Jumat, 03 November 2017

Buku Menyingkap Tabir Ayat Mutasyabihat Seri Ke-16

 

 

 
BERTAQWALAH
(Takut Kepada Alloh Swt.)
JANGAN KORUPSI (GHULUL)
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
Definisi dan Pengertian
(Dikutip dari Wikipedia)
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalah-gunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepa-da mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
     Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukum,
2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
5. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
a. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
b. Penggelapan dalam jabatan,
c. Pemerasan dalam jabatan,
d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri / penyelenggara negara), dan
e. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri / penyelenggara negara).
     Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keun-tungan pribadi. Semua bentuk pemerintah | pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

1. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6. Lemahnya ketertiban hukum.
7. Lemahnya profesi hukum.
9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
     Akibat dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung (dipilih oleh rakyat).
 Ryaas Rasyid

1. Pendapat Ryaas Rasyd
     Ryaas Rasyd  adalah Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
     Sedikitnya ada tiga dampak besar pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuat banyak pihak prihatin.
1. Penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen,
2. Tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan
3. Akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.
     Dia mencontohkan dampak besarnya biaya kampanye yang kemudian mengakibatkan kepala daerah sulit lepas dari perilaku koruptif tergambar dalam data yang dilansir Kementerian Dalam Negeri, bahwa ada 160 kepala daerah yang telah dan akan dibawa ke pengadilan.
     "Kesemuanya terkait dengan korupsi APBD. Perlu dicatat bahwa semua kepala daerah yang bermasalah ini adalah hasil dari pilkada langsung," katanya. 
Baca di Lampiran
Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Sumber Petaka Bangsas (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A.)

2. Pendapat Gamawan Fauzi 
Hasil gambar untuk foto gamawan fauzi                   Gam
   
     Gamawan Fauzi pernah menjabat Menteri Dalam Negeri di bawah presiden Susilo Bambang Yudoyono. Waktu itu beliau mengatakan. "Sekarang ini ada 524 daerah otonom. Dari jumlah itu, 290 kepala daerahnya sudah jadi tersangka, terdakwa, dan terpidana," katanya. Mayoritas atau sekitar 86,2 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena terkait korupsi. Korupsi ditengarai dilakukan lantaran tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan kepala daerah. Oleh karena itu, Gamawan meminta agar fakta-fakta itu dijadikan pertimbangan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
3. Pendapat Pramono AnungDemokrasi di Indonesia Terlalu Mahal 
Hasil gambar untuk foto pramono anung

Wakil ketua DPR Pramono Anung mengatakan, mahalnya demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan setiap kelompok.
     Berdasarkan temuannya, politisi yang akrab disapa Mas Pram ini menjelaskan, ada tingkatan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye. “Dana minimal itu di bawah Rp 600 juta, dana standar antara Rp 600 juta hingga satu miliar, dana besar di atas satu miliar. Untuk incumbent saja ada yang mengeluarkan Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,5 miliar, bagaimana dengan tokoh biasa?,” bebernya. Lebih lanjut Pramono Anung mengurai, ada hubungan antara figur calon dan besarnya biaya kampanye. “Biaya paling rendah adalah publik figur dan paling tinggi itu pengusaha,  kisarannya satu sampai enam miliar,” pungkasnya, 
     Kondisi itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang menerap-kan politik biaya murah dan mengutamakan transpa-ransi dalam penggunaan dana. Perbandingan tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia. Di negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus meng- umumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar AS.
     Sedangkan di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS untuk perusahaan.
     Kondisi itu jauh berbeda dengan proses demokrasi yang dijalankan di negara lain yang menerapkan politik biaya murah dan mengutamakan transparansi dalam penggunaan dana. Perbandingan tentang mahalnya biaya demokrasi di Tanah Air tersebut dapat dilihat dari jumlah dana sumbangan dari pihak ketiga sebagaimana dilakukan di Australia. Di negara itu, peserta sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung harus mengumumkan secara terbuka dana sumbangan yang masuk jika mencapai 10 ribu dolar AS.
     Sedangkan di Indonesia, keharusan untuk mengumumkan secara terbuka itu jika telah mencapai minimal 100 ribu dolar AS untuk perseorangan dan 750 ribu dolar AS untuk perusahaan.
     "Itu membuktikan bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal," katanya, Kamis (24/10)
     Kondisi itu menjadi semakin mahal karena proses demokrasi yang akan dilalui setiap orang mencapai delapan jenis. "Dalam lima tahun bisa delapan kali. Mulai dari presiden hingga kepala desa," kata politisi PDI Perjuangan itu.
     Menurut Pramono, fenomena mahalnya proses demokrasi di Indonesia tersebut cukup mengkhawatirkan, karena dapat berdampak langsung pada perilaku korupsi.
     Kondisi itu menjadi tanggung jawab bersama agar proses demokrasi di Indonesia tidak perlu mengeluarkan biaya mahal dan kembali ke jalur yang benar. Seluruh elemen bangsa harus dapat memanfaatkan proses demokrasi untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. 
     "Kesejahteraan itu esensi dari demokrasi. Biaya mahal itu salah satu penyebab perilaku korupsi, walau penyebab utamanya adalah faktor keserakahan," katanya.
Sumber : Antara

Dampak negatif korupsi

Demokrasi

     Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

 

Ekonomi

     Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
     Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru moncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Di mana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
     Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Kasus di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan.

Kesejahteraan umum negara

     Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi dalam Islam
Oleh  Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin
     Hadis 01 Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Ra. berkata : Aku pernah mendengar Nabi Saw. bersabda  “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw., seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan. ”Nabi Saw. bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab ,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.).” Beliau Saw. pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barang-siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak  Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang  maka tidak boleh.”
TAKHRIJ HADITS
– Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
– Abu Dawud dalam Sunannya dalam kitab al Aqdhi-yah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
– Imam Ahmad dalam Musnadnya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Ra. di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RA
     Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Saw., di antaranya adalah hadits ini.
     Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Ra.. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
     Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya ber-makna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya ber-makna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
     Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.
MAKNA HADITS
     Nabi Saw. menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
     Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw., serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Saw. untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Saw. menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Saw.. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Saw. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Saw., maka mereka tidak boleh mengambilnya.
SARAH HADITS
     Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda :“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya  maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”.[5]
     Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]
     Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Saw. menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
     Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Saw. yang shahih.
     Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Swt. “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu)  maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [QS. Ali Imran: 161].
     Dalam ayat tersebut Allah Swt. mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
     Menurut penjelasan Ibnu Abbas Ra., ayat ini di-turunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Saw. telah mengambilnya. Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Saw. terbebas dari tuduhan tersebut.
     Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Saw. dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
     Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”
     Ibnu Katsir mengatakan,”Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
     Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Swt., sebagaimana dalam firmanNya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [QS. Al Baqarah [2}:188]
     Juga firmanNya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” [QS. An Nisaa` [4] : 29].
     Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Saw., maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Ra. dan hadits Buraidah Ra..
PINTU-PINTU KORUPSI
     Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
     Nabi Saw. menceritakan : “Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya: “Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya, tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”.
     Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : “Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami,” maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumya): “Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku,” kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) ke padaku,” kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,”Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul,” maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
     Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw  dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan  “Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?”
     Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Saw. berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Saw. mengatakan  “(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya. Dalam  hal ini, Nabi Saw. pernah bersabda : “Hadiah untuk para petugas adalah ghulul”. [11]
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Saw., yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
BAHAYA PERBUATAN GHULUL (KORUPSI)
    
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Di antaranya :
1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Ra. di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Ra., Rasulullah Saw. bersabda :  “Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
     Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Ra., bahwa Nabi Saw. bersabda : (karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”. [14]
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Saw.  “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang”. [15]
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Saw.  “Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)”.[16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Saw. : “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,”Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah) juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu,” kemudian beliau (Rasulullah) Saw. menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): “Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”. [17]
     Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish Shawab. 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Saw. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Saw. (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunannya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Saw. (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Saw., hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pad Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modala catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Ra. dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Ra.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.

 

Hukuman bagi Koruptor

    Wewenang hakim. Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim .   

     Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.

Usulan Hukuman Mati. Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. ”MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini. ”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.

Masyarakat Menghendaki Hukuman mati. Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.

Komitmen KPK. Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi, Minggu (15/9).

Usulan penulis untuk hukuman ta’zir
     Selain mengembalikan harta korupsi (dimiskinkan), juga dihukum sama dengan pencuri yaitu dipotong tangan.

 
Jember, 20 Oktober 2017
 
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember


Lampiran
     Revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan terhadap Undang-unang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini adalah mengenai Pemilihan Kepala Daerah. di mana di dalam Undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-undang ini pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP.

Sejarah Pilkada Langsung
 Dikutip dari Ari Barata - Kompasiana
      Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti perihal lahirnya Undang=undang yang mengatur tentang otonomi daeran terutama dalam hal pemilihan kepala daerah
     Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada Undang-undang ini Pemilihan Kepala Daerah dimasukkan pada rezim pemilu. Maka kemudian masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan PEMILUKADA (Pemilihan Kepala Saerah secara langsung oleh rakyat). 

Otonomi Daerah yang Kebablasan Adalah Salah Satu Sumber Petaka Bangsa (Dosa Besar Prof. Dr. M. Ryaas  Rasid, M.A.)

Dikutip dari Ibnu Dawam Azis

21 Maret 2014 23:24 Diperbaharui: 24 Juni 2015 

     Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. sebagai anggota Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi harus bertanggung jawab atas berbagai akibat pemikiran otonomi daeran yang kini menjadi beban pembengkakan angka Koruppsi dan keamburadulan birokrasi. 
     Reformasi birokrasi pemikiran Ryaas Rasyid yang akhirnya berbuntut pada hilangnya profesionalisme birokrasi di daerah dan mahalnya politik Kekuasaan di aerah yang bermuara pada merebaknya korupsi sampai basis birokrasi paling bawah. 
     Salah satu contoh nyata adalah tidak adanya batas kewenangan Pemerintah Daerah dalam menyusun Birokrasi di daerah. Walikota dan Gubernur mempunyai kebebasan untuk memenuhi hasratnya dalam menempatkan pejabat-pejabat teras. Tidak berdasarkan kompetensi akan tetapi berdasarkan kedekatan dan balas jasa semasa pencalonannya sebagai Bupati, Walikota atau Gubernur 
    . Pasca pemilihan Bupati / Walikota atau Gubernur nyaris tidak akan pernah lepas dari mutasi besar-besaran pada posisi Teras tiap-tiap Dinas. Maka jangan kaget bila Kepala Dinas Kehutanan di suatu daerah sama sekali tidak mengenal masalah hutan, karena diangkat dari seorang Camat. Bila Bupati, WaliKota dan Gubernur yang berbasis Politik Praktis tidak mengenal dan tidak menghargai pentingnya satu kompetensi dalam memegang satu jabatan kemudian hanya berfikir untuk balas budi, akan jadi apa Negeri ini ?
     Banyaknya kasus sengketa PILKADA yang juga karena alasan Politis semata diubah manjadi PEMILUKADA sekedar untuk mendapat “perlindungan“ dari Mahkamah Konstitusi dan jaringan KORUPSI / SUAP menuju Mahkamah Konstitusi, itu juga“ DOSA-RYAAS RASYID”.Ryaas Rasyid pulalah, sebenarnya pencetak para koruptor / penyuap dalam setiap laga Pemilu Kada.
     Dari segi system pemisahan kekuasaan Pusat dan Daerah, ada berapa Negara yang menganut faham yang diterapkan Ryaas Rasyid? Di negara besar, sebuah Negara Federal sebesar Amerika Serikat pun hanya memisahkan kekuasaan pada dua tingkat kewenangan, yaitu Kewenangan Negara Bagian dan Kewenangan Federal.
     Batas kewenangan antara Propinsi dengan Kabupaten Kota yang tidak jelas, semakin menjauhkan Politik Kebijakan Pusat dengan Daerah. Kewenangan Legislatif di Daerah akhirnya dalam praktek kenyataannya overlapping dengan kewenangan Eksekutif. Hampir semua tender dengan pelaksana Proyek yang terjadi di daerah tidak akan lepas dari campur tangan langsung Legislatif. Hanya dengan adanya deal-deal pembagian kepentingan antara Eksekutif dan Legislatif tender setiap proyek bisa berjalan. Ini Juga “Dosa“ Ryaas Rasyid.
     Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. memang bisa berkilah, bahwa otonomisasi yang berlaku saat ini sudah bukan tanggung jawabnya lagi karena sudah menjadi amanat Undang Undang Dasar. Otonomisasi adalah hasil Amandemen UUD 45. Akan tetapi justru itulah dosanya semakin besar, memanfaatkan semangat reformasi yang hanya bermodal kebencian terhadap Orde Baru, melontarkan ide Otonomisasi tanpa arah untuk mengubah sebuah Undang Undang Dasar yang selain hanya untuk memberi kepuasan diri dan kesempatan berekspresi bagi actor politisi daerah juga berpotensi merobek-robek arti persatuan yang seharusnya dipertahankan.
     Praktik Otonomi Daerah yang saat ini justru “menjadi beban” bangsa Indonesia dengan menghabiskan anggaran dan kekayaan Negara dan sarat dengan kepentingan Politik sesaat yang melambungkan Tingkat Korupsi sampai ke puncak paling tinggi, adalah satu indikasi bahwa Amandemen UUD 45 telah gagal dan perlu ditinjau kembali.
Bagaimana Otonomi Daerah yang Ideal ?
     Tulisan ini tidak hanya mengkritik, akan tetapi juga mencari sebuah Solusi.
     Otonomi Daerah dengan pemberian kekuasan yang lebih luas kepada daerah memang sangat di-perlukan, akan tetapi pembagian kekuasaan antara Pusat dengan Daerah harus hanya terjadi satu tingkat pembagian kewenangan dan tidak ada overlapping kewenangan, sehingga pertanggung jawabannya menjadi jelas. Di mana Pusat hanya terbatas mengurusi masalah HANKAMNAS, Politik Nasional dan Hubungan Luar Negeri, system Ekonomi Nasional, System Kesejahteraan Nasional serta Hukum dan Hak Azasi Warga Negara / Manusia. Sedangkan masalah Pembangunan seutuhnya diserahkan kepada Daerah. Biarlah Daerah bersaing dengan kelebihan dan kekurangannya untuk kemudian saling bekerja sama antar daerah dengan atau tanpa mediasi kewenangan Pusat.
     Akan tetapi yang paling penting “ TIDAK LAGI ADA PEMBAGIAN KEWENANGAN BERTINGKAT-TINGKAT DENGAN OVERLAPPING KEWENANGAN  ”Dimana hanya ada pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah dengan otonomi luas sampai dengan tingkat Propinsi. Sedangkan Kabupaten dan Kota adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Otonomi Propinsi.Tidak ada lagi Pemilu Kada Kabupaten – Kota , Tidak ada lagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten / Kota. Bupati dan Wali kota “TIDAK LAGI PERLU DIPILIH “ akan tetapi adalah merupakan Birokrasi di bawah Pemerintahan Otonomi Propinsi. Konsekuensi dari hiiangnya Otonomi Kabupaten / Kota, maka Propinsi dengan otonomi yang lebih luas di sebuah Negara Besar seperti Indonesia ini, tidak akan cukup hanya dengan 34 Propinsi. Berapa Propinsi ? Itu yang harus dikaji untuk munculnya sebuah Undang-undang.
Ibnu Dawam Azis

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar