pengadilan selama tahun 2017. Mayoritas terdakwa korupsi divonis ringan oleh hakim. Rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Efek jera terhadap koruptor mulai dipertanyakan. 
     Berdasarkan hasil pemantuan ICW dari 1.381 terdakwa kasus korupsi yang dihukum hakim sebanyak 1.127 (81,61%) divonis ringan.       Tentu saja vonis pidana ringan yang menjadi mayoritas dalam tren vonis 2017 tidak mengakibatkan efek jera bagi para koruptor. Secara keseluruhan hal ini sangat mengecewakan dalam penegakan pembe-rantasan korupsi karena efek jera tampak tidak tergambar dalam vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi.
     Vonis ringan terhadap koruptor juga tidak bisa dilepaskan dari tun-tutan jaksa yang juga ringan. Dari data tuntuntan jaksa dari Kejaksaan yang dikumpulkan pada periode semester 2 tahun 2017, ICW mencatat adanya penurunan penuntutan dibanding dengan tuntutan pada semes-ter 1 tahun 2017. Di Semester 2 jaksa rata-rata hanya menuntut tiga tahun dua bulan penjara sedangkan pada semester 1 rata-rata empat tahun satu bulan penjara.
     Tidak saja vonis hakim, penerapan pidana denda dan uang peng-ganti pada terdakwa kasus korupsi yang rendah pun membuat efek jera bagi koruptor makin tidak terasa. Di tahun 2017 jumlah pidana denda yang berhasil diidentifiksi total mencapai  Rp 110,688 miliar dengan jumlah pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1,466 triliun.  
     Jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor hanya sebesar 4,91 persen dari total keseluruhan kerugian negara pada tahun 2017 yang mencapai Rp 29,419 triliun.
     ICW juga menyoroti minimnya penegak hukum menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) untuk menjerat para koruptor di tahun 2017. Dari 1.032 terdakwa yang diajukan ke Pengadilan hanya 2 orang yang dituntut menggunakan UU TPPU. Kondisi ini membuat upaya pemiskinan koruptor hanya sekedar menjadi wacana. 
     Hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW diharapkan dapat men-jadi perbaikan bagi para penegak hukum dalam menjerat koruptor dan sekaligus memberikan efek jera. Agar membuat jera koruptor maka se-lain dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi maka pelaku perlu juga djerat dengan menggunakan UU TPPU sebagai bentuk upaya pemis-kinan. Uang-uang yang dinikmati para pelaku korupsi sebaiknya dapat seluruhnya dikembalikan ke kas negara. Selain itu jaksa juga harus menerapkan tuntutan maksimal agar hakim juga dapat menjatuhkan vonis yang maksimal untuk pelaku korupsi.*** (Sigit/Emerson)

Kenapa Hukuman Koruptor Ringan?

Ini Penyebabnya

Oleh : Tempo.co
Selasa, 18 Agustus 2015 17:14 WIB
     Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu ikuti sidang perdana dengan agenda mendengarkan pembacaan dakwaan atas dirinya di pengadilan Tipikor, Jakarta, 6 Juli 2015. Barnabas didakwa telah melakukan korupsi dengan merugikan keuangan negara mencapai Rp 43,362 miliar.
TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho mengatakan bahwa hakim pengadilan lebih suka menggunakan pasal dengan hukuman rendah dalam memutus perkara kasus korupsi. Hal inilah yang membuat hukuman bagi para koruptor selama ini rendah.
     "Pasal yang sering didakwakan kepada koruptor adalah Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal seumur hidup," ujar Emerson di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Agustus 2015.
     Padahal, kata Emerson, selain pasal 3, juga terdapat Pasal 2 Undang-Undang Tipikor yang dapat digunakan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor disebutkan bahwa hukuman minimal bagi terpidana kasus korupsi adalah 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
     Sayangnya, menurut Emerson, majelis hakim lebih sering menggunakan pasal 3 sebagai putusannya, sehingga banyak koruptor yang dijatuhi hukuman penjara selama rata-rata 2 tahun saja. Dari hasil pantauan ICW periode Januari-Juni 2015, dari 193 kasus korupsi, 134 putusan di antaranya menggunakan pasal 3 sebagai dakwaan dan 59 putusan didakwa dengan pasal 2. Sedangkan tiga lainnya masing-masing menggunakan pasal 7, 11, dan 12 a.
     Menurut Emerson, penggunaan pasal ini akan membuka ruang diskresi hakim yang besar untuk memutus hukuman paling ringan. Ketika jaksa menuntut tersangka dengan pasal 2 dan 3, kata Emerson, kemungkinan besar hakim akan memilih pasal 3 sebagai dakwaan. "Hal-hal semacam ini memang subyektivitas hakim," katanya.
     Untuk itu, dia berharap, ke depan pengadilan dapat menghukum koruptor seberat-beratnya. Sebab, menurut dia, dampak dari korupsi dapat membawa kerugian bagi rakyat, dan itu tidak sedikit.
DIAH HARNI SAPUTRI

Mengapa Koruptor Sering Terlihat Tersenyum dan Cengar-cengir Saat Ditangkap KPK? Ini Alasannya

     Bahkan, para korupto terlihat cengar-cengir, melebarkan senyum, tetap tenang, dan tidak ada rasa malu yang muncul dari dirinya.

Sabtu, 8 September 2018 22:18

Twitter

Koruptor cengar-cengir saat ditangkap KP

TRIBUNPEKANBARU.COM - Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus suap tentang pembahasan APBD Pemerintah Kota Malang.
     Kasus tersebut menyeret 43 orang pejabat pemerintah, terdiri dari dua pejabat eksekutif pemerintah dan 41 anggota DPRD Kota Malang.
     Bukan hanya sekali ini, rentetan kasus korupsi sering muncul di sistem pemerintahan kita.
     Anehnya, tak ada rasa malu dari beberapa pelaku kasus korupsi ini.
     Bahkan, mereka terlihat cengar-cengir, melebarkan senyum, tetap tenang, dan tidak ada rasa malu yang muncul dari dirinya.
     Psikolog politik Hamdi Muluk mengatakan, sikap yang ditunjukkan parakoruptor tersebut disebabkan belum adanya etika publik yang terbentuk dengan baik.
     Etika publik yang dimaksud di sini adalah munculnya rasa malu dan bersalah dari dalam diri politikus jika mereka melakukan kesalahan kepada publik, seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
     "Kalau etika (publik) tinggi, itu ada dua perasaan yang ditimbulkan. Satu (perasaan) malu, dua (merasa) bersalah karena mengkhianati kepercayaan publik," kata Hamdi kepada Kompas.com, Sabtu (8/9/2018).
  Perilaku ketika seseorang merasa bersalah, menurut Hamdi, akan ditunjukkan dengan diam, menunduk malu, menutupi wajahnya, tidak mau membuka suara, bahkan menghindar.

KORUPSI DALAM KONTEK MAKNA, SEBAB, SERTA AKIBAT DARI KORUPSI

By Redaksi 07 Mar 2018, 13:44:39 WIBKolom
Oleh : Muzanni S.S, MH
Pengertian atau Definisi Korupsi
Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana seba-gaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten. Akan tetapi yang jelas pengertian "korupsi" lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Sebab-sebab Korupsi
     Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
     Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
     Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi
     Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain :
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
     Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
     Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
     Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan sema-cam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
     Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas di antaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
     Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup sese-orang konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
     Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
     Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjuk-kan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
     Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
     Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggota-nya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menim-bulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki pelu-ang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
     Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
     Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berku-rang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif. Pada umumnya masyarakat ber-pandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Ciri-ciri Korupsi
     Korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggo-ta birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Akibat Korupsi
     Korupsi selalu membawa konsekuensi. Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah:
  1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
  2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
  3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
  4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
  5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistimatik menyebabkan:
  1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
  2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
  3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Modus Korupsi
     Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Banyak modus-modus dalam korupsi. Di bawah ini hanyalah sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan :
1.    Pemerasan Pajak
     Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesala-han perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena kesengajaan wajib pajak dan bisa juga bukan karena kesengajaan. Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk ke kantong pemeriksa pajak.
2.    Manipulasi Tanah
     Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah termasuk, memanipulasi tanah negara menjadi milik perorangan / badan, merendahkan pembebasan tanah dan meninggikan pertang-gungjawaban, membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena proyek dengan harga murah.
Jalur Cepat Pembuatan KTP
     Dalam Pembuatan KTP dikenal 'jalur biasa' dan 'jalur cepat'. Jalur biasa adalah jalur prosedural biasa, yang mungkin waktunya lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan 'jalur cepat' adalah proses pembuatannya lebih capat dan harganya lebih mahal.
4.    SIM Jalur Cepat
     Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian / tes tertulis dan praktek yang dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM. Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat dalam praktek ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM.
Markup Budget / Anggaran

     Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian komputer tetapi pada prakteknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganya lebih murah.
6.    Proses Tender
     Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yang sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak yang mampu 'main belakang' dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak qualified.
7.    Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara
     Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak) pasal-pasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada penegak hukum. Praktek ini melibatkan terdakwa / tersangka, penegak hukum (hakim / jaksa) dan pengacara.
Istilah-istilah Umum dalam Kegiatan Korupsi
  1. Uang Tip: Sama dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang karena jasanya / pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.
  2. Angpao: Pada awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan
  3. 41
     
    Uang Administrasi: Pemberian uang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara / kasus agar penyelesaiannya cepat selesai.
  4. Uang Diam: Pemberian dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika memeriksa pertanggung jawaban walikota / gubernur agar pertanggung jawabannya lolos.
  5. Uang Bensin: Uang yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu sama lain, seperti antara teman satu dengan yang lain. Misalnya A minta bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan, uang bensinnya mana ?
  6. Uang Pelicin: Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.
  7. Uang Ketok: Uang yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui / mengesahkan anggaran usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
  8. Uang Kopi: Uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
  9. Uang Pangkal: Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan / kegiatan agar pekerjaan tersebut lancar
  10. Uang Rokok: Pemberian uang yang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara / kasus penyelesaianya cepat.
  11. Uang Damai: Digunakan ketika menghindari sanksi formal dan lebih memberikan sesuatu biasanya berupa uang / materi sebagai ganti rugi sanksi formal.
  12. Uang di Bawah Meja: Pemberian uang tidak resmi kepada petugas ketika mengurus / membuat surat penting agar prosesnya cepat
  13. Tahu Sama Tahu: Digunakan di kalangan bisnis atau birokrat ketika meminta bagian / sejumlah uang. Maksud antara yang meminta dan yang memberi uang sama-sama mengerti dan hal tersebut tidak perlu diucapkan.
  14. Uang Lelah: Menunjuk pada pemberian uang secara tidak resmi ketika melakukan suatu kegiatan. Uang lelah ini bisanya diminta oleh orang yang diminta bantuanya untuk membantu orang lain. Istilah ini kemudian sering digunakan oleh birokrat ketika melayani masyarakat untuk mendapatkan uang lebih
Mengapa di kalangan Kepala Pemerintahan Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sering terjadi korupsi ?
Komentar penulis
     Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwa-kilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2013).
     "Sekarang ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi tersangka, terdakwa, dan terpidana," katanya. Mayoritas atau sekitar 86,2 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi.
     Korupsi ditengarai dilakukan lantaran tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan kepala daerah.
    Menurut Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Nasional Pembe-rantasan Korupsi di Balai Kartini, Jakarta pada hari Kamis (1/12/2016), hingga hari ini sudah 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, empat duta besar, tujuh komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim sudah dipenjara karena korupsi.
   Banyaknya anggota DPR dan DPRD yang terlibat korupsi adalah akibat tingginya dana kampanye yang harus mereka kelu-arkan.
    Kedua hal tersebut adalah akibat dari sistem pemilihan kepala daerah dan legislatif secara langsung.
     Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengapresiasi adanya wacana pilkada tidak langsung. Ide itu menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
     Gamawan mengatakan, pemilihan tidak langsung itu bisa diterapkan pada tingkat provinsi.
     "Ya untuk tingkat provinsi diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten kota masih tetap pemilihan langsung," kata Gamawan di gedung DPR, Jakarta, Senin (24/9/2012).
Gamawan mengatakan, pilkada tidak langsung itu selaras dengan UUD 1945 yakni perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia. "Kalau kita menganut itu ya harus melalui perwakilan saja," imbuhnya.
     Selain itu, Gamawan, mengatakan, Pilkada tidak langsung akan menghemat biaya.
     "Ya itu di dalam kampanye ada rencana itu (pilkada perwakilan). Tapi kalau sudah melalui DPRD itu biayanya pasti murah. Karena tidak perlu kampanye lagi dan tidak usah juga kampanye di luar lagi cukup di DPRD saja seperti menyampaikan visi dan misi," tukasnya
     Sebelumnya, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama merekomendasikan pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dilaksanakan secara tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
     Sedangkan tingginya kasus korupsi di kalangan pejabat pemerintah, menurut penulis adalah akibat dari
1. Adanya kesempatan / kekuasaan
2. Serakah / tamak
3. Tidak takut kepada Alloh Swt.
4. Tidak takut pada ancaman penjara.
5. Tidak dilaksanakannya Hukum Pidana Islam

Uraian
1. Adanya kesempatan / kekuasaan
     Besarnya kekuasaan para pejabat di tempat kerjanya serta kurangnya pengawasaan. Lebih-lebih di wilayah otonomi daerah.
     Sebagai contoh adalah kasus Bupati Bangkalan
     Hasil dari Pengadilan Tinggi Jakarta, Fuad Amin dihukum 13 Tahun penjara dan Seluruh Asetnya yang mencapai 250 milyar dirampas.
     Perampasan oleh PT DKI Jakarta pada Seluruh Aset Fuad Amin menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia dalam kasus Korupsi. Berbeda dengan pengadilan Tipikor Jakarta yang hanya merampas sebagian asetnya.
     Fuad dicokok KPK pada Desember 2014 karena menerima suap dari pihak ketiga. Fuad membela kekayaannya diraih dengan cara yang legal.
2. Serakah / tamak
25/3/2019, 15.11 WIB
Terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, Direktur Krakatau Steel

     Berapa Gaji Direktur Krakatau Steel?
     Berdasarkan laporan tahunan total gaji dan tunjangan direksi Krakatau Steel mencapai Rp 16,32 miliar dalam setahun.
Terkait Pengadaan barang dan jasa senilai Rp 26,4 miliar

     OTT KPK terhadap WNU, Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel, diduga terkait pengadaan barang dan peralatan
yang masing-masing bernilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar.

     Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, AMU diduga menawarkan beberapa rekanan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut kepada WNU dan disetujui.
     "AMU menyepakati commitment fee dengan rekanan yang disetujui untuk ditunjuk, yakni PT GK dan GT senilai 10 persen dari nilai kontrak. AMU diduga bertindak mewakili dan atas nama WNU," ujar Saut di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
3. Para koruptor tidak takut kepada Alloh Swt.
     Setiap orang Islam harus beriman kepada Alloh Swt. dan kepada adanya hari akhir / akhirat.
     Kedua rukun iman ini diringkas dengan kata taqwa.
Di dalam Al-Qurán dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI dalam mengartikan taqwa pada QS. Al-Baqoroh [2] : 2 tertulis sebagai berikut :
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Alloh dengan mengikuti segala perintah-perintahNya; dan menjauhi segala larangan-laranganNya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah terjadi G30S PKI tahun 1965, agar peristiwa itu tidak terulang, MPR RI mewajibkan semua pejabat di NKRI untuk bertaqwa kepada Tuhan YME. Syarat ini berlaku sampai sekarang.
Nyatanya kejadian korupsi di kalangan Pemerintahan RI tetap saja merebak. Bahkan juga terjadi di kalangan tokoh-tokoh politik yang ber-gelar Ustaz dan Kiyahi Haji. Mungkin arti taqwa yang panjang tadi tidak menimbulkan rasa takut berbuat kejahatan pada para pemimpin kita itu.
   Marilah kita lihat definisi taqwa ini di dalam Kitab suci Al Qur-an
Definisi-definisi taqwa
a.    Takut terhadap kegoncangan yang dahsyat di hari kiamat. Yaitu QS. Al-Haj [22]: 1.
22:1
     Hai manusia, bertakwalah (* takut) kepada Tuhanmu; Sesungguh-nya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (QS Al-Haj [22]: 1).
b. Takut terhadap hari kita dibangkitkan dan dihimpun di padang mahsyar. Yaitu QS. Al-An’am [6]: 51.
6:51
     Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa (*takut). (QS Al-An’am [6]: 51).
C. Takut terhadap (pengadilan) hari Kiamat. Yaitu QS. Al-Baqoroh [2]: 48, QS. Al-Baqoroh [2]: 123, QS Al-An’am [6]: 51 dan QS. Lukman [31] : 33.
2:48
     Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap hari (pengadilan Alloh, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (QS. Al-Baqoroh [2]: 48).
2:123
     Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu kepada suatu hari (pengadilan) di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi man-faat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong. (QS. Al-Baqoroh [2]: 123).
6:51
     Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut (يَخَافُونَ) akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa (* takut). (QS Al-An’am [6]: 51).

     Hai manusia, bertakwalah (* takut) kepada Tuhanmu dan takuti-lah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedi-kitpun Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. (QS. Lukman [31] : 33).
d. Takut terhadap hari pembalasan. Yaitu QS. Al-Baqoroh [2]: 281.


 
Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu kepada hari (pembalasan) yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Baqoroh [2]: 281).
. Takut terhadap neraka. Yaitu QS. Al-Baqoroh [2: 24] dan QS. Ali Imron [3]:131:

     Maka jika kamu tidak dapat membuat (satu surat seperti Al Qur-an) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), maka takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,  yang disediakan bagi orang-orang kafir. (QS. Al-Baqoroh [2]: 24).

     Dan takutlah (فَٱتَّقُواْ ) kamu terhadap api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS. Ali Imron [3]:131).
f. Definisi panjang orang yang bertaqwa :

     Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-pera-turanNya)

 (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. (QS Qof [50]: 32-33)
Nabi Muhammad Saw. sangat takut kepada Alloh Swt.
Baginda Nabi Muhammad Saw. sangat takut kepada Alloh Swt. sesuai dengan sabdanya berikut :


Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku yang paling mengenal Alloh dan akulah yang paling takut kepadaNya(HR. Bukhori-Muslim)

 
 




Janganlah kita kalah dengan iblis, karena Iblis takut kepada Alloh Swt. yang sangat keras siksanya.
Sesuai sabda Alloh di dalam Al Qur-an.
Iblis berkata : Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat, sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Alloh sangat keras siksaNya. (QS. Al-Anfal 48).
Pandangan masyarakat tentang faham takut kepada Alloh Swt.
Sangat sedikit orang berfaham tentang arti taqwa adalah takut kepada Alloh Swt. Selama hidup penulis, hanya ada dua orang khotib Jum’at yang membahasnya. Pertama adalah ayah penulis sendiri se-waktu membaca khutbah Jum’at di Masjid Jami’ Jember (yang lama). Yang kedua adalah seorang khotib sholat Jum’at di Masjid Al-Huda Kaliwates Jember.
Alhamdulillah, sekarang ditambah Ustadz Abcusshomad yang mengartikan taqwa dengan takut (kepada Alloh Swt.)
Masalah takut kepada Alloh Swt di kalangan masyarakat sangat jarang dibahas. Sebagian besar pengajian dan ceramah mengutarakan tentang pentingnya mendekatkan diri kepada Alloh Swt. dan Cinta kepada Alloh Swt..
Ini terjadi karena besarnya faham tasauf di kalangan ulama’. Faham tasawuf sangat dipengaruhi oleh faham mahabbah yang di-cetuskan oleh Sufi wanita terbesar yaitu Robiah Al-Adawiyah. 
Orang yang menganut faham Takut kepada Alloh Swt. berpen-dapat bahwa dirinya sangat lemah dan kecil, sebaliknya Alloh Swt. adalah Maha Besar dan sangat berkuasa.
4. Para koruptor tidak takut kepada ancaman hukuman penjara dan denda.
    Ternyata hukuman dan denda terhadap koruptor sangat ringan sebagaimana uraian sebelumnya .
     ICW mengategorikan vonis 1-4 tahun penjara merupakan hukuman ringan bagi koruptor. Adapun vonis level sedang ialah rata-rata 4-10 tahun. Sementara vonis berat semestinya di atas 10 tahun penjara.
     Sebagaimana makalah di bawah ini vonis ringan tidak membuat koruptor jera.

 
     Selain itu memenjarakan bekas pejabat yang mempunyai pengaruh besar akan menimbulkan masalah di penjara. Layaknya memenjarakan beruang dalam penjara bambu (lihat makalah pada halaman 53).
Vonis Ringan Tidak Membuat Koruptor Jera
Thursday, 17 May, 2018 - 12:17
     Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 3 Mei 2018 lalu melun-curkan tren vonis perkara korupsi yang diputus pengadilan selama tahun 2017. Mayoritas terdakwa korupsi divonis ringan oleh hakim. Rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Efek jera terhadap koruptor mulai dipertanyakan. 
     Berdasarkan hasil pemantuan ICW dari 1.381 terdakwa kasus korupsi yang dihukum hakim sebanyak 1.127 (81,61%) divonis ringan.       Tentu saja vonis pidana ringan yang menjadi mayoritas dalam tren vonis 2017 tidak mengakibatkan efek jera bagi para koruptor. Secara keseluruhan hal ini sangat mengecewakan dalam penegakan pembe-rantasan korupsi karena efek jera tampak tidak tergambar dalam vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi.
     Vonis ringan terhadap koruptor juga tidak bisa dilepaskan dari tun-tutan jaksa yang juga ringan. Dari data tuntuntan jaksa dari Kejaksaan yang dikumpulkan pada periode semester 2 tahun 2017, ICW mencatat adanya penurunan penuntutan dibanding dengan tuntutan pada semes-ter 1 tahun 2017. Di Semester 2 jaksa rata-rata hanya menuntut tiga tahun dua bulan penjara sedangkan pada semester 1 rata-rata empat tahun satu bulan penjara.
     Tidak saja vonis hakim, penerapan pidana denda dan uang peng-ganti pada terdakwa kasus korupsi yang rendah pun membuat efek jera bagi koruptor makin tidak terasa. Di tahun 2017 jumlah pidana denda yang berhasil diidentifiksi total mencapai  Rp 110,688 miliar dengan jumlah pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1,466 triliun. 
     Jumlah uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor hanya sebesar 4,91 persen dari total keseluruhan kerugian negara pada tahun 2017 yang mencapai Rp 29,419 triliun.
     ICW juga menyoroti minimnya penegak hukum menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) untuk menjerat para koruptor di tahun 2017. Dari 1.032 terdakwa yang diaju-kan ke Pengadilan hanya 2 orang yang dituntut menggunakan UU TPPU. Kondisi ini membuat upaya pemiskinan koruptor hanya sekedar menjadi wacana. 
     Hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW diharapkan dapat men-jadi perbaikan bagi para penegak hukum dalam menjerat koruptor dan sekaligus memberikan efek jera. Agar membuat jera koruptor maka se-lain dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi maka pelaku perlu juga djerat dengan menggunakan UU TPPU sebagai bentuk upaya pemis-kinan. Uang-uang yang dinikmati para pelaku korupsi sebaiknya dapat seluruhnya dikembalikan ke kas negara. Selain itu jaksa juga harus menerapkan tuntutan maksimal agar hakim juga dapat menjatuhkan vonis yang maksimal untuk pelaku korupsi.*** (Sigit/Emerson)
4. Tidak dilaksanakannya Hukum Pidana Islam
    Berikut ini dibHa Hukuman Korupsi menurut Hukum Pidana Islam

Jember, 12 Mei 2019
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember
Pengertian, Ancaman dan Hukuman Korupsi Menurut Islam dan Negara
www.republika.co.id
www.kpk.go.id
Sumber-sumber lain.

Pengertian, Ancaman dan Hukuman Korupsi Menurut Islam dan Negara

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

     Praktek korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya di hampir semua tingkatan, dari yang rendah sampai yang tertinggi, Indonesia bahkan pernah mengukir prestasi hebat sebagai "Negara Terkorup Di Dunia." Aneka lembaga penegak hukum di Indonesia terbukti mandul dalam memberantas korupsi, terbukti dengan makin merajalelanya korupsi seperti virus, wabah atau penyakit menular. Dan memang terbukti sebagian aparat penegak hukum juga ikut "bermain menikmati" korupsi. Jadi mana mungkin sapu yang kotor bisa untuk membersihkan lantai ? Kini sudah didirikan lembaga anti korupsi baru yakni KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebagai lembaga independen KPK lebih leluasa dalam memburu para koruptor. Tetapi ya itu tadi, jika sudah menjadi budaya, apakah masih bisa dihentikan ???

     Para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.

1. Pengertian Korupsi

     Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan. Atau dari kata orrumpere yang bermakna merusak. Korupsi secara epistemologi adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Pada mulanya istilah korupsi di Indonesia bersifat umum, dan kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/ PM'061957 tentang korupsi.
     Konsideransi peraturan tersebut menyebutkan "Menimbang, bahwa berhubung dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.”
     Apabila diperhatikan dengan seksama, konsideransi peraturan tersebut memberi batasan rumusan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi dan apa maknanya. Dari konsiderans itu pula tersimpul beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh suatu perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.

2. Unsur-Unsur Yang Dikategorikan Korupsi

1. Unsur Kerugian Keuangan. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri atau keluarga atau golongan atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara.
2. Unsur Memanfaatkan Jabatan. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji dari keuangan negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya oleh karena jabatannya, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.

3. Korupsi Menurut Perspektif Islam

     Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju dengan tidak tercapai.
     Ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang. Karena bertentangan dengan maqasid asy-syariah. 

4. Keharaman Korupsi Ditinjau dari Berbagai Segi

1. Curang dan Penipuan. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firmanNya,  
 وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ‌ۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ  
     "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imron : 161).
     Nabi Muhammad saw. telah menetapkan suatu peraturan bahwa setiap kembali dari peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan pimpinan perang kemudian Rasulullah saw. membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka yang berperang. (QS. Al-Anfal: 41).

     Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2. Khianat. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran,  يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
     Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
   "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil . Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS. An-Nisa: 58).
     Kedua ayat ini mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan korupsi bagi pejabat adalah terlarang lagi haram.
3. Aniaya (Dzalim). Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehingga Allah SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam firmanNya,

     Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka, lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat). " (QS. Az-Zukhruf [43] : 65).
4. Suap dan Gratifikasi. Termasuk ke dalam kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad saw. disebut laknat seperti dalam sabdanya,
     “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” (H.R. Ahmad dan Hambali).        Pad
     Pada kesempatan lain Rasulullah saw.bersabda, "Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang diambilnya di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).(HR. Abu Dawud).

5. Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi

     Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial. dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara yang terlarang.Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah SWT,
          “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 188).
     Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
·                     Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba (? Pen.), karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal. Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130), maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Di samping itu ulama memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya / memanfaatkannya”. 
·                     Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya.  Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pela-kunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
     Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut. 

6. Shalat dan Haji dari Uang Korupsi, Sahkah ?

·                     Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu / korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
·                     Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).
     Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit, 'Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri dosa'.” “Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiah maka datang seruan dari langit, 'Tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima)’.(HR. At-Tabrani).
     Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.

7. Hukuman bagi Koruptor

·                     Wewenang Hakim. Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.

·                     Usulan Hukuman Mati. Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. ”MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini.”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.

·                     Masyarakat Menghendaki Hukuman mati. Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.

·                     Komitmen KPK. Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberan-tasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, Minggu (15/9).

Sebarkan !!! insyaallah bermanfaat.
            ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ              
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagiMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
 Sumber:
www.republika.co.id
www.kpk.go.id
Sumber-sumber lain.
LAMPIRAN

Ironi tahanan koruptor di Indonesia, layaknya memenjarakan beruang dalam penjara bambu

Juli 27, 2018 4.12pm WIB

Penulis

  1. Leopold Sudaryono
PhD Candidate in Criminology at Australian National University, Australian National University

Pengungkapan

     Leopold Sudaryono menerima dana dari Australian National University untuk riset doktoralnya di 6 provinsi di Indonesia.

Mitra

Australian National University memberikan dana sebagai anggota The Conversation AU.
     Menahan koruptor yang memiliki sumber daya keuangan dan penga-ruh politik yang sangat besar di dalam penjara bukanlah perkara yang mudah.
     Jumlah koruptor mungkin hanya 4.552 dari 248.690 tahanan atau 1,8% dari total narapidana di Indonesia. Namun kemampuan mereka untuk mempengaruhi bagaimana penjara dikelola jauh lebih besar daripada angka 1.8% tersebut.
     Kasus korupsi baru-baru ini di Lembaga Pemasyarakatan Suka-miskin di Bandung, Jawa Barat membuktikan betapa kuatnya kekua-saan para koruptor meskipun mereka sudah terkunci di balik jeruji.
     Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan ketua penjara di Bandung, Jawa Barat karena dituduh menerima suap. Narapidana koruptor dikabarkan bisa meminta fasilitas dan layanan tambahan, seperti sel penjara yang mewah dan akses ke ponsel, dengan menyuap.
     Saya meneliti soal ekonomi politik kelebihan narapidana di penjara-penjara Indonesia. Setelah meneliti kondisi penjara di enam provinsi di Indonesia, saya berpendapat bahwa menahan koruptor yang kaya di penjara yang kekurangan dana dan kekurangan petugas itu sama seperti menaruh beruang buas di dalam kandang bambu yang goyah yang dijaga oleh penggembala yang tidak terampil.
     Kandang itu mungkin masih berdiri tegak di sana, tetapi beruang itu masih memiliki pengaruh dalam menentukan bagaimana gembala harus menjalankan kandangnya
Mari kita lihat penyebab masalah ini secara mendetil:

Buruknya kondisi penjara

     Kondisi di sebagian besar penjara di Indonesia sangat mempri-hatinkan. Kondisinya sangat jauh di bawah aturan minimum standar PBB untuk perawatan narapidana atau yang dikenal dengan Aturan Nelson Mandela. Aturan Mandela ini mensyaratkan tersedianya kebu-tuhan dasar dan layanan yang sesuai dengan standar nasional.
     Standar yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan untuk asupan kalori per orang adalah antara 2.475-2.725 kilo kalori , namun penjara di Indonesia hanya mampu menyediakan 1.559 hingga 2.030 kilo kalori karena anggaran yang rendah. Anggaran bahan makanan untuk nara-pidana di Indonesia adalah A$ 1,5 per narapidana per hari atau sekitar Rp15.000 per narapidana per hari
     Untuk layanan kesehatan, setiap narapidana hanya mendapat anggaran A$ 1,2 per tahun atau sekitar Rp1.000 setiap bulan. Seorang narapidana perlu berbagi sel dengan 6-7 orang lain dalam sel yang dirancang untuk 3. Mereka makan, tidur, dan buang air besar di sana. Jika Anda penghuni tahanan tanpa ada dukungan keuangan, hidup akan sangat berat.
     Dihadapkan dengan kondisi sulit seperti ini, narapidana tindak pidana korupsi akan menggunakan sumber keuangannya untuk mengurangi penderitaan mereka selama di penjara; dan ironisnya ini akan membuat mereka terlibat dalam praktik korupsi baru selama di penjara.
     Dengan uang yang dimiliki, narapidana tindak pidana korupsi bisa mendapatkan telur rebus sebagai nutrisi tambahan atau menyewa kasur tidur yang lebih layak pakai.
     Jadi, faktor pendorong utama mengapa praktik penyuapan terjadi di penjara adalah karena kondisi kehidupan yang tidak manusiawi di balik jeruji.

Praktik korupsi di penjara

Praktik korupsi di penjara terjadi dalam berbagai bentuk.
     Praktik ini dimulai dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar: makanan yang layak, tempat tidur yang pantas, kipas angin karena udara sel panas dan lembab. Para narapidana bisa mendapatkan fasilitas ini dengan menyuap penjaga.
     Kebutuhan ini tidak hanya berhenti pada keperluan dasar, namun juga pada pengadaan barang-barang mewah mendekati standar kualitas hidup koruptor sebelum dipenjara.
     Dengan harga tertentu, para koruptor terpidana ini bisa mendapatkan fasilitas AC di dalam sel yang diperlengkapi dengan kulkas, kasur pegas untuk terapi serta TV berlayar lebar. Narapidana bahkan bisa mendapatkan barang terlarang seperti ponsel, laptop dan alat komunikasi lainnya.
     Fasilitas lain yang bisa dinikmati oleh narapidana tindak korupsi adalah izin keluar untuk berobat yang memungkinkan mereka untuk meninggalkan penjara selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sesuai dengan izin yang diberikan.
     Izin keluar didapatkan berdasarkan surat rujukan dari dokter di dalam penjara dengan persetujuan kepala penjara. Kesempatan ini mendorong banyaknya praktik suap yang terjadi.
     Yang parah adalah keberadaan narapidana ini selama mereka keluar penjara tidak dapat diketahui karena sistem pengawasan yang lemah, bahkan tidak ada. Ini sebabnya narapidana koruptor Gayus Tambunan dapat pergi jauh hingga ke Bali dan Macau saat masih dalam masa penahanan.

Koruptor yang mengatur penjara

     Setelah kebutuhan fisik terpenuhi, narapidana korupsi juga menggunakan sumber daya dan pengaruhnya untuk bisa mengendalikan penjara yang dihuninya.
     Mereka mendapatkan pengaruh besar dengan menyediakan duku-ngan finansial pada program rumah tahanan yang tidak dipenuhi oleh anggaran negara; ini membuat mereka mendapatkan respek dan per-lakuan khusus dari pengelola tahanan sebagai imbal baliknya.
     Sebagai contoh, sejumlah narapidana korupsi membantu pengelola tahanan untuk mengadakan program pembinaan keterampilan bagi narapidana lain. Pemerintah mewajibkan setiap rumah tahanan untuk menyelenggarakan program tersebut namun tidak memberikan alokasi dana yang memadai.
     Sebagai contoh pada kasus Bob Hasan saat menjadi narapidana korupsi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Konglomerat industri kayu ini membantu pengurus penjara untuk mengembangkan bengkel kerja bagi narapidana lain) untuk mengembangkan keahliannya.
     Contoh lain pada kasus mantan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom yang dihukum karena menyuap anggota parlemen. Ia membe-rikan bantuan sangat besar kepada pengurus penjara dalam bentuk pengadaan komputer dan renovasi masjid dan gereja di lembaga pemasyarakatan (lapas) wanita Tangerang di Banten tempat ia menjalani hukuman.
     Selain itu, narapidana korupsi juga membantu petugas secara keuangan dalam memenuhi kebutuhan mereka tanpa diminta seperti uang sekolah anak-anak atau bantuan hajatan perkawinan keluarga.
     Akhirnya, bantuan keuangan ini, meskipun mungkin dengan niat yang baik dan tidak bisa dibuktikan sebagai upaya menyuap, dapat membuat petugas dan pengelola penjara memiliki hutang budi kepada tahanan koruptor. Bantuan keuangan seperti inilah yang mempengaruhi bagaimana para gembala mengelola kandang menuruti tuntutan si beruang.

Pengaruh politik

     Banyak narapidana tindak pidana korupsi masih memegang posisi sangat tinggi saat ditahan dan memiliki pengaruh politik yang sangat besar meskipun sudah di belakang jeruji penjara.
     Mereka masih bisa memobilisasi dukungan dari berbagai kalangan baik di pemerintahan maupun parlemen.
     Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota parlemen meminta kepada Untung Sugiyono, Direktur Jendral Pemasyarakatan saat itu (menjabat periode 2007-2011) agar kerja sama antara narapidana tindak pidana korupsi dan pengelola penjara tertentu bisa ditingkatkan untuk menciptakan kondisi sel yang lebih manusiawi.
     Anggota parlemen mengadukan permintaan tersebut karena salah seorang rekannya yang sedang dipenjara karena kasus korupsi di penjara tersebut menghadapi pimpinan lapas yang kurang kooperatif.
     Interaksi di atas menunjukkan bagaimana koneksi politik tingkat tinggi berusaha mempengaruhi otoritas penjara dalam menangani narapidana korupsi.
     Ketika kepala penjara bersedia bekerja sama dengan narapidana korupsi, maka mereka akan ditawarkan promosi jabatan yang lebih tinggi. Apabila mereka menolak, “kepemimpinan” mereka dalam mengelola penjara tersebut dinilai lemah; dan dipastikan performa buruk ini akan terdengar di tingkat nasional.

Bagaimana sebaiknya menghadapi para beruang ini?

     Untuk menghentikan para narapidana tindak pidana korupsi merusak integritas lapas, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) harus mengambil langkah yang lebih mendasar dan drastis:
     Pertama, memperkuat tidak hanya aspek pengamanan fisik (seperti sel dan CCTV) atau prosedur sistem pengamanan namun juga tak kalah penting ketahanan petugas (personnel resilience).
Sebuah penjara bisa saja memiliki sistem pengamanan fisik dan prosedur yang sangat canggih, namun tanpa adanya ketahanan petugas, maka semua itu menjadi tidak efektif di bawah pengaruh narapidana tindak pidana korupsi.
     Ketahanan petugas bisa diperkuat dengan menyediakan lebih banyak pelatihan, sistem pengembangan karier dan penghargaan atas prestasi yang lebih baik, pengakuan akan adanya risiko khusus, sistem pengawasan yang lebih kuat, serta promosi atau pemindahan tugas secara rutin untuk mencegah petugas direkrut oleh narapidana koruptor secara mudah.
     Kedua, pemerintah harus mulai memperlakukan narapidana tindak pidana korupsi sebagai narapidana dengan risiko tinggi. Seperti layak-nya narapidana teroris, tahanan koruptor juga memiliki ancaman yang tidak kalah seriusnya terhadap integritas penjara, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
     Teroris dan koruptor akan menggunakan kombinasi cara persuasi dan intimidasi untuk bisa mempengaruhi sistem dan merekrut petugas.
     Oleh karenanya tindakan efektif untuk menangani tahanan koruptor adalah dengan pengawasan 24 jam melalui CCTV dan gelang kaki elektronik. Cara lain adalah dengan menutup identitas petugas (dengan masker) untuk menghentikan interaksi antara petugas dan narapidana korupsi.
     Pada penanganan narapidana teroris, Badan Nasional Penanggu-langan Terorisme masih terlibat dalam program dan pengawasan. Sudah saatnya Kementerian Hukum dan HAM melibatkan KPK dalam pengawasan penanganan tahanan koruptor untuk memastikan kejadian yang sama tidak akan terulang kembali.
     Ketiga, melindungi proses seleksi pimpinan penjara dari intervensi politik. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Menteri Hukum dan HAM harus melihat upaya untuk mengatur pemilihan pimpinan lapas oleh pihak lain sebagai ancaman langsung terhadap integritas institusi penjara.

     Jika kita mengabaikan ancaman narapidana tindak pidana korupsi terhadap reputasi penjara serta tidak melakukan perubahan mendasar, praktik korupsi dan suap oleh narapidana tindak pidana korupsi di dalam penjara akan selalu berulang

Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Petaka Bangsa. (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A.)

21 Maret 2014   23:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 284 0 0

     Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A., sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi  harus bertanggung jawab penuh atas berbagai akibat pemikiran otonomi daerah yang kini menjadi beban pembengkakkan angka Korupsi dan keamburadulan birokrasi.
     Reformasi birokrasi pemikiran Ryaas Rasyid yang akhirnya justru berbuntut pada hilangnyaprofesionalisme birokrasi di Daerah dan mahalnya Politik Kekuasaan di Daerah yang bermuara pada merebaknya Korupsi sampai basis birokrasi paling bawah.
     Salah satu contoh nyata adalah tidak adanya batas kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyusun Birokrasi di daerah. Bupati, Walikota dan Gubernur mempunyai kebebasan untuk memenuhi hasratnya dalam menempatkan pejabat-pejabat teras, tidak berdasar-kan kompetensi akan tetapi berdasarkan kedekatan dan balas jasa semasa pencalonannya sebagai Bupati, Wali Kota atau Gubernur. Pasca pemilihan Bupati / Walikota atau Gubernur nyaris tidak akan pernah lepas dari mutasi besar-besaran pada posisi teras tiap-tiap dinas. Maka jangan kaget bila Kepala dinas Kehutanan disuatu daerah sama sekali tidak mengenal masalah hutan, karena diangkat dari seorang Camat. Bila Bupati, WaliKota dan Gubernur yang berbasis Politik Praktis tidak mengenal dan tidak menghargai pentingnya satu kompetensi dalam memegang satu jabatan kemudian hanya berfikir untuk balas budi, akan jadi apa Negeri ini ?
     Banyaknya kasus sengketa PILKADA yang juga karena alasan Politis semata diubah manjadi PEMILUKADA sekedar untuk mendapat “ perlindungan “ dari Mahkamah Konstitusi dan jaringan KORUPSI / SUAP menuju Mahkamah Konstitusi, itu juga“DOSA-RYAAS RASYID”. Ryaas Rasyid pulalah, sebenarnya pencetak para koruptor / penyuap dalam setiap laga Pemilu Kada.
     Dari segi system pemisahan kekuasaan Pusat dan Daerah, ada berapa Negara yang menganut faham yang diterapkan Ryaas Rasyid?   
     Di negara besar, sebuah Negara Federal sebesar Amerika Serikat pun hanya memisahkan kekuasaan pada dua tingkat kewenangan, yaitu Kewenangan Negara Bagian dan Kewenangan Federal.
     Batas kewenangan antara Propinsi dengan Kabupaten Kota yang tidak jelas, semakin menjauhkan Politik Kebijakan Pusat dengan Daerah. Kewenangan Legislatif di Daerah akhirnya dalam praktik kenyataannya overlapping dengan kewenangan Eksekutif. Hampir semua tender dengan pelaksana Proyek yang terjadi di daerah tidak akan lepas dari campur tangan langsung Legislatif. Hanya dengan adanya deal-deal pembagian kepentingan antara Eksekutif dan Legis-latif tender setiap proyek bisa berjalan. Ini Juga“ Dosa “ Ryaas Rasyid.
     Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. memang bisa berkilah, bahwa oto-nomisasi yang berlaku saat ini sudah bukan tanggung jawabnya lagi karena sudah menjadi amanat Undang Undang Dasar. Otonomisasi adalah hasil Amandemen UUD 45. Akan tetapi justru itulah dosanya semakin besar, memanfaatkan semangat reformasi yang hanya ber-modal kebencian terhadap Orde Baru, melontarkan ide Otonomisasi tanpa arah untuk mengubah sebuah Undang Undang Dasar yang selain hanya untuk memberi kepuasan diri dan kesempatan berekspresi bagi actor politisi daerah juga berpotensi merobek-robek arti persatuan yang seharusnya dipertahankan.
     Praktik Otonomi Daerah yang saat ini justru “menjadi beban” Bangsa Indonesia dengan menghabiskan anggaran dan kekayaan Negara dan sarat dengan kepentingan Politik sesaat yang melambungkan Tingkat Korupsi sampai ke puncak paling tinggi, adalah satu indikasi bahwa Amandemen UUD 45 telah gagal dan perlu ditinjau kembali.
Bagaimana Otonomi Daerah yang Ideal ?
     Tulisan ini tidak hanya mengkritik, akan tetapi juga mencari sebuah Solusi.
     Otonomi Daerah dengan pemberian kekuasan yang lebih luas kepa-da daerah memang sangat diperlukan, akan tetapi pembagian kekuasa-an antara Pusat dengan Daerah harus hanya terjadi satu tingkat pem-bagian kewenangan dan tidak ada overlapping kewenangan, sehingga pertanggung jawabannya menjadi jelas. Dimana Pusat hanya terbatas mengurusi masalah HANKAM NAS, Politik Nasional dan Hubungan Luar Negeri, system Ekonomi Nasional, System Kesejahteraan Nasional serta Hukum dan Hak Azasi Warga Negara / Manusia. Sedangkan masalah Pembangunan seutuhnya diserahkan kepada Daerah. Biarlah Daerah bersaing dengan kelebihan dan kekurangannya untuk kemudian saling bekerja sama antar daerah dengan atau tanpa mediasi kewenangan Pusat.
     Akan tetapi yang paling penting “ TIDAK LAGI ADA PEMBAGIAN KEWENANGAN BERTINGKAT-TINGKAT DENGAN OVERLAPPING KEWENANGAN” dimana hanya ada pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah dengan otonomi luas sampai dengan tingkat Propinsi. Sedangkan Kabupaten dan Kota adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Otonomi Propinsi.Tidak ada lagi Pemilu Kada Kabupaten – Kota, Tidak ada lagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten /Kota. Bupati dan Wali kota “TIDAK LAGI PERLU DIPILIH “ akan tetapi adalah merupakan Birokrasi di bawah Pemerintahan Otonomi Propinsi. Konsekuensi dari hilangnya Otonomi Kabupaten / Kota, maka Propinsi dengan otonomi yang lebih luas di sebuah Negara Besar seperti Indonesia ini, tidak akan cukup hanya dengan 34 Propinsi. Berapa Propinsi ? Itu yang harus dikaji untuk munculnya sebuah Undang-Undang.
Pemilihan umum
621
 
62
 
     Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktu pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, akan tetapi ada pula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara. Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak !aman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehen-daknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perla-kuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.

Pramono: Demokrasi di Indonesia Terlalu Mahal

Red: Mansyur Faqih
Republika/Yasin Habibi

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN --  Proses demokrasi di Indonesia dinilai terlalu mahal. Sehingga dianggap memiliki benang merah dengan praktik dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara.
     Wakil ketua DPR Pramono Anung mengatakan, mahalnya demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan setiap kelompok.
     Kondisi itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang menerapkan politik biaya murah dan mengutamakan transparansi dalam penggunaan dana.
     Perbandingan tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia.
     Di negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus mengumumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar AS.
     Sedangkan di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS untuk perusahaan.
     "Itu membuktikan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal," katanya, Kamis (24/10).
     Kondisi itu menjadi semakin mahal karena proses demokrasi yang akan dilalui setiap orang mencapai delapan jenis. "Dalam lima tahun bisa delapan kali. Mulai dari presiden hingga kepala desa," kata politisi PDI Perjuangan itu.
     Menurut Pramono, fenomena mahalnya proses demokrasi di Indonesia tersebut cukup mengkhawatirkan karena dapat berdampak langsung pada perilaku korupsi.
     Kondisi itu menjadi tanggung jawab bersama agar proses demokrasi di Indonesia tidak perlu mengeluarkan biaya mahal dan kembali ke jalur yang benar.
     Tanpa harus menghabiskan biaya yang besar, seluruh elemen bangsa harus dapat memanfaatkan proses demokrasi untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. 
     "Kesejahteraan itu esensi dari demokrasi. Biaya mahal itu salah satu penyebab perilaku korupsi, walau penyebab utamanya adalah faktor keserakahan," katanya.
Sumber : Antara

Sejarah Pemilu Kepala Daerah di Indonesia

30 November 2010   04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 11236 0 0

     Masyarakat hari ini sudah tidak asing lagi dengan proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung. Sedikit berbeda memang dengan kondisi di saat pemerintahan masa orde baru karena di masa itu pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh lembaga legislatif pada tingkatannya. Namun sebelum masa orde baru bahkan sebelum Indonesia Merdeka jabatan kepala daerah sudah memiliki sistem (konstitusi) yang mengaturnya.
     Sejak masa pemerintahan kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit-elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya. Sejarah demokrasi di
Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang-undang pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903. Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan-ketentuan untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat ordonansi di Hindia Belanda. Dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904).[2] Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota dan ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu. Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa dan Madura.
     Pemerintahan Pangrehpraja saat itu bersifat hierarkis dan sentralistis, mulai dari gewest (propinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen; afdeling (asisten residen). Pada tingkat pamong praja, terdapat kabupaten (bupati), district atau kawedanan (wedana) dan onderdistrict atau kecamatan (camat).[3] Jabatan gubernur, residen, dan asisten residen dijabat oleh orang - orang Belanda, sedangkan untuk jabatan lainnya dipegang oleh bangsa
Indonesia. Untuk semua jabatan tersebut, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh penguasa kolonial atau tepatnya gubernur jenderal, dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan kompensasi ekonomi (upeti). Pendudukan Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga undang - undang yang mengatur tentang penyelengaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 osamu sirei (dalam bahasa Indonesia disebut oendang-oendang). Ketiga oendang-oendang itu adalah oendang-oendang nomor 27 tentang perubahan pemerintah (tertanggal 5 - 8 - 2602), oendang-oendang nomor 28 tentang pemerintahan syuu (tertanggal 7 - 8 - 2602) dan oendang-oendang nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1 - 9 - 2602).[4]
65
 
     Dalam tatanan pembagian daerah masa pendudukan Jepang yang termaktub dalam undang-undang ini adalah keresidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah keresidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si. Kedua daerah itu dikepalai oleh pembesar negara yang diberi nama Kentyoo dan Sityoo. Sementara itu, di tingkatan kawedanan, keasistenan, dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko, sedangkan kepala daerahnya masing - masing disebut Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo. Jabatan Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo dipegang oleh orang-orang pribumi Indonesia, sementara itu jabatan lain di atasnya dijabat oleh perwira-perwira Jepang. Seperti halnya pada masa kolonial Belanda, pada era pendu-dukan Jepang sistem rekrutmen kepala daerah juga tidak demokratis karena kepala daerah diangkat atau ditunjuk oleh penguasa Jepang.
     Setelah Indonesia merdeka, undang-undang yang menyinggung kedudukan kepala daerah adalah undang-undang nomor 1 tahun 1945, tentang peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah menjalankan fungsi ekseku-tifnya sebagai pemimpin komite nasional daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua legislatif dalam badan perwakilan daerah. Pada masa undang -undang nomor 1 tahun 1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya, hal itu dilaku-kan karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat itu tidak baik.
     UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun 1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan di daerah. Dalam undang-undang ini yang dimaksud pemerintahan daerah adalah propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), nagari atau marga. Pengaturan tentang kepala daerah dalam undang-undang ini tertulis dalam pasal 18. dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah propinsi (gubernur) diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh men-teri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota kecil) yang diangkat oleh kepala daerah propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).
     Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan ditetapkannnya Undang-Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1957. didalam undang-undang ini, tingkatan-tingkatan daerah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; daerah tingkat I dipimpin oleh gubernur, daerah tingkat II dipimpin oleh bupati atau walikota dan daerah tingkat III dipimpin oleh camat.
     Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya, oleh karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka akses rakyat berpartisipasi sangat tampak dalam pilkada yang diatur UU No.1 tahun 1957. Dalam undang-undang ini, sistem pemerintahan kepala daerah langsung telah dijabarkan namun dalam prosesnya. Berdasarkan keterangan itu, sistem pilkada langsung dalam UU nomor 1/1957 benar-benar merupakan introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan.[5]
     Selain undang-undang, presiden pertama Republik Indonesia mem-buat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah. Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Oleh karena itu undang-undang ini kelihatan lebih ber-sifat darurat dalam rangka retooning sebagai tindak lanjut berlakunya kembali Undang-Undang 1945. dalam undang-undang ini, kepala dae-rah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam nege-ri. Pengangkatan dilakukan terhadap salah seorang yang diajukan oleh DPRD. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang mengajukan calon kepala daerah.
     Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya undang-undang nomor 18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. dalam undang-undang nomor 18/1965, bertolak belakang dengan undang-undang nomor 1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturan-nya berdasarkan peraturan pemerintah.[6] Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.
     Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk menda-patkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan peme-rintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukan-lah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.[7]
     Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. undang-undang ini menimbulkan perubahan pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penye-lenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara peme-rintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang-undang ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD di luar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.[8] Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelum-nya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan ke-mudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem rekrutmen kepala daerah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok-kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
     Undang-undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi.[9] Untuk menggantikan undang-undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah undang-undang nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) No. 3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepala daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005.
     Pemilihan kepala daerah langsung  yang termaktub dalam undang- undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di
Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang-undang yang baru demi mencip-takan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten Lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi  untuk melaku-kan uji materil pada UU No.32 tahun 2004. akhirnya keluarlah Keputu-san MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
     Revisi undang-undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008. Undang-undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Di mana di dalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah.
     Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang-undang ini Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemu-dian masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan PEMILUKADA.

Referensi
[1] Mariam Budiharjo, edisi revisi, Dasar - Dasar Ilmu Politik PT. Gramedia, Jakarta, 2008., hal 134 - 135.
[2] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hal 38
[3] Ibid., hal 40.
[4] Ibid, hal 42.
[5] Ibid, hal 55.
[6] Ibid, hal 61.
[7] Ibid, hal 65.
[8] Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75.
[9] Ibid., hal 97 - 98.

Pemilu Serentak dan Masa Depan
Konsolidasi Demokrasi
Ria Casmi Arrsa
Peneliti Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya
Gedung Munir Lt II Jl.MT. Haryono No 169
Malang Jawa Timur Kode pos 65145
Email:ppotoda@gmail.com, website:http://www.ppotoda.org
Naskah diterima: 4/8/2014 revisi: 18/8/2014 disetujui: 29/8/2014
Abstrak
     Perkembangan transisi demokrasi di Indonesia berjalan sangat pesat pasca dilakukannya amandemen UUD 1945. Salah satu perkembangan dalam bingkai politik ketatanegaraan ditandai dengan rumusan konstitu-si yang memberikan kerangka dasar bernegara bahwa kedaulatan ber-ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar rumusan tersebut maka suksesi kepemimpinan dalam ca-bang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilaksanakan secara langsung sebagaimana mandat Pasal 22 E ayat (2).
     Namun demikian dalam praktek ketatanegaraan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menunjukkan hal yang inkonsisten dengan rumusan di dalam konstitusi.
     Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 3 ayat (5) menye-butkan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sete-lah pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menya-takan bahwa model pemilihan dimaksud inkonstitusional. Atas dasar itulah penilaian konstitusionalitas norma pemilihan serentak didasarkan pada metode tafsir konstitusi baik dari sisi original intent maupun tafsir sejarah. Desain konstitusional pemilihan umum serentak
Sebagaimana dimaksud lahir sebagai upaya untuk menggeser arah transisi demokrasi menuju pada penguatan sistem konsolidasi demo-krasi agar praktek buram demokrasi langsung yang cenderung transaksional, koruptif, manipulatif, berbiaya tinggi dan melanggengkan kekuasaan dapat diminimalisasi dalam praktek ketatanegaraan yang berdimensikan pada paham demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Kata Kunci : Pemilihan Umum, Kedaulatan Rakyat, Inkonstitusional, Demokrasi
Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014 5 16
Abstract
     The development of democracy in Indonesia is running very rapidly after the 1945 amendment. One of the developments within the frame of politics characterized by constitutional formula that provides a basic framework state that sovereignty belongs to the people and carried out in accordance with the Constitution. On the basis of the formulation of the succession of leadership in the executive and legislative branches are directly implemented as the mandate of Article 22 E of paragraph (2). However, in practice the constitutional arrangements in the Law Number 42 Year 2008 concerning General Pemlihan President and Vice President shows inconsistent with the statement in the constitution . As set out in Article 3 paragraph ( 5 ) states that the election of President and Vice- President held after an election DPR, DPD and DPRD. At the end of the Constitutional Court through Decision No. 14/PUU-XI/2013 stated that the selection of models is unconstitutional.
Based on that assessment constitutionality of norms selection method based on the simultaneous interpretation of the constitution of both the original intent and interpretation of history. Design constitutional elections simultaneously referred born as an attempt to shift the direction of the transition towards democracy in the reinforcement system in order consolidation of democratic practice direct democracy tends opaque transactional, corrupt, manipulative, high costs and preserve power can be minimized in the practice of constitutional democracy dimention to understand and sovereignty of the people.
Keywords : General Election, Sovereignty of the People, Unconstitutional, Democracy
Pemilu Serentak
PENDAHULUAN
     Perkembangan politik dan hukum ketatanegaraan di Indonesia berjalan pesat pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat RI pada kurun waktu 1999-2002. Salah satu dimensi
perkembangan sebagaimana dimaksud ditandai dengan adanya penguatan demokrasi partisipatif oleh rakyat dalam kancah suksesi kepemimpinan nasional melalui sarana penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara langsung. Sebagaimana amanat UUD Negara Republik Indonesia khususnya Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Selanjutnya ketentuan Pasal 6A Ayat (1) mengamanatkan pula bahwa,
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”
Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014 5 17
     Gagasan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung lahir dan diimplemetasikan dalam sistem politik Indonesia dengan latar belakang potret buram tirani kekuasaan pada rezim orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno pelanggaran terhadap konstitusi terjadi tatkala Soekarno menerima pengangkatan dirinya sebagai Presiden seumur hidup menyusul dikeluarkannya TAP MPRS yang mengatur bahwa, : “Dr. Ir Soekarno (Mr. Soekarno), Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang sekarang Presiden Republik Indonesia, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini menjadi Presiden Indonesia seumur hidup”.
     Demikian halnya praktek ketatanegaraan pada masa orde baru di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto yang menerapkan secara ketat sistem satu partai. Meskipun secara formal terdapat tiga partai antara lain Golkar, PPP, dan PDI. Guna memperketat kontrol terhadap partai yang ada Pasal 14 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai yang tidak sesuai dengan tujuan negara.
     1 Praktek demokrasi di era orde baru bisa dibilang belum tercipta pelembagaan demokrasi yang substansial. Kondisi ini terjadi mengingat bahwa proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat diten-tukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu menurut Yves Meny dan Andrew Knapp 2 mengutarakan bahwa, “A democratic system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai politik sulit sekali dibayangkan untuk di sebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.
     Dalam perkembangannya dengan menelisik aspek sejarah amande-men terhadap UUD 1945 menunjukkan bahwa wacana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan topik yang hangat diperdebat-kan oleh berbagai kalangan dalam proses amandemen. Perdebatan sebagaimana dimaksud mengemuka sejak Rapat BP MPR ke 2 pada 6 Oktober 1999 terutama mengenai isu seputar apakah pasangan Presiden dan Wakil Presiden tetap dipilih oleh MPR sebagaimana pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 ataukah dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Dalam rapat Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyinggung soal perlunya perubahan tata cara Presiden dan Wakil Presiden menjadi lebih terbuka dan demokratis.
31 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 (Antara Mitos dan Pembongkaran),
Jakarta: Penerbit Mizan: 2007, h. 140-1412
     Yves Meny dan Andrew Knapp dikutip dari Jimly Asshidiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005, h. 55.
Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014
518
     Terminologi demokrasi sendiri bermula dari istilah Yunani Klasik pada abad ke-5 SM. Istilah yang dikenalkan pertama kali di Athena ini berasal dari dua kata, yaitu demos yang memiliki arti rakyat, dan Kratos / cratein yang berarti pemerintahan (rule) atau kekuasaan (strength).
     4 Dalam ranah konseptual, demokrasi dapat diberi pengertian sebagai sebuah pemerintahan yang dilangsungkan dengan dilandasi kedaulatan rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi, atau yang biasa kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
     5. Abraham Lincoln pada 1867 memberikan pengertian demokrasi sebagai “government of the people, by the people, and for the people”.
Pasca-Perang Dunia II, pemilihan umum merupakan praktek politik ke-tatanegaraan yang sudah sangat lazim digelar di banyak negara. Hal ini merupakan implikasi historis atas kemenangan demokrasi dalam meng-hadapi gagasan, ideologi atau rezim lainnya. Saat ini hampir tidak ada negara yang menolak gagasan demokrasi, bahkan negara yang tidak mempraktekkan demokrasi pun mengklaim dirinya sebagai negara demokratis. Pemilu sesungguhnya bukan sekadar arena untuk mengek-presikan kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya, tetapi juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan menghukumnya jika kinerja dianggap buruk. Dengan demikian, para pemimpin rakyat yang menjadi anggota badan perwakilan rakyat maupun yang menduduki jabatan pemerintahan, diseleksi sendiri oleh rakyat. Pada titik ini pemilu menunjukkan kemampuannya dalam menerjemahkan gagasan mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
     6 Dalam praktek ketatanegaraan di masa transisi demokrasi yang berlangsung pada kurun waktu 1998 sampai saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi yang tangguh dan handal.
     Momentum transisi demokrasi di era reformasi ditandai dengan pe-nyelenggaraan Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama pada masa reformasi yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama dengan Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan yang digunakan bersifat berimbang
     Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002), Jakarta: Mahkamah Konstitusi: 2010, h. 240.
     4 Dalam konsep pemikiran Para ahli politik, pemerintahan maupun hukum tidak berbeda dalam mengutip mengenai asal kata ’demos’ yang memiliki arti pemerintahan, namun demikian banyak yang berbeda dalam mengutip kata ’kratos’, ada yang menyebutnya cratia, cratein, atau cratos.
     Oleh karena itu jika terdapat keberagaman dalam pemaknaan semantik dari kata demokrasi, maka dapat memahami dan memaklumi perbedaan tersebut. Secara prinsip hal tersebut sama.
     Lihat Sunil Bastian dan Robin Luckham, Can Democracy be Designed ?, The Politics of Institutional Choice in Conflict-torn Societies, London&Newyork: Zed Books, 2003, h. 15.
     5 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, h. 10.
     6 http://www.rumahpemilu.org/read/19/Apa-dan-Bagaimana-Pemilu, diakses pada tanggal 12 Februari 2014Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar