Jumat, 27 Februari 2015

Menggunakan Corticosteroid Sebagai Ajuvant Terapi Penyakit TBC



PROPOSAL

Mengurangi Kegagalan
Terapi Penyakit Tuberculosis
Dengan Corticosteroid

Oleh : Dr. H. M. Nasim Fauzi



A. Pendahuluan
Penderia TBC dengan cavitas di lobus kanan atas paru

Organisasi Kesehatan Dunia WHO menggolongkan penyakit TBC sebagai penyakit endemik yang sulit dihilangkan. Riset WHO tahun lalu menunjukkan hampir sepertiga penduduk dunia mengidap TBC. Setiap tahun, lebih dari 1,7 juta orang meninggal dunia. Laju penyebaran penyakit ini sulit dibendung lantaran TBC mudah sekali menular.
Dalam perspektif Indonesia, penyakit TBC juga menjadi masalah serius. Indonesia merupakan negara kelima sebagai negara yang paling banyak mengidap penyakit TBC. Indonesia hanya kalah dari Swaziland, Kamboja, Zambia dan Djibouti. Jumlah pengidap TBC saat ini 321 orang per 100 ribu penduduk. Dengan sekitar 65 ribu orang yang meninggal dunia.
Penyakit TBC di Indonesia merupakan salah jenis penyakit penyebab kematian nomor 4 setelah penyakit stroke, penyakit diabetes, dan penyakit hipertensi /tekanan darah tinggi. 
Kebanyakan kasus terjadi di perkotaan. Dan berbeda dengan kasus yang terjadi di perkotaan, kasus penyakit TBC yang terjadi di pedesaan merupakan salah satu penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke.


Foto sputum dengan kuman TBC yang dicat dengan Kinyoun
Penyebab dari penyakit TBC adalah kuman Mycobaterium tuberkulosis dan biasanya kuman ini akan menyerang paru-paru. Selain itu penyakit TBC bisa menyerang organ tubuh yang lain misalnya kelenjar getah bening, usus serta ginjal, kandungan, tulang dan bisa juga menyerang selaput otak

Gambar paru dengan tubercle
Tuberkulosis menyebabkan reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru, yaitu terjadinya penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag dan pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa yang membentuk tuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran bakteri tuberkulosis yang lebih luas di dalam paru-paru.

 Pembentukan sel-sel raksasa Langhans / Giant cell
Kuman TBC yang dimakan makrofag tidak mati. Kuman TBC yang berada di dalam makrofag tersebut mensensitasi T cell sehingga terjadi keadaan imunitas atau hipersensitivitas. Bila lymphokin yang diproduksi tidak banyak, terjadi reaksi imuntas. Lymphokin yang mampu meningkatkan fagositosis dan meningkatkan bakterisidal. Bila lymphokin yang diproduksi tidak banyak, terjadi hipersensitivitas di mana terjadi khemotaksis monosit dan makrofag. T cell yang tersensitasi membuat pagar, mengelilingi protoplasma makrofag yang berbentuk serupa epitel (sel epiteloid). Akhirnya terbentuk granuloma yang khas. Granuloma tersebut akhirnya mengalami nekrosis perkejuan di bagian sentralnya. Bila basil tbc dimasukkan ke dalam jaringan, maka lekosit ramai-ramai tercurah di daerah itu.
Fase lekosit ini tidak berlangsung lama dan sel lekosit ini kemudian diganti oleh sel makrofag yang sanggup memfagositosus lekosit yang mati dan basil tbc. Akibatnya makrofag berubah menjadi sel epiteloid. Sel epiteloid ini mengelompok/bersatu membentuk sel raksasa Langhans dengan inti-inti berderet melingkar. Bila tuberkel ini bersifat avaskuler, maka terdapat lekosit dan terjadi nekrosis kaseosa. Bila lekositnya banyak, terjadi keadaan supuratif.

Material granular dari nekrosis kaseosa dengan inti
mengalami degenerating dan fragmented.
B. Permasalahan 1

Bagaimanakah Interaksi antara macrofag dan Mycobacterium tuberculosa itu ?
I. Macrofag
1. Macrofag termasuk jenis leukocyte

Gambar leukocyte
Makrofag adalah sel pada jaringan yang berasal dari sel darah putih yang disebut monosit. Monosit dan makrofag merupakan fagosit, berfungsi baik pada pertahanan tidak spesifik dan juga pada pertahanan spesifik vertebrata. Peran mereka adalah untuk memfagositosis selular dan patogen baik sebagai sel tak berubah atau bergerak, dan menstimulasi limfosit dan sel imun lainnya untuk merespon patogen. Makrofag berasal dari monosit yang terdapat pada sirkulasi darah, yang menjadi dewasa dan terdiferensiasi dan kemudian bermigrasi ke jaringan. Makrofag dapat ditemukan dalam jumlah besar terutama pada saluran pencernaan, di dalam paru-paru (di dalam cairan tubuh maupun alveoli), dan sepanjang pembuluh darah tertentu di dalam hati seperti sel Kupffer, dan pada keseluruhan limpa tempat sel darah yang rusak didaur keluar tubuh.
Migrasi macrophage

2. Fungsi Makrofag
Makrofag mampu bermigrasi hingga keluar sistem vaskuler dengan melintasi membran sel dari pembuluh kapiler dan memasuki area antar sel yang sedang diincar oleh patogen. Makrofag adalah fagosit yang paling efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor permukaan makrofag memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri melalui “serangan respiratori“, menyebabkan pelepasan bahan oksigen reaktif. Patogen juga menstimulasi makrofag untuk menghasilkan kemokina, yang bisa memanggil sel fagosit lain di sekitar wilayah terinfeksi. Makrofag tidak teraktivasi oleh stimulasi sejumlah sitokina seperti TNFα, IL-1β, IL-15 dan IL-8.
Makrofag adalah sel besar dengan kemampuan fagositosis, yang berarti “sel makan” dapat disamakan dengan pinositosis yang berarti “sel minum”. Fagositosis yaitu kemampuan untuk mengabsorbsi dan menghancurkan mikroorganisme (bakteri atau benda asing). Cara makrofag untuk menghancurkan (memakan) bakteri atau benda asing tersebut ialah dengan membentuk sitoplasma pada saat bakteri atau benda asing melekat pada permukaan sel makrofag, lalu sitoplasma tersebut melekuk ke dalam membungkus bakteri atau benda asing, tonjolan sitoplasma yang saling bertemu akan melebur menjadi satu sehingga bakteri atau benda asing akan tertangkap di dalam vakuola. Lisosom yang memiliki kemampuan untuk memecah materi yang berasal dari dalam maupun dari luar akan menyatu dengan vakuola sehingga bakteri atau benda asing tersebut akan musnah.
                           Gambar proses phagocytosis
Selain memiliki fungsi atau peran utama untuk memakan partikel dan mencernanya bersama-sama dengan lisosom yaitu berkaitan dengan fungsi pertahanan dan perbaikan, fungsi lainnya adalah menghasilkan IL (Inter Leukin) yang mengatur tugas sel-B dan sel-T dari limfosit dan memobilisasi sistem pertahanan tubuh lainnya, makrofag juga merupakan sel sekretori yang dapat menghasilkan faktor nekrosis tumor (TNF = Tumor Nekrosis Faktor) yang dapat membunuh sel tumor, juga menghasilkan beberapa substansi penting termasuk enzim-enzim (lisozim, elastase).
II. Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium Tuberculosis adalah bakteri penyebab penyakit tuberkulosa. Penyebab penyakit TBC pertama kali dideskripsikan pada 24 Maret 1882 oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Robert Koch (1843-1910). Sejak saat itu, 24 Maret diperingati sebagai hari TBC sedunia. Atas temuannya itu, Robert Koch dianugerahi hadiah Nobel dalam bidang fisiologi dan pengobatan pada 1905.
1. Kuman Tuberkulosis
Kuman TBC dengan pengecaan acid fast
Gambar Mycobacterium Tuberculosis dengan Scanning electron micrograph
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
2. Membelah Diri
Bakteri ini adalah jenis bakteri obligat aerob, artinya bakteri ini dapat hidup jika di lingkungannya ada oksigen. Tanpa oksigen, bakteri ini tak dapat hidup. Mycobacterium tuberculosis berkembang biak secara membelah diri setiap 16 hingga 20 jam. Berbeda dengan bakteri biasa yang membelah lebih cepat, bahkan dalam hitungan menit (contohnya saja E. coli yang membelah kurang dari 20 menit). Bakteri ini ukurannya sangat kecil, yaitu sepersepuluh juta hinga dua persepuluh juta meter atau 0,1-0,2 mikrometer. Bentuknya batang kecil dan kebal terhadap desinfektan. Bakteri ini juga mampu bertahan hidup di tempat yang kering. Ia juga bersifat parasit terhadap inangnya.Bakteri TBC mempunyai dinding sel tebal yang mengandung zat lilin. Zat lilin ini berperan dalam terbentuknya fase atau formasi granoluma atau bintil atau nodul yang terlihat pada hasil foto rontgen paru-paru penderita TBC.
3. Cara Penularan:
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
4. Kelangsungan hidup Kuman TBC di dalam makrofag
Kuman TBC adalah patogen yang sangat berhasil. Kuman itu tidak mati di dalam makrofag. Bahkan kuman itu mampu menggunakan makrofag itu sebagai sarana untuk berkembang biak. Sedang kuman-kuman lainnya bisa dibunuh oleh makrofag.
Kuman tBC telah mengembangkan strategi agar tetap hidup di dalam makrofag. Yaitu:
a. Menghalangi fusi phagosome-lysosome.
b. Menghambat asidifikasi phagosome.
c. Mencegah tryptophan aspartat pada selubung phagosome di lepas ke lysosome.
d. Menggandakan protein yang kaya akan glycin.
Namun mekanisme bagaimana kumanTBC itu bisa masuk ke dalam sel inang, mengatasi pertahanannya, kemudian menyebar ke sel lain belum difahami betul. Pengertiannya yang lebih baik tentu sangat berguna untuk mengatasi pandemi penyakit TBC.
C. Diskusi 1

Kemampuan kuman TBC masuk ke dalam makrofage kemudian berkembang biak menjadikannya sebagai tempat bersembunyi dari serangan musuh-musuhnya, bahkan makrofag itu digunakannya sebagai kendaraan untuk berpindah dan menyebar ke bagian lain dari tubuh.
========================================================
Keberadaan sel-sel makrofag di sekitar kuman TBC ternyata bisa merugikan terapi penyakit TBC.
========================================================
Sebaiknya kita usahakan agar makrofag tidak berada di sekitar kuman TBC dengan menggunakan corticosteroid.
1. Corticosteroid
Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi perubahan lingkungan dan infeksi.
Hormon kortikosteroid terdiri dari 2 sub-jenis yaitu hormon jenis glukokortikoid dan hormon jenis mineralokortikoid. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat luas, seperti berpengaruh pada perubahan lintasan metabolisme karbohidrat, protein dan lipid, serta modulasi keseimbangan antara air dan cairan elektrolit tubuh; serta berdampak pada seluruh sistem tubuh seperti sistem kardiovaskular, muskuloskeletal, sarafkekebalan, dan fetal termasuk mempengaruhi perkembangan dan kematangan paru pada masa janin.
Penggunaan kortikosteroid pada penyakit tuberkulosa hingga saat ini masih kontroversial. Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada tuberkulosa menyebabkan progresifitas penyakit, sehingga penggunaannya merupakan kontraindikasi. Sesuai dengan data-data terbaru menunjukkan bahwa dengan pemberian kortikosteroid yang digabung dengan kemoterapi yang sesuai mempunyai manfaat pada keadaan tertentu pada tuberkulosa,
Pengaruh Corticosteroid terhadap makrophage
Menurunkan jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke dalam limpa, kelenjar limfe, ductus thoracicus dan sumsum tulang.
Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan differensiasinya menjadi makrofag. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag.
Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka, apalagi gerakan makrofag ke daerah keradangan juga menurun pada pemberian steroid yang lama sehingga akan mempersulit penyembuhan luka
2. PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA
Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya sebagai berikut:
a. Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik.
     Dikatakan bahwa pemberian kortikosteroid mempercepat perbaikan klinis dan radiologis, tetapi kesembuhan tetap terantung obat anti tuberkulosa dan penggunaan kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin, kecuali dalam keadaan berat yang memerlukan pengobatan suportif sampai obat anti tuberkulosa bekerja secara efektif.
b. Tuberkulosa Milier
          Dikatakan bahwa angka kematian bisa mencapai 100% bila tidak diberikan pengobatan adekwat dan hal ini terjadi dalam 4-12 minggu dimulai timbulnya gejala klinis, kebanyakan disebabkan oleh karena penyebaran kuman ke susunan saraf pusat dan yang sering terjadi adalah meningitis tuberkulosa.
Ada pendapat lain yang tidak menyetujui pemberian kortikosteroid oleh karena sebagian besar penderita tuberkulosa milier bila telah sembuh maka tidak meninggalkan gejala sisa, sehingga penggunaan kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin.
c. Efusi pleura
Dikatakan bahwa terapi pada pleuritis tuberkulosa bermanfaat mencegah terjadinya efusi pleura, memperpendek gejala klinis yang timbul dan mencegah kerusakan pleura, dimana penebalan pleura dan penurunan fungsi paru merupakan gejala sisa dari efusi pleura. Dikatakan bahwa terutama pada anak, bila terjadi komplikasi, maka fungsi parunya akan turun dan kortikosteroid tidak akan memperbaruhi fungsi parunya.
Sejak pertengahan abad dilaporkan tentang manfaat pemberian kortikosteroid per oral dan intra pleura, khususnya dalam mempercepat penyerapan cairan pleura.
d. Perikarditis tuberkulosa
Perikarditis tuberkulosa merupakan hal yang jarang terjadi, dilaporkan terdapat 44 kasus 3002 penderita tuberkulosa di inggris dalam penelitian  selama 6 bulan.
e. Meningitis tuberkulosa
Meskipun ada beberapa tuberkulosa SSP, namun meningitis tuberkulosa insidenya menduduki tempat tertinggi dengan angka kematian (20-50%).
Pada penelitian awal sekitar tahun 1976 dikatakan bahwa kortikosteroid secara “parenteral “dan “intrakekal” memberi manfaat, dimana efeknya mengurangi peradangan, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi odema otak, menghambat terbentuknya jaringan fibrous, mempercepat perbaikan konsentrasi protein serta jumlah sel darah putih pada cairan cerebro spinal.
3. GOLONGAN KORTIKOSTEROID YANG DIPAKAI
 Kortikosteroid yang cukup banyak dipakai adalah golongan Prednison, namun dapat pula dipakai preparat lain dengan dosis ekuivalen 1 mg/Kg bb/hari. Pada umumnya prednison yang diberikan sebesar 40-60 mg/hari selama 4-7 hari, dilanjutkan dengan dosis 30-50mg/hari selama 4-7 hari, kemudian diberikan dosis 10-30mg/hari selama 5-8 minggu yang diturunkan terus sampai habis.
Dosis ekuivalen beberapa preparat kortikosteroid adalah sebagai berikut:
- kortisol (hidrokortisol)  : 20mg
- metilprednisolon          : 4mg
- kortison                      : 20mg
- triamsinolon                : 4mg
- prednison                   : 5mg
- betametason               : 0,60 mg
- dexametason              : 0,75m

D. Pengalaman Penulis Menggunakan Corticosteroid Sebagai Ajuvant Kemoterapi Dalam Pengobatan Penyakit Tuberculosa

Mula-mula penulis menggunakan tablet prednison dosis tinggi selama 6 bulan.
Dosisnya adalah sebagai berikut :
Bulan I : 3x2 tablet, bulan II : 2-2-1 tablet, bulan III : 2-1-1, bulan IV : 3x1 tablet, bulan V : 2x1 tablet dan bulan VI : 1x1 tablet.
Kasus I :
Seorang penderita laki-laki dewasa yang menderita Tuberculosa paru dengan pleural effusion. Penulis terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik, namun masih terjadi sisa perlekatan pleura. Penulis suruh lari-lari setiap hari. Akhirnya perlekatan pleura terlepas.
Kasus II:
Seorang penderita perempuan dewasa yang menderita KP duplex yang sangat berat, serta pleural effusin. Kondisinya sangat kurus dan sangat lemah.
Penulis terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik. Kondisinya pulih seperti semula.
Kasus III :
Seorang penderita perempuan dewasa yang menderita KP duplex yang sangat berat. Kondisinya sangat kurus dan sangat lemah.
Penulis terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison dengan dosis seperti di atas. Hasilnya sangat baik. Kondisinya pulih seperti semula.
Beberapa kasus lainnya penulis terapi dengan cara yang sama, tetapi tidak kembali untuk kontrol (drop out). Kemungkinannya adalah karena terlalu ruwetnya macam dan jumlah obat, atau terjadi efek samping obat.
Maka selanjutnya penulis meninggalkan cara ini dan menggantinya dengan prednison dosis rendah.
Penggunaan prednison dosis rendah.
Penggunaan prednison dosis rendah ini dianjurkan oleh Prof. Askandar Tjokroprawiro yaitu menggunakan tablet prednison 2 tablet sekali sehari sebelum jam 9 pagi (jam 8 pagi).
Digunakannya prednison karena durasinya yang sedang /intermediate (12-36 jam) sehingga efek sampingnya rendah.
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid15

Kortikosteroid
Potensi
Lama kerja
Dosis ekuivalen (mg)*
Mineralokortikoid
Glukokortikoid
Glukokortikoid
Kortisol (hidrokortison)
1
1
S
20
Kortison
0,8
0,8
S
25
6-α-metilprednisolon
0,5
5
I
4
Prednisone
0,8
4
I
5
Prednisolon
0,8
4
I
5
Triamsinolon
0
5
I
4
Parametason
0
10
L
2
Betametason
0
25
L
0,75
Deksametason
0
25
L
0,75
Mineralokortikoid
Aldosteron
300
0.3
S
-
Fluorokortison
150
15.0
I
2.0
Desoksikortikosteron asetat 
20
0.0
-
-

Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I  = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)

Pemakaian prednison berpengaruh terhadap kerja cortisol tubuh. Agar pengaruhnya terhadap cortisol sekecil-kecilnya maka tablet prednison diberikan sewaktu kadar cortisol paling tinggi yaitu sekitar jam 8 pagi sebanyak 2 tablet. Lihat profile cortisol di dalam serum pada gambar di bawah.
Terapi ajuvant prednison 2 kasus Lymfadenitis Tuberculosa yang telah gagal diterapi dengan Tuberculostatica 
Kasus I
Seorang penderita perempuan dewasa yang menderita Lymphadenitis tuberculosa dengan luka caseus terbuka 2.5 cm di leher kanan. Telah diterapi dengan tuberculostatika tetapi tidak sembuh.
Penulis terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison 2 tablet setiap jam 8 pagi. Hasilnya sangat baik, sembuh dengan sicatrix.
Kasus II
Seorang penderita laki-laki dewasa yang menderita Lymphadenitis tuberculosa 1 cm tertutup di leher kanan. Telah diterapi dengan tuberculostatika tetapi tidak sembuh.
Penulis terapi dengan triple drug yaitu Rifampycin, INH dan ethambutol selama 6 bulan. Ditambah prednison 2 tablet setiap jam 8 pagi. Hasilnya sangat baik, kelenjar limfe mengecil, tinggal 0,5 cm.
E. Permasalahan 2
Bagaimanakah mekanisme kerja corticosteroid dalam penyembuhan penyakit TBC itu ?
F. Diskusi 2
Corticosteroid berpengaruh terhadap keberadaan dan fungsi makrofag di dalam jaringan. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam. Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan differensiasinya menjadi makrofag. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag.
Jumlah makrofag di dalam jaringan berkurang. Tubercle dan giant cel pecah. Maka kuman-kuman TBC itu tidak mendapatkan tempat lagi untuk bersembunyi.
Sewaktu kuman TBC berada di dalam sel-sel makrofag, tubercle dan giant cell, kemoterapi sangat sukar menjangkau kuman-kuman TBC yang berada di dalam sel-sel itu sehingga efektifitasnya sangat berkurang.
Setelah kuman-kuman itu berada di luar sel maka obat-obatan itu bisa langsung menjangkau kuman-kuman itu untuk membunuhnya.
==============================================================
TEORI
Mungkin yang terjadi bukanlah kekebalan kuman TBC terhadap obat, tetapi karena obat-obatan itu tidak bisa menjangkau kuman-kuman TBC yang bersembunyi di dalam sel makrofag.
==============================================================
Bila ini yang terjadi, maka kita bisa meningkatkan efektifitas kemoterapi dan mengurangi kegagalan tyerapi penyakit TBC dengan menggunakan corticosteroid dosis rendah, misalnya prednisan 2 tablet setiap jam 8 pagi.  
Karena samplenya hanya sedikit maka secara statistik teori ini belum terbukti.
Kebenaran teori ini bisa dibuktikan dengan melakukan trial dengan sample yang cukup banyak terhadap penderita penyakit TBC di instansi-instansi pemerintah dan swasta di antaranya adalah di Rumah Sakit Paru di Jember.
Dananya dapat diminta pada instansi kesehatan pusat atau daerah.
E. Kesimpulan dan penutup

Telah dibahas teori tentang pengaruh pemakaian corticosteroid terhadap interaksi antara sel makrofag dan kuman TBC.
Sel makrofag bertugas membunuh sel-sel patogen yang berada di dalam jaringan tubuh manusia dengan cara memakannya kemudian membunuhnya dengan lysosome.
Sebagian besar sel-sel patrogen itu mati. Tetapi kuman TBC telah mengembangkan kemampuan bertahan terhadap lysosome. Malahan tetap bisa berkembang biak di dalam sel makrofag itu. Maka kuman-kuman TBC telah menjadikan sel-sel makrofag itu sebagai tempat bersembunyi dan sebagai kendaraan untuk berpindah tempat.
Kemungkinan kemoterapi TBC tidak bisa membunuh kuman TBC yang berada di dalam sel makrofag, sehingga terjadi kegagalan terapi penyakit TBC.
Di dalam literatur telah dibahas indikasi pemakaian corticosteroid sebagai ajuvant dalam terapi penyakit TBC yaitu :
a. Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik.
b. Tuberkulosa Milier
c. Efusi pleura
d. Perikarditis tuberkulosa
e. Meningitis tuberkulosa
Penulis telah mengetengahkan pengalaman mengobati beberapa orang penderita TBC dengan pemakaian corticosteroid sebagai ajuvant selain kemoterapi.
Karena jumlah samplenyanya sangat sedikit maka secra statistik tidak dapat dipakai sebagai dasar terapi obyek yang lebih luas.
Penulis mengusulkan untuk melibatkan instansi pemerintah dan swasta untuk melaksanakan trial dengan obyek yang lebih banyak.
Keberhasilan trial itu akan sangat membantu dalam mengurangi kegagalan terapi penyakit TbC di masyarakat yang lebih luas.
Semoga makalah ini berguna bagi kita semua, amin.


Jember, 5 April 2015

DR. H.M. NASIM FAUZI
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127
Jember

Kepustakaan
01. Abdul Latief Azis Penggunaan kortikosteroid di
02. old.pediatrik.com/buletin/20060220-uk51j3-buletin.doc
03. Ciri-ciri (Gejala) Penyebab Penyakit TBC Paru-paru dan engobatannya .https://www.facebook.com/p.ireine.a.d.kaunang/posts/745159995549818:0
04. Imunologi Dasar : Makrofag dan Proses Fagositosis  allergycliniconline.com/2013/11/02/imunologi-dasar-makrofag/
06. Obat Kortikosteroid BIOSINTESIS DAN KIMIA http://catatankuliahopik.blogspot.com/
07. Penyakit-tbc-paru-paru http://penyakittbc.org/penyakit-tbc-paru-paru/

08. PENGGUNAAN%20KORTIKOSTEROID elib.fk.uwks.ac.id/.../PENGGUNAAN%20KORTIKOSTEROID%20PAD