Selasa, 13 Juli 2010

Tafsir isteri hendaklah selalu di rumah




Wahai Para Isteri


Hendaklah Kamu Tetap di Rumahmu



Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi



A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. Pendahuluan
Sewaktu menelusuri artikel-artikel di internet yang bersangkutan dengan theologi perempuan, secara tidak sengaja penulis menemukan ayat yang bunyinya menjadi judul makalah ini, yaitu Surat Al-Ahzab :
(ayat 32) Hai isteri-isteri Nabi, ......
(ayat 33) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu 1216) .......
Selengkapnya ayat 33 tersebut adalah sebagai berikut :
  
33:33 
   
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu [1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu [1216] dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait [1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rosul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syaro'.Perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] yang dimaksud jahiliyah yang dahulu ialah jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud jahiliyah sekarang ialah jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, yaitu keluarga rumah tangga Rosulullah s.a.w.
Angkanya juga sangat mudah diingat yaitu 33:33.
Penulis sangat terkejut sewaktu membaca ayat ini, karena artinya sangat dalam dan mempunyai konsekwensi yang sangat luas.
Pada waktu penulis membaca Tafsir Al Azhar karangan Buya HAMKA secara urut dari surat Al Fatihah sampai Surat An Nas beberapa puluh tahun yang lalu penulis tidak merasa telah membaca ayat ini. Setelah khotam sekali itu penulis tidak pernah melakukannya lagi. Tafsir ini hanya penulis baca lagi bila menemukan masalah yang memerlukan uraian tafsir.
  

Karena penasaran, penulis lalu mengambil Tafsir HAMKA yang mengandung ayat tersebut yaitu Tafsir Al-Azhar juz 22, yang bunyinya adalah sebagai berikut :
dan menetaplah kamu dalam rumah kamu”, (Pangkal ayat 33).
Artinya, hendaklah isteri-isteri Nabi memandang bahwa rumahnya, yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggalnya yang tenteram dan aman. Di sanalah terdapat mawaddatan dan rohmatan, yaitu cinta dan kasih sayang. Menjadi ibu rumah tangga yang terhormat.
Ternyata uraian HAMKA sangat singkat, tanpa memberi keterangan tentang asbabun nuzul, tidak mengutip hadis yang sesuai, serta tidak menguraikan pendapat mufassir lain.
Pantas penulis sampai lupa akan ayat ini.


B. PERMASALAHAN

Permasalahan yang dapat kita petik dari pendahuluan di atas adalah :
I. Apakah perintah ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri-isteri Nabi ?
II. Mengapa dikenakan perintah ini ?
III. Apa konsekwensi dari perintah ini ?
IV. Bagaimana contoh pelaksanaanya di zaman Nabi ?


C. PEMECAHAN MASALAH

I. Apakah perintah ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri-isteri Nabi ?
Pada Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI yang penulis kutip di atas diterangkan bahwa perintah ini juga berlaku bagi segenap mu’minat. Apakah di dalam Kitab-kitab Tafsir lain juga demikian ?
Baiklah penulis kutip pendapat Kitab-kitab Tafsir lainnya :
1. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta.
Alloh Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Yaitu istiqomahlah di rumah-rumah kalian dan jangan keluar tanpa hajat. Di antara hajat-hajat syar’i adalah sholat di masjid dengan syaratnya, seperti sabda Rosululloh s.a.w.:
Hadits 01 : Janganlah kalian melarang hamba-hamba Alloh wanita menuju masjid-masjid Alloh dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wangi-wangian..”
Dalam satu riwayat:
Hadits 02 : Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Hadits di dalam Sunan Abi Dawud dan Musnad al-Imam Ahmad).
Hadits 03 : Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya yang lalu, serta Abu Dawud, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Sholat seorang wanita di kamarnya lebih baik daripada sholatnya di rumahnya. Dan sholat di rumahnya lebih baik daripada sholatnya di luar rumahnya.” (Isnad hadits ini jayyid).
Kesimpulan :
Menurut Ibnu Katsir perintah ini berlaku juga untuk mukminat lainnya.
2. Tafsir Al Maroghi 22, Penerbit “Karya Toha Putra”, Semarang.
Senantiasa kalian tinggal dalam rumahmu.
Jadi janganlah kalian keluar rumah tanpa hajat. Firman ini merupakan perintah kepada para isteri nabi, dan juga kepada wanita-wanita lainnya.


Hadits 04: At-Tirmizi dan Al-Bazzar telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya, wanita itu sendiri adalah aurot. Maka apabila ia keluar dari rumahnya, ia diintai oleh setan. Dan wanita yang paling dekat kepada rohmat Tuhannya ialah ketika ia berada dalam rumahnya.”
Kesimpulan :
Menurut Al-Maroghi perintah ini berlaku juga bagi wanita-wanita lainnya.

3. Tafsir Al-Mishbah Volume 10, karangan M. Quroish Shihab.
Alloh berfirman: Dan, di samping itu, tetaplah kamu tinggal di rumah kamu kecuali jika ada keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan oleh adat atau agama dan berilah perhatian yang besar terhadap rumah tangga kamu ....


Kata qorna, begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far---terambil dari kata iqrorna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara tetap. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata qurrot ‘ain dan yang ini berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian perintah ayat ini berarti: Biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga mengandung tuntutan untuk berada di rumah dan tidak keluar rumah kecuali ada kepentingan.
Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasroh pada huruf qof yakni qirna. Ini terambil dari kata qoror, yakni berada di tempat. Dengan demikian, ayat ini memerintahkan isteri-isteri Nabi s.a.w. itu untuk berada di tempat yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Ibn ‘Athiyyah membuka kemungkinan memahami kata qirna terambil dari kata waqor, yakni wibawa dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena itu mengundang wibawa dan kehormatan buat kamu
Kini penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah waqorna dan waqirna fi buyutikum.
Perintah di atas sebagaimana terbaca ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah apakah wanita-wanita muslimah selain isteri-isteri Nabi dicakup juga oleh perintah tersebut ?
Al-Qurthubi (w 671 H)—yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum—menulis antara lain: “Makna ayat di atas adalah perintah untuk tinggal di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w., selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut.” Selanjutnya, al-Qurthubi menegaskan bahwa bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar wanita-wanita tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali karena keadaan darurat. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibn al-‘Arobi (1076-1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya.
Sementara itu, penafsiran Ibn Katsir sedikit lebih longgar. Menurutnya, ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, seperti sholat, misalnya.
  

  
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer, menganut paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya, al-Hijab, ulama ini antara lain menulis bahwa “Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memerhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.” Terbaca bahwa al-Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi “kebutuhan atau keperluan”. Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama R.I.
Thohir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi wanita-wanita muslimah selain mereka sebagai kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi sangat baik dan menjadikan wanita-wanita yang mngindahkannya menjadi lebih sempurna.
Persoalannya adalah dalam batas apa saja izin tersebut ? Misalnya, “Bolehkah mereka bekerja ?”


Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-Muslimin menulis dalam bukunya Ma’rokah at-Taqolid, bahwa: “Ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar.”
Dalam bukunya, Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Quthub lebih menjelaskan bahwa: Perempuan pada awal Islam pun bekerja ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Hanya saja, Islam tidak senang dan tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthub menulis bahwa arti waqorna dalam dalam firman Alloh: Waqorna fi buyutikunna berarti “Berat, mantap, dan menetap”. Tetapi tulisnya lebih jauh, Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”
Sa’id Hawa—salah seorang ulama Mesir kontemporer—memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orangtua dan belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya.
Kesimpulan :
Menurut M. Quroish Shihab perintah ini berlaku juga kepada wanita-wanita muslimah lainnya.
4. Komentar / pendapat penulis
Pada semua tafsir yang dikutip di atas, perintah untuk tetap tinggal di rumah yang ditujukan pada para istri Nabi, juga berlaku bagi semua mukminat, baik yang menjadi isteri / mempunyai suami ataupun yang sendirian.
Sedang mukminat yang sendirian dapat dibagi menjadi dua yaitu yang masih gadis dan yang sudah janda.
Keadaan mukminat yang mempunyai suami sangat berbeda dengan yang sendirian.
Bagi yang mempunyai suami keadaannya adalah :
a. Ada laki-laki yang menanggung nafkahnya yaitu suaminya
b. Mereka bertanggung jawab mengatur rumah tangganya
c. Bila mempunyai anak mereka bertanggung jawab mengasuh dan mendidik anaknya.
Agar rumah tangganya baik tentunyai mukminat tersebut harus selalu berada di dalam rumahnya.
Lain halnya bagi para gadis.
a. Kehidupan mereka berada di dalam tanggungan ayahnya.
b. Di rumah yang ditinggalinya masih ada ibunya yang bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.
c. Biasanya masih bersekolah di luar rumahnya.
d. Tidak mempunyai tanggungan anak.
Maka, masih ada fungsi yang biasanya dilakukan di luar rumah yaitu bersekolah.
Bila orang tua gadis itu tidak mampu maka mereka boleh bekerja karena dorurot, seperti kasus puteri-puteri Nabi Syuaib a.s. di Madyan yang diceriterakan di dalam Al Qur-an. Nabi Musa a.s. yang melarikan diri dari Mesir ke Madyan karena telah memukul seorang Mesir sampai meninggal dunia telah berjumpa dengan mereka di sebuah sumur:
    28:23

23. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".

  

28:24
  
24. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan [1118] yang Engkau turunkan kepadaku".
  
28:25
  
25. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu Telah selamat dari orang-orang yang zalim itu".
  
28:26
  
26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S. Al-Qoshosh [28])
[1118] yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat Ini menurut sebagian besar ahli tafsir ialah barang sedikit makanan.

Sedang seorang janda, bila sudah mempunyai anak, apalagi bila suaminya sudah meninggal dunia maka:
a. Bila masih mempunyai ayah, sesuai dengan prinsip “ar-rijalu qowwamuna ‘alan nisa’ dia akan kembali ke rumah ayahnya /ditanggung ayahnya.
b. Bila ayahnya sudah meninggal dunia, maka kehidupannya ditanggung oleh saudara laki-lakinya.
c. Bila kedua-duanya tidak ada maka untuk mencukupi nafkahnya, dia terpaksa harus bekerja yang biasanya dikerjakan di luar rumah sesuai dengan hadits berikut:

Hadits 05: Jabir bin Abdulloh r.a. berkata: Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia bekerja sebagai pemotong kurma di ladangnya, kemudian seorang lelaki melarangnya bekerja di luar rumah. Maka dia mendatangi Rosululloh s.a.w. seraya mengadukan persoalannya. Lalu beliau bersabda: “Tentu saja kamu boleh bekerja. Potonglah kurmamu, karena sesungguhnya boleh jadi kamu dapat mensedekahkan usahamu atau dapat melakukan hal-hal yang ma’ruf.” (H.R. Muslim).
Maka pada pendapat penulis, selain untuk para istri Nabi, perintah ini berlaku juga bagi para isteri mukminat lainnya, tetapi tidak berlaku bagi mukminat yang sendirian.

II. Mengapa dikenakan perintah ini ?
Ada dua alasan yang bisa dipakai yaitu :
1. Alasan berdasarkan agama / naqol
2. Alasan berdasarkan ilmu pengetahuan / aqol
1. Alasan berdasarkan agama / naqol
Untuk alasan naqol ini penulis kutipkan makalah “Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah” yang diambil dari Muslimah.or.id :

Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah
Penyusun: Ummu Uwais dan Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.
Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.
Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Robb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rosul-Nya.
Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki
Alloh berfirman,
51:56
  
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyat [51] : 56)
Alloh telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Alloh. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.
Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Alloh sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.
Alloh mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.
Alloh berfirman,
  
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى
“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Q.S. Ali Imron [3] : 36)
Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, di antaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.
Hadits 05: Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah r.a. berkata: “Wahai Rosulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya,
  
4:32
  
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 32)”
(Diriwayatkan oleh Ath-Thobari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)
Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Alloh takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Alloh adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab
Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh (kecuali wajah dan telapak tangan, pen.) dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahrom. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Alloh Ta’ala:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur [24] : 31)
Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sohabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu mereka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghiroh). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.
Hadits 07: Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata: “Semoga Alloh merohmati para wanita generasi pertama yang berhijroh”, ketika turun ayat:
 وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,” (Q.S. An-Nuur [24] : 31).
Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar penutup tubuh bagian atas mereka.”
Subhanalloh… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sohabiah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:
  
33:36
  
“Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Alloh dan rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan rosul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab [33] : 36).
Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, di antaranya:
1. Menjaga kehormatan.
2. Melahirkan akhlaq yang mulia.
3. Tanda kesucian.
4. Menjaga rasa malu.
5. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah
6. Menjaga ghiroh.
7. Dan lain-lain
Kembalilah ke Rumahmu
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu.” (Qs. Al-Ahzab/ 33: 33)
Islam telah memuliakan kaum wanita dengan memerintahkan mereka untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Ini merupakan ketentuan yang telah Alloh syari’atkan. Oleh karena itu, Alloh membebaskan kaum wanita dari beberapa kewajiban syari’at yang di lain sisi diwajibkan kepada kaum laki-laki, di antaranya:
1. Digugurkan baginya kewajiban menghadiri sholat jum’at dan shalat jama’ah
2. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi wanita disyaratkan dengan mahrom yang menyertainya.
3. Wanita tidak berkewajiban berjihad.
Sedangkan keluarnya mereka dari rumah adalah rukhshoh (keringanan) yang diberikan karena kebutuhan dan darurat. Maka, hendaklah wanita muslimah tidak sering-sering keluar rumah, apalagi dengan berhias atau memakai wangi-wangian sebagaimana halnya kebiasaan wanita-wanita jahiliyah.
Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya (kecuali wajah dan telapak tangannya, pen.). Dengan menjaga hal ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:
1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitroh dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil diantara hamba-hamba-Nya yaitu kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani pekerjaan di luar rumah
2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas tersendiri, yaitu di luar rumah.
3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.
Islam adalah agama fitroh, dimana kemaslahatan umum seiring dengan fitroh manusia dan kebahagiaannya. Jadi, Islam tidak memperbolehkan bagi kaum wanita untuk bekerja kecuali sesuai dengan fitroh, tabiat, dan sifat kewanitaannya. Sebab, seorang perempuan adalah seorang istri yang mengemban tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, merawat anak, mendidik generasi umat di madrasah mereka yang pertama, yaitu: ‘Rumah’.
Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah
Bersolek merupakan fitroh bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahrom yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.
Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Alloh dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.
Alloh berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab/ 33: 33).
Hadits 08: Abu Huroiroh r.a. berkata: “Rosululloh s.a.w. bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (H.R. Muslim).
Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah di antaranya:
1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahrom.
2. Menampakkan perhiasannya, baik semua atau sebagian.
3. Berjalan dengan dibuat-buat.
4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahrom.
5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.
Pernikahan, Mahkota Kaum Wanita
Menikah merupakan sunnah para Nabi dan Rosul serta jalan hidup orang-orang mukmin. Menikah merupakan perintah Alloh kepada hamba-hamba-Nya:
  
   24:32

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Alloh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Alloh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24] : 32).

Pernikahan merupakan sarana untuk menjaga kesucian dan kehormatan baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, menikah dapat menentramkan hati dan mencegah diri dari dosa (zina). Hendaknya menikah diniatkan karena mengikuti sunnah Nabi s.a.w. dan untuk menjaga agama serta kehormatannya.
Tidak sepantasnya bagi wanita mukminah bercita-cita untuk hidup membujang. Membujang dapat menyebabkan hati senantiasa gelisah, terjerumus dalam banyak dosa, dan menyebabkan terjatuh dalam kehinaan.
Kemaslahatan-kemaslahatan pernikahan:
1. Menjaga keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
2. Menjaga kehormatan dan kesucian diri.
3. Memberikan ketentraman bagi dua insan. Ada yang dilindungi dan melindungi, serta memunculkan kasih sayang bagi keduanya.
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan. Allohu A’lam.
2. Alasan berdasarkan ilmu pengetahuan / aqol.
Telah kita baca pada uraian di atas bahwa habitat seorang wanita adalah di rumah. Maka perintah bagi wanita untuk tinggal di rumah adalah sesuai dengan kodratnya.
Pandangan ini ditentang oleh kaum feminis muslim yang menghendaki keadilan jender, di antaranya wanita boleh bekerja apa saja di luar rumah termasuk menjadi tentara dan polisi. Bagi para feminis muslim yang dimaksud dengan kodrat wanita hanyalah yang sesuai dengan ciri-ciri tubuh wanita yaitu: mempunyai kulit yang halus, tidak berbulu dan cantik. Otot-otonya lebih kecil dibanding pria. Mempunyai buah dada, vagina, rahim dan indung telur. Maka kodrat wanita adalah bersolek, kawin, hamil, melahirkan, menyusui dan memelihara anak.
Selain perbuatan tadi bukanlah kodrat melainkan hanya proses budaya belaka.
Adapun yang dimaksud dengan jender menurut Fatimah Usman adalah persoalan non kodrati, menyangkut pembedaan (i.) tugas, (ii.) fungsi, dan (iii.) peran yang diberikan oleh masyarakat/ budaya terhadap laki-laki dan perempuan, baik dalam (a.) kehidupan pribadi maupun (b.) sosial. Penjabaran peran jender ini begitu luas, mencakup aspek kehidupan (i.) sosial, (ii.) budaya, (iii.) ekonomi, (iv.) politik, (iv.) hukum, dan sebagainya. Biasanya, jender dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan sehingga sebenarnya jender merupakan interpretasi (a.) mental dan (b.) kultural terhadap perbedaan jenis kelamin, bukan alami dan bukan takdir Tuhan.
Penemuan modern tentang perbedaan otak wanita dan laki-laki.
  


Louanne Brizendine, dalam bukunya “Female Brain” dan “Male Brain”, setelah penyelidikannya selama 25 tahun, menggunakan ilmu genetik, elektrofisiologi, dan teknologi pemetaan otak yang tidak berbahaya, serta menggunakan alat-alat canggih antara lain pelacak zat kimia dan genetik, positron emission tomography (PET),dan pencitraan resonansi magnetik (functonal magnetic resonance imaging/ fMRI) telah menemukan bahwa otak wanita sangat berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini terjadi karena struktur otak manusia modern sekarang / Homo sapiens tetap tidak berobah sejak 20.000 tahun yang lalu sewaktu Homo sapiens masih tinggal di hutan savanna di Afrika Timur.
Nabi Adam adalah Homo sapiens pertama, setelah dikeluarkan dari sorga oleh Alloh s.w.t. lalu diturunkan ke bumi yaitu di kawasan Afika Timur. Uraian lengkap masalah ini bisa dilihat di makalah “Asal-usul manusia” di internet pada nasimfauzi.Blogspot.Com.
Di kawasan Afrika timur sekitar 20.000 tahun yang lalu, para wanita tinggal di dalam goa bersama dengan teman-temannya dan anak-anak mereka. Sedang para lelaki pada siang hari pergi berombongan ke luar rumah untuk berburu, sedang sore harinya pulang ke goa.
Fungsi otak wanita modern sekarang masih tetap sama dengan fungsi otak sewaktu mereka masih tinggal di dalam rumahnya di dalam goa 20.000 tahun yang lalu yaitu :
1. Berkumpul bersama sesama wanita dan anak-anak, saling tolong menolong di dalam rumah goa.
2. Kemampuan berkomunikasi /bicaranya serta ingatannya lebih kuat daripada laki-laki. Fungsi ini sangat diperlukan untuk mendidik anak.
3. Cara berfikirnya dalam memecahkan masalah adalah dengan jalan membicarakannya dengan teman-temannya. Bicara keras tidak membahayakan mereka karena posisi mereka di dalam goa jauh dari jangkauan binatang buas.
4. Di dalam goa itu mereka trampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
5. Wanita mampu mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus.
6. Di dalam goa itu masing-masing wanita bersuami satu (bukan poliandri)..
7. Setelah seorang wanita hamil dan melahirkan anaknya yang pertama maka sifat otak gadis mereka berobah menjadi otak ibu yang bersifat sangat perduli terhadap anak dibanding kepada suaminya. Dorongan sexnya lebih lemah daripada laki-laki.

Sedang otak laki-laki manusia modern sekarang (Homo sapiens) masih sama fungsinya dengan otak pemburu binatang di hutan savanna pada 20.000 tahun yang lalu yaitu :
1. Fungsi otaknya sesuai dengan kehidupan di luar rumah goa.
2. Para pemburu itu mampu mengorganisir perburuan yaitu : membuat rencana, membuat peta, menganalisa situasi medan perburuan, kemudian melaksanakan perburuan hewan bersama-sama.
3. Mereka mampu membuat alat-alat dan trampil menggunakannya untuk membunuh hewan buruan atau binatang buas.
4. Para laki-laki jarang berbicara karena berbicara keras akan didengar oleh hewan mangsanya, sehingga hanya menggunakan isyarat. Pemikiran tentang taktik perburuan dilakukan di dalam otaknya dengan jalan “berbicara dengan diri sendiri”.
5. Pandangannya lurus jauh ke depan untuk mengincar mangsa, lelaki kurang mengetahui apa yang ada di sisinya dan di belakangnya.
6. Laki-laki hanya mampu mengerjakan satu tugas saja sekali waktu, sampai tuntas.
7. Nafsu seksnya jauh lebih besar daripada wanita. Laki-laki berfikir tentang seks setiap 50 detik sedang wanita hanya sekali sehari. Bernaluri poligami, karena beristeri seorang wanita goa yang selalu mengandung, melahirkan atau menyusui dan sibuk mengurusi anak-anaknya sangat mengganggu aktifitas seksnya yang selalu bergelora. Menurut Brezendine di dalam kromosom laki-laki terdapat gen poligami sebanyak tujuh tingkat, dari tingkat tujuh yang sangat poligamis sampai tingkat satu yang bersifat monogamis.
Semua sifat ini telah dibuktikan di laboratorium pada penyelidikan otak dengan menggunakan alat-alat modern tadi.
Karena adanya perbedaan fungsi otak laki-laki dan wanita itulah maka, dalam kehidupan modern di seluruh dunia, pekerjaan di luar rumah (publik) lebih cocok dengan fungsi otak dan fisik laki-laki sehingga dalam kenyataannya selalu didominasi oleh laki-laki, sebagaimana di tulis oleh Dr. Gadis Arivia sebagai berikut :


Gadis Arivia memaparkan bagaimana perempuan yang mengerjakan tiga perempat dari seluruh pekerjaan, memproduksi 45 persen makanan di dunia, namun mereka hanya menerima 10 persen pendapatan dunia dan satu persen kepemilikan properti. Bidang kerja perempuan di ruang publik pun kemudian dikotakkan kepada pekerjaan-pekerjaan yang lebih bersifat melayani, mengasuh, dan merawat.
Dalam posisi manajerial, keadaaannya lebih buruk lagi. Di Bangladesh dan Indonesia, hanya satu persen perempuan memegang posisi di tingkat pengambilan keputusan. Di Norwegia dan Australia, manajer laki-laki unggul dengan perbandingan tiga berbanding satu. Di AS, dari 1.000 perusahaan yang diteliti, hanya tiga persen perempuan menduduki posisi eksekutif. Perempuan secara garis besar masih mengalami diskriminasi upah. Sebanyak 60-75 persen perempuan di dunia masih buta huruf. Situasi inilah yang sebenarnya memberikan kontribusi besar terhadap tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan.
Maka pekerjaan di dalam rumah (domestik) secara naluri /kodrat sangat cocok dengan fungsi otak dan fisik wanita.
Kalaupun dipaksakan bekerja di luar rumah, wanita akan mendapatkan beban ganda yaitu beban rumah tangga (domestik) dan beban pekerjaan di luar rumah (publik) sehingga memberatkan dan merugikan wanita.

III. Apa konsekwensi dari perintah ini ?

Sesuai dengan pendapat penulis di atas bahwa perintah untuk diam di rumah ditujukan hanya untuk para isteri, tidak untuk gadis dan janda, maka pekerjaan yang bisa dilkukan oleh para isteri, selain mengatur rumah tangganya, proses reproduksi, memelihara serta mendidik anaknya, juga bisa melakukan bisnis yang dilakukan di dalam rumahnya yaitu :

1. Bisnis toko eceran dan grosir di rumah tokonya.
2. Memproduksi barang di dalam rumahnya (home industry).
3. Membuat perusahaan yang dikendalikan dari rumahnya.
4. Praktek dokter, perawat, bidan atau pengacara di rumahnya.
5. Menjadi pegawai kantor dari jarak jauh yaitu pekerjaan kantor dilakukan di rumahnya.
Sehingga tetap produktif tetapi terhindar dari berbaurnya laki-laki dan perempuan non muhrim di luar rumah tanpa pengawasan suami.
Maka para gadis yang kelak akan menjadi seorang isteri yang tinggal di rumah, dalam menempuh pendidikan tidak perlu memasuki pendidikan untuk menjadi pekerja di luar rumah, melainkan pendidikan itu untuk menjadi seorang isteri dan ibu bagi anak-anaknya yang sempurna, serta menempuh pendidikan untuk menjadi pekerja yang dapat dilakukan di dalam rumah.
Maka pekerjaan di kantor-kantor dan sekolah serta pendidikan tinggi yang sekarang dijabat oleh laki-laki dan wanita, selanjutnya hanya akan diduduki oleh laki-laki saja. Hal ini akan menimbulkan lowongan pekerjaan yang dijabat oleh para wanita sebelumnya. Setelah lowongan ini dimasuki laki-laki tentu akan mengurangi angka pengangguran yang tinggi pada laki-laki, yang pasti akan menguntungkan isteri dan anak-anaknya di rumah.

Masalah Wanita Yang Sendirian
Sedang masalah gadis yang menjadi perawan tua dan para janda yang tidak menemukan laki-laki yang bisa mengawininya, sesuai dengan ayat Al-Quran di bawah :
   

24:32

 “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Alloh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nuur/ 24: 32).

Menjadi kewajiban masyarakat untuk mencarikan suami bagi mereka. Bila jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki maka perlu ada pengorbanan dari laki-laki yang sudah beristeri untuk bersedia mengawini mereka secara poligami agar para wanita itu berkesempatan menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga sesuai naluri / fitrohnya.
Penulis katakan laki-laki itu harus berkorban, karena berpoligami itu jauh lebih berat daripada bermonogami. Selain memerlukan pengorbanan harta juga perlu pengorbanan waktu untuk melakukan giliran terhadap isteri-isterinya secara adil.

IV. Bagaimana contoh pelaksanaanya di zaman Nabi ?
Pada makalah “Wacana Keadilan Jender Dalam Islam” karangan Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si. terdapat cerita tentang para wanita di zaman Nabi sebagai berikut :
  
Dra. Hj. Fatimah Usman, M.Si.
Ketua Pusat Studi Gender IAIN Walisongo Semarang
1. Dalam keluarga Nabi, sebagaimana ditulis secara panjang lebar oleh Waddy, dikisahkan bahwa Khodijah (istri pertama Nabi) adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses sejak jauh sebelum menikah dengan Muhammad. Bahkan, di samping sebagai pendorong semangat Nabi, Khodijah adalah penyandang dana kegiatan dakwah beliau.
Dengan demikian, menurut Fatimah Usman perempuan muslimah juga tidak dilarang untuk menjadi seorang
(i.) pengusaha,
(ii.) profesional,
(iii.) karyawati, atau
(iv.) pekerja di bidang-bidang yang lain.
Komentar penulis:
Siti Khodijah r.a. adalah pengusaha ekspedidi perdagangan dari Mekah ke Syam /Siria) yang selalu tinggal di rumah. Beliau mengendalikan usahanya itu dari rumahnya di Mekah, tidak pernah ikut bepergian ke Syam.
2. Demikian pula putri Nabi, Fatimah Al-Zahro, yang selain sebagai perawi hadis, sejak kecil dia juga seorang pemberani. Keberanian Fatimah tampak ketika Nabi bersujud dan berdoa di depan Kaabah, kemudian didatangi para pengacau yang mengganggu dan melempari beliau dengan kotoran. Saat itu, Fatimah tampil membela ayahandanya dan membersihkan kotoran yang dilemparkan para pengacau. Padahal, tindakan itu cukup berisiko. Fatimah (bersama 'Aisyah) juga termasuk regu penolong dan penyedia logistik dalam Perang Uhud.
Dengan demikian menurut Fatimah Usman, Islam tidak melarang perempuan menjadi advokad ataupun memilih pekerjaan-pekerjaan yang berbau sosial, seperti :
(i.) perawat,
(ii.) tim palang merah, atau
(iii.) pekerja sosial yang lain.
Komentar penulis:
Fatimah r.a. dan Aisyah r.a. ikut berjihad sesuai dengan tuntunan syaro’ di garis belakang, menyertai dan diawasi oleh para suami mereka yaitu Rosululloh s.a.w. dan Sayidina Ali r.a.
3. Selain Khodijah r.a. dan Fatimah r.a., terdapat pula nama Aisyah r.a. Aktivitas ummul mukminin Aisyah r.a. sangat banyak, antara lain meriwayatkan sejumlah 3.145 buah hadis Nabi (termasuk tiga perawi terbesar sesudah Abu Huroiroh r.a. dan Ibn Umar r.a.), dengan tema-tema yang variatif. Aisyah r.a. aktif di medan perang dan politik, juga pernah memimpin 40 perempuan untuk terjun langsung ke dalam Perang Jamal tahun 692.
Dengan demikian menurut Fatimah Usman, tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk menjadi :
(i.) tentara,
(ii.) dosen,
(iii.) pendidik,
(iv.) ibu Nyai,
(v.) mubaligah, ataupun
(vi.) politikus, bahkan
(vii.) pemimpin bangsa dan negara.
Komentar penulis:
Kejadian perang jamal itu terjadi setelah Nabi Muhammad s.a.w.wafat. Status ibunda ‘A’isyah r.a. adalah seorang janda Nabi berumur 50 tahun. Di dalam Al-Quran semua janda Nabi dilarang untuk kawin lagi.
Keluarnya ‘A’isyah r.a. dari rumah saat itu bukan untuk mengambil bagian dalam konflik politik tersebut, melainkan untuk mendamaikan dua kubu yang berselisih yaitu Ali r.a. dan Muawiyah r.a. Selain itu, saat berada di tengah-tengah mereka, ‘A’isyah r.a. selalu dalam keadaan tertutup. Artinya beliau selalu berada di dalam keranda di atas untanya, dan tidak berbaur dengan laki-laki.
‘A’isyah r.a. menuturkan pengakuan dan penyesalan yang mendalam atas keputusannya untuk keluar dari rumah ke medan perang. Saat itu beliau hanya bermaksud mendamaikan dua kubu yang sedang berselisih, suatu tugas yang juga diwajibkan kepada wanita, sebagaimana kepada laki-laki. Setelah kejadian itu, beliau sadar bahwa keputusannya untuk keluar rumah adalah salah.
Diriwayatkan bahwa setiap kali membaca ayat ...dan tinggal dalam rumah-rumah, (Q.S. 33:33) ‘Aisyah selalu menangis tersedu-sedu karena menyesal.
Diriwayatkan bahwa ‘Ammar pernah berkata kepada ‘A’isyah: “Sesungguhnya Alloh memerintahkanmu untuk berdiam di rumah.” A’isyah lalu berkata : “Engkau selalu berkata benar”. ‘Ammar pun menimpali : “Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikanku seperti yang engkau ucapkan tadi.”
4. Hafshoh binti Umar r.a., istri Nabi, juga sangat besar jasanya dalam merawat pengumpulan lembaran-lembaran Alquran sebelum kemudian dibukukan. Hafshoh r.a. merupakan perawi hadis, seperti 'Aisyah r.a., yang tidak pernah kehabisan kata untuk bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang berbagai persoalan agama. Bahkan, Hafshoh r.a.juga berani berdebat dengan Nabi s.a.w.
Profesi Hafsoh r.a. itu bagi perempuan masa kini menurut Fatimah Usman, barangkali sama dengan :
(i.) arsiparis,
(ii.) penulis, atau
(iii.) ahli seminar.

Komentar penulis :
Dua profesi di atas yaitu arsiparis dan penulis sangat mungkin dilakukan di rumah. Tetapi ahli seminar yang memungkinkan wanita berbaur dengan laki-laki bukan muhrimnya tidak sesuai dengan ayat 33:33 /judul makalah.
5. Saudah r.a., sebelum diperistri Nabi, juga merupakan perempuan pertama yang berani hijrah ke Abissynia demi menyelamatkan agamanya dari gangguan kafir Quraisy waktu itu. Lalu
6. Zainab r.a., istri Nabi yang dijuluki sebagai "ibu orang miskin dan anak yatim" karena suka kegiatan sosial.
(Tambahan penulis) Zainab binti Jahs r.a. isteri Nabi juga aktif bekerja di rumahnya seperti dalam Hadits Aisyah r.a. berikut ini:
Hadits 10: "Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang tangannya." Aisyah r.a. berkata: Mereka saling bersaing untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling panjang tangannya. Ternyata yang paling panjang tangannya di antara kami adalah Zainab r.a. karena ia bekerja dengan tangannya sendiri, yang kemudian hasilnaya ia berikan kepada keluarganya, disebabkan karena ayahnya telah meninggal dunia.” (H.R. Bukhori- Muslim).
Hadits 11: Diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwa Rosululloh s.a.w. mendatangi isterinya, Zainab, yang saat itu sedang menyamak kulit”. (H.R. Muslim).
Hadits 12: Bahwa Zainab binti jahsy adalah wanita yang bekerja dengan tangannya sendiri, ia menyamak dan menjahit kulit serta bersedekah di jalan Alloh. (Riwayat Al Hakim dalam Mustadrak).
Kemudian,
7. Ummu Salamah Hind r.a. yang merupakan perempuan pertama yang hijrah ke Yatsrib /Madinah. Dia tetap tabah meskipun dalam perjalanan disiksa dengan keji oleh anak buah ayahnya, dan harus terpisah dari suami dan anak-anaknya. Sesudah menjadi istri Nabi s.a.w., dia sering menemani Nabi s.a.w. dalam berbagai ekspedisi, antara lain Hudaibiyah, Khaibar, Fath Makkah, pengepungan Thoif dan Haji Wada'. Banyak sarannya dalam menghadapi perilaku para Sahabat yang diperhatikan oleh Nabi s.a.w.
8. Yang tidak kalah pentingnya adalah keteguhan iman Ummu Habibah Romlah, anak Abu Sufyan (dedengkot kafir Quroisy).
Suami pertamanya memeluk Kristen ketika hijrah ke Abyssinia. Meskipun keluarganya masih memusuhi Nabi sampai Fath Makkah, dia tetap tegar dan kokoh dalam Islam. Keteguhan hati dan iman yang patut diteladani, juga pengorbanan dan kemandirian dalam pilihan yang benar, merupakan contoh konkret bagi kaum muslimah.
Perempuan-perempuan pendamping Nabi ternyata merupakan sosok yang tidak pernah 'diam' dalam dinamika kehidupan umat Islam periode awal. Padahal, pada waktu itu di Arab tantangan dan hambatannya sangatlah besar. Namun, keterlibatan mereka bersama para perempuan muslimah lainnya, seperti
9. Asma' binti Abu Bakar,
10. Binti Hatim (ahli dakwah),
11. Rufaidah (ahli merawat korban peperangan),
12. bibi dari Jabir (ahli berani Kurma), dan
13. Ummu Sulaim, sering terlibat dalam berbagai peperangan dan suka bertanya kepada Nabi dalam persoalan-persoalan agama, telah menjadi bukti bahwa perempuan sudah sedemikian aktif.
Aktivitas mereka tetap berlanjut ketika negara masih diperintah oleh Khulafa Al-Rasyidin. Misalnya,
13. Ummu Harom, salah satu bibi Nabi, ikut bertempur dalam Perang Cyprus pada tahun 649 M (zaman kholifah Usman).

Komentar penulis :
Semua perempuan pendamping Nabi s.a.w. di atas pasti melaksanakan perintah Alloh s.w.t. untuk tetap tinggal di rumah. Bila mereka ikut dalam peperangan tentu berada di garis belakang di bawah pengawasan suaminya masing-masing.

D. KESIMPULAN / PENUTUP

Demikian telah dijawab pertanyaan-pertanyaan:

I. Apakah perintah ini juga berlaku untuk isteri-iteri selain isteri-isteri Nabi ?
Semua tafsir berpendapat bahwa perintah ini berlaku untuk semua mukminat. Namun penulis berpendapat bahwa selain isteri-isteri Nabi perintah ini hanya berlaku untuk para isteri mukminat, tidak untuk mukminat yang sendirian.

II. Mengapa dikenakan perintah ini ?
Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahrom maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya (kecuali wajah dan telapak tangannya, pen.). Dengan menjaga hal ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:
1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitroh dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil di antara hamba-hamba-Nya yaitu kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani pekerjaan di luar rumah
2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas tersendiri, yaitu di luar rumah.
3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.
4. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa susunan otak wanita sangat sesuai dengan kehidupan di rumah. Jadi, hidup di dalam rumah adalah naluri dan kodrat wanita.

III. Apa konsekwensi dari perintah ini ?
Bila perintah Alloh s.a.w. ini ditaati dan dilaksanakan oleh para isteri mukminat, maka pekerjaan di kantor-kantor dan sekolah serta pendidikan tinggi yang sekarang dijabat oleh laki-laki dan wanita, selanjutnya hanya akan diduduki oleh laki-laki saja. Hal ini akan menimbulkan lowongan pekerjaan yang dijabat wanita sebelumnya. Setelah lowongan ini dimasuki laki-laki akan mengurangi angka pengangguran yang tinggi pada laki-laki, yang pasti akan menguntungkan isteri dan anak-anaknya di rumah.

IV. Bagaimana contoh pelaksanaanya di zaman Nabi ?
Telah dibahas kehidupan 13 orang muslimah di zaman Nbi dan khulafa‘urrosyidin di mana meskipun di dalam rumah mereka masih bisa melaksanakan bisnis serta kegiatan yang berguna lainnya yang berguna bagi masyarakat. Sewaktu mereka keluar rumah selalu bersama dan diawasi oleh suami masing-masing. Kecuali mereka yang gadis dan janda mereka keluar rumah dengan tetap memelihara kesucian dirinya. Peristiwa terlibatnya Ibunda ‘A’isyah r.a. dalam perang jamal telah disesali oleh beliau karena tidak sesuai dengan Q.S. 33:33.
Penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Bila para pembaca mengetahui adanya kesalahan mohon diberitahukan kepada penulis. Untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih.
Walloohu ‘lmuwaffiq ilaa aqwamith-thoriq.

Jember, 12 Juli 2010


Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jl. Gajah Mada 118 Jember
Tlp. (0331) 491127
nasimfauzi@Blogspot.Com


Daftar Kepustakaan
01. Allan and Barbara Pease, Why Men Don’t Listen And Women Can’t Read Maps, Ufuk Press, Jakarta, 2007.
02. Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 22, Karya Toha Putra, Semarang, 1992.
03. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Revisi Terbaru), C.V. Asy-Syifa’, Semarang, 1999.
04. Dr. ‘Abd al-Qodir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, Zaman, Jakarta, 2009.
05. Dr. ‘Abdullah Bin Muhammad Bin ‘Abdurahman Bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta 2008.
06. Dra. Hj. Sri Suhanjati, Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, Gama Media, Yogyakarta, 2002.
07. Louann Brizendine, Female Brain,Ufuk Press, Jakarta, 2007.
08. Louann Brizendine, Male Brain,Ufuk Press, Jakarta, 2010
09. Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah,
10. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah 10, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2009.
11. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXII, Yayasan Latimojong, Surabaya, 1980.
12. Richard Leakey, Asal-usul manusia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.
13. Resensi Buku: Membaca Filsafat yang "Bertubuh" dan "Berjender"
14. Saifudin Mujtaba’ Isteri menafkahi keluarga?, Pustaka Progresif, Surabaya, 2001.